Tulisan ini merupakan "Pengantar" Jurnal Khazanah Fakultas Adab & Ilmu Budaya IAIN Padang Volume III/Nomor O8 Juli-Desember 2012
Minangkabau dikenal sebagai entitas etnik – dalam bahasa antropologi – yang terbuka dan egaliter. Karena itu, dalam sejarah, etnik ini mampu melahirkan figur-figur dalam sejarah pergerakan Indonesia yang tak-lah seragam seumpama Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Mereka bertiga ini didaulat sebagai bagian dari Bapak Revolusi Indonesia selain Soekarno. Tan Malaka yang dari Pandan Gadang, Hatta dari Batuhampar dan Syahrir yang juga kakak Rohana Koedoes dari Koto Gadang ini sama-sama egois. Selalu berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Mrazek pernah menarasikan bagaimana "egoisme ideologis" mereka bertiga ketika diskusi mengenai "arah masa depan" republik tercinta. Berawal di Berlin Jerman, di rumah salah seorang dedengkot komunis Hindia Belanda pada tahun 1920-an, Darsono namanya. Di rumah Darsono ini, tiga anak muda mereka bertemu dan berdebat panas. Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen. ”Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx menyebut diktator proletariat,” Hatta, 20 tahun, menyela. ”Itu hanya ada pada masa peralihan,” Tan menukas. Dia melanjutkan, ”Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator orang-seorang.”
Dalam bukunya "Memoir", Mohammad Hatta menceritakan kembali percakapan itu. Dalam buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh tahun. Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan percaya, jika digabung, Pan-Islamisme dan komunisme bisa menjadikan Indonesia digdaya. Hatta dan Tan sudah seperti musuh. Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan. Hatta menganggap Tan selalu meremehkannya. ”Dia selalu menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan,” katanya. Hatta, sebetulnya sudah tak senang kepada Tan sejak di Amsterdam. Pada 1927, setahun setelah ”pemberontakan” Partai Komunis Indonesia yang gagal, Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan pimpinan revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua PKI, yang langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak. Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara dengan Soekarno sebagai sikap sentimen Tan kepadanya. Padahal, Tan Malaka hanyalah berpandangan bahwa pemimpin revolusi tak boleh dipegang orang selain komunis. Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta menawari Tan ikut dalam pemerintahan. ”Tidak, dua (Soekarno-Hatta) sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja,” kata Tan. Hatta menganggap penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda. Tak mengherankan ketika Soekarno keceplosan membuat testamen lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro. ”Agar mewakili semua kelompok,” katanya. Selain dengan Hatta, Tan Malaka juga berselisih paham dengan Sutan Sjahrir, yang juga berasal dari Minang.
Menurut Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978), pada awal-awal kemerdekaan Sjahrir menolak bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta. Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure, Sjahrir—yang menganut ideologi sosial-demokrat—ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda. Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia ”merapat” ke kubu Inggris-Amerika sebagai ”penguasa” baru nusantara. Sekutu memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap ”Bung Kecil” itu berpikiran modern dan disukai Belanda. Sjahrir kemudian gencar mengampanyekan politik diplomasi. Dalam kampanyenya, seperti tertuang dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir telak-telak menyatakan akan menyingkirkan semua kolaborator Jepang. Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga Jenderal Soedirman sebagai salah satu pemimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan Jepang. Perselisihan makin runcing ketika Sjahrir menjadi perdana menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Meski tak banyak komentar lisan, dalam Demokrasi Kita, Wakil Presiden Hatta mengecam perubahan itu. ”Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,” katanya. Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapat ke kubu Tan Malaka yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. ”Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijaksaan sendiri,” kata Soedirman kepada Adam Malik. Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen politik di Purwokerto, Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan faksi Persatuan Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.
Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai politisi-cum-sejarawan: Muhammad Yamin. Ia aktif di Persatuan, tapi sering jalan dengan sikapnya sendiri. Tanpa konsultasi dengan pimpinan Persatuan, Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946. Situasi adem itu tak berlangsung lama. Tak lama kemudian Soekarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, para pemuda Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara. Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Tapi konflik tak begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang itu karena mereka lahir dari lingkungan yang berbeda, meski sama-sama belajar Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adat Tan seorang raja tapi miskin secara ekonomi, sedangkan Hatta-Sjahrir kelas menengah secara ekonomi. Tan orang udik, Hatta dari Bukittinggi dan Sjahrir dari Padangpanjang dari keluarga pedagang. Meski sama-sama dibuang, Hatta-Sjahrir masih menerima penghasilan. Sedangkan Tan tak punya pendapatan pasti dalam pelarian, hidupnya susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha di Banten Selatan. Pasase hidup yang membuatnya kian mantap menjadi Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda di Deli. Ia melihat langsung bagaimana orang sebangsanya ditindas menjalani kuli kontrak. Berbeda dengan Hatta, kendati sering berseberangan, hubungan pribadi Tan dengan Sjahrir relatif bagus. Menurut Poeze, Sjahrir pernah dua kali menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa, Tan menolak.
Tulisan di atas, pada prinsipnya ingin mengetengahkan bagaimana beragamnya dan dinamisnya “orang-orang besar” Minangkabau. Budaya yang memberikan peluang untuk berbeda-lah, yang akan mampu melahirkan orang-orang besar yang beragam di atas. Tulisan di atas (hanyalah) intermezo untuk “menyentakkan” kita kembali bahwa sejak dari dahulunya, Minangkabau itu amat dinamis. Tulisan-tulisan yang hadir dalam jurnal KHAZANAH Edisi kali ini, yang fokus pada topik ke-Minangkabaua-an, memperkuat “narasi besar” di atas.
Selamat membaca !
Referensi : Devy Kurnia Alamsyah (2011), Adam Malik (1978)
Foto : adabpadang.co.cc (c: Irhash A. Shamad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar