Senin, 09 Mei 2011

Tan Malaka Memikirkan Indonesia (2)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Madilog adalah cara berpikir Tan yang menautkan ilmu bukti melalui penyesuaian dengan akar kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan mondial. Tidak sepenuhnya memang Tan menyelisihi filsafat materialisme yang sebatas menganggap materi dan kenyataan menampak (fisikiah) sebagai yang ada dan utama; namun dalam Madilog, Tan menekankan bukti (meliputi budi, kesatuan, pikiran, dan inderawi) sebagai yang utama. Bukti merupakan fakta. Adapun fakta menjadi fondasinya ilmu bukti. Melalui Madilog, Tan bukan cuma memikirkan realita Indonesia pada masa hidupnya. Namun layaknya seorang futuris, ia membenturkan kontemplasi filsafatnya ini untuk masa depan Indonesia. Dan gagasan dalam Madilog-nya menerap dan jalin-menjalin sebagai sebuah pola yang konsisten dan konsekwen (ilmiah dan Indonesia sentris) melalui karya-karya lainnya yang secara holistik memikirkan berbagai permasalahahan Indonesia berikut implementasinya. Maka boleh dibilang pemikirannya tidak lekang dimakan jaman. Avonturisasi politiknya di mancanegara selalu licin. Tapi ironis, di tanah airnya sendiri Tan justru tetap bergerak secara klandestin. Tak banyak diketahui dalam buku-buku pelajaran sejarah bahwa Tan-lah yang menggerakkan massa untuk menggelar rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Soekarno mengagumi pemikiran Tan yang banyak menginspirasi perjuangan Revolusi Kemerdekaan.

Dalam salah satu artikel Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi yang dimuat Majalah Tempo edisi khusus Tan Malaka (2008), disebutkan begitu kagumnya dengan pemikiran Tan Malaka, Soekarno pernah membuat sebuah testamen ahli waris revolusi untuk Tan jika terjadi sesuatu pada diri Soekarno - Hatta. Ketika masa Revolusi Kemerdekaan, Tan lebih memilih jalannya sendiri membentuk Persatuan Perjuangan (PP) pada 1 Januari 1946 untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan sekutu. Namun niatnya disalahartikan sebagai sebentuk jalan mengkudeta Soekarno – Hatta. Tan dibui, berpindah-pindah di penjara Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga lepas pada September 1948 sejalan dengan tuntasnya naskah Dari Pendjara ke Pendjara yang ia tulis. Sebagai responsnya atas situasi politik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati (1947) dan Renville (1948), Tan merintis Partai Murba pada November 1948. Tan –lagi-lagi– dituding mengkudeta pemerintah. Pada 21 Februari 1949 akhirnya Tan tewas di tangan orang sebangsanya sendiri dan di tanah airnya sendiri. Sejatinya, sejarah tentang seorang tokoh pendiri bangsa lazimnya menyampaikan pesan-pesan moral dan edukasi untuk generasi sesudahnya. Tapi bukanlah sejarah namanya jika kepentingan atas masa lalu sarat juga dengan kepentingan-kepentingan politis yang memungkinkan citra tokoh itu untuk dibelokkan, dikaburkan, bahkan dihilangkan. Asa hidup di alam kemerdekaan berupa keterbukaan dan kejujuran mengungkapkan masa lalu pun kadang terhadang oleh narasi-narasi besar (grand narratives [baca: negara]). Sebagaimana hal itu didapati dari sepinya jejak pemikiran Tan Malaka dalam buku-buku pelajaran sejarah seputar gagasannya mewujudkan republik ini. Sebagai sosok pejuang sekaligus pemikir yang lain dari keumuman eksponen pergerakan nasional, jalan hidup Tan yang asing dan banyak mengasing itu pun membuat Matu Mona mengiaskan dalam karya Patjar Merah Indonesia­-nya dengan julukan mysteryman. Senyata dengan jejak kehidupannya yang asing dan banyak mengasing. Dan dalam penulisan sejarah Indonesia modern, memori kolektif masyarakat Indonesia –khususnya siswa-siswa sekolah– terhadap sosok Tan Malaka tidaklah sebagus dibandingkan terhadap Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Konteks bagus itu pun tak lebih hanya sebatas mengenal nama, kedudukan, dan momen seputar sang tokoh.


Napak Tilas periodesasi kiprah Tan Malaka (sumber : tempo.com)/perbesar : klik gambar

Jejak pemikiran para tokoh pendiri bangsa sebagai hal yang lebih hakiki untuk diteladani justru menguap dalam teks-teks pelajaran sejarah yang diproduksi untuk kepentingan pendidikan nasional. Meski begitu, dalam wacana sejarah selama beberapa dasawarsa terakhir ada pergeseran nilai terkait subjek, perspektif, dan pendekatan masa lalu yang menjauhi narasi-narasi besar. Pergeseran itu dimaklumi juga terjadi karena ketidakpuasan terhadap narasi besar dalam mengendalikan dan memproduksi teks-teks sejarah. Ketika teks tidak berbunyi sebab ada yang ter/di-sembunyikan, maka medium seni visual (seperti fotografi, film, dan teater) menjadi alternatif menggali hakikat dan pemahaman masa lalu melalui pendekatan subaltern (Nordholt & Steijlen [2007]; rujuk juga Nordholt, Purwanto, & Saptari [2007]). Jelas ini menjadi penting sebagai sebentuk penyi(ng)kapan terhadap narasi besar dalam menarasikan masa lalu, yang mana salah satunya menyangkut citra tokoh semisal Tan Malaka ini.

Setidaknya patut disyukuri adanya ikhtiar menempatkan Tan Malaka berdasarkan sejarah dalam konteksnya (historicizing history), selain melalui teater juga film sebagai alternatif yang baik untuk membangunkan masyarakat dari amnesia sejarah. Saya tidak ada hasrat berlebih untuk terlalu menyoalkan masih ditemukan kelemahan historical mindedness dalam film karya kawan-kawan dari Institut Kesenian Jakarta tersebut. Tapi dengan menyisipkan beberapa perkataan yang lekat dengan cerminan jiwa dan pemikiran Tan Malaka dalam mengecam taklid buta dan fanatisme sempit terhadap ideologi atau kepercayaan apapun dalam fragmen-fragmen film tersebut, telah menyambung lidah “bapak republik” itu untuk mengedukasi mental dan sikap rakyat Indonesia yang hidup pada alam kekinian. Misalnya perkataan Tan (adalah pola pikir madilognya [rujuk juga perkataan ini dalam Alfian. 1977]) di hadapan anak-anak kecil yang diajari berhitung: “Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian dapat belajar dari orang Barat. tapi jangan sekali-kali kalian meniru dari orang Barat. Kalian harus menjadi murid-murid dari Timur yang cerdas…

Secara generis, perkataan itu sebetulnya akan terus patut dan layak dipakai kapanpun sebagai pandangan dan kedudukan bangsa Indonesia untuk menilai, menghadapi, dan terlibat dalam kumparan masalah nasional dan dunia. Tidak terjerembab dalam banalitas hubungan kebudayaan Barat dan Timur serta punya prinsip dalam menghadapi benturan peradaban antarkedua kutub tersebut. Relasi ideal antara Barat dan Timur memang menjadi salah satu pokok pemikiran Tan Malaka. Seperti halnya juga Sutan Sjahrir atau Sutan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka –seperti halnya Sjahrir– agaknya gelisah juga dengan tabiat dan sikap kaum bumiputra yang mana satu pihak begitu mengagungkan adiluhungnya dominasi Barat secara taklid sehingga tanpa disadarinya merendahkan diri sendiri sebagai seorang Indonesia. Pihak lain terpenjara dalam kekolotan alam pikiran Timur yang masih dikuasai mitos dan menolak sama sekali segala hal berbau Barat sebagai yang dinilai sesat dan menyesatkan. Permasalahan itu pun kini masih hadir dalam wajah baru, tapi esensinya tak banyak berubah jika menyelami dalam-dalam perkataan Tan Malaka tersebut. Sejarah yang memihak untuk Tan Malaka jelas melebihi apresiasi pemerintah yang pada 1963 sebatas memberinya gelar pahlawan kemerdekaan nasional. Menghadirkan kembali gagasan-gagasan jenialnya tentang Indonesia, tentunya jauh lebih penting melebihi gelar kepahlawanan. Pemikirannya yang mengajarkan: anti-dogmatisme, berpikir kritis, anti-kekerasan sebagai siasatnya melawan kezaliman dan kebodohan pada masa hidupnya, amatlah patut direnungkan untuk memikirkan Indonesia yang saat ini mendambakan integrasi bangsa. Dan jelas, dengan mengubur pemikirannya sama saja ibarat mengubur kebangsaan Indonesia yang masih berlanjut ini.

Sumber : (c) Fadly Rahman/2011.

Tidak ada komentar: