Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Sejarawan Minangkabau Muhammad Ilham menilai
Tabuik dan pengaruhnya Syi'ah di Minangkabau adalah realitas sejarah
yang tak bisa dipungkiri. "Dalam konteks sosiologis, simbol-simbol
budaya semacam Tabuik tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial historis sebuah masyarakat," tegasnya
Eksistensi umat Syiah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini
mulai digerus sejumlah kalangan yang menolak kebhinekaan, dan memahami
persatuan sebagai penyamaan. Pasca penyerangan terhadap muslim Syiah di
Sampang, muncul gelombang baru anarkisme terhadap berbagai kegiatan
ritual Syiah. Hari Ahad (25/11), segelintir orang
yang mengklaim mewakili ormas Islam tertentu menyerang peringatan Asyura
yang digelar warga Syiah di gedung pusat kegiatan penelitian
Universitas Hasanudin Makassar. Akhirnya peringatan mengenang perjuangan
Imam Husein melawan rezim Yazid yang lalim Itu dihentikan di tengah
jalan, setelah berjalan sekitar dua puluh lima menit. Para penyerang beralasan peringatan hari Asyura dilarang berdasarkan
fatwa MUI. Dengan represif, para penyerang itu memaksakan keyakinannya
bahwa peringatan Asyura menyimpang dan harus dihentikan.
Jika menengok sejarah, peringatan Asyura telah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari budaya Islam nusantara. Misalnya, perayaan Tabuik
di Kota Pariaman Sumatera Barat, yang dilaksanakan tiap 1 hingga 10
Muharram, merupakan ritual budaya lokal yang telah berlangsung selama
bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi hingga kini. Warga Pariaman, Sumatera Barat, mengawali tahun baru Hijriyah dengan
menggelar ritual budaya Tabuik. Prosesi tersebut dilakukan dalam dua
kelompok yaitu kelompok tabuik Pasa dan kelompok tabuik Subarang yang
akan diiringi oleh arakan serta ditemani dengan dentuman gandang tasa. Ritual yang digelar bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1434 Hijriyah
itu dimulai dengan upacara "maambiak tanah," pengambilan tanah dari
dasar sungai yang berbeda dan berlawanan arah oleh dua kelompok Tabuik.
Prosesi itu dilakukan oleh seorang laki-laki dari keluarga pengurus
tabuik. Dia mengenakan pakaian putih, melambangkan kejujuran
kepemimpinan Husein, cucu Nabi Muhammad Saw. Menurut Tuo
(sesepuh) Tabuik, Nasrul Syam, ritual ini tidak hanya sekedar
pengambilan tanah saja, tetapi merupakan simbol dari pengambilan jasad
Husein yang mati syahid dalam perang Karbala melawan penguasa Yazid Bin
Muawiyah. (Antara, 15/11). Kemudian, Tanah yang diambil tersebut
kemudian dibungkus dengan kain putih seolah-olah mengafani jasad Husein,
lalu dimasukkan ke dalam panci yang kemudian juga dibungkus dengan kain
putih. "Kemudian panci yang sudah dibungkus kain putih tersebut akan
diletakkan di Daraga (tempat pembuatan tabuik)," jelas Tuo Tabuik.
Sejarawan Minangkabau Muhammad Ilham menilai Tabuik sebagai
pengaruh Syi'ah di Minangkabau adalah realitas sejarah yang tak bisa
dipungkiri. "Dalam konteks sosiologis, simbol-simbol budaya semacam
Tabuik tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial historis sebuah
masyarakat," tegasnya. Jika di Sumatera ada tradisi
Tabuik memperingati Asyura, di Jawa, pada bulan Muharam, para tetangga
saling berkirim ‘bubur Sura' atau ‘jenang Suro', sebuah makanan khas
Asyura. Bubur dengan warna putih sebagai simbol kesucian, dan warna
merah menjadi simbol kesyahidan Imam Husein yang dibantai Yazid di
padang Karbala. Inilah fakta budaya yang yang tidak bisa dipungkiri oleh
para "Panitia Surga" yang berupaya memberangus kekayaan khazanah Islam
nusantara dengan penafsiran tunggal atas Islam.(IRIB Indonesia/PH)
Klik :http://indonesian.irib.ir/hidden-1/-/asset_publisher/m7UK/content/asyura-dan-budaya-syiah-nusantara?redirect=http%3A%2F%2Findonesian.irib.ir%2Fhidden-1%3Fp_p_id%3D101_INSTANCE_m7UK%26p_p_lifecycle%3D0%26p_p_state%3Dnormal%26p_p_mode%3Dview%26p_p_col_id%3Dcolumn-1%26p_p_col_count%3D3
_____ Catatan tambahan : Kita tidak ingin seperti Nugroho Notosusanto yang berusaha "mencocok-cocokkan" fakta sejarah agar sesuai dengan keinginan rezim, atau kita tidak ingin seperti Raja-Raja Melayu Pesisir (dulu) yang berusaha mencari silsilah ke keturunan "epicentrum Islam" dengan membantah dan menafikan bahwa mereka pada dasarnya adalah keturunan para perompak laut. Karena struktur sosial politik yang berkembang, haruskah fakta-fakta historis kita nafikan ?
Klik :http://indonesian.irib.ir/hidden-1/-/asset_publisher/m7UK/content/asyura-dan-budaya-syiah-nusantara?redirect=http%3A%2F%2Findonesian.irib.ir%2Fhidden-1%3Fp_p_id%3D101_INSTANCE_m7UK%26p_p_lifecycle%3D0%26p_p_state%3Dnormal%26p_p_mode%3Dview%26p_p_col_id%3Dcolumn-1%26p_p_col_count%3D3
_____ Catatan tambahan : Kita tidak ingin seperti Nugroho Notosusanto yang berusaha "mencocok-cocokkan" fakta sejarah agar sesuai dengan keinginan rezim, atau kita tidak ingin seperti Raja-Raja Melayu Pesisir (dulu) yang berusaha mencari silsilah ke keturunan "epicentrum Islam" dengan membantah dan menafikan bahwa mereka pada dasarnya adalah keturunan para perompak laut. Karena struktur sosial politik yang berkembang, haruskah fakta-fakta historis kita nafikan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar