/Setiap jalan memiliki sejarahnya/Setiap jalan memiliki bahan bakunya sendiri/Dan ..... setiap jalan, tidak selalu disukai semua orang/ ..... (Murtadha Mutahhari, dalam Masyarakat dan Sejarah, edisi terjemahan, 1999)
Cerita satu : beberapa malam terdahulu, ada diskusi-dialog di TVRI yang bertajuk "Suara Anda". Topik kala itu berkaitan dengan isu terhangat dalam "ranah politik" Indonesia, banyak-nya calon-calon Kepala Daerah yang berpotensi ter/dihambat dengan wacana Rancangan Undang-Undang "Peraturan Zina" yang dihembuskan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dalam acara itu, bertindak sebagai narasumber di antaranya Refli Harun (peneliti senior Centro) dan Yudi Lathief (cendekiawan muda Islam/pengamat politik) serta Chairuman Harahap (anggota DPR-RI dari Golkar). Secara umum, para pengamat ini sangat sepakat bahwa Rancangan Undang-Undang "Peraturan Zina" yang kontroversi sekaligus menyentak ini, mengangkangi asas-asas demokrasi. Negara, kata Yudi Lathif dan Refli Harun, tidak boleh mengatur atau mengintervensi dengan peraturan-peraturan sejenis ini, biarlah masyarakat yang menilai. Konkritnya, mereka ingin mengatakan : "Jangan hambat calon yang dalam pandangan masyarakat sudah "rusak" secara moral untuk maju, serahkan saja pada masyarakat dan jangan dijadikan parameter agama untuk menghakimi seseorang untuk berpartisipasi dalam kompetisi politik. Dalam kesempatan itu pula, Gamawan Fauzi menanggapi-nya via Telpon dan menyimpulkan : "Jangan dianggap pemerintah mengintervensi, namun pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Jangan berbicara atas nama demokrasi dengan mengetepikan nilai-nilai kultural dan normatif teologis. Dan jangan pula, menganggap bahwa nilai-nilai demokrasi yang lahir dan tumbuh berkembang di dunia barat sana, harus dipaksa dipraktekkan secara totaliti di Indonesia yang pada dasarnya memiliki latar historis berbeda dengan tempat lahirnya nilai-nilai demokrasi yang "digadang-gadangkan" sebagai demokrasi universal sekarang. Apalagi, kata Gamawan Fauzi, apresiasi terhadap nilai-nilai teologis-kultural di dunia Timur, khususnya Indonesia, berbeda dengan apresiasi yang diberikan oleh "dunia" dimana demokrasi universal itu lahir. Ada perbedaan signifikan karena faktor historis".
Cerita 2 : Beberapa minggu yang lalu, dilaksanakan Kongres Gay dan Lesbian di Surabaya, kongres ini kemudian "dibreidel". Malam tadi juga diberitakan bagaimana Lokakarya Waria Indonesia dibubarkan di Tangerang. Forum Pembela Islam dan beberapa organisasi Islam lainnya dianggap sebagai "biang" dari pembubaran dua event kontroversial ini. Beberapa tokoh, menyayangkan kejadian pembubaran paksa dua acara tersebut. Atas nama HAM dan nilai-nilai demokrasi, para tokoh ini menganggap bahwa Kongres Gay, Lesbian, Heteroseksual dan waria juga harus dihormati .... karena itulah amanat dan nilai-nilai luhur HAM dan demokrasi itu sendiri, kata tokoh-tokoh ini yang sebagaian besar dikenal selama ini sebagai aktifis demokrasi dan HAM. Lalu, beberapa orang yang "suka" dan menyetujui pembubaran acara ini memberikan statemen beda dengan apa yang diberikan oleh tokoh/aktifis HAM dengan mengatakan : "itu nilai-nilai demokrasi barat, nilai-nilai itu tumbuh dan berkembang di negara di mana nilai-nilai agama dari awal sudah dipandang dengan curiga bahkan penuh benci, dan itu beda dengan latar historis kita".
Sejarah mencatat, kebangkitan peradaban dunia "barat" berawal dari zaman pencerahan, pasca renaisan. Salah satu issu sentral dalam abad pencerahan adalah apresiasi yang maksimal terhadap potensi akal (rasio) dan upaya minimalisir peranan agama bahkan sampai pada titik yang terkesan menyederhanakan - untuk tidak menyebut melecehkan. Gerakan ini dipelopori oleh para filsof, terutama Immanuel Kant (1724-1804) dan Voltaire (1694-1778). Voltaire, misalnya, mengabdikan dirinya pada "jihad intelektual" melawan fanatisme agama. Kesemua surat-surat dan karya tulisnya yang hampir 30.000 halaman, senantiasa ditutupnya dengan kalimat yang maknanya kira-kira "ganyang barang brengsek itu!". Yang dimaksud Voltaire dengan "barang brengsek" tersebut adalah kejumudan dan fanatisme. Karyanya Ecraszed L'infameLetters on the English yang diterbitkan tahun 1734 (?) merupakan tanda sesungguhnya dari era pembaharuan Perancis yang kemudian memberikan inspirasi bagi pembaharuan dunia barat pada umumnya. Pada masa ini berkembang dua macam aliran yang menghargai posisi akal yaitu di bidang agama dan di bidang filsafat. Pada abad Pencerahan, aliran ini melahirkan perlawanan pada otoritas gereja dan dipergunakan untuk mengkritisi ajaran agama. Namun, sebetapapun sinisnya pandangan para filosof terhadap agama, semangat sekuler gerakan pencerahan sama sekali tak mampu melenyapkan agama, dalam artian agama sebagai ajaran normatif dan institutif. Gerakan pencerahan hanya berhasil mengurangi pengaruh agama yang demikian besar terhadap kehidupan kemanusiaan sebagaimana yang terjadi pada abad pertengahan. Implikasi abad pencerahan terhadap agama lebih terasa dalam aspek pemikiran dan politik. Abad pencerahan melahirkan kondisi marginalisasi peran agama. Perhatian agama beralih dari "centre of life" ke "phery-phery of life" - meminjam istilah sejarawan Immanuel Wallerstein. Secara historis, hal ini tak terlepas dari peran signifikan Isaac Newton yang "menyerang" otoritas kebenaran agama dengan pendekatan ilmiah-saintifik.
Diantara sebab-sebab di atas, ada sebab lain yang begitu penting yaitu orang mulai berpergian lebih jauh menjelajahi bumi dan menemukan bahwa di belahan dunia lain ditemui peradaban dari bangsa dan kepercayaan lain. Bahkan interaksi dengan dunia luar out siders mereka, menimbulkan anggapan ada peradaban lain yang setinggi peradaban barat. Anggapan bahwa agama Kristen sebagai satu-satunya agama dan iman yang benar, mulai diragukan bahkan dipertanyakan. Dalam ketenangan abad ke 18, demikian kata sejarawan-orientalis William Montgomery Watt, orang dapat membuang rasa takut, rasa bebas dari intimidasi dan teror serta ketidakpastian karena perang dan mulai mengejar kesenangan (yang dalam filsafat sejarah dikenal dengan aliran pragmatisme-hedonistisme). Di Inggris pada abad ke 17, para penganut Plato di Universitas Cambidge nan fenomenal itu, memberikan anjuran agar ajaran Kristen dirangkum kembali dan di re-interpretasi dalam beberapa bentuk dan rumusan logis-rasional, yang kemudian dikenal dengan teologi rasional. Teologi rasional ini dianut oleh kelompok yang cukup besar yang kemudian dalam sejarah pemikiran agama-agama dikenal dengan kelompok Latitudarian. Kaum ini menganggap diri mereka sebagai orang Kristiani yang baik, tapi kesahalehan mereka sedang-sedang saja sehingga hampir tidak kelihatan bedanya dengan sopan santun masyarakat awam pada umumnya. Jadi janganlah heran, bila ada individu "barat" sana yang dalam kesehariannya sangat baik-humanis, namun tidak mau terkooptasi atau diberikan label dengan aturan-aturan agama tertentu. Perjalanan historis mereka memberikan justifikasi. John Locke, seorang cendekiawan Inggris pada masa ini adalah figur yang menyebarluaskan gagasan-gagasan Latitudarian. Bahkan John Locke dianggap oleh filosof sejarah abad ini, Bertrand Russel (1872-1970) sebagai filosof yang paling beruntung karena pandangan filsafat dan politiknya dipahami secara luas dan disambut hangat oleh orang-orang semasanya. John Locke dianggap sebagai filosof yang mempopulerkan bahwa manusia haruslah bersikap "tahu batas" terhadap rahasia-rahasia alam dan beranggapan bahwa wahyu agama hanyalah merupakan sebuah kelanjutan dari akal budi. Mukjizat katanya, adalah sesuatu kejadian alam biasa, bukan unik apalagi sesuatu yang luar biasa.
Beberapa buku diterbitkan untuk memperkuat dan menyebarkan pendapat-pendapat se"irama" dengan pendapat John Locke di atas. Tahun 1696, buku yang berjudul Agama Kristen Bukan Rahasia karangan John Tolland dipublikasikan kepada publik. Menyusul kemudian buku Thomas Waltson yang mengarang buku Enam Ulasan Mengenai Mukjizat. Buku-buku tersebut mendapat respon antusias masyarakat, tapi disisi lain dianggap melecehkan agama (dalam hal in : institusi gereja). Namun buku yang paling terkenal sekaligus kontroversial adalah Philosophy Dictionary yang terbit pada tahun 1764, tanpa pengarang. Substansi buku ini menyangkal adanya campur tangan nilai-normatif teologis dalam peristiwa-peristiwa alam. Berangkat dari spirit buku ini pula, kemudian berkembang wacana "liar" yang mulai meragui adanya peranan Tuhan bahkan lebih ekstrimnya, mulai meragui adanya eksistensi dan "adanya" Tuhan itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa tanpa campur tangan (intervensi) Tuhan-pun, mereka mampu untuk mewujudkan impian dan cita-cita mereka. Cita-cita, tujuan dan keinginan kehidupan tidak bergantung, menurut mereka, secara mutlak dengan takdir ke-illahi-an. Tidak ada intervensi Tuhan terhadap proses kehidupan manusia, atau dalam bahasa sederhananya, manusialah yang sebenarnya mengatur proses kehidupannya. manusia mampu untuk mendisain tujuan kehidupannya. Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran-pemikiran ini, pada gilirannya, mereka meninggalkan agama Kristen dan kemudian mereka menggantikan sorga yang sesungguhnya dengan masyarakat yang baik .... di dunia. Nilai-nilai yang berpusat kepada transedental normatif-teologis kemudian digantikan oleh nilai-nilai yang berpusat pada kebaikan dan potensi manusia (antropomorphisme).
::: Intinya, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan "setting" universal a-la barat, tentunya tidaklah fair bila dianggap sebagai sesuatu yang harus mutlak "diterima semuanya" oleh kita yang memiliki latar kultural dan sejarah yang berbeda dengan mereka. Apalagi, kecurigaan terhadap agama, telah menjadi cause-awal lahirnya beberapa ideologi dan nilai-nilai demokrasi dan HAm yang dianggap sebagian dari kita sebagai nilai-nilai universal. Padahal, filosof sejarawan sekuler, Bertrand Russel, mengatakan : "Sebuah ideologi, tidaklah pernah universal, ia lahir dan tumbuh berkembang dari perjalana sejarah panjang mereka". Karena itu, alangkah naifnya kita "mengadopsi" dan menganggap sesuatu ideologi yang nyata-nyata lahir dan tumbuh berkembang dari sebuah komunitas/entitas sosial yang memiliki latar historis berbeda dengan kita. Bukan berarti menolak, karena menolak tanpa kompromi dan pemahaman komprehensif juga bukan sesuatu yang baik tapi menganggap sebagai sesuatu yang mutlak, juga menjerumuskan kita pada fanatisme dalam bentuk lain dan menjadi insan yang a-historis. Bak kata teman saya ....... "Menganggap PIZZA sebagai makanan universal dan melihat kualitas makanan orang Mentawai yang suka Sagu dari kacamat PIZZA"
Diantara sebab-sebab di atas, ada sebab lain yang begitu penting yaitu orang mulai berpergian lebih jauh menjelajahi bumi dan menemukan bahwa di belahan dunia lain ditemui peradaban dari bangsa dan kepercayaan lain. Bahkan interaksi dengan dunia luar out siders mereka, menimbulkan anggapan ada peradaban lain yang setinggi peradaban barat. Anggapan bahwa agama Kristen sebagai satu-satunya agama dan iman yang benar, mulai diragukan bahkan dipertanyakan. Dalam ketenangan abad ke 18, demikian kata sejarawan-orientalis William Montgomery Watt, orang dapat membuang rasa takut, rasa bebas dari intimidasi dan teror serta ketidakpastian karena perang dan mulai mengejar kesenangan (yang dalam filsafat sejarah dikenal dengan aliran pragmatisme-hedonistisme). Di Inggris pada abad ke 17, para penganut Plato di Universitas Cambidge nan fenomenal itu, memberikan anjuran agar ajaran Kristen dirangkum kembali dan di re-interpretasi dalam beberapa bentuk dan rumusan logis-rasional, yang kemudian dikenal dengan teologi rasional. Teologi rasional ini dianut oleh kelompok yang cukup besar yang kemudian dalam sejarah pemikiran agama-agama dikenal dengan kelompok Latitudarian. Kaum ini menganggap diri mereka sebagai orang Kristiani yang baik, tapi kesahalehan mereka sedang-sedang saja sehingga hampir tidak kelihatan bedanya dengan sopan santun masyarakat awam pada umumnya. Jadi janganlah heran, bila ada individu "barat" sana yang dalam kesehariannya sangat baik-humanis, namun tidak mau terkooptasi atau diberikan label dengan aturan-aturan agama tertentu. Perjalanan historis mereka memberikan justifikasi. John Locke, seorang cendekiawan Inggris pada masa ini adalah figur yang menyebarluaskan gagasan-gagasan Latitudarian. Bahkan John Locke dianggap oleh filosof sejarah abad ini, Bertrand Russel (1872-1970) sebagai filosof yang paling beruntung karena pandangan filsafat dan politiknya dipahami secara luas dan disambut hangat oleh orang-orang semasanya. John Locke dianggap sebagai filosof yang mempopulerkan bahwa manusia haruslah bersikap "tahu batas" terhadap rahasia-rahasia alam dan beranggapan bahwa wahyu agama hanyalah merupakan sebuah kelanjutan dari akal budi. Mukjizat katanya, adalah sesuatu kejadian alam biasa, bukan unik apalagi sesuatu yang luar biasa.
Beberapa buku diterbitkan untuk memperkuat dan menyebarkan pendapat-pendapat se"irama" dengan pendapat John Locke di atas. Tahun 1696, buku yang berjudul Agama Kristen Bukan Rahasia karangan John Tolland dipublikasikan kepada publik. Menyusul kemudian buku Thomas Waltson yang mengarang buku Enam Ulasan Mengenai Mukjizat. Buku-buku tersebut mendapat respon antusias masyarakat, tapi disisi lain dianggap melecehkan agama (dalam hal in : institusi gereja). Namun buku yang paling terkenal sekaligus kontroversial adalah Philosophy Dictionary yang terbit pada tahun 1764, tanpa pengarang. Substansi buku ini menyangkal adanya campur tangan nilai-normatif teologis dalam peristiwa-peristiwa alam. Berangkat dari spirit buku ini pula, kemudian berkembang wacana "liar" yang mulai meragui adanya peranan Tuhan bahkan lebih ekstrimnya, mulai meragui adanya eksistensi dan "adanya" Tuhan itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa tanpa campur tangan (intervensi) Tuhan-pun, mereka mampu untuk mewujudkan impian dan cita-cita mereka. Cita-cita, tujuan dan keinginan kehidupan tidak bergantung, menurut mereka, secara mutlak dengan takdir ke-illahi-an. Tidak ada intervensi Tuhan terhadap proses kehidupan manusia, atau dalam bahasa sederhananya, manusialah yang sebenarnya mengatur proses kehidupannya. manusia mampu untuk mendisain tujuan kehidupannya. Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran-pemikiran ini, pada gilirannya, mereka meninggalkan agama Kristen dan kemudian mereka menggantikan sorga yang sesungguhnya dengan masyarakat yang baik .... di dunia. Nilai-nilai yang berpusat kepada transedental normatif-teologis kemudian digantikan oleh nilai-nilai yang berpusat pada kebaikan dan potensi manusia (antropomorphisme).
::: Intinya, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan "setting" universal a-la barat, tentunya tidaklah fair bila dianggap sebagai sesuatu yang harus mutlak "diterima semuanya" oleh kita yang memiliki latar kultural dan sejarah yang berbeda dengan mereka. Apalagi, kecurigaan terhadap agama, telah menjadi cause-awal lahirnya beberapa ideologi dan nilai-nilai demokrasi dan HAm yang dianggap sebagian dari kita sebagai nilai-nilai universal. Padahal, filosof sejarawan sekuler, Bertrand Russel, mengatakan : "Sebuah ideologi, tidaklah pernah universal, ia lahir dan tumbuh berkembang dari perjalana sejarah panjang mereka". Karena itu, alangkah naifnya kita "mengadopsi" dan menganggap sesuatu ideologi yang nyata-nyata lahir dan tumbuh berkembang dari sebuah komunitas/entitas sosial yang memiliki latar historis berbeda dengan kita. Bukan berarti menolak, karena menolak tanpa kompromi dan pemahaman komprehensif juga bukan sesuatu yang baik tapi menganggap sebagai sesuatu yang mutlak, juga menjerumuskan kita pada fanatisme dalam bentuk lain dan menjadi insan yang a-historis. Bak kata teman saya ....... "Menganggap PIZZA sebagai makanan universal dan melihat kualitas makanan orang Mentawai yang suka Sagu dari kacamat PIZZA"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar