Orang Yahudi dan orang Arab Palestina sebenarnya banyak diantara mereka berhubungan sehari-hari, saling memandang pihak lain dari sudut yang harus berbeda. Demikian parahnya, rasa benci diantara mereka, sehingga jika ada sedikit saja persamaan diantara mereka, maka itu harus dianggap sebagai perbedaan (Edward Said: 1997)
Diantara berbagai kota historis di bawah "kolong langit" ini, mungkin kota Yerusalem-lah yang selalu tak pernah luput dari cerita manis-pahit-getir sejarah ummat manusia. Yerusalem yang merupakan kota tua sarat sejarah ini, dibentuk oleh pertarungan kekuatan-kekuatan besar sejarah untuk zamannya. Peradaban Mesopotamia, Assiria, Romawi (Kristen), Arab, Turki (Daulah Utsmaniyah) dan Inggris telah hadir dan meninggalkan bekas-bekas tersendiri yang cukup dalam-membekas. Kota ini juga tidak bisa dilepaskan sama sekali dengan tiga agama monotheistik paling berpengaruh saat ini. Karenanya, setiap hari Yerusalem selalu dikunjungi dengan gairah-teologis, para peziarah dari seluruh dunia "untuk datang lebih dekat" - meminjam istilah Edward Said - menghadap Tuhannya. Menghambakan diri dan bahkan terkadang datang dengan hal-hal yang diyakini irrasional, namun dianggap sebagai sebuah cara untuk menyatukan emosi teologis. Dalam "denyut" kesehariannya, kota Yerusalem akan menghadirkan orang Yahudi yang khidmat berdo'a dan menyentuh dengan "haru-terdalam" Dinding Ratapan yang diyakini sebagai bekas candi Sulayman (Bayt Suci). Bahkan menurut Edward Said, banyak diantara mereka yang datang dari belahan bumi lain, menarik secuil kerikil halus atau lumut yang melekat ditembok, kemudian dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam tas atau dompetnya. Mungkin, orang Yahudi ini ingin membawa pulang secuil kerikil halus yang dicomot dari tempat paling suci ini dan disimpan dalam lemari untuk menjadi kenangan spritual yang paling bermakna dalam keluarga (Dalam konteks sosiologi agama, kasus dukun cilik fenomenal Ponari, juga bisa dimaknai seperti ini. Bagaimana banyak peziarah yang mau mengambil tanah-tanah di seputar rumah Ponari yang bau-kotor lagi busuk ini hanya untuk "sugesti". Lihat artikel saya dalam blog ini : "Irrasionalitas Ponari").
Sementara itu, di Yerusalem juga ditemukan komunitas Kristen yang tumpah ruah untuk melihat Gereja Sepulchre, yang didalamnya terdapat karang Golgota - tempat Yesus disalib - maqam suci serta tempat Yesus dibangkitkan. Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh orang Yahudi dengan Dinding Ratapan nan berlumut, maka orang-orang Kristen yang taat ini memeluk "penuh rindu bercampur duka", karang berbentuk dipan tempat Yesus disemayamkan untuk sementara waktu setelah ia diturunkan dari kayu salib. Dengan air mata bercucuran, mereka meletakkan pipinya di dada Yesus yang tak berdaya dan seakan-akan merasakan langsung penderitaan putra Siti Maryam ini. Bak kata sosiolog-agama Karen Amstrong, "trans-teologis agama" justru terlihat dalam peristiwa-peristiwa seperti ini. Sementara itu, ribuan kaum muslimin melafalkan takbir, tahmid dan tasbih sebanyak lima kali sehari semalam di Masjid Al-Aqsha, yang diyakini telah menjadi tempat persinggahan nabi Muhammad SAW. ketika melakuna Isra' dan melakukan sholat dengan para nabi yang lain sebelum melakukan Mi'raj. Dinding Ratapan, Gereja Sepulchre dan Masjid Al-Aqsha adalah - dalam bahasa sosiologi agama sebagai "monumen suci" - hubungan antara Yerusalem dengan agama-agama besar itu, tapi sekaligus simbol perbedaan antara agama-agama ini, yang meskipun mereka selalu berbicara bahwa mereka adalah cucu Ibrahim tapi dalam kenyataannya, mereka sangat enggan untuk mengakui dan bertindak sebagai saudara.
Yerusalem yang dalam bahasa Ibrani disebut dengan Yerushlayim atau "kota perdamaian", sejak pertama sekali muncul dalam manuskript sebagai kota orang Kanaan di zaman Perunggu hampir 4000 tahun yang lalu, telah menjadi pusat dan target penaklukan berbagai penguasa/raja-raja besar dalam sejarah peradaban umat manusia. Sehingga kemudian, Yerusalem tercatat pernah ditakulukkan raja (nabi) Daud, raja (nabi) Sulaiman dan raja-raja Yahudi lainnya yang kemudian berpindah pada Babilonia, Macedonia, Mesir, Mesir, Seleucid, Yunani, trah Yahudi Hasmon, Romawi, Bizantium, Persia, Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah, Ayyubiyah, Tentara Salib, Mamluk, Turki Ustmani, Inggris, Yordania dan sekarang Israel. Praktis, "catatan sejarah" menyimpulkan bahwa Yerusalem hampir tidak mengenal garis antara perang dengan agama. Ia telah menjadi pusat konflik untuk memperebutkan kebenaran yang telah menjadi dominasi Tuhan dan perjuangan untuk memperoleh hak atas penguasaan kota itu. Peran agama dan pengetahuan di kota ini bercampur aduk antara faktor pencerahan dan pemicu konflik-kekerasan. Dalam catatan sejarah, Yerusalem yang damai dan kudus ini sebenarnya belum pernah merasakan perdamaian karena setiap masa kota ini selalu digenangi oleh darah dan air mata. Sebagaimana yang pernah ditangisi oleh seorang penyair Arab-Palestina : "Yerusalem ibarat tanah susu dan madu, dua tanah yang berbeda sifat, namun bertemu dan membentuk Yerusalem berada diantara kesuburan dan kekeringan". Sehingga kemudian kita mengenal Yerusalem dalam waktu yang bersamaan menjadi kota yang bersemangat dunia dan sempit, antara bersemangat keilmuan dan picik. Namun tetap, Yerusalem, sekering apapun dan seriskan apapun potensi konflik-nya, Yerusalem tetap dianggap sebagai kota yang menyimpan pembenaran luar biasa sebuah hal yang bernama teologis. Karena inilah, haru-air mata orang memeluk dipan di Gereja Sepulchre, karena inilah pula orang Yahudi bercucuran air mata menghadap Tembok/Dinding Ratapan dan karena (sekali lagi) ini pula, kaum muslimin "dibawah kolong langit" ini sangat bergairan mendengar (apalagi mengunjungi) masjid Al-Aqsha. Takdir Yerusalem sangatlah berat untuk memikul "Tiga Agama" di Kota-nya yang mulai ringkih ! ... akhirnya, benar apa yang dikatakan oleh bintang film Bollywood Tajiv Kapoor : " Makhluk-makhluk tertentu TAK BISA melihat disiang hari, sementara yang lain BUTA di malam hari. Orang yang memiliki kadar kebencian tinggi, tidak dapat melihat apapun dengan jelas, baik Siang maupun Malam hari !"
:::::: (c) Diringkas dari Muhammad Ilham, Phaphyrus Hingga Internet Jilid I, 2000 ::: sebagai bahan pengayaan referensi bagi mahasiswa saya yang mengikuti kelas Filsafat Sejarah dan Pendekatan Sejarah Sosial Politik dengan sub-topik : "Agama sebagai Perubah Sejarah"
Sementara itu, di Yerusalem juga ditemukan komunitas Kristen yang tumpah ruah untuk melihat Gereja Sepulchre, yang didalamnya terdapat karang Golgota - tempat Yesus disalib - maqam suci serta tempat Yesus dibangkitkan. Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh orang Yahudi dengan Dinding Ratapan nan berlumut, maka orang-orang Kristen yang taat ini memeluk "penuh rindu bercampur duka", karang berbentuk dipan tempat Yesus disemayamkan untuk sementara waktu setelah ia diturunkan dari kayu salib. Dengan air mata bercucuran, mereka meletakkan pipinya di dada Yesus yang tak berdaya dan seakan-akan merasakan langsung penderitaan putra Siti Maryam ini. Bak kata sosiolog-agama Karen Amstrong, "trans-teologis agama" justru terlihat dalam peristiwa-peristiwa seperti ini. Sementara itu, ribuan kaum muslimin melafalkan takbir, tahmid dan tasbih sebanyak lima kali sehari semalam di Masjid Al-Aqsha, yang diyakini telah menjadi tempat persinggahan nabi Muhammad SAW. ketika melakuna Isra' dan melakukan sholat dengan para nabi yang lain sebelum melakukan Mi'raj. Dinding Ratapan, Gereja Sepulchre dan Masjid Al-Aqsha adalah - dalam bahasa sosiologi agama sebagai "monumen suci" - hubungan antara Yerusalem dengan agama-agama besar itu, tapi sekaligus simbol perbedaan antara agama-agama ini, yang meskipun mereka selalu berbicara bahwa mereka adalah cucu Ibrahim tapi dalam kenyataannya, mereka sangat enggan untuk mengakui dan bertindak sebagai saudara.
Yerusalem yang dalam bahasa Ibrani disebut dengan Yerushlayim atau "kota perdamaian", sejak pertama sekali muncul dalam manuskript sebagai kota orang Kanaan di zaman Perunggu hampir 4000 tahun yang lalu, telah menjadi pusat dan target penaklukan berbagai penguasa/raja-raja besar dalam sejarah peradaban umat manusia. Sehingga kemudian, Yerusalem tercatat pernah ditakulukkan raja (nabi) Daud, raja (nabi) Sulaiman dan raja-raja Yahudi lainnya yang kemudian berpindah pada Babilonia, Macedonia, Mesir, Mesir, Seleucid, Yunani, trah Yahudi Hasmon, Romawi, Bizantium, Persia, Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah, Ayyubiyah, Tentara Salib, Mamluk, Turki Ustmani, Inggris, Yordania dan sekarang Israel. Praktis, "catatan sejarah" menyimpulkan bahwa Yerusalem hampir tidak mengenal garis antara perang dengan agama. Ia telah menjadi pusat konflik untuk memperebutkan kebenaran yang telah menjadi dominasi Tuhan dan perjuangan untuk memperoleh hak atas penguasaan kota itu. Peran agama dan pengetahuan di kota ini bercampur aduk antara faktor pencerahan dan pemicu konflik-kekerasan. Dalam catatan sejarah, Yerusalem yang damai dan kudus ini sebenarnya belum pernah merasakan perdamaian karena setiap masa kota ini selalu digenangi oleh darah dan air mata. Sebagaimana yang pernah ditangisi oleh seorang penyair Arab-Palestina : "Yerusalem ibarat tanah susu dan madu, dua tanah yang berbeda sifat, namun bertemu dan membentuk Yerusalem berada diantara kesuburan dan kekeringan". Sehingga kemudian kita mengenal Yerusalem dalam waktu yang bersamaan menjadi kota yang bersemangat dunia dan sempit, antara bersemangat keilmuan dan picik. Namun tetap, Yerusalem, sekering apapun dan seriskan apapun potensi konflik-nya, Yerusalem tetap dianggap sebagai kota yang menyimpan pembenaran luar biasa sebuah hal yang bernama teologis. Karena inilah, haru-air mata orang memeluk dipan di Gereja Sepulchre, karena inilah pula orang Yahudi bercucuran air mata menghadap Tembok/Dinding Ratapan dan karena (sekali lagi) ini pula, kaum muslimin "dibawah kolong langit" ini sangat bergairan mendengar (apalagi mengunjungi) masjid Al-Aqsha. Takdir Yerusalem sangatlah berat untuk memikul "Tiga Agama" di Kota-nya yang mulai ringkih ! ... akhirnya, benar apa yang dikatakan oleh bintang film Bollywood Tajiv Kapoor : " Makhluk-makhluk tertentu TAK BISA melihat disiang hari, sementara yang lain BUTA di malam hari. Orang yang memiliki kadar kebencian tinggi, tidak dapat melihat apapun dengan jelas, baik Siang maupun Malam hari !"
:::::: (c) Diringkas dari Muhammad Ilham, Phaphyrus Hingga Internet Jilid I, 2000 ::: sebagai bahan pengayaan referensi bagi mahasiswa saya yang mengikuti kelas Filsafat Sejarah dan Pendekatan Sejarah Sosial Politik dengan sub-topik : "Agama sebagai Perubah Sejarah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar