Mencermati Konflik Sosial di RAKHINE-Rohingya Myanmar dan SURIAH, saya teringat dengan Moammar Qaddafi (@ Khaddafi). Terlepas dari "sisi jeleknya", ada satu benang merah untuk melihat posisi politik internasionalnya - solusi Pan-Arabisme dan solidaritas muslim-nya yang amat kentara.
Moammer Qaddafi, tak lebih tak kurang adalah pribadi yang responsive dan spontan. Ia beda dengan Anwar Sadat ataupun Husni Mubarak, apatah lagi bila disandingkan dengan Hafeez al-Assad yang kala hidupnya termasuk tokoh paling berpengaruh di Timur Tengah. Qaddafi memiliki “dunianya” sendiri yang terkadang kontradiktif. Merindukan Arab yang bersatu di satu sisi, pada sisi lain dengan mudahnya ia melecehkan para Sultan-Sultan konservatif Timur Tengah. Qaddafi yang menyedot kekaguman saya untuk kali pertama lewat cover majalah TEMPO milik ayah saya di tahun 1980-an ini, mengklaim dirinya sebagai “anak ideologis” Nasser. Saya masih ingat sebuah penggalan wawancara wartawan TEMPO (pasca peristiwa peledakan pesawat terbang Pan Am di Lockerby) dengan Qaddafi. “Ketika saya berhasil menurunkan Raja Idris, bertanyalah Raja Hassan dari Maroko pada saya, apakah saya anak sosialis Partai Baath?”, kata Qaddafi. Lalu saya jawanb, “Tidak, saya adalah anak revolusi Nasser”. Qaddafi mungkin bukan pribadi yang kompleks seumpama Nasser. Kontradiktif, memang. Boleh dikatakan, Qaddafi merupakan pribadi puritan dalam dunia yang kompleks. Baginya, selain Islam, tidak ada alternative lain. Dan ini ia tuangkan dalam buku ideologisnya yang terkenal,Buku Hijau, sebuah buku “mirip” Das Kapital bagi kaum Marxis. Baginya memilih diantara dua “kutub ideology besar” – Amerika Serikat arau Rusia/Uni Sovyet – bukanlah pilihan cerdas. “Satu imperialis, satu lagi atheis”, sebuah ungkapannya yang terkenal seperti “Tak Barat, Tak Timur”nya Ayatullah Ruhullah Khomeini.
Kala ia menggugat Nasser memilih Rusia/Uni Sovyet sebagai “teman berdayung” menghadapi Israel yang tentunya dibawah bayang-bayang Amerika Serikat, Nasser kelabakan menjelaskan hubungan-hubungan politik-regional yang tidak hitam putih ini kepada Qaddafi. Puritanisme Qaddafi ini lebih merupakan refleksi dari kesederhanaan anak padang pasir pedalaman. Wartawan TEMPO era 1980-an – Parakitri (kalau saya tak salah) – menganggap Qaddafi menemukan dirinya sendiri dalam dinas ketentaraan. Ia mencintai dunia ini karena satu factor : kedisplinan. Tapi nalurinya tetap kebebasan a-la badui Padang Pasir. Tidaklah mengherankan bila ia responsive dan spontan. Ia pernah marah besar pada Raja Yordania – Hussein – yang mengobrak abrik kelompok Fedayyin, “Raja sinting itu harus diborgol dan dibuang ke luar Arab”. Dengan santai-nya Qaddafi juga memanggil raja-raja Arab dengan “saudara”. Tentunya raja-raja konservatif ini merasa tersinggung luar biasa. Qaddafi tak peduli, apakah ucapannya itu akan berpotensi menjadi batu penghalang mewujudkan mimpinya akan “Persatuan Arab”. Dan memang, ide besar yang ia rujuk pada Pan-Arabisme Nasser ini, tak pernah didukung negara-negara Arab yang mayoritas kerajaan itu. Jauh sebelum Qaddafi menjatuhkan Raja Idris di Libya, ia menyaksikan betapa rapuhnya persatuan Arab. Ia miris kala menyaksikan kehancuran dunia Arab, baik dalam Perang Suez 1955 maupun Perang Juni 1967 (Yom Kippur). “Semua ini karena masyarakat Arab bercerai berai,” pekiknya. Tidaklah mengherankan kemudian, tidak sampai dalam hitungan minggu ia merebut kekuasan di Libya, Qaddafi menyampaikan “pesan” pada Nasser – mentornya. “Beritahukan Nasser, revolusi ini digerakkan untuknya, karena itu, ia boleh ambil apa saja milik kami. Libya punya berates mil pantai tengah, punya dana dan segalanya. Semua itu bias dipakainya untuk bertempur mewujudkan persatuan Arab”, ujarnya. Gagasan ini tidak ditanggapi Nasser secara serius.
Ketika Nasser meninggal dan digantikan oleh Anwar Sadat, Qaddafi juga mengajak suami Jehan Sadat ini untuk penyatuan Arab – bermula dengan tawaran menyatukan Libya dan Mesir. Bersama ibu, istri dan bayinya dan menggerakkan 40.000 rakyat Libya long march dari Libya ke Kairo – sebuan perjalanan teramat panjang – Qaddafi ingin menunjukkan kesungguhan yang spontan dan responsive. Anwar Sadat tergugah, pembicaraan dua negara ini bermula. Libya akan dijadikan salah satu propinsi Mesir. Lalu Qaddafi ? … ia siap melepaskan jabatannya. Tapi ambisi penyatuan dua negara ini tak lama. Anwar Sadat dan Qaddafi, pecah kongsi dan berselisih paham. Bagi Sadat, Qaddafi tidak matang dan tidak memiliki keseimbangan. Ia terlampau spontan dan tak stabil, menggelora tanpa perhitungan. Sebaliknya, Qaddafi menilai Sadat kurang revolusioner. Gagal dengan Nasser dan Anwar Sadat, tak menyurutkan Qaddafi untuk mewujudkan keinginan dan mimpinya tentang penyatuan Arab. Pada awal tahun 1980-an, ia pernah mengajak negara Aljazair dan Syiria serta Maroko bersatu. Tapi karena ia gabungan “militer yang disiplin dan naluri badui” membuat negara-negara yang diajaknya ini tidak berkenan. Nasser yang “bermantagi”, gagal, apatah lagi Qaddafi yang spontan-menggelora ini. Tapi “mimpinya” ini setidaknya memberikan catatan bagi sejarah bahwa solusi terbaik bagi negara-negara di Timur Tengah agar tidak identik dengan konflik adalah dua – “penyatuan Arab” dan selalu mengingat kata-katanya … Amerika Serikat dan Rusia sama saja, yang satu imperialis, lainnya atheis !. Rasanya, Qaddafi benar !
ARTIKEL 2 : (SOLIDARITAS MUSLIM DUNIA : Kasus Rohingya)
Khaddafi "muda" dikenal memiliki solidaritas diantara kaum muslimin internasional yang sangat tinggi. Pada tahun 1972, Presiden Uganda nan fenomenal itu, Idi Amin gagal mendapatkan bantuan keuangan dari Israel yang telah lama membantu negara "benua hitam" ini. Sewaktu ia mau pulang ke negaranya, Idi Amin menceritakan kegagalannya memperoleh bantuan keuangan dari Israel. Oleh Khaddafi kemudian, Idi Amin diberikan bantuan dua kali lipat dari permintaan Idi Amin pada Israel. Syaratnya tak banyak - putuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Itu saja. Dan uang dianggap lunas, tak perlu dikembalikan. Ketika tentara Israel menghantam pesawat-pesawat terbang Uganda karena Uganda dianggap terlibat kasus penyanderaan orang Yahudi dalam penerbangan Air France dari Athena tahun 1975 (?), Khaddafi dengan amat cepat mengganti pesawat-pesawat Uganda ini dengan pesawat-pesawat tempur Mirage buatan Perancis. Perancis-pun marah karena dibohongi Khaddafi yang mengatakan bahwa pesawat-pesawat Mirage yang dibelinya itu untuk kebutuhan dalam negeri. Khaddafi tak ambil pusing. Di Afrika, Khaddafi tidak hanya membantu Uganda saja. Banyak negara-negara lain di "benua hitam" ini menerima uang pemberian Khaddafi. Bantuan "gratis" dengan syarat mudah - negara-negara penerima bantuan Khaddafi harus memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Nasserianisme-nya teramat kental. Namun seiring dengan perjalanan waktu, Khaddafi "meluaskan" wilayah hasrat politik internasionalnya. Ia memberikan bantuan tidak lagi dengan syarat pemutusan hubungan diplomatik dengan negara Israel saja. Khaddafi justru membantu elemen-elemen masyarakat yang memberontak terhadap negara mereka masing-masing. "Seandainya Afrika Selatan dekat dengan negara kami secara teritorial, tentu saya akan memberikan bantuan keungan dan persenjataan pada mereka untuk melawan rezim Apartheid", kata Khaddafi. Perlawanan IRA (pembebasan Irlandia Utara) terhadap Inggris juga (konon) turut di back-up secara finansial oleh Khaddafi. Demikian pula dengan pergolakan penduduk Islam d Moro di Filiphina Selatan. Bahkan Presiden Filiphina pada masa itu, Ferdinand Marcos, sering dikutuk dan dicaci maki Khaddafi. Sambil mengutuki Marcos, bantuan keuangan dan senjata terus mengalir ke Filiphina Selatan dari Tripoli. Bahkan disinyalir, Ghaddafi juga terlibat dalam perjuangan masyarakat muslim Thailand Selatan (Yala, Narathiwat dan Pattani).
Di kawasan bergolak yang tadinya merupakan milik Sultan-Sultan Melayu tersebut, pergolakan tidak seseru Filiphina Selatan, tapi campur tangan Khaddafi cukup diperhitungkan. Ketika muslim Eritrea di Ethiopia bergolak, maka dalam pertemuan Kepala Negara Islam di Tripoli, Khaddafi mengatakan bahwa Libya yang mempersenjatai Front Pembebasan Eritrea. Bagi Khaddafi, Kaisar Haille Selassi yang merupakan pimpinan Ethiopia kala itu adalah pimpinan yang menindas kaum muslimin Eritrea. Bahkan secara terang-terangan, Khaddafi mengatakan bahawa Haille Selassie adalah turunan Hebrew dan mempunyai ikatan dengan zionisme. Pakistan yang juga Islam tidak luput dari bantuan Khaddafi. Saking besarnya perhatian Khaddafi terhadap Pakistan, sampai-sampai Presiden Pakistan masa itu, Zulfikar Ali Bhutto merasa perlu "berterima kasih" pada Khaddafi. Nama Khaddafi diabadikan sebagai nama salah satu stadion olah raga di Pakistan.
Sementara bantuan Khaddafi terhadap Palestina, nyata dan jelas. Disamping bantuan terhadap "saudara kami kaum muslimin", demikian istilah Khaddafi, lawannya pun jelas, Israel. "Kami mempersenjatai orang-orang Palestina dan ini kami anggap adil serta sebuah bentuk tanggung jawab suci", kata Khaddafi mensikapi bantuannya pada Palestina. Membantu orang-orang Palestina bagi Khaddafi tidak hanya dalam hal perjuangan ke arah pembebasan wilayah-wilayah yang diduki Israel saja. Gerakan-gerakan internasional seperti penyanderaan dan pembajakan yang dilakukan oleh orang-orang Palestina, juga mendapat dukungan langsung maupun tidak langsung dari Libya. Saya yakin, kalau seandainya Khaddafi hidup, mungkin ia-lah yang bereaksi keras terhadap kasus Rohingya.
Artikel ini telah dipublish di : http://www.theglobal-review.com
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=10019&type=4#.UI_DpmH9EW4
Artikel ini telah dipublish di : http://www.theglobal-review.com
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=10019&type=4#.UI_DpmH9EW4
Referensi : Tulisan ini didasarkan pada reportase TV One dalam acara "Timur Tengah" jelang kejatuhan Qaddafi & Wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar