“Historia Vitae Magistra”, kata Bennedicto Croce. Sejarah memberi pengalaman. Pengalaman historis bangsa kita, memberikan pelajaran yang sama. Kolonialisme yang ingin ditumbangkan melahirkan kondisi kerangka berfikir yang sama dalam benak setiap anak bangsa kala itu. Indonesia merdeka pun menjelma. Kemudian, lahir sejumlah kelompok dan partai politik. Kemudian saling gontok-gontokan. Kemudian, terjadi instabilitas. Kemudian, kemudian dan kemudian. Menjadi pertanyaan : “Mengapakah orang-orang yang tadinya demikian bersatu padu, dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi amat terpecah belah?”. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali membuat rakyat menjadi masygul dan kritis menghadapi seruan politik dalam berbagai kampanye. Persatuan kepentingan dengan mereka dikerahkan sehabis-habisnya tatkala suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan suatu perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai memperlihatkan hasilnya, mereka cenderung tidak diutamakan lagi, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat ketika lagi berjuang. Ungkapan “Calon Gubernur dan Wabup yang Terbukti Membuat Perubahan”, “Mari Babaliak ka Surau”, “Calon Bupati dan Wabup yang akan Sejahterakan Rakyat”, ”Calon yang Layak Memimpin” menjadi kehilangan makna.
Kalau dulu, jelang Pemilihan Legislatif, saya pernah mendengar nyanyian anak-anak yang baru pulang dari Didikan Subuh : Berakit-rakit ke hulu/berenang-renang ke tepian/bersakit-sakit dahulu/bersenang-senang sendirian/. Saya lihat kemudian, rupanya mereka bernyanyi menghadap pada baliho gambar seorang Caleg yang terletak dekat musholla. Setelah nyanyi, mereka pun ketawa dan salah seorang nyeletuk, “Calegnyo bencong, lai laki-laki tapi bibianyo bagincu” (Rupanya ada beberapa caleg kala itu yang ingin tampil sempurna, lalu mensiasati foto-nya yang sebenarnya tidak gagah-berwibawa menjadi gagah-berwibawa, dan salah satunya adalah tampilan bibir yang tebal-hitam dari sang caleg "direkaya-digital" dengan menipiskah dan memerahkan bibir, seperti tampilan banci-waria-bencong). Beberapa hari ini, saya mendengar celetukan dari beberapa orang anak-anak yang berdiri di depan baliho seorang Calon Gubernur : ”Haaa ..... mancalon pulo baliak, apak ko kan baru tahun patang mancalon, kini mancalon pulo .... iyo rakuih bapak ko maa ?” (Translate : ”Bapak ini kembali lagi mencalonkan diri, padahal tahun kemaren, si Bapak ini sudah mencalonkan diri .... Rakus betul Bapak ini!). Rupanya, si anak masih merekam dalam memori mereka gambar seorang calon Gubernur yang kebetulan juga Walikota yang (baru) terpilih tahun 2009 yang lalu. Rupanya, sang Walikota ini ingin menaikkan ”derajatnya” jadi Gubernur. Dan ..... anak-anak yang lugu ”menjudge”nya sebagai insan yang rakus. Anak-anak terkadang menyuarakan nurani terdalam, beda dengan kita yang cenderung berdiplomatis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar