Rasanya, membicarakan Tan Malaka, seakan-akan tak pernah kehabisan bahan. Putra Pandan Gadang Suliki ini, terlalu menarik untuk diperbincangkan. Dalam balutan fisik yang sakit-sakitan, ia mampu melahirkan inspirasi intelektual dan pergerakan, sesuatu yang sulit ditemukan pada aktor besar sejarah Indonesia lainnya. Kehidupan yang berpetualang, zigzag lagi misterius serta "terkesan dingin terhadap prestise dan wanita", Tan Malaka menjadi sosok yang paling menarik untuk dibedah, dikupas dan dikiritisi. Sayang, kebesaran kontribusinya bagi arah pembentukan bangsa ini serta pemikirannya yang jauh melintasi zamannya, justru berakhir tragis. Kematian yang "ditangisi" sejarah. Namanya kemudian menjadi "of the record" dan dipinggirkan dalam layar sejarah. Jasa besar-nya justru dikerdilkan, termasuk oleh pemilik rahim-nya, orang Minangkabau sendiri. Dalam konteks inilah, pada hari Rabu tanggal 14 April 2010, komunitas Pecinta Tan Malaka dari Jakarta melakukan persinggahan terakhir Road Show-nya ke beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, tepatnya di IAIN Padang. Diskusi berlangsung sangat "hangat-bergairah" yang dihadiri hampir 800 peserta (mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Kota Padang). Bersama-sama dengan Prof.DR. Zulhasri Nasir dan Devy SP. (Sutradara dari IKJ), dilakukan diskusi dan pemutaran film "Selopanggung", sebuah nama yang diasumsikan para Tan Malaikaist (Harry Poetze, Rudolf Mrazek, Herly Javis maupun Ted Sprague) sebagai tempat singgah "terakhir" Tan Malaka di dunia fana ini, ia di eksekusi oleh instrumen negara yang ia perjuangakan dengan peluh, keringat dan badan ringkih. Tragis !!
Dalam kegiatan ini, Prof. DR. Zulhasri Nasir (Guru Besar Universitas Indonesia, Pengarang Buku : "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau) bersama dengan Prof. DR. Mestika Zed (Guru Besar-Sejarawan UNP) dan Muhammad Ilham (Dosen Sejarah IAIN Padang) serta Muhammad Nasir (PK. Magistra) bertindak sebagai pembicara-narasumber. Dalam paparan, Muhammad Ilham menekankan bahwa Tan Malaka adalah Pahlawan Off the Record, "orang besar" yang dikecilkan dan dipinggirkan karena pilihan "takdir" ideologi. Sejarah adalah milik pemenang yang berarti mereka juga punya peran sebagai penguasa. Ceritanya bisa dikarang, dilegitimasi, dan diajarkan di sekolah-sekolah sesuai keinginan para pemenang yang serakah ini. Dan dalam kenyataannya sejarah manipulatif lahir, karena tidak ada kesadaran kritis dari masyarakatnya. Dalam konteks inilah kita menyadari bahwa sejarah “kiri” adalah sejarah yang dilupakan. Sejarah “kiri” adalah cerita kecil yang tak dirangkai bersama-sama dengan cerita besar yang dominan, sehingga sejarah kita bukanlah sejarah yang utuh. Cerita besar yang dominan hanya berisikan ketakutan, kekejaman, kebusukan orang “kiri”. Orang “kiri” memang telah dicap sebagai “pemberontak”. Pemberontakan itu tak dimaknai sesuai dengan kapasitas definitifnya. Perlawanan PKI pada pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1926 tidak dimaknai sebagai upaya mengusir kolonialisme. Sebagai tokoh kiri, pemikiran Tan Malaka pasca-reformasi mulai bercahaya di tengah masyarakat hedonis-kapitalis kontemporer. Pemikirannya memberikan ingatan sosial, bahwa Indonesia dulu memiliki tokoh besar yang tak kalah hebatnya dengan filsof, ilmuwan, dan teknokrat barat. Tak hanya sebagai aktivis pergerakan, ahli perang, penguasa bahasa. Gagasan besar lahir dari pikiran-pikiran Tan, membuka optimisme sebagai intelektual besar yang berasal dari “warga Indonesia”.
Sebagai seorang intelektual, Tan Malakal-ah yang menginspirasi berdirinya Negara “Republik Indonesia’. Rumusan naskah akademik Naar de 'Republiek Indonesia' (1925) yang muncul dari gejolak pemikiran sang intelektual yang memimpikan kemerdekaan Indonesia ―negeri tempat ia dilahirkan dan dibesarkan―yang seutuhnya. Buku yang lahir sebagai reaksi kapitalisme Indonesia yang saat itu dipengaruhi oleh kapitalisme kolonial Belanda, mendorong adanya pembangunan bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi, dalam pemikiran Tan Malaka harus lebih dikedepankan ketimbang politik. Kemandirian ekonomi merupakan modal utama yang mendesak untuk mensejahterakan masyarakat. Ekonomi harus dibangun melalui memperbanyak koperasi, menasionalisasi perusahaan, bank, pabrik, berikut pemberdayaan potensi tenaga kerja. Setelah ekonomi membaik, keluar dari krisis, politik dengan sendirinya akan berkembang. Tumbuh kembangnya perkumpulan, serikat, komunitas, dan terimplementasinya hak sosial, ekonomi, dan politik. Tan Malaka memiliki mimpi. Dalam mimpi Republik Tan, proyek emansipasi pendidikan masyarakat Indonesia juga menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan. Situasi kolonial membuat hanya beberapa gelintir saja warga Indonesia yang mampu membaca dan menulis. Kebodohan hanya akan memperkuat kedudukan imperialisme Belanda untuk mengeksploitasi sumber daya nasional.
Dalam konteks pendidikan inilah, Tan tampil sebagai sosok yang tak hanya menyarankan, melainkan telah mencontohkannya. Kerja keras dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, membuatnya haus belajar. Dalam kondisi pengejaran, Tan tetap membaca dan menulis. Bahkan dalam penangkapannya, Tan melahirkan buku “Dari Penjara ke Penjara”. Republik dalam benak Tan haruslah menginisiasi kesesuaian konsep negara dengan susunan sosial ekonominya. Republik itu tak hanya Negara yang dipimpin oleh warganya sendiri―bukan dipimpin oleh penjajah, melainkan berdiri kokoh secara defensif untuk melindungi segenap masyarakatnya. Indonesia dengan keragaman kebudayaan dan lautan yang memisahkan berbagai pulau, dalam pandangan Tan hanya dapat dipersatukan dalam konsep Republik Indonesia Merdeka. Kondisi inilah yang membuat pluralisme Indonesia sangat rentan terkena terpaan politik devide et empera Belanda. Sebab itulah Republik yang mempersatukan berbagai keragaman ini harus terbangun kokoh di tanah Indonesia. Dengan republik impian Tan inilah, ilmu pengetahuan tidak ditimbun oleh negara-negara penjajah, melainkan dapat dipergunakan oleh kemakmuran bangsa. Republik Indonesia itu mencerminkan terlaksananya tranformasi pendidikan, kebersatuan dari keberagaman masyarakat, dan pelaksanaan cita bangsa. Kecintaan Tan Malaka pada ilmu pengetahuan terbukti dalam magnum opusnya “Madilog”, dimana ia menjelaskan posisi “cara berpikir” ilmiah dan filosofis. Dengan memanfaatkan perkembangan tekno-sains untuk menjawab persoalan ontologism dan epistemik.
Sementara itu, pembicara yang lain - Muhammad Nasir yang dikenal sebagai aktifis Magistra mengatakan bahwa popularitas bukanlah tujuan utama dari asesmen yang dilakukan di atas. Tetapi melalui upaya tersebut diharapkan gambaran singkat tentang profil pahlawan asal Minangkabau atau Sumatera Barat di mata “kaumnya” sendiri. Apalagi Pasca Orde Baru dan menggebu-gebunya semangat otonomi daerah, Sumatera Barat tidak ketinggalan mengacungkan beberapa nama yang dianggap pantas menjadi “Pahlawan Nasional”. Misalnya, setelah kisah sukses mengajukan Muhammad Natsir agar di-SK-kan sebagai pahlawan nasional, selanjutnya Sumatera Barat juga memperjuangkan HAMKA, Roehana Kuddus, Sutan Alam Bagagarsyah dan yang lainnya sebagai pahlawan nasional. Perjuangan mempahlawankan orang besar asal Minangkabau bukanlah sebuah kesalahan. Justru merupakan langkah maju untuk memperbaiki historiografi nasional Indonesia, mengapresiasi gerakan lokal dalam perjuangan kemerdekaan dan untuk kebenaran sejarah itu sendiri. Tetapi di samping itu patut juga dipertimbangkan esensi dan dampak yang logis dari mempahlawankan seseorang. Kepahlawanan merupakan penggalan cerita sukses perjuangan. Ada banyak manfaat yang akan diperoleh dari pahlawan, di antaranya ide-ide besar, semangat perjuangan dan patriotisme, pesan-pesan perjuangan dan bengkalai kerja yang mesti dilanjutkan. Kepahlawanan Tan Malaka meniscayakan kerja besar etnis Minangkabau untuk masa mendatang. Tak terbayangkan jika generasi sekarang hanya bisa mengaku berjasa dengan hanya memperjuangkan seseorang menjadi pahlawan lalu menjajakannya sebagai cerita sukses yang dijual dalam kampanye pilkada tetapi tidak mengambil semangat dan ajaran orang yang dipahlawankan itu, maka bisa-bisa generasi sekarang “ketulahan” istilah pahlawan itu sendiri karena pahlawan telah menjadi “idol” melebihi “hero”. Tak akan maju-maju. Cerita kepahlawanan saat ini sejatinya diupayakan lahir dari tindakan nyata para penyelenggara negara. Pembacaan yang tepat dan tindakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi amburadulnya masa depan negara Indonesia yang justru jauh dari cita-cita “merdeka 100%”-nya Tan Malaka. Suatu yang patut direnungkan dari pernyataan Tan Malaka bahwa rakyat dan kebudayaannya itu merdeka, bahkan negarapun tak boleh menjajahnya.
Kematian Tan Malaka memang masih simpang siur. Menjelang tes DNA Tan Malaka selesai, sementara ini ia boleh dianggap hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya. Selopanggung, tempat yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai kuburan Tan Malaka bolehlah dianggap sebagai tempat di mana tulang belulangnya ditanam. Selain itu tugas berat sedang menanti kita, yaitu mencari kebenaran tentang sebab musabab kematiannya. Tetapi di mana “Maqam” selayaknya bagi Tan Malaka di hati orang Indonesia dan Minangkabau khususnya lebih patut dipikirkan. Perlukah meletakkan seseorang di posisi kanan, kiri, tengah dan sebagainya dalam konteks gerakan kemerdekaan Indonesia? Ada yang menjawab penting dengan alasan agar kita lebih mudah mengenali seorang tokoh melalui kecendrungan politik dan ideologinya. Ada juga yang menganggap tidak penting, karena pemosisian itu justru akan menzalimi dan menenggelamkan ketokohan seseorang.
Agaknya, kedua opini di atas ada benarnya dan bisa diterima. Alasan pertama menjadi penting mengingat peminggiran alasan ini berakibat kaburnya cara pandang generasi yang dibesarkan historigrafi “sekolahan” sehingga hanya dapat mengenali tokoh-tokoh dari kulit luarnya saja. Akhirnya apresiasi terhadap ketokohan seseorang berkurang karena tidak ada cita rasa istimewa yang diperdapat melalui pengetahuannya tentang seorang tokoh. Tentang alasan kedua, agaknya dipengaruhi oleh trauma amburadulnya historiografi nasional –terutama orde baru- yang menghapuskan beberapa tokoh hanya karena berhaluan kiri, ekstrim kanan dan sebagainya. Termasuk Tan Malaka yang sedang dibincang ini. Karena generasi sekarang dibesarkan ingatannya oleh historiografi yang zalim, maka sepantasnya pula ingatan itu diperiksa kembali melalui pembacaan intensif terhadap karya-karya besar Tan Malaka yang untuk saat ini tidak begitu sulit diperoleh. Booming buku Tan Malaka rasanya sudah cukup memadai untuk memeriksa kembali ingatan tersebut. Belum lagi ketersediaan bahan digital di internet. Oleh sebab itu maqam yang paling logis untuk Tan Malaka saat ini adalah di dunia akademis. Karya-karya Tan Malaka dari dahulu hingga sekarang mungkin saja telah diterapkan aktivis pergerakan pemuda sebagai buku “how to” perjuangan. Tetapi sepertinya itu belum cukup, karena dunia akademis kitapun masih alergi menjadikan karya Tan Malaka yang sarat muatan akademis sebagai referensi. Terakhir ini saya telah memeriksa beberapa silabus matakuliah filsafat umum dan filsafat ilmu namun tidak ada buku Tan Malaka di sana, misalnya, Madilog yang beberapa bagiannya merupakan subtopik dari mata kuliah tersebut.
Bak kata kawan saya, Muhammad Nasir "Salo"Setiap orang Minang yang berniat hendak turun di Jalan Tan Malaka akan selalu menyebut “Tan Malaka, Kiri!” ... Ado Tan Malaka?, kata sang sopir. Tan Malaka, kiri! ... Tan Malaka, pinggir! ... Tan Malaka ciek!. Bukan hanya itu, semua pahlawan yang dijadikan nama jalan selalu saja dicap “Kiri” ::::::: dan, di Selopanggung, Tan Malaka putra Pandan Gadang Suliki yang diakui oleh Komintern Internasional sebagai "orang paling berpengaruh di Asia" pada zamannya, dikuburkan, setelah dieksekusi. Selopanggung menjadi saksi bisu, bahwa terkadang sejarah tidak selalu berpihak pada "pahlawan yang sebenarnya".
(Setelah diskusi dan pemutaran film berlangsung, rombongan dari Jakarta beserta perwakilan mahasiswa se-Kota Padang memancangkan Plank Merk Jalan Tan Malaka di samping RRI Padang .......... bukan untuk mengkultuskan, tapi sekedar mengingatkan bahwa "rahim" Minangkabau pernah melahirkan orang besar se-kaliber Tan Malaka)
Dalam kegiatan ini, Prof. DR. Zulhasri Nasir (Guru Besar Universitas Indonesia, Pengarang Buku : "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau) bersama dengan Prof. DR. Mestika Zed (Guru Besar-Sejarawan UNP) dan Muhammad Ilham (Dosen Sejarah IAIN Padang) serta Muhammad Nasir (PK. Magistra) bertindak sebagai pembicara-narasumber. Dalam paparan, Muhammad Ilham menekankan bahwa Tan Malaka adalah Pahlawan Off the Record, "orang besar" yang dikecilkan dan dipinggirkan karena pilihan "takdir" ideologi. Sejarah adalah milik pemenang yang berarti mereka juga punya peran sebagai penguasa. Ceritanya bisa dikarang, dilegitimasi, dan diajarkan di sekolah-sekolah sesuai keinginan para pemenang yang serakah ini. Dan dalam kenyataannya sejarah manipulatif lahir, karena tidak ada kesadaran kritis dari masyarakatnya. Dalam konteks inilah kita menyadari bahwa sejarah “kiri” adalah sejarah yang dilupakan. Sejarah “kiri” adalah cerita kecil yang tak dirangkai bersama-sama dengan cerita besar yang dominan, sehingga sejarah kita bukanlah sejarah yang utuh. Cerita besar yang dominan hanya berisikan ketakutan, kekejaman, kebusukan orang “kiri”. Orang “kiri” memang telah dicap sebagai “pemberontak”. Pemberontakan itu tak dimaknai sesuai dengan kapasitas definitifnya. Perlawanan PKI pada pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1926 tidak dimaknai sebagai upaya mengusir kolonialisme.
Sebagai seorang intelektual, Tan Malakal-ah yang menginspirasi berdirinya Negara “Republik Indonesia’. Rumusan naskah akademik Naar de 'Republiek Indonesia' (1925) yang muncul dari gejolak pemikiran sang intelektual yang memimpikan kemerdekaan Indonesia ―negeri tempat ia dilahirkan dan dibesarkan―yang seutuhnya.
Dalam konteks pendidikan inilah, Tan tampil sebagai sosok yang tak hanya menyarankan, melainkan telah mencontohkannya. Kerja keras dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, membuatnya haus belajar. Dalam kondisi pengejaran, Tan tetap membaca dan menulis. Bahkan dalam penangkapannya, Tan melahirkan buku “Dari Penjara ke Penjara”.
Sementara itu, pembicara yang lain - Muhammad Nasir yang dikenal sebagai aktifis Magistra mengatakan bahwa popularitas bukanlah tujuan utama dari asesmen yang dilakukan di atas. Tetapi melalui upaya tersebut diharapkan gambaran singkat tentang profil pahlawan asal Minangkabau atau Sumatera Barat di mata “kaumnya” sendiri. Apalagi Pasca Orde Baru dan menggebu-gebunya semangat otonomi daerah, Sumatera Barat tidak ketinggalan mengacungkan beberapa nama yang dianggap pantas menjadi “Pahlawan Nasional”. Misalnya, setelah kisah sukses mengajukan Muhammad Natsir agar di-SK-kan sebagai pahlawan nasional, selanjutnya Sumatera Barat juga memperjuangkan HAMKA, Roehana Kuddus, Sutan Alam Bagagarsyah dan yang lainnya sebagai pahlawan nasional. Perjuangan mempahlawankan orang besar asal Minangkabau bukanlah sebuah kesalahan. Justru merupakan langkah maju untuk memperbaiki historiografi nasional Indonesia, mengapresiasi gerakan lokal dalam perjuangan kemerdekaan dan untuk kebenaran sejarah itu sendiri. Tetapi di samping itu patut juga dipertimbangkan esensi dan dampak yang logis dari mempahlawankan seseorang. Kepahlawanan merupakan penggalan cerita sukses perjuangan. Ada banyak manfaat yang akan diperoleh dari pahlawan, di antaranya ide-ide besar, semangat perjuangan dan patriotisme, pesan-pesan perjuangan dan bengkalai kerja yang mesti dilanjutkan. Kepahlawanan Tan Malaka meniscayakan kerja besar etnis Minangkabau untuk masa mendatang. Tak terbayangkan jika generasi sekarang hanya bisa mengaku berjasa dengan hanya memperjuangkan seseorang menjadi pahlawan lalu menjajakannya sebagai cerita sukses yang dijual dalam kampanye pilkada tetapi tidak mengambil semangat dan ajaran orang yang dipahlawankan itu, maka bisa-bisa generasi sekarang “ketulahan” istilah pahlawan itu sendiri karena pahlawan telah menjadi “idol” melebihi “hero”. Tak akan maju-maju. Cerita kepahlawanan saat ini sejatinya diupayakan lahir dari tindakan nyata para penyelenggara negara. Pembacaan yang tepat dan tindakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi amburadulnya masa depan negara Indonesia yang justru jauh dari cita-cita “merdeka 100%”-nya Tan Malaka. Suatu yang patut direnungkan dari pernyataan Tan Malaka bahwa rakyat dan kebudayaannya itu merdeka, bahkan negarapun tak boleh menjajahnya.
Kematian Tan Malaka memang masih simpang siur. Menjelang tes DNA Tan Malaka selesai, sementara ini ia boleh dianggap hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya. Selopanggung, tempat yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai kuburan Tan Malaka bolehlah dianggap sebagai tempat di mana tulang belulangnya ditanam. Selain itu tugas berat sedang menanti kita, yaitu mencari kebenaran tentang sebab musabab kematiannya. Tetapi di mana “Maqam” selayaknya bagi Tan Malaka di hati orang Indonesia dan Minangkabau khususnya lebih patut dipikirkan. Perlukah meletakkan seseorang di posisi kanan, kiri, tengah dan sebagainya dalam konteks gerakan kemerdekaan Indonesia? Ada yang menjawab penting dengan alasan agar kita lebih mudah mengenali seorang tokoh melalui kecendrungan politik dan ideologinya. Ada juga yang menganggap tidak penting, karena pemosisian itu justru akan menzalimi dan menenggelamkan ketokohan seseorang.
Agaknya, kedua opini di atas ada benarnya dan bisa diterima. Alasan pertama menjadi penting mengingat peminggiran alasan ini berakibat kaburnya cara pandang generasi yang dibesarkan historigrafi “sekolahan” sehingga hanya dapat mengenali tokoh-tokoh dari kulit luarnya saja. Akhirnya apresiasi terhadap ketokohan seseorang berkurang karena tidak ada cita rasa istimewa yang diperdapat melalui pengetahuannya tentang seorang tokoh. Tentang alasan kedua, agaknya dipengaruhi oleh trauma amburadulnya historiografi nasional –terutama orde baru- yang menghapuskan beberapa tokoh hanya karena berhaluan kiri, ekstrim kanan dan sebagainya. Termasuk Tan Malaka yang sedang dibincang ini. Karena generasi sekarang dibesarkan ingatannya oleh historiografi yang zalim, maka sepantasnya pula ingatan itu diperiksa kembali melalui pembacaan intensif terhadap karya-karya besar Tan Malaka yang untuk saat ini tidak begitu sulit diperoleh. Booming buku Tan Malaka rasanya sudah cukup memadai untuk memeriksa kembali ingatan tersebut. Belum lagi ketersediaan bahan digital di internet. Oleh sebab itu maqam yang paling logis untuk Tan Malaka saat ini adalah di dunia akademis. Karya-karya Tan Malaka dari dahulu hingga sekarang mungkin saja telah diterapkan aktivis pergerakan pemuda sebagai buku “how to” perjuangan. Tetapi sepertinya itu belum cukup, karena dunia akademis kitapun masih alergi menjadikan karya Tan Malaka yang sarat muatan akademis sebagai referensi. Terakhir ini saya telah memeriksa beberapa silabus matakuliah filsafat umum dan filsafat ilmu namun tidak ada buku Tan Malaka di sana, misalnya, Madilog yang beberapa bagiannya merupakan subtopik dari mata kuliah tersebut.
Bak kata kawan saya, Muhammad Nasir "Salo"Setiap orang Minang yang berniat hendak turun di Jalan Tan Malaka akan selalu menyebut “Tan Malaka, Kiri!” ... Ado Tan Malaka?, kata sang sopir. Tan Malaka, kiri! ... Tan Malaka, pinggir! ... Tan Malaka ciek!. Bukan hanya itu, semua pahlawan yang dijadikan nama jalan selalu saja dicap “Kiri” ::::::: dan, di Selopanggung, Tan Malaka putra Pandan Gadang Suliki yang diakui oleh Komintern Internasional sebagai "orang paling berpengaruh di Asia" pada zamannya, dikuburkan, setelah dieksekusi. Selopanggung menjadi saksi bisu, bahwa terkadang sejarah tidak selalu berpihak pada "pahlawan yang sebenarnya".
(Setelah diskusi dan pemutaran film berlangsung, rombongan dari Jakarta beserta perwakilan mahasiswa se-Kota Padang memancangkan Plank Merk Jalan Tan Malaka di samping RRI Padang .......... bukan untuk mengkultuskan, tapi sekedar mengingatkan bahwa "rahim" Minangkabau pernah melahirkan orang besar se-kaliber Tan Malaka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar