Dalam dunia kepengacaraan (lawyer/advocat), ada pameo yang berbunyi : "jika anda mempunyai perkara hukum di pengadilan serahkan kepada orang Batak, mereka akan sanggup menggorengnya hingga tuntas.” Tak dapat dipungkiri, kehandalan orang Batak dalam dunia peradilan terlebih di bidang kepengacaraan di negeri ini, begitu dominan dan mendapat pengakuan lisan dari etnis manapun di nusantara ini. Setiap ada kasus hukum, mulai dari kasus biasa saja yang melibatkan orang "luar biasa" atau kasus mega-skandal yang melibatkan orang "biasa", pengacara dari etnik Batak akan muncul. Hampir tak ada kasus-kasus hukum di Indonesia yang tidak ditangani oleh pengacara dari negeri Sisingamangaraja ini. Kasus hukum yang "menyerempet" ke ranah politik, mereka "muncul", kasus pembunuhan tingkat tinggi, mereka "datang" melakukan pembelaan. Ketika terjadi kasus hukum yang menyerempet koruptor hingga rakyat kecil, kembali pengacara Batak menghiasi media massa nasional. Bahkan, kasus perceraian, perselingkuhan dan "tetek-bengek" selebritis Indonesia, pengacara-pengacara dari negeri Tapian Nauli ini kembali disebut.
Siapa yang tak kenal dengan Adnan Buyung Nasution - mantan jaksa yang menjadi advokat handal ini sejak kecil sudah kelihatan berbakat aktivis. Pernah menjadi anggota DPR/MPR tapi direcall. Sempat menganggur satu tahun sebelum membuka kantor pengacara (advokat) dan membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi. Disamping si-Abang Adnan Buyung Nasution yang fenomenal ini, "Rahim" Batak juga melahirkan Pengacara besar sekaliber Todung Mulya Lubis yang tampan dan kaya. Bang Todung (begitu ia dipanggil sebagaimana panggilan publik pada "mentornya" Adnan Buyung Nasution), Todung Mulya Lubis bukannya bermain mata dengan artis-artis cantik. Malah membela (Si) Marsinah, buruh wanita yang di mata rezim militeristis Suharto harus mati dan didiamkan. Dia besar karena perjuangannya membela hak-hak asasi manusia dari mereka yang tertindas. Sikap hidup seperti itu membuat Todung menjadi sebuah paradoks. Semestinya dia hidup gemerlap sebagaima kehidupan yang selalu diasosiakan film-film murah atau sinetron. Todung jauh dari gambaran hidup seperti itu. Dia tidak terbawa arus yang melambung dalam kemewahan. Dan, hingga sekarang, Bang Todung dikenal sebagai beberapa pengacara - diantara sedikit - yang dikenal dengan konsistensi dan komitmennya dalam menegakkan hukum dan Hak Asasi Manusia. Di samping dua pengacara "besar" di atas, kita juga mengenal beberapa pengacara "papan atas" yang juga se-daerah dengan bang Buyung dan Todung. Indra Sahnun Lubis yang semarga dengan bang Todung, dikenal sebagai pengacara yang banyak menangani kasus-kasus besar dan menyedot perhatian publik. Terakhir, ia membela Anggoro dan Anggodo yang menjadi "kotak Pandora" kasus hukum Indonesia tahun 2009 lalu. Demikian juga dengan Hotma Sitompul dan Juniver Girsang yang berada di garis depan dalam membela kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Lalu, siapa yang tidak kenal Ruhut Sitompul SH. Pria kelahiran Medan 24 Maret 1954 ini beberapa bulan belakangan ini menyedot perhatian publik, hingga Metro TV selalu memberitakan tingkah polah "Si Poltak Raja Minyak Medan" ini dengan satu scene berita tiap hari, terutama sejak kasus Century-Gate bergulir. Pria berkucir dan eksentrik ini merupakan pengacara kondang sebelum terpilih menjadi wakil rakyat DPR-RI dari Partai Demokrat. Sementara itu, Hotman Paris Hutapea selalu muncul menangani kasus-kasus yang "menyerempet" ranah selebritis-entertainment. Kasus yang cukup fenomenal dan melambungkan namanya ketika pengacara berbadan besar menangani kasus "Bollywood" Manohara. Beberapa nama pengacara di atas yang berasal dari etnik Batak, mungkin hanya sebagian kecil dari dominasi orang Batak di dunia advokat. Sebutlah beberapa nama lain di antaranya seperti Otto Hasibuan yang merupakan ketua salah satu organisasi kepengacaraan terkenal di Indonesia, ada Junimart Girsang dan Yan Apul H. Girsang (Yan Apul dikenal sebagai pengacara terkenal di era 80-an dan 90-an) dan termasuk pengacara yang belakangan ini sangat disorot publik karena diduga sebagai dalang rekayasa dalam kasus Gayus-Gate, Haposan Hutagalung. Beberapa nama pengacara lainnya yang berasal dari etnik Batak sangat mudah diingat karena selalu mencantumkan nama marga di belakang nama awal mereka.
Bagaimanapun juga, dunia advokat identik dengan orang Batak. Benar tidaknya ungkapan ini berpulang pada penilaian masing-masing, namun fakta menunjukkan hegemoni pengacara Batak di pengadilan nasional begitu kental sulit dibantah. Tak heran bila para pengacara Batak mendapat julukan Pendekar Pencak Kata. Profesi pengacara memang banyak jadi pilihan hidup orang Batak, di perantauan. Namun untuk meraih popularitas nama besar seorang pengacara tidaklah segampang membalikkan tangan. Selain harus mahir menguasai ilmu hukum juga ditentukan banyak factor seperti ketekunan dan kesabaran. Kepiawaian beracara dan memenangkan kasus-kasus pelik menjadi salah satu penentu melambungnya seorang pengacara. Selain kasus-kasus pelik, eksistensi kantor pengacara yang strategis juga menjadi indicator lain dalam mendongkrak nama ketika harus memberikan bantuan hukum maksimal atas kasus perkaranya. Dan biasanya, pengacara Batak meraih popularitas setelah memiliki kantor sendiri dan sering muncul di pemberitaan media. Kalau ditanya kaitan pengacara dengan Batak, umumnya orang-orang mudah sekali mengaitkan keduanya. Jawabnya antara lain, pengacara banyak orang Batak. Orang Batak cocok jadi pengacara. Dalam konteks ilmu antropologi, bisa ditarik sedikit benang merah, rupa-rupanya advokat punya sedikit akar dalam kultur Batak. Tetapi yang paling penting, barangkali, budaya Batak yang egaliter membuka peluang untuk kebiasaan mengemukakan pandangan, mempertahankannya, bila mungkin bersilat lidah. Dalam budaya yang sentralistik hal ini tidak terlalu terbuka. Raja (sultan) bicara, habis perkara. Sebutan ‘raja’ dalam budaya Batak tidak dimaksudkan untuk menunjuk pada sesuatu kekuasaan yang penuh dan tunggal. Di setiap desa ada raja yang harus berhubungan dengan desa lain dalam kedudukan setara. Raja tidak boleh mengambil keputusan penting sendirian saja.
Setelah orang Batak migrasi keluar tanah Batak, khususnya ke pulau Jawa maka terbuka peluang untuk sekolah ke jenjang paling tinggi. Cita-cita orangtua Batak adalah agar anaknya bisa menjadi pegawai pemerintah (ambtenaar), guru atau menjadi pendeta. Ini sudah luarbiasa kalau tercapai. Karena kelihatan keren. Hanya segelintir yang mampu masuk sekolah tinggi, antara lain militer dan teknik di Bandung. Sekolah hukum hanya ada di Batavia (Rechtshoogeschool). Orang Batak pertama yang menggondol gelar sarjana hukum antara lain, Mr.Todung Sutan Gunung Mulia Harahap (namanya diabadikan jadi Penerbit dan Toko buku Kristen Gunung Mulia) dan Mr. Amir Syarifuddin Harahap (pernah menjadi Perdana Menteri). Keduanya tidak berprofesi advokat. Sebenarnya fakta menunjukkan tidak terlalu banyak orang Batak berprofesi sebagai pengacara kalau dari persentase. Tetapi suaranya yang vokal diberbagai kesempatan dan media membuatnya lebih kelihatan. Nampaknya pengacara Batak memiliki potensi ini. Dan ..... entitas Batak dalam dunia kepengacaraan merupakan suatu fenomena yang unik sekaligus (harus) menimbulkan rasa iri etnik lainnya.
:::::: (terinspirasi dari SMS seorang kawan yang berbunyi : "Three Musketers Kasus Markus Pajak - Gayus TAMBUNAN, Haposan HUTAGALUNG dan Cirus SINAGA. Ilham, mereka merusak kebanggaanku sebagai orang Batak"). Belimbing Padang, 8 April 2010 pukul 23.10 WIB.
Siapa yang tak kenal dengan Adnan Buyung Nasution - mantan jaksa yang menjadi advokat handal ini sejak kecil sudah kelihatan berbakat aktivis. Pernah menjadi anggota DPR/MPR tapi direcall. Sempat menganggur satu tahun sebelum membuka kantor pengacara (advokat) dan membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi. Disamping si-Abang Adnan Buyung Nasution yang fenomenal ini, "Rahim" Batak juga melahirkan Pengacara besar sekaliber Todung Mulya Lubis yang tampan dan kaya. Bang Todung (begitu ia dipanggil sebagaimana panggilan publik pada "mentornya" Adnan Buyung Nasution), Todung Mulya Lubis bukannya bermain mata dengan artis-artis cantik. Malah membela (Si) Marsinah, buruh wanita yang di mata rezim militeristis Suharto harus mati dan didiamkan. Dia besar karena perjuangannya membela hak-hak asasi manusia dari mereka yang tertindas. Sikap hidup seperti itu membuat Todung menjadi sebuah paradoks. Semestinya dia hidup gemerlap sebagaima kehidupan yang selalu diasosiakan film-film murah atau sinetron. Todung jauh dari gambaran hidup seperti itu. Dia tidak terbawa arus yang melambung dalam kemewahan. Dan, hingga sekarang, Bang Todung dikenal sebagai beberapa pengacara - diantara sedikit - yang dikenal dengan konsistensi dan komitmennya dalam menegakkan hukum dan Hak Asasi Manusia. Di samping dua pengacara "besar" di atas, kita juga mengenal beberapa pengacara "papan atas" yang juga se-daerah dengan bang Buyung dan Todung. Indra Sahnun Lubis yang semarga dengan bang Todung, dikenal sebagai pengacara yang banyak menangani kasus-kasus besar dan menyedot perhatian publik. Terakhir, ia membela Anggoro dan Anggodo yang menjadi "kotak Pandora" kasus hukum Indonesia tahun 2009 lalu. Demikian juga dengan Hotma Sitompul dan Juniver Girsang yang berada di garis depan dalam membela kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Lalu, siapa yang tidak kenal Ruhut Sitompul SH. Pria kelahiran Medan 24 Maret 1954 ini beberapa bulan belakangan ini menyedot perhatian publik, hingga Metro TV selalu memberitakan tingkah polah "Si Poltak Raja Minyak Medan" ini dengan satu scene berita tiap hari, terutama sejak kasus Century-Gate bergulir. Pria berkucir dan eksentrik ini merupakan pengacara kondang sebelum terpilih menjadi wakil rakyat DPR-RI dari Partai Demokrat. Sementara itu, Hotman Paris Hutapea selalu muncul menangani kasus-kasus yang "menyerempet" ranah selebritis-entertainment. Kasus yang cukup fenomenal dan melambungkan namanya ketika pengacara berbadan besar menangani kasus "Bollywood" Manohara. Beberapa nama pengacara di atas yang berasal dari etnik Batak, mungkin hanya sebagian kecil dari dominasi orang Batak di dunia advokat. Sebutlah beberapa nama lain di antaranya seperti Otto Hasibuan yang merupakan ketua salah satu organisasi kepengacaraan terkenal di Indonesia, ada Junimart Girsang dan Yan Apul H. Girsang (Yan Apul dikenal sebagai pengacara terkenal di era 80-an dan 90-an) dan termasuk pengacara yang belakangan ini sangat disorot publik karena diduga sebagai dalang rekayasa dalam kasus Gayus-Gate, Haposan Hutagalung. Beberapa nama pengacara lainnya yang berasal dari etnik Batak sangat mudah diingat karena selalu mencantumkan nama marga di belakang nama awal mereka.
Bagaimanapun juga, dunia advokat identik dengan orang Batak. Benar tidaknya ungkapan ini berpulang pada penilaian masing-masing, namun fakta menunjukkan hegemoni pengacara Batak di pengadilan nasional begitu kental sulit dibantah. Tak heran bila para pengacara Batak mendapat julukan Pendekar Pencak Kata. Profesi pengacara memang banyak jadi pilihan hidup orang Batak, di perantauan. Namun untuk meraih popularitas nama besar seorang pengacara tidaklah segampang membalikkan tangan. Selain harus mahir menguasai ilmu hukum juga ditentukan banyak factor seperti ketekunan dan kesabaran. Kepiawaian beracara dan memenangkan kasus-kasus pelik menjadi salah satu penentu melambungnya seorang pengacara. Selain kasus-kasus pelik, eksistensi kantor pengacara yang strategis juga menjadi indicator lain dalam mendongkrak nama ketika harus memberikan bantuan hukum maksimal atas kasus perkaranya. Dan biasanya, pengacara Batak meraih popularitas setelah memiliki kantor sendiri dan sering muncul di pemberitaan media. Kalau ditanya kaitan pengacara dengan Batak, umumnya orang-orang mudah sekali mengaitkan keduanya. Jawabnya antara lain, pengacara banyak orang Batak. Orang Batak cocok jadi pengacara. Dalam konteks ilmu antropologi, bisa ditarik sedikit benang merah, rupa-rupanya advokat punya sedikit akar dalam kultur Batak. Tetapi yang paling penting, barangkali, budaya Batak yang egaliter membuka peluang untuk kebiasaan mengemukakan pandangan, mempertahankannya, bila mungkin bersilat lidah. Dalam budaya yang sentralistik hal ini tidak terlalu terbuka. Raja (sultan) bicara, habis perkara. Sebutan ‘raja’ dalam budaya Batak tidak dimaksudkan untuk menunjuk pada sesuatu kekuasaan yang penuh dan tunggal. Di setiap desa ada raja yang harus berhubungan dengan desa lain dalam kedudukan setara. Raja tidak boleh mengambil keputusan penting sendirian saja.
Setelah orang Batak migrasi keluar tanah Batak, khususnya ke pulau Jawa maka terbuka peluang untuk sekolah ke jenjang paling tinggi. Cita-cita orangtua Batak adalah agar anaknya bisa menjadi pegawai pemerintah (ambtenaar), guru atau menjadi pendeta. Ini sudah luarbiasa kalau tercapai. Karena kelihatan keren. Hanya segelintir yang mampu masuk sekolah tinggi, antara lain militer dan teknik di Bandung. Sekolah hukum hanya ada di Batavia (Rechtshoogeschool). Orang Batak pertama yang menggondol gelar sarjana hukum antara lain, Mr.Todung Sutan Gunung Mulia Harahap (namanya diabadikan jadi Penerbit dan Toko buku Kristen Gunung Mulia) dan Mr. Amir Syarifuddin Harahap (pernah menjadi Perdana Menteri). Keduanya tidak berprofesi advokat.
:::::: (terinspirasi dari SMS seorang kawan yang berbunyi : "Three Musketers Kasus Markus Pajak - Gayus TAMBUNAN, Haposan HUTAGALUNG dan Cirus SINAGA. Ilham, mereka merusak kebanggaanku sebagai orang Batak"). Belimbing Padang, 8 April 2010 pukul 23.10 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar