Jumat, 21 Mei 2010

"Merahnya" Minangkabau : Ranah Bersemainya Komunisme

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Berdiri di tempat tinggi, seorang sejarawan Belanda menadahkan kedua tangannya, berseru, ”Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Harry Poetze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu (Zulhasri Nasir : 2010)


Ya, Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, mempertanyakan posisi historis Tan Malaka. Ia yang dibesarkan oleh sejarah, justru dicatat dalam ”ranah” politik sebagai pemberontak. Padahal, nagari Pandan Gadang tempat lahirnya Ibrahim yang Tan Malaka ini, adalah nagari yang menawarkan kesejukan dan kedamaian. Namun Roger Tol lupa – untuk tidak mengatakan a-historis, Minangkabau merupakan ”rahim paling dinamis”, memberikan peluang besar bagi ”putra-putri”nya untuk membentuk diri mereka sendiri. Nagari memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk menjadi siapa saja. Dalam bahasa sosiologis, nagari meniadakan pelapisan sosial. Yang ada hanyalah fungsi sosial. Jadi janganlah kemudian kita heran, apabila dari ”rahim Minangkabau”, sejarah mencatat lahir penggerak-penggerak dan aktor-aktor sejarah ideologis besar, baik yang berhaluan ”putih” maupun ”merah” (kalau boleh saya mendikotomikan demikian).

Membicarakan gerakan pembaharuan Islam nusantara, konteks dialektika Minangkabau tidak bisa dilepaskan. Minangkabau menjadi salah satu episentrum - meminjam istilah Naquib al-Attas - gerakan pembaharuan Islam di Nusantara. Pengaruh gerakan pembaharuan ini terasa pada gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob. Demikian juga, ketika mendudukkan jaringan Wahhabiyah di kawasan Asia Tenggara, Minangkabau juga menjadi salah satu episentrumnya. Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol.

Demikian halnya dengan perdebatan-perdebatan ideologi merah, Minangkabau menyumbangkan ”putra-putra” terbaiknya, salah satunya Ibrahim yang Tan Malaka itu. Mengikuti sepak terjang Ibrahim Datuk Tan Malaka seperti membuka sejarah merahnya Minangkabau. Meski terkenal sebagai negeri yang kuat menganut Islam, siapa nyana justru ideologi kiri seperti sosialisme dan komunisme yang bercokol kuat. Menurut Zulhasril Nasir, Islam-lah yang menjadi basis persemaian ideologi kiri di Minangkabau. Kebanyakan tokoh pergerakan kemerdekaan pernah sekolah di sekolah-sekolah agama. Zulhasril mengatakan bahwa munculnya gerakan kiri radikal di Minangkabau berpangkal di sekolah menengah agama di Padangpanjang (Sumatera Thawalib dan Diniyah), Padang (Adabiyah dan Islamic College) dan Bukittinggi (Sumatera Thawalib Parabek)," ujar Zulhasril Nasir dalam diskusi ”Pemutaran Film Dokumenter Selopanggung di IAIN Padang beberapa waktu yang lalu. 'Koalisi' Islam dan sosialisme/komunisme itu disokong oleh motif yang sama untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Di sinilah peran Tan Malaka sebagai seorang tokoh kiri yang menghubungkan kedua arus itu. Faktor lain adalah sistem pendidikan di Minangkabau merupakan yang termaju di Hindia Belanda setelah pulau Jawa.

Suatu ketika Tan Malaka mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan. Orang sekarang mungkin tidak dapat membayangkan, dalam keadaan serba terbatas Tan Malaka melanglang buana membentuk dan membangun ideologi dalam perjalanan panjang dari Negeri Belanda, Jerman, Rusia, kemudian naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga Wladiwostok di Timur, terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Kanton, Bangkok, Singapura, Semenanjung Malaya, dan Burma. Di kota-kota itu, sembari membangun kekuatan antipenjajahan, ia melahirkan percikan pemikiran melalui buku, brosur, di antara bayang-bayang intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda. Sepuluh tahun pada akhir kehidupannya benar-benar dia sumbangkan untuk tanah air, membangun kekuatan perlawanan rakyat melawan Jepang dan Belanda, meskipun berakhir di ujung peluru bangsa yang diperjuangkannya. Bukankah itu suatu kedigdayaan yang tidak dimiliki oleh semua orang ? Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim.

Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Pidato Tan Malaka di Forum Komunis Internasional (Komintern) tahun 1920 memperkuat tesis ini. Ketika sebagian "anak-anak Marx" mencurigai agama dalam denyut nadi perjuangan mereka, Tan Malaka justru memberikan apresiasi terhadap signifikannya pengaruh agama (Islam) dalam menstimuli kesadaran kelas. Bagi Tan Malaka, Pan-Islamisme berpotensi membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan sekolah sekuler Kweekschool di Ford de Kock (Bukittingggi). Pada tahun 1920-an itu, telah muncul puluhan intelektual Minangkabau yang bukan hanya hidup di kampung, tapi menyebar di seluruh Sumatera, Jawa, Belanda, Malaysia dan Singapura. Tan Malaka hanyalah salah satunya saja. Zulhasril (2009) kemudian membagi puluhan aktivis pergerakan kemerdekaan tersebut dalam 5 tipe ideologi. Pertama, Islam-komunis. Mereka berasas pada ajaran Tan Malaka yang menghubungkan ajaran tentang kesamaan dan kebersamaan manusia dalam Islam dan komunis. Masuk dalam kelompok pertama ini adalah pemimpin PKI Sumbar tahun 1948 Haji Datuak Batuah dan mantan Ketua Umum Partai Murba Djamaluddin Tamin. Kelompok kedua berideologi Islam-nasionalis. Kelompok ini diwakili organisasi Permi, PSII, Muhammadiyah dan Masyumi. Tokoh-tokohnya, M Sjafei, AR Sutan Mansyur, Rasuna Said dan ayahanda Hamka, Haji Rasul. Tipe ketiga adalah Sosialis Demokrat. Walau hanya sedikit, tapi menonjol. Mereka mengikuti kepemimpinan Sjahrir dan Hatta di Batavia, seperti M Rasjid. Tipe keempat adalah nasionalis-kiri. Tipe ini baru bermunculan setelah kegagalan pemberontakan 1926 di Silungkang. Mereka masuk dalam Gyu Gun (militer Jepang). Tokoh-tokohnya adalah Chatib Sulaiman, Dahlan Djambek, dan Ahmad Husein. Tipe terakhir adalah komunis. Kalangan ini berasal dari gerakan kiri Tan Malaka yang kemudian dipengaruhi Marxisme-Leninisme. Masuk ke dalam tipe ini adalah Ketua PKI Sumatera Timur Natar Zainuddin dan pimpinan PKI Sumbar Bachtaruddin.

Lima kelompok diatas, Zulhasril secara metodologis-epistimologis, hanya mengelompokkan berdasarkan pada orang yang beraktivitas di Minangkabau saja. Jika dimasukkan yang beraktivitas di tingkat nasional dan luar negeri, masuklah beberapa nama terkenal. Mereka adalah Nazir Sutan Pamoentjak, Hamka, DN Aidit, Hatta, M Yamin, Sjahrir, M Natsir, Agus Salim, Abdul Muis, Asaat, A Rivai dan Tan Malaka sendiri. Ya, Dipa Nusantara Aidit yang sebenarnya bernama asli Dja'far Nawawi Aidit ini termasuk karena meski dilahirkan di Belitung, orang tuanya, Haji Aidit berasal dari Maninjau, Sumatera Barat. "Tokoh pergerakan yang paling dekat dengan Tan Malaka hanyalah Muhammad Yamin," ungkap Zulhasril.

Sementara, meski sama-sama Minang dan mendalami sosialisme/komunisme, Tan Malaka dan Sjahrir memiliki hubungan yang buruk. Mereka berseteru kencang pasca Indonesia merdeka. Keduanya saling culik. Tan Malaka mengerahkan Persatuan Perjuangan yang memiliki simpatisan dari kalangan militer termasuk Jenderal Sudirman. Sementara Sjahrir memiliki Pesindo dan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang patuh padanya selaku Perdana Menteri. Perseteruan ini mencapai puncaknya pasca perjanjian Linggarjati 1947. Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan mengerahkan gerilya bersenjata menentang perjanjian Indonesia-Belanda itu. Tan Malaka dikejar-kejar oleh pasukan Sjahrir – yang juga lahir dari ”rahim” Minangkabau. Dan, sejak 21 Februari 1949, Tan Malaka si Putra Pandan Gadang ”divonis” sejarah, lenyap. Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poetze merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Tragis !

Sumber : Sebagian besar dari (c) Zulhasril Nasir (2009 & 2010)

Tidak ada komentar: