Senin, 26 November 2012

Asyura dan Budaya Syiah Nusantara

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sejarawan Minangkabau Muhammad Ilham menilai Tabuik dan pengaruhnya Syi'ah di Minangkabau adalah realitas sejarah yang tak bisa dipungkiri. "Dalam konteks sosiologis, simbol-simbol budaya semacam Tabuik tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial historis sebuah masyarakat," tegasnya 

Eksistensi umat Syiah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini mulai digerus sejumlah kalangan yang menolak kebhinekaan, dan memahami persatuan sebagai penyamaan. Pasca penyerangan terhadap muslim Syiah di Sampang, muncul gelombang baru anarkisme terhadap berbagai kegiatan ritual Syiah.   Hari Ahad (25/11), segelintir orang yang mengklaim mewakili ormas Islam tertentu menyerang peringatan Asyura yang digelar warga Syiah di gedung pusat kegiatan penelitian Universitas Hasanudin Makassar. Akhirnya peringatan mengenang perjuangan Imam Husein melawan rezim Yazid yang lalim Itu dihentikan di tengah jalan, setelah berjalan sekitar dua puluh lima menit. Para penyerang beralasan peringatan hari Asyura dilarang berdasarkan fatwa MUI. Dengan represif, para penyerang itu memaksakan keyakinannya bahwa peringatan Asyura menyimpang dan harus dihentikan.   

Jika menengok sejarah, peringatan Asyura telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Islam nusantara. Misalnya, perayaan Tabuik di Kota Pariaman Sumatera Barat, yang dilaksanakan tiap 1 hingga 10 Muharram, merupakan ritual budaya lokal yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi hingga kini. Warga Pariaman, Sumatera Barat, mengawali tahun baru Hijriyah dengan menggelar ritual budaya Tabuik. Prosesi tersebut dilakukan dalam dua kelompok yaitu kelompok tabuik Pasa dan kelompok tabuik Subarang yang akan diiringi oleh arakan serta ditemani dengan dentuman gandang tasa. Ritual yang digelar bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1434 Hijriyah itu dimulai dengan upacara "maambiak tanah," pengambilan tanah dari dasar sungai yang berbeda dan berlawanan arah oleh dua kelompok Tabuik. Prosesi itu dilakukan oleh seorang laki-laki dari keluarga pengurus tabuik. Dia mengenakan pakaian putih, melambangkan kejujuran kepemimpinan Husein, cucu Nabi Muhammad Saw.  Menurut Tuo (sesepuh) Tabuik, Nasrul Syam, ritual ini tidak hanya sekedar pengambilan tanah saja, tetapi merupakan simbol dari pengambilan jasad Husein yang mati syahid dalam perang Karbala melawan penguasa Yazid Bin Muawiyah. (Antara, 15/11). Kemudian, Tanah yang diambil tersebut kemudian dibungkus dengan kain putih seolah-olah mengafani jasad Husein, lalu dimasukkan ke dalam panci yang kemudian juga dibungkus dengan kain putih. "Kemudian panci yang sudah dibungkus kain putih tersebut akan diletakkan di Daraga (tempat pembuatan tabuik)," jelas Tuo Tabuik.   

Sejarawan Minangkabau Muhammad Ilham menilai Tabuik sebagai pengaruh Syi'ah di Minangkabau adalah realitas sejarah yang tak bisa dipungkiri. "Dalam konteks sosiologis, simbol-simbol budaya semacam Tabuik tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial historis sebuah masyarakat," tegasnya. Jika di Sumatera ada tradisi Tabuik memperingati Asyura, di Jawa, pada bulan Muharam, para tetangga saling berkirim ‘bubur Sura' atau ‘jenang Suro', sebuah makanan khas Asyura. Bubur dengan warna putih sebagai simbol kesucian, dan warna merah menjadi simbol kesyahidan Imam Husein yang dibantai Yazid di padang Karbala. Inilah fakta budaya yang yang tidak bisa dipungkiri oleh para "Panitia Surga" yang berupaya memberangus kekayaan khazanah Islam nusantara dengan penafsiran tunggal atas Islam.(IRIB Indonesia/PH)

Klik :http://indonesian.irib.ir/hidden-1/-/asset_publisher/m7UK/content/asyura-dan-budaya-syiah-nusantara?redirect=http%3A%2F%2Findonesian.irib.ir%2Fhidden-1%3Fp_p_id%3D101_INSTANCE_m7UK%26p_p_lifecycle%3D0%26p_p_state%3Dnormal%26p_p_mode%3Dview%26p_p_col_id%3Dcolumn-1%26p_p_col_count%3D3

_____ Catatan tambahan : Kita tidak ingin seperti Nugroho Notosusanto yang berusaha "mencocok-cocokkan" fakta sejarah agar sesuai dengan keinginan rezim, atau kita tidak ingin seperti Raja-Raja Melayu Pesisir (dulu) yang berusaha mencari silsilah ke keturunan "epicentrum Islam" dengan membantah dan menafikan bahwa mereka pada dasarnya adalah keturunan para perompak laut. Karena struktur sosial politik yang berkembang, haruskah fakta-fakta historis kita nafikan ?

Tidak ada komentar: