Selasa, 18 Mei 2010

Sebab Sesat "Kanan" atau "Kiri" : Monolog Katak Bertempurung Kecil


Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Saya terpaku ketika membaca realita di tengah-tengah masyarakat bahwa telah lama berkembang pemikiran bahwa selalu ada aliran kanan dan aliran kiri. Entah kebetulan atau tidak, saya juga pernah diajarkan bahwa ketika sebuah produk pemikiran atau kelompok sedang memakai istilah “arah direksi” di dalam perkembangannya, maka akan ada kelompok lain yang menjadi korban cara pikir mereka. Kita tentu pernah mendengar istilah sosialis kanan atau agamais kiri bukan? Dua istilah yang sempat membuat saya terpekur, mengira-ngira apa maksud orang yang membuat istilah ini, kira-kira kemana arah keadaan yang dia inginkan dengan memperkenalkan dua nama ini. Namun, tiba-tiba pemikiran tentang visi atau misi para pencetus istilah ini mengabur dalam kepala saya dan tidak lama kemudian sudah berganti dengan keasyikan mempelajari cara pikir “penganut”kelompok-kelompok direksi ini. Teringat dialog dengan salah satu penganut yang menamakan dirinya “Islam kanan”, saya bertanya tentang keuntungan apakah yang didapat dengan menyandang nama-nama berdireksi ini? Dia menjawab bahwa setiap nama yang dimasukkan ke dalam sebuah kelompok akan menjadi identitas bagi kelompok itu sendiri. Saya cukup setuju dalam tataran ini, namun ketika dia kemudian menambahkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa kelompok Islam yang benar adalah kelompok kanan ini, saya langsung menarik persetujuan saya tadi.

Agak miris melihat hal ini, mengapa kemudian sesuatu seperti agamapun menjadi semakin bertambah banyak pilihannya?? Tentang produk Tuhan ini, apakah memang harus sebanyak inikah pilihannya? Lalu kebenaran manakah yang satu itu?? Atau satu yang manakah kebenaran itu?? Atau memang kita sering lupa mengadakan semacam penghubungan suatu hal dengan hal yang lain?membuat semacam kajian korelasi sebelum menunjuk final sebuah hasil. Dalam masalah pendireksian kelompok ini (kiri dan kanan ini), apakah kita bisa langsung lupa bahwa ketika ada yang memakai nama kanan tentu harus ada yang kiri atau tengah. Yang saya maksud adalah, apa kita ingin mengatakan sesuatu yang sudah memiliki adat fitrah sebagai sesuatu yang berdua (duet) tiba-tiba kita buatkan versi solonya secara sekonyong-konyong?

Masih lekat dalam ingatan saya ketika kelompok jubah dan cadar mulai masuk ke Indonesia ketika saya masih duduk di bangku “esde” kala itu. Saya bertemu dengan dua orang yang menutup sekujur tubuhnya dengan pakaian hitam, hanya keliatan matanya saja. Dan mereka berdua ini sedang belanja sayur di pokan sotu (pasar sabtu), sebuah pasar tradisional yang sampai sekarang masih eksis di kampung kecil saya, Barulak. Kami yang masih sangat muda ketika itu melihatnya dengan wajah heran bercampur jahil. Apalagi setelah seorang kawan bersorak “HOI ADO POWER RANGER!!” yang kami sambut dengan tawa renyah. Setelah sampai di kedai bibi, ramai orang langsung membicarakan masalah ini, dan beberapa kali saya mendengar kata-kata “itu ughang islam murni ma, jan dokek-dokek wak lai, tabowok lo dik nyie beko” (itu orang islam murni, kita jangan dekat-dekat nanti bisa diajak oleh mereka). Itulah kali pertama saya mengetahui bahwa ternyata ada “ Islam Murni”. Sebelumnya saya hanya mengira Islam itu hanya“MUHAMMADIYAH” saja yang kantor berikut mushallahnya berdiri anggun di tengah kampung kecil ini.

Dan saya membutuhkan waktu 10 tahun untuk kemudian bisa tersenyum-senyum sebab sadar betapa “katak”nya saya waktu itu dikarenakan “tempurung” saya yang masih kecil. Sebuah fakta melalui sanggahan, “Pada scene Islam murni ini, kira-kira alasan apalagikah yang digunakan para pencetusnya??” apa mereka tidak berpikir tentang efek yang kemudian mungkin saja bisa menimbulkan dan membuah gaduh di ranah perislaman?? Coba kita renungkan dan pikirkan. Jika ada kelompok “Islam Murni” tentu akan ada “Islam Tidak Murni”, atau “Islam Indo” (campuran). Atau jangan-jangan perkembangan keadaan dunia nyata di ranah kita ini tidak ubahnya dengan dunia periklanan yang marak di televisi. Setiap merk me”logo”kan produknya dengan “nomer wahid” atau “yang paling higienis”. Jika hanya pada iklan tentu tidak akan masalah, sebab semua orang juga sudah tahu lebih dari 80 persen dari kata-kata ini adalah bualan, dan sisanya 20 persenpun kita masih dan boleh percaya ataupun tidak. Ditambah kenyataan bahwa produk-produk lain juga akan mengkabarkan merk mereka dengan slogan yang tidak kurang hebatnya. Sehingga tidak akan ada yang bertanya atau mempermasalahkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Lalu jika ada yang nomer wahid, ada yang nomer itsnain (dua) donk?” atau “lalu jika ada yang paling higienis, ada yang higeinis biasa, atau yang tidak higienis donk?” pertanyaan ulah dari keanehan tentunya, karena ketika sebuah barang dengan kadar dan kualitas yang tidak berbeda, tidak akan pernah mau menerima label kedua atau pun sebuah label dengan kata “tidak” didepannya. Namun, apakah akan begitu juga halnya dengan merk-merk yang dipakaikan pada sebuah hal yang mengkerandai hampir seluruh hidup bahkan dunia setelah hidup kita ini? Relevankah?

Sedikit cerita, Saya pernah merasa bangga menjadi orang yang disebut Islam kanan, (dahulunya) well, karena kanan sering diidentikan dengan kebaikan, kesantunan dan kebersihan. Namun kemudian saya membaca, dan juga mendengar bahwa sebahagian dari pendapat yang saya lontarkan, ambil dan bahkan kembangkan adalah bentuk produksi pandangan orang-orang yang bukan merupakan “kanan” versi massal. Tiba-tiba saja ada yang menepuk bahu saya, “selamat datang di komunitas “kiri kami” dan kemudian “selamat bergabung di “poros tengah”. Dan untuk pertama kalinya di dunia ini saya merasa pilihan “sebelah kanan” tidak menjadi benar-benar betul dan mengenakkan. Juga, saya seperti sadar bahwa perangkap dan perangkat sosial yang entah juga agama ini menjadikan saya terjebak dalam alur kanan, kiri dan tengah, dan itu sangat padat. Saya sering bermimpi dalam perandai-andaian, apakah tidak bisa nama-nama ini beserta isi kepala orang-orangnya disatukan saja dengan nama yang kita telah sepakati bersama sebelumnya? Saya rasa tanpa embel-embel “murni” “tidak murni” “ortodok” “kiri” “kanan” atau “tengah” bahkan “higienis sekalipun, apapun itu tidak akan hilang pesonanya bahkan akan semakin elegan karena menggambarkan sebuah gerakan, komunitas atau pihak yang besar, padat dengan ideologi dan yang paling penting penuh dengan ide-ide pemersatuan kehendak dan misi tentunya, bukankah dengan semua ini akan makin mendekatkan kita pada keberhasilan? Saya bukannya lupa tentang kenyataan yang akan terjadi sebagaimana yang digambarkan oleh Muhammad Saw. dalam hadisnya tentang kelompok-kelompok yang akan hadir di zaman-zaman setelah zaman beliau. Namun, bukankah dunia ini juga megalir, mengalir dengan cara-cara yang bisa kita perjuangkan. Berusaha dengan sebaik-baik perjuangan dan kemudian jika masih saja tidak sempurna, mungkin memang disanalah ujung ketetapanNya. Atau (kalau kata orang tak percaya takdir) inilah akhir dari sebuah keberuntungan yang ternyata tidak beruntung.

Sekarang bisa sedikit bersyukur dengan maraknya tokoh-tokoh yang muncul dengan nama-nama induk dan mulai mengurangi sikap dan sifat berdireksi. Semoga semuanya ini betul-betul kosong dengan misi turunan yang biasanya hanya mengundang sinis, dan paling tidaknya bisa menjawab tentang rasa penasaran yang sering membuat masyarakat awam bingung-bingung. Tentu saja tentang klimaks masalah perut dan “recehan” yang seolah tak pernah hilang. Sudah saatnya kita memikirkan permasalahan umum dan rinci tentang kehidupan masyarakat kita, dengan kata lain kita harus keluar dari arah-arah yang tidak terarah sebelum ini. Menggambarkan kemajemukan, luasnya cakupan kelompok atau pengenalan bertahap tentang kemajuan sebuah lingkungan toh tidak membutuhkan banyak cabang-cabang baru, tentu berbeda dengan teknik marketing dan publishing restoran padang. Karena inilah bedanya penyebaran sebuah produk kepala yang juga akan dikonsumsi kepala dibandingkan dengan yang akan dikonsumsi perut. Sehingga jika kita memang telah atau akan sepakat untuk mengembalikan jati diri bangsa dengan cara menghidupkan semangat keberagamaan di dalam masyarakat kita, maka salah satu yang menjadi tugas awal kita adalah menyingkirkan direksi-direksi keegoisan ini, pembuat kesalah pahaman ini, dan direksi-direksi pengumbar keinginan pribadi ini. Kita berharap dengan cara masing-masing, semoga kesempatan itu masih selalu ada. Semangat untuk perjuangan ini masih selalu hidup dan semoga impian warna passport kita tidak lagi “berwarna hijau” cepat terwujud. Semoga selalu ada, berkobar dan berhasil.

(c) Substansi ide dari "adinda" tercerahkan : Andri Azis

Tidak ada komentar: