Zaman renaisans, yang diperiodesasikan oleh sejarawan dari abad ke 14 - 16 Masehi, merupakan salah satu titik diantara titik-titik pada garis kontinum sejarah peradaban dunia (terutama sejarah peradaban Eropa/Barat). Zaman yang dianggap sebagai abad keemasan (Golden Age) ini merupakan fase transisi yang menjembatani zaman kegelapan (Dark Ages) dengan zaman pencerahan (Aufklarung/Enlightenment Age). Kelahiran zaman renaisan, disamping karena perkembangan kapitalisme dan merkatilisme, faktor yang menstimuli kelahiran zaman ini adalah faktor adanya konflik yang cukup serius antara agama dengan ilmu pengetahuan. Kaum cendekiawan, filosof dan ilmuan secara bersama-sama melawan dogma-dogma dari gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran mutlak. Dalam konteks filsafat sejarah, daerah-daerah atau era yang "menyimpan" dinamika perdebatan intelektual yang konstan biasanya memiliki potensi untuk melahirkan generasi-generasi atau zaman terbaik. Beberapa daerah di Indonesia, misalnya, pada masa kolonial Belanda tercatat sebagai daerah-daerah yang "hidup" suasana intelektualnya dan "out-put" daerah tersebut memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah sejarah Indonesia. Dan biasanya daerah-daerah itu menjadi pusat pendidikan dan pusaran konflik pemikiran agama. Maka dalam sejarah Indonesia kemudian dikenallah beberapa daerah yang memiliki dinamika pemikiran intelektual yang dinamis dalam zamannya seperti Aceh, Batak dan Minangkabau di pulau Sumatera. Kemudian Menado untuk pulau Sulawesi. Daerah-daerah ini, pada zamannya, sangat intens terjadi perdebatan-perdebatan keagamaan dan kultural sehingga caerah-daerah ini (selain pulau Jawa) dicatat sebagai daerah yang "menghidupkan" perkembangan sejarah intelektual nusantara pada masa Kolonial Belanda.
Kembali ke renaisan, dengan pendekatan rasionalisme-empiris, mereka menggoyang dominasi dan hegemoni gereja yang selama ini sulit dikritisi bahkan cenderung tak terbantahkan. Persoalan besar kemudian muncul karena dalam menangani konflik antara ilmu dengan agama ini, gereja menggunakan kekerasan dan pendekatan represif. Pemikiran-pemikiran ilmiah yang berlawanan dengan doktrin (dalam hal ini : interprestasi kalangan agamawan) agama dan Al-Kitab, oleh gereja (Paus, Kardinal dan Uskup), dibasmi dengan cara membakar karya-karya keilmuan tersebut dan kemudian menyiksa bahkan membunuh (dengan metode : dibakar atau disalib) para ilmuan. Institusi gereja menggunakan lembaga pengadilan inkuisisi dan menjadikannya sebagai lembaga legitimate untuk menghadapi para kaum cendekiawan dan ilmuan tersebut. Institusi ini juga digunakan sebagai kekuatan represif dan akibatnya banyak ilmuan-ilmuan seumpama Galileo Galilei (1564-1642), Niccolas Coppernicus (1473-1543), Giularmo Sarvanolla, Giordarno Filippo Bruno (1548-1600), Johannes Keppler (1571-1630) dan lain-lain menjadi korban kekerasan inkuisisi ini. Sebagian dari mereka dibakar hidup-hidup atau disiksa sampai mati. Kematian Sarvanolla menjadi kisah yang paling monumental dan paling tragis akibat kesewenangan pejabat gereja. Sarvanolla merupakan biarawan sekte Dominikan. Tahun 1494, ia memproklamirkan perlawanannya terhadap kehidupan duniawi para Paus dan Kardinal. Disamping adanya kesewenang-wenangan para Paus dan Kardinal dalam mengkooptasi dan memonopoli secara sepihak interpretasi Al-Kitab, Sarvanolla juga muak melihat praktek keduniawian Paus dan Kardinal yang bertolak belakang dari sebagaimana fungsi dan peran mereka. Paus tidak segan-segan melakukan praktek kolusi dan korupsi dalam mengangkat pejabat gereja seperti yang dilakukan olkeh Paus Sixtus IV. Sementara itu, Paus Innocentius VIII tanpa malu-malu mengumumkan bahwa ia memiliki beberapa anak haram. Sementara, Paus Leo X suka dengan hal-hal yang megah dan menjual jabatan di gereja untuk memperbesar kekayaan. Sarvanolla kemudian menganjurkan agar kota Firenze menjadi kota suci supaya menjadi panutan kota-kota lainnya. Ia juga mencela Lorenzo di-Medici (penguasa Firenze) sebagai tiran "bertangan besi". Setelah di-Medici dijatuhkan melalui perlawanan rakyat, maka publik Firenze meminta Sarvanolla memerintah Firenze. Sarvanolla kemudian mengatur Firenze dari biara. Namun ini tak berlangsung lama. Beberapa lawan "politik"nya (tentunya dibackup gereja) berusaha menggalang kekuatan untuk menundukkan Sarvanolla. Akhirnya, khotbah-khotbahnya yang berisikan kecaman terhadap Paus, menyebabkan ia kemudian ditangkap. Ia dibakar di tiang gantungan. Para muridnya banyak yang menangis ketika Sarvanolla dibakar, sehingga kemudian, sejarah mencatat bahwa para murid-muridnya tersebut dipanggil dengan sebutan populer pada waktu itu, Piagnoni atau para penangis.
Tetapi perlawanan mereka terhadap dogma gereja menimbulkan implikasi yang cukup serius. Agama dan institusi yang mendukungnya semakin jauh dari filsafat dan ilmu pengetahuan serta para cendekiawan. Tragisnya perlawanan kaum cendekiawan dan ilmu pengetahuan di abad renaisan tersebut kemudian diwarisi oleh para ilmuan yang datang belakangan, diantaranya Charles Darwin (1809-1882), Karl Marx (1818-1883), yang dikenal sebagai pelopor utama gagasan sosialisme ilmiah yang tertuang dalam berbagai buku-bukunya seperti Das Capital dan Manifesto Communist, Bennedict Baruch Spinoza (1632-1677), Jean Jacques Rosseau (1712-1778) yang dianggap sebagai "perintis" jalan ke arah tercapainya Revolusi Perancis, Immanuel Kant (1724-1804), Voltaire (1694-1778) yang dikenal memiliki nama asli Francois Marie-Arouet dan dianggap sebagai "biang"nya Revolusi Perancis, Sigmund Freud "sang perintis" teori psikoanalisa (1856-1939) dan Rene Descartes (1591-1650). Maka tidaklah mengejutkan apabila konstruksi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan yang mereka bangun dan kembangkan, pada umumnya sangat bertolak belakang dengan doktrin-doktrin gereja abad pertengahan, bahkan konstruksi-konstruksi teori tersebut menafikan peranan agama. Sebagai contoh, teori evolusionisme Charles Darwin "menggugat" doktrin kreasionisme yang diajarkan oleh gereja.
Pada abad yang sama, dibelahan lain, tepatnya di dunia Islam terjadi pula perkembangan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Islam mencapai puncak kejayaan, sehingga pada masa ini, peradaban Islam dijadikan sebagai reference culture dan parameter bagi peradaban-peradaban lain. Teori-teori pengetahuan empiris dan filsafat Ibnu Khaldun, Ibnu Sina (Avessena) dan Ibnu Rusyd (Averoust) berkembang pesat dan menimbulkan berbagai kontroversi serta polemik yang berketerusan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd memang menimbulkan konflik dan pertentangan yang keras dari kalangan konservatif, khususnya kalangan Ahlussunnah yang bermazhab Imam Hambali. Tetapi penolakan tersebut relatif berlangsung secara beradab dan lebih manusiawi. Inilah yang membedakannya dengan apa yang terjadi di dunia barat-Kristen. Kekerasan penguasa Islam terhadap kaum cendekiawan atau ulama bukan berarti tidak ada, misalnya kasus al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar - tetapi dalam intensitas yang relatif kecil dibandingkan dengan kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh inkuisisi gereja terhadap kaum cendekiawan. Kekerasan dan kezaliman yang "bersumbu" pada gereja selama berabad-abad telah menanamkan benih-benih perlawanan serta akumulasi kebencian. Benih perlawanan dan akumulasi kebencian tersebut bukan hanya benih perlawanan yang sepihak atau satu kelompok saja, akan tetapi sudah mengarah kepada perlawanan kolektif. Perlawanan kolektif ini merupakan perlawanan yang dipelopori oleh kalangan cendekiawan dan filosof. Mereka menuntut adanya kebebasan dalam berfikir dan berkarya, menuntut digantinya pendekatan dogmatisme agama dengan pendekatan rasionalisme. Kultus dan mitologisasi kemudian diganti dengan de-mitologisasi dan sekularisme. Bahkan konsep-konsep kunci dan sakral dalam agama dikritisi bahkan dikeragui oleh para filosof. Keabsahan ajaran dan iman Kristiani bahkan dianggap bukan satu-satunya iman yang wajib diyakini. Kontak dan interaksi dengan "out-siders, terutama dengan peradaban Islam dan perjalanan yang dilakukan ke berbagai belahan dunia seperti penemuan benua Amerika dan perjalanan dagang ke Asia, menyebabkan orang Eropa (baca: dunia Barat) banyak mengenal bahwa ada iman dan agama lain yang - menurut mereka - lebih rasional dibandingkan dengan iman Kristiani. Legitimasi kekuasaan Tuhan digantikan dengan legitimasi kekuasaan rakyat.
(Artikel ini telah dipublikasikan dalam Koran Singgalang bulan Februari 2006 dan juga merupakan bagian dari buku Muhammad Ilham, Titik Balik Peradaban Eropa, 2005)
Tetapi perlawanan mereka terhadap dogma gereja menimbulkan implikasi yang cukup serius. Agama dan institusi yang mendukungnya semakin jauh dari filsafat dan ilmu pengetahuan serta para cendekiawan. Tragisnya perlawanan kaum cendekiawan dan ilmu pengetahuan di abad renaisan tersebut kemudian diwarisi oleh para ilmuan yang datang belakangan, diantaranya Charles Darwin (1809-1882), Karl Marx (1818-1883), yang dikenal sebagai pelopor utama gagasan sosialisme ilmiah yang tertuang dalam berbagai buku-bukunya seperti Das Capital dan Manifesto Communist, Bennedict Baruch Spinoza (1632-1677), Jean Jacques Rosseau (1712-1778) yang dianggap sebagai "perintis" jalan ke arah tercapainya Revolusi Perancis, Immanuel Kant (1724-1804), Voltaire (1694-1778) yang dikenal memiliki nama asli Francois Marie-Arouet dan dianggap sebagai "biang"nya Revolusi Perancis, Sigmund Freud "sang perintis" teori psikoanalisa (1856-1939) dan Rene Descartes (1591-1650). Maka tidaklah mengejutkan apabila konstruksi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan yang mereka bangun dan kembangkan, pada umumnya sangat bertolak belakang dengan doktrin-doktrin gereja abad pertengahan, bahkan konstruksi-konstruksi teori tersebut menafikan peranan agama. Sebagai contoh, teori evolusionisme Charles Darwin "menggugat" doktrin kreasionisme yang diajarkan oleh gereja.
Pada abad yang sama, dibelahan lain, tepatnya di dunia Islam terjadi pula perkembangan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Islam mencapai puncak kejayaan, sehingga pada masa ini, peradaban Islam dijadikan sebagai reference culture dan parameter bagi peradaban-peradaban lain. Teori-teori pengetahuan empiris dan filsafat Ibnu Khaldun, Ibnu Sina (Avessena) dan Ibnu Rusyd (Averoust) berkembang pesat dan menimbulkan berbagai kontroversi serta polemik yang berketerusan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd memang menimbulkan konflik dan pertentangan yang keras dari kalangan konservatif, khususnya kalangan Ahlussunnah yang bermazhab Imam Hambali. Tetapi penolakan tersebut relatif berlangsung secara beradab dan lebih manusiawi. Inilah yang membedakannya dengan apa yang terjadi di dunia barat-Kristen. Kekerasan penguasa Islam terhadap kaum cendekiawan atau ulama bukan berarti tidak ada, misalnya kasus al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar - tetapi dalam intensitas yang relatif kecil dibandingkan dengan kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh inkuisisi gereja terhadap kaum cendekiawan. Kekerasan dan kezaliman yang "bersumbu" pada gereja selama berabad-abad telah menanamkan benih-benih perlawanan serta akumulasi kebencian. Benih perlawanan dan akumulasi kebencian tersebut bukan hanya benih perlawanan yang sepihak atau satu kelompok saja, akan tetapi sudah mengarah kepada perlawanan kolektif. Perlawanan kolektif ini merupakan perlawanan yang dipelopori oleh kalangan cendekiawan dan filosof. Mereka menuntut adanya kebebasan dalam berfikir dan berkarya, menuntut digantinya pendekatan dogmatisme agama dengan pendekatan rasionalisme. Kultus dan mitologisasi kemudian diganti dengan de-mitologisasi dan sekularisme. Bahkan konsep-konsep kunci dan sakral dalam agama dikritisi bahkan dikeragui oleh para filosof. Keabsahan ajaran dan iman Kristiani bahkan dianggap bukan satu-satunya iman yang wajib diyakini. Kontak dan interaksi dengan "out-siders, terutama dengan peradaban Islam dan perjalanan yang dilakukan ke berbagai belahan dunia seperti penemuan benua Amerika dan perjalanan dagang ke Asia, menyebabkan orang Eropa (baca: dunia Barat) banyak mengenal bahwa ada iman dan agama lain yang - menurut mereka - lebih rasional dibandingkan dengan iman Kristiani. Legitimasi kekuasaan Tuhan digantikan dengan legitimasi kekuasaan rakyat.
(Artikel ini telah dipublikasikan dalam Koran Singgalang bulan Februari 2006 dan juga merupakan bagian dari buku Muhammad Ilham, Titik Balik Peradaban Eropa, 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar