Sabtu, 24 April 2010

Sejarah Atas Nama Agama

Oleh : Muhammad Ilham

Orang Yahudi dan orang Arab Palestina sebenarnya banyak diantara mereka berhubungan sehari-hari, saling memandang pihak lain dari sudut yang harus berbeda. Demikian parahnya, rasa benci diantara mereka, sehingga jika ada sedikit saja persamaan diantara mereka, maka itu harus dianggap sebagai perbedaan (Edward Said: 1997)

Diantara berbagai kota historis di bawah "kolong langit" ini, mungkin kota Yerusalem-lah yang selalu tak pernah luput dari cerita manis-pahit-getir sejarah ummat manusia. Yerusalem yang merupakan kota tua sarat sejarah ini, dibentuk oleh pertarungan kekuatan-kekuatan besar sejarah untuk zamannya. Peradaban Mesopotamia, Assiria, Romawi (Kristen), Arab, Turki (Daulah Utsmaniyah) dan Inggris telah hadir dan meninggalkan bekas-bekas tersendiri yang cukup dalam-membekas. Kota ini juga tidak bisa dilepaskan sama sekali dengan tiga agama monotheistik paling berpengaruh saat ini. Karenanya, setiap hari Yerusalem selalu dikunjungi dengan gairah-teologis, para peziarah dari seluruh dunia "untuk datang lebih dekat" - meminjam istilah Edward Said - menghadap Tuhannya. Menghambakan diri dan bahkan terkadang datang dengan hal-hal yang diyakini irrasional, namun dianggap sebagai sebuah cara untuk menyatukan emosi teologis. Dalam "denyut" kesehariannya, kota Yerusalem akan menghadirkan orang Yahudi yang khidmat berdo'a dan menyentuh dengan "haru-terdalam" Dinding Ratapan yang diyakini sebagai bekas candi Sulayman (Bayt Suci). Bahkan menurut Edward Said, banyak diantara mereka yang datang dari belahan bumi lain, menarik secuil kerikil halus atau lumut yang melekat ditembok, kemudian dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam tas atau dompetnya. Mungkin, orang Yahudi ini ingin membawa pulang secuil kerikil halus yang dicomot dari tempat paling suci ini dan disimpan dalam lemari untuk menjadi kenangan spritual yang paling bermakna dalam keluarga (Dalam konteks sosiologi agama, kasus dukun cilik fenomenal Ponari, juga bisa dimaknai seperti ini. Bagaimana banyak peziarah yang mau mengambil tanah-tanah di seputar rumah Ponari yang bau-kotor lagi busuk ini hanya untuk "sugesti". Lihat artikel saya dalam blog ini : "Irrasionalitas Ponari").

Sementara itu, di Yerusalem juga ditemukan komunitas Kristen yang tumpah ruah untuk melihat Gereja Sepulchre, yang didalamnya terdapat karang Golgota - tempat Yesus disalib - maqam suci serta tempat Yesus dibangkitkan. Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh orang Yahudi dengan Dinding Ratapan nan berlumut, maka orang-orang Kristen yang taat ini memeluk "penuh rindu bercampur duka", karang berbentuk dipan tempat Yesus disemayamkan untuk sementara waktu setelah ia diturunkan dari kayu salib. Dengan air mata bercucuran, mereka meletakkan pipinya di dada Yesus yang tak berdaya dan seakan-akan merasakan langsung penderitaan putra Siti Maryam ini. Bak kata sosiolog-agama Karen Amstrong, "trans-teologis agama" justru terlihat dalam peristiwa-peristiwa seperti ini. Sementara itu, ribuan kaum muslimin melafalkan takbir, tahmid dan tasbih sebanyak lima kali sehari semalam di Masjid Al-Aqsha, yang diyakini telah menjadi tempat persinggahan nabi Muhammad SAW. ketika melakuna Isra' dan melakukan sholat dengan para nabi yang lain sebelum melakukan Mi'raj. Dinding Ratapan, Gereja Sepulchre dan Masjid Al-Aqsha adalah - dalam bahasa sosiologi agama sebagai "monumen suci" - hubungan antara Yerusalem dengan agama-agama besar itu, tapi sekaligus simbol perbedaan antara agama-agama ini, yang meskipun mereka selalu berbicara bahwa mereka adalah cucu Ibrahim tapi dalam kenyataannya, mereka sangat enggan untuk mengakui dan bertindak sebagai saudara.

Yerusalem yang dalam bahasa Ibrani disebut dengan Yerushlayim atau "kota perdamaian", sejak pertama sekali muncul dalam manuskript sebagai kota orang Kanaan di zaman Perunggu hampir 4000 tahun yang lalu, telah menjadi pusat dan target penaklukan berbagai penguasa/raja-raja besar dalam sejarah peradaban umat manusia. Sehingga kemudian, Yerusalem tercatat pernah ditakulukkan raja (nabi) Daud, raja (nabi) Sulaiman dan raja-raja Yahudi lainnya yang kemudian berpindah pada Babilonia, Macedonia, Mesir, Mesir, Seleucid, Yunani, trah Yahudi Hasmon, Romawi, Bizantium, Persia, Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah, Ayyubiyah, Tentara Salib, Mamluk, Turki Ustmani, Inggris, Yordania dan sekarang Israel. Praktis, "catatan sejarah" menyimpulkan bahwa Yerusalem hampir tidak mengenal garis antara perang dengan agama. Ia telah menjadi pusat konflik untuk memperebutkan kebenaran yang telah menjadi dominasi Tuhan dan perjuangan untuk memperoleh hak atas penguasaan kota itu. Peran agama dan pengetahuan di kota ini bercampur aduk antara faktor pencerahan dan pemicu konflik-kekerasan. Dalam catatan sejarah, Yerusalem yang damai dan kudus ini sebenarnya belum pernah merasakan perdamaian karena setiap masa kota ini selalu digenangi oleh darah dan air mata. Sebagaimana yang pernah ditangisi oleh seorang penyair Arab-Palestina : "Yerusalem ibarat tanah susu dan madu, dua tanah yang berbeda sifat, namun bertemu dan membentuk Yerusalem berada diantara kesuburan dan kekeringan". Sehingga kemudian kita mengenal Yerusalem dalam waktu yang bersamaan menjadi kota yang bersemangat dunia dan sempit, antara bersemangat keilmuan dan picik. Namun tetap, Yerusalem, sekering apapun dan seriskan apapun potensi konflik-nya, Yerusalem tetap dianggap sebagai kota yang menyimpan pembenaran luar biasa sebuah hal yang bernama teologis. Karena inilah, haru-air mata orang memeluk dipan di Gereja Sepulchre, karena inilah pula orang Yahudi bercucuran air mata menghadap Tembok/Dinding Ratapan dan karena (sekali lagi) ini pula, kaum muslimin "dibawah kolong langit" ini sangat bergairan mendengar (apalagi mengunjungi) masjid Al-Aqsha. Takdir Yerusalem sangatlah berat untuk memikul "Tiga Agama" di Kota-nya yang mulai ringkih ! ... akhirnya, benar apa yang dikatakan oleh bintang film Bollywood Tajiv Kapoor : " Makhluk-makhluk tertentu TAK BISA melihat disiang hari, sementara yang lain BUTA di malam hari. Orang yang memiliki kadar kebencian tinggi, tidak dapat melihat apapun dengan jelas, baik Siang maupun Malam hari !"

:::::: (c) Diringkas dari Muhammad Ilham, Phaphyrus Hingga Internet Jilid I, 2000 ::: sebagai bahan pengayaan referensi bagi mahasiswa saya yang mengikuti kelas Filsafat Sejarah dan Pendekatan Sejarah Sosial Politik dengan sub-topik : "Agama sebagai Perubah Sejarah"

Selasa, 20 April 2010

Teaching of Peace Yerusalem : "Perdamaian yang Utopia"

Ditulis ulang oleh : Muhammad Ilham

Suara kemarahan itu melekat pada tembok, di lorong-lorong Kota Tua Yerusalem. Dalam bahasa Arab, dan kadang Inggris, coretan itu menyerukan pembebasan kota dari Israel. Sekelompok bocah pulang sekolah melintas pada salah satu gang. Mereka berhenti sejenak, menatap ke grafiti: “We will return”. Atau yang lain, “Free Palestine”. Dingin menyergap Yerusalem, pada suatu siang, di akhir Maret 2010. Hidup di kota yang terbelah, anak-anak Yerusalem harus siap disergap ketegangan konflik. Perang, tampaknya, menjadi tugas warisan bagi tiap generasi. Kota itu berada di Tepi Barat, dan diklaim oleh Israel sebagai ibukota, saat negara Yahudi itu berdiri pada 1949. Israel mendiami wilayah barat kota, sementara sisi timur kini diklaim ibukota Palestina. Yerusalem adalah simbol bagi pertempuran tak berujung. Ratusan ribu korban jatuh akibat panjang Israel Palestina. Pada pertengahan Maret lalu, misalnya, dua remaja Palestina, Sayid dan Mohamad Qadous, mengacungkan kapak, menggertak tentara Israel yang berjaga di tenggara Nablus, wilayah Tepi Barat. Peluru tentara Israel berdesing. Dua remaja itu roboh. Seorang remaja di kota lain, juga tewas ditembak karena alasan serupa.

Insiden itu memanaskan situasi konflik di sekujur tanah Palestina. Aksi itu hanya berselang dua hari dari serangan udara Israel ke Raffah, yang berbatasan langsung dengan Mesir. Sedikitnya 15 warga sipil luka parah, sementara terowongan penghubung antar kota yang dibangun lewat negosiasi resmi bertahun-tahun hancur tak bersisa. Israel kembali melontarkan kebijakan provokatif. Selain berkali-kali menghajar warga Palestina dengan rudal dan peluru, negara Zionis itu bertekad akan terus membangun pemukiman Yahudi di Yerusalem bagian timur. Padahal wilayah itu masuk bagian Tepi Barat, dan selama ini menjadi sumber pertikaian dengan Palestina. Yerusalem bagian timur adalah isu paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina. Israel menduduki wilayah itu sejak Perang Arab 1967, atau dikenal “Perang Enam Hari”, dan mengklaim seluruh Yerusalem adalah ibukotanya. PM Israel, Benjamin Netanyahu pun menyatakan tak akan pernah setuju berbagi Yerusalem dengan Palestina. Tapi, Palestina menegaskan sektor bagian Timur Yerusalem - yang menjadi lokasi tempat suci bagi umat Kristen, Muslim, dan Yahudi – adalah ibukota mereka. Palestina juga mencakup kawasan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Adu klaim ini telah membuat Yerusalem menjadi bara dalam konflik Isreal-Palestina. Israel juga begitu angkuh. Dua pemimpin dunia, yaitu Wakil Presiden AS, Joe Biden, dan Sekjen PBB, Ban Ki-moon, melawat ke Timur Tengah, di waktu berbeda, Maret lalu. Keduanya bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan mendesak agar Israel tak memancing konflik baru yang menghambat perundingan damai. Mereka mendesak Israel menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di timur Yerusalem, dan tembok pembatas antar kota.

Desakan itu adalah juga hasil pertemuan segi empat– PBB, Masyarakat Uni Eropa, Amerika Serikat dan Inggris. Tapi, Israel tak peduli. Negara itu bahkan mengabaikan nasehat Amerika Serikat, yang selama ini menjadi sekutu terkarib. Bahkan seperti mengejek, Israel mengumumkan rencana pembangunan 1.600-an rumah bagi warga Yahudi di Yerusalem Timur, di tengah lawatan Joe Biden, yang sebelumnya mendesak agar proyek kontroversial itu dihentikan. Biden membalas ‘insiden memalukan’ itu. Pada satu jamuan makan malam kenegaraan Israel menghormati kunjungannya, Biden tak segera datang. Dia membiarkan Netanyahu menunggu satu setengah jam. Pekan ini, Netanyahu balik akan berkunjung ke Amerika Serikat. Dia memang berjanji memberikan isyarat niat baik bagi Palestina. Misalnya, kata Netanyahu, Israel akan mengurangi blokade di Jalur Gaza dan membebaskan tahanan Fatah. Tapi dia menolak mencabut keputusan pembangunan rumah pemukiman di Ramat Shlomo – Yerusalem Timur, yang diprotes banyak kalangan itu. Mungkin Israel terlalu yakin, bahwa tak ada satu kekuatan pun – baik PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris atau gabungan keempatnya, mampu mengubah kebijakannya. Israel juga memanfaatkan standar ganda negara-negara itu. Peluang itu dipakai Israel dengan cara terus menekan Palestina. Misalnya, hingga hari ini tak ada sanksi mendesak Israel. Sementara, perundingan damai kian tak jelas nasibnya. Tak ada gunanya negosiasi, selama Israel tak berhenti membangun pemukiman itu.

Tembok-tembok itu membelah Yerusalem, melingkar atau menikung, dan membagi dua kehidupan. Dengan alasan melindungi warganya dari serangan bom bunuh diri para militan Palestina, Israel membangun tak kurang 130 kilometer tembok pembatas di wilayah Israel-Palestina. Sejak 2002, tembok itu kian menguak luka Palestina. Wajah kota-kota di kawasan ini pun berubah. Di Bilin, Tepi Barat, Gaza dan Jericho, misalnya tembok menjulang setinggi lebih 10 meter. Ide tembok pembatas ini dulu datang dari Perdana Menteri Israel Ariel Sharon. Dia tampaknya begitu trauma dengan militansi bom bunuh diri pemuda Palestina, yang menyeruak dan menebar maut di pemukiman Yahudi. Radikalisme anak-anak Palestina itu, menurut Presiden Israel Shimon Peres, justru menyulitkan perundingan damai. Peres adalah pendukung Solusi Dua Negara, yakni berdirinya Israel dan Palestina secara berdampingan. Peres merasa rasa percaya antar Israel dan Palestina kini sangat langka. "Mereka (Palestina) bukan musuh kami, dan kami yakin jika situasi mereka lebih baik, maka kami punya tetangga yang baik juga," ujar Peres. Tapi, rasa percaya itu toh tak mungkin dibangun dengan tembok pembatas. Alasan pembangunan tembok itu juga kian tak berdasar. Kedua warga yang hidup di atas tanah sama kini sangat berjarak. Tak gampang keluar masuk lewat tembok atau penghalang jalan ini. Para tentara Israel bersiaga di sana. Semua warga diperiksa, dari cek kartu identitas, dan digeledah sampai ke pakaian dalam.Akibat tembok pembatas, persoalan kemanusiaan mencuat di kota-kota Palestina yang wilayahnya diblokade Israel. Warga tak bisa bergerak dengan leluasa. Bahkan, mereka sulit untuk bekerja, atau bersilaturahmi. Fasilitas kesehatan, pendidikan, makanan hingga air bersih pun terbatas. Fasilitas kesehatan, misalnya. “Di sini ada 20 ribuan pengungsi, tapi hanya ada satu klinik dengan tiga dokter,” ujar seorang pemuda di Bethlehem, sepuluh kilometer di selatan Yerusalem. Soal air bersih juga jadi masalah besar. Di atas rumah warga Palestina di Tepi Barat, misalnya, tampak menjulang tong silinder dari baja anti karat untuk menampung air. Tong itu diletakkan di atas rumah. Para ibu rumah tangga, terbiasa mencadangkan air dan makanan dalam jumlah besar. Situasi konflik yang tak menentu, membuat mereka harus memikirkan persediaan logistik yang cukup. Protes dari badan dunia bukan tak ada. International Court of Justice, misalnya, pada 2004 telah meminta Israel meruntuhkan tembok pembatas ini. PBB juga mengecam keberadaan tembok, dan penghalang jalan yang membatasi ruang gerak warga. Tapi hingga laporan ini diturunkan, tembok-tembok pembatas itu masih berdiri dengan pongahnya.

Pencaplokan tanah itu juga kian agresif. Mantan Menteri Ziad Abu Ziyyad, politisi senior dari Fatah itu, dengan nada lirih mengaku kehabisan akal menghadapi kebijakan Israel. “Saya khawatir saat perundingan damai sesungguhnya dimulai, tak ada lagi tanah tersisa untuk Palestina”, ujarnya. Meskipun salah satu arti dari Yerusalem adalah Teaching of Peace, namun kota tua itu ternyata seperti tak berhenti menjadi akar sengketa dan konflik sepanjang sejarah. Di salah satu wilayah kota itu, tepatnya Yerusalem Timur, Palestina menyebutnya sebagai ibukota masa depan. Seterunya, Israel, juga mengklaimnya sebagai bagian dari ibukota mereka. Dalam sejarah moderen, wilayah itu semula dikuasai oleh Yordania pasca Perang Arab-Israel 1948, namun akhirnya dicaplok oleh Israel setelah menang dalam Perang Enam Hari pada 1967. Menurut para pengamat, wajar saja bila Yerusalem Timur merupakan salah satu biang konflik di Timur Tengah dan diperebutkan oleh Israel dan negara-negara Arab - dan kini Palestina. Pasalnya Yerusalem Timur menjadi lokasi tempat-tempat suci bagi agama-agama yang memiliki umat besar di dunia, Islam, Yahudi, dan Kristen. Bagi umat Muslim, di Yerusalem Timur terdapat tempat suci ketiga, yaitu kompleks Masjid Kubah Emas dan Masjid al-Aqsa. Di kota itu juga terdapat Gereja Kebangkitan Kudus, yang dipercaya umat Nasrani merupakan bekas lokasi Bukit Golgota - tempat penyaliban Yesus Kristus. Yerusalem Timur juga menjadi lokasi sisa-sisa bangunan Bait Suci, yang kini menjadi tempat ibadah bagi umat Yahudi yang kini menyebut tempat itu sebagai Tembok Ratapan. Sumber dari Wikipedia mengungkapkan bahwa penamaan Yerusalem Timur kemungkinan sudah dilakukan sejak wilayah itu masih di bawah kendali Yordania antara 1949 hingga 1967 - yang akhirnya tergabung dalam kotamadya Yerusalem setelah Perang 1967. Setelah Perang Arab-Israel, Yerusalem terbagi dalam dua bagian. Bagian Barat sebagian besar dihuni oleh warga Yahudi, yang datang di bawah dukungan pemerintah Israel, sedangkan di sisi Timur kebanyakan dihuni oleh orang Arab, yang datang saat di bawah kendali Yordania.

Stasiun televisi BBC mengungkapkan bahwa Yerusalem Timur kini dihuni sekitar 240.000 orang Arab. Kebanyakan dari mereka mengaku merasa jengah atas status mereka saat ini. Meski jarang berkonflik langsung dengan Israel, mereka tetap menganggap diri sebagai orang Palestina dan mendukung kelompok-kelompok perjuangan yang ingin membebaskan Yerusalem Timur dari pendudukan Israel. Mereka sebenarnya mendapat izin khusus dari pemerintah Israel dan menikmati sejumlah keuntungan yang tidak bisa dinikmati oleh saudara-saudara mereka di Tepi Barat. Namun, sejalan dengan dimulainya pembangunan untuk pemukiman Yahudi oleh pemerintah Israel di Yerusalem Timur, masa depan mereka kini menjadi tidak jelas. Akhirnya banyak warga yang tidak betah dan pindah ke lokasi lain. “Tanah warga akhirnya diserobot, setelah itu Israel mengulangi cara serupa di wilayah lain," lanjut dia. Warga itu juga mengungkapkan bahwa untuk membuat penduduk setempat tidak betah dan pindah, pemerintah Israel menggunakan berbagai cara, mulai dari memutuskan aliran listrik atau sambungan air hingga bentuk intimidasi lainnya.

Wartawan BBC, Martin Asser, pun mendapat kesaksian betapa warga-warga Arab di Yerusalem Timur mendapat perlakuan diskriminatif agar segera hengkang dari tempat tinggal mereka. Tidak sedikit warga mengaku telah mengalami diskriminasi dari otoritas setempat berupa larangan untuk membangun atau merenovasi rumah, tidak mendapat layanan yang semestinya dari pemerintah setempat kendati mereka juga bayar pajak, hingga pencabutan hak tinggal bila mereka ketahuan menetap atau menjadi warga negara di tempat lain atau berada di luar negeri selama lebih dari tujuh tahun. Israel tidak terang-terangan mengusir warga Arab-Palestina untuk keluar dari Yerusalem Timur. Namun, dengan cara-cara licik di atas, Israel membuat mereka menjadi tidak betah dan terpaksa pindah. Perlakuan berbeda justru diberikan Israel kepada warga Yahudi. Mereka kini diberi kesempatan untuk bermukim di Yerusalem Timur - wilayah yang telah didamba-dambakan rakyat Palestina menjadi ibukota mereka. Perlakuan diskriminatif di Yerusalem Timur itu justru menimbulkan anggapan bahwa Solusi Dua Negara, yang digembar-gemborkan petinggi Israel, hanya menjadi pemanis di bibir. Sehingga, meskipun kawasan tersebut pernah memunculkan tiga peraih nobel perdamaian, pada 1994-- yaitu Shimon Peres (Israel), Yasser Arafat (Palestina) dan Yitzhak Rabin (Israel)—hingga kini belum juga muncul tanda-tanda kawasan tersebut akan bebas konflik sepenuhnya. Atau dengan kata lain, “Teaching of Peace” memang masih relevan untuk Yerusalem, karena faktanya “damai” memang belum benar-benar tercipta di kawasan tersebut.

(c) Sumber : www.vivanews.com & Buku Muhammad Ilham, Sejarah Peradaban Dunia : Dari Phapyrus Hingga Internet, Padang: IAIN IB Press, 2000

Sabtu, 17 April 2010

Konteks Historis Peradaban Renaisan-Barat dan Islam-Timur : Sebuah Pengatar Pendekatan Sejarah Intelektual

Oleh : Muhammad Ilham

Setiap pemikiran dibentuk oleh sejarahnya (Ayatullah Murthada Mutahhari : 1978)

Zaman renaisans, yang diperiodesasikan oleh sejarawan dari abad ke 14 - 16 Masehi, merupakan salah satu titik diantara titik-titik pada garis kontinum sejarah peradaban dunia (terutama sejarah peradaban Eropa/Barat). Zaman yang dianggap sebagai abad keemasan (Golden Age) ini merupakan fase transisi yang menjembatani zaman kegelapan (Dark Ages) dengan zaman pencerahan (Aufklarung/Enlightenment Age). Kelahiran zaman renaisan, disamping karena perkembangan kapitalisme dan merkatilisme, faktor yang menstimuli kelahiran zaman ini adalah faktor adanya konflik yang cukup serius antara agama dengan ilmu pengetahuan. Kaum cendekiawan, filosof dan ilmuan secara bersama-sama melawan dogma-dogma dari gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran mutlak. Dalam konteks filsafat sejarah, daerah-daerah atau era yang "menyimpan" dinamika perdebatan intelektual yang konstan biasanya memiliki potensi untuk melahirkan generasi-generasi atau zaman terbaik. Beberapa daerah di Indonesia, misalnya, pada masa kolonial Belanda tercatat sebagai daerah-daerah yang "hidup" suasana intelektualnya dan "out-put" daerah tersebut memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah sejarah Indonesia. Dan biasanya daerah-daerah itu menjadi pusat pendidikan dan pusaran konflik pemikiran agama. Maka dalam sejarah Indonesia kemudian dikenallah beberapa daerah yang memiliki dinamika pemikiran intelektual yang dinamis dalam zamannya seperti Aceh, Batak dan Minangkabau di pulau Sumatera. Kemudian Menado untuk pulau Sulawesi. Daerah-daerah ini, pada zamannya, sangat intens terjadi perdebatan-perdebatan keagamaan dan kultural sehingga caerah-daerah ini (selain pulau Jawa) dicatat sebagai daerah yang "menghidupkan" perkembangan sejarah intelektual nusantara pada masa Kolonial Belanda.

Kembali ke renaisan, dengan pendekatan rasionalisme-empiris, mereka menggoyang dominasi dan hegemoni gereja yang selama ini sulit dikritisi bahkan cenderung tak terbantahkan. Persoalan besar kemudian muncul karena dalam menangani konflik antara ilmu dengan agama ini, gereja menggunakan kekerasan dan pendekatan represif. Pemikiran-pemikiran ilmiah yang berlawanan dengan doktrin (dalam hal ini : interprestasi kalangan agamawan) agama dan Al-Kitab, oleh gereja (Paus, Kardinal dan Uskup), dibasmi dengan cara membakar karya-karya keilmuan tersebut dan kemudian menyiksa bahkan membunuh (dengan metode : dibakar atau disalib) para ilmuan. Institusi gereja menggunakan lembaga pengadilan inkuisisi dan menjadikannya sebagai lembaga legitimate untuk menghadapi para kaum cendekiawan dan ilmuan tersebut. Institusi ini juga digunakan sebagai kekuatan represif dan akibatnya banyak ilmuan-ilmuan seumpama Galileo Galilei (1564-1642), Niccolas Coppernicus (1473-1543), Giularmo Sarvanolla, Giordarno Filippo Bruno (1548-1600), Johannes Keppler (1571-1630) dan lain-lain menjadi korban kekerasan inkuisisi ini. Sebagian dari mereka dibakar hidup-hidup atau disiksa sampai mati. Kematian Sarvanolla menjadi kisah yang paling monumental dan paling tragis akibat kesewenangan pejabat gereja. Sarvanolla merupakan biarawan sekte Dominikan. Tahun 1494, ia memproklamirkan perlawanannya terhadap kehidupan duniawi para Paus dan Kardinal. Disamping adanya kesewenang-wenangan para Paus dan Kardinal dalam mengkooptasi dan memonopoli secara sepihak interpretasi Al-Kitab, Sarvanolla juga muak melihat praktek keduniawian Paus dan Kardinal yang bertolak belakang dari sebagaimana fungsi dan peran mereka. Paus tidak segan-segan melakukan praktek kolusi dan korupsi dalam mengangkat pejabat gereja seperti yang dilakukan olkeh Paus Sixtus IV. Sementara itu, Paus Innocentius VIII tanpa malu-malu mengumumkan bahwa ia memiliki beberapa anak haram. Sementara, Paus Leo X suka dengan hal-hal yang megah dan menjual jabatan di gereja untuk memperbesar kekayaan. Sarvanolla kemudian menganjurkan agar kota Firenze menjadi kota suci supaya menjadi panutan kota-kota lainnya. Ia juga mencela Lorenzo di-Medici (penguasa Firenze) sebagai tiran "bertangan besi". Setelah di-Medici dijatuhkan melalui perlawanan rakyat, maka publik Firenze meminta Sarvanolla memerintah Firenze. Sarvanolla kemudian mengatur Firenze dari biara. Namun ini tak berlangsung lama. Beberapa lawan "politik"nya (tentunya dibackup gereja) berusaha menggalang kekuatan untuk menundukkan Sarvanolla. Akhirnya, khotbah-khotbahnya yang berisikan kecaman terhadap Paus, menyebabkan ia kemudian ditangkap. Ia dibakar di tiang gantungan. Para muridnya banyak yang menangis ketika Sarvanolla dibakar, sehingga kemudian, sejarah mencatat bahwa para murid-muridnya tersebut dipanggil dengan sebutan populer pada waktu itu, Piagnoni atau para penangis.

Tetapi perlawanan mereka terhadap dogma gereja menimbulkan implikasi yang cukup serius. Agama dan institusi yang mendukungnya semakin jauh dari filsafat dan ilmu pengetahuan serta para cendekiawan. Tragisnya perlawanan kaum cendekiawan dan ilmu pengetahuan di abad renaisan tersebut kemudian diwarisi oleh para ilmuan yang datang belakangan, diantaranya Charles Darwin (1809-1882), Karl Marx (1818-1883), yang dikenal sebagai pelopor utama gagasan sosialisme ilmiah yang tertuang dalam berbagai buku-bukunya seperti Das Capital dan Manifesto Communist, Bennedict Baruch Spinoza (1632-1677), Jean Jacques Rosseau (1712-1778) yang dianggap sebagai "perintis" jalan ke arah tercapainya Revolusi Perancis, Immanuel Kant (1724-1804), Voltaire (1694-1778) yang dikenal memiliki nama asli Francois Marie-Arouet dan dianggap sebagai "biang"nya Revolusi Perancis, Sigmund Freud "sang perintis" teori psikoanalisa (1856-1939) dan Rene Descartes (1591-1650). Maka tidaklah mengejutkan apabila konstruksi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan yang mereka bangun dan kembangkan, pada umumnya sangat bertolak belakang dengan doktrin-doktrin gereja abad pertengahan, bahkan konstruksi-konstruksi teori tersebut menafikan peranan agama. Sebagai contoh, teori evolusionisme Charles Darwin "menggugat" doktrin kreasionisme yang diajarkan oleh gereja.

Pada abad yang sama, dibelahan lain, tepatnya di dunia Islam terjadi pula perkembangan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Islam mencapai puncak kejayaan, sehingga pada masa ini, peradaban Islam dijadikan sebagai reference culture dan parameter bagi peradaban-peradaban lain. Teori-teori pengetahuan empiris dan filsafat Ibnu Khaldun, Ibnu Sina (Avessena) dan Ibnu Rusyd (Averoust) berkembang pesat dan menimbulkan berbagai kontroversi serta polemik yang berketerusan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd memang menimbulkan konflik dan pertentangan yang keras dari kalangan konservatif, khususnya kalangan Ahlussunnah yang bermazhab Imam Hambali. Tetapi penolakan tersebut relatif berlangsung secara beradab dan lebih manusiawi. Inilah yang membedakannya dengan apa yang terjadi di dunia barat-Kristen. Kekerasan penguasa Islam terhadap kaum cendekiawan atau ulama bukan berarti tidak ada, misalnya kasus al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar - tetapi dalam intensitas yang relatif kecil dibandingkan dengan kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh inkuisisi gereja terhadap kaum cendekiawan. Kekerasan dan kezaliman yang "bersumbu" pada gereja selama berabad-abad telah menanamkan benih-benih perlawanan serta akumulasi kebencian. Benih perlawanan dan akumulasi kebencian tersebut bukan hanya benih perlawanan yang sepihak atau satu kelompok saja, akan tetapi sudah mengarah kepada perlawanan kolektif. Perlawanan kolektif ini merupakan perlawanan yang dipelopori oleh kalangan cendekiawan dan filosof. Mereka menuntut adanya kebebasan dalam berfikir dan berkarya, menuntut digantinya pendekatan dogmatisme agama dengan pendekatan rasionalisme. Kultus dan mitologisasi kemudian diganti dengan de-mitologisasi dan sekularisme. Bahkan konsep-konsep kunci dan sakral dalam agama dikritisi bahkan dikeragui oleh para filosof. Keabsahan ajaran dan iman Kristiani bahkan dianggap bukan satu-satunya iman yang wajib diyakini. Kontak dan interaksi dengan "out-siders, terutama dengan peradaban Islam dan perjalanan yang dilakukan ke berbagai belahan dunia seperti penemuan benua Amerika dan perjalanan dagang ke Asia, menyebabkan orang Eropa (baca: dunia Barat) banyak mengenal bahwa ada iman dan agama lain yang - menurut mereka - lebih rasional dibandingkan dengan iman Kristiani. Legitimasi kekuasaan Tuhan digantikan dengan legitimasi kekuasaan rakyat.

(Artikel ini telah dipublikasikan dalam Koran Singgalang bulan Februari 2006 dan juga merupakan bagian dari buku Muhammad Ilham, Titik Balik Peradaban Eropa, 2005)

Kamis, 15 April 2010

Chairul Saleh : "Pejuang yang Dipinggirkan Sejarah "

Oleh : Muhammad Ilham

Ketika Tembok Cina selesai berdiri, kemanakah para budak di (ter)sembunyikan, mengapa justru Shih Huang Ti yang direkam sejarah ? .......... ketika Piramida selesai dibangun, kemanakah para budak dihilangkan, mengapa justru Firaun yang dicatat dalam sejarah ? (Ernst Bloch)

Ada satu "event" yang paling implikatif dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, yaitu peristiwa Rengasdengklok. Ketika membicarakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka Rengasdengklok akan selalu disinggung. Rengasdengklok seumpama "Bukik Marapalam" ketika membicarakan sejarah konflik dan asimilasi adat dan agama (Islam) di Minangkabau, seperti daerah Dien Bhin Pu ketika membahas ketokohan Ho Chi Minh di Vietnam atau seperti daerah Semanggi ketika mengupas seputar lahirnya era reformasi di Indonesia. Rengasdengklok dijadikan salah satu titik terpenting dalam merangkai narasi sejarah proklamasi Indonesia karena daerah ini menjadi tempat penculikan yang dilakukan oleh sejumlah pemuda yang dipimpin oleh Chairul Saleh dari Menteng 31 terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa atau lebih tepatnya diamankan ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi.

Dalam catatan sejarah dijelaskan bahwa Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong. Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka. Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta. Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya "diambil") dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor Laut Dr. Kandeler. Dan ..... sejarah menukilkan : Proklamasi Indonesia bersumbu pada Soekarno Hatta, Pemuda, Menteng 31 dan Rengasdengklok. Sejarah tidak "lupa" atau "melupakan diri" terhadap figur Soekarno-Hatta (walau untuk kasus Soekarno, terajadi reduksi ketokohan pada era Soeharto), demikian juga dengan daerah yang bernama Rengasdengklok dan Menteng 31. Setidaknya buku-buku sejarah yang diajarkan selalu mengekspose fakta-fakta di atas. Namun ada satu yang terkesan ambigue, yaitu Pemuda. Sejarah hanya mencatat bahwa Pemuda-lah yang memiliki kontribusi "menculik" dan memaksa Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sejarah (terutama yang diajarkan dan "dipaksakan" oleh rezim Orde Baru) tidak berani mengelaboreasi lebih detail, siapa-siapa saja "pemimpin" pemuda dan yang menjadi inspirator "penculikan" Soekarno-Hatta. Jadi jangan heran, apabila banyak orang Indonesia yang hanya berkutat pada kesimpulan, hanya pemuda yang memiliki kontribusi tersebut tanpa memiliki kemampuan elaboratif untuk menerangkan dan memahami siapa tokoh dari kelompok sosial yang bernama "pemuda" itu. Hal ini tidak bisa dipungkiri, memang telah terjadi "peminggiran" sejarah terhadap figur-figur sentral peristiwa Rengasdengklok tersebut. Peminggiran ini terjadi secara signifikan dan massif ketika Orde Baru memegang kekuasaan politik Indonesia. Sebagai rezim yang "alergi" dengan komunisme dan sosialisme serta Soekarnoisme, maka figur-figur yang berada dalam "konsorsium" ini, sebetapapun kontributifnya mereka, maka rezim akan "meminggirkan" mereka, bahkan terkadang menghilangkan mereka dalam catatan sejarah, salah satunya Chairul Saleh. Chairul Saleh, pemuda pintar yang memimpin kawan-kawan muda lainnya menculik Soekarno dan memaksa memproklamirkan kemerdekaan RI, tidak disebut-sebut dalam catatan sejarah. Ia dilebur dalam sebuah konsep yang bernama "pemuda".

Nama lengkapnya Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo, lahir 13 September 1916 di Sawahlunto (Sumatera Barat). Sebagai anak dokter, dia mendapatkan pendidikan terbaik, siswa sekolah dasar ELS Bukittinggi kemudian melanjutkan di HBS Medan.
Menurut kesaksian BM Diah, "Di Medan, hampir setiap hari saya berpapasan dengan orang muda yang bersepeda. Pemuda itu tampan, badannya berisi dan caranya mengayuh sepeda seperti atlet terlatih. "Saya mengenal Chairul waktu saya jadi mahasiswa RHS. Pada waktu itu dia Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia," kata Subadio Sastrosatomo sambil melanjutkan, "Kesan saya, dia selalu memonopoli semangat nasionalisme, sebab dia menilai mahasiswa yang tidak menjadi anggota PPPI bukan nasionalis. Sebagai mahasiswa RHS, jalannya, gayanya selalu menunjukan, ini lho nasionalis." Sementara SKTrimurti, tokoh wanita pejuang melukiskan, "...penilaian saya, Chairul selalu kurang ajar" (Tempo, Agustus 2007). Maklum, dia tokoh pemuda dan selalu berjiwa muda. Bahwa Chairul tokoh pemuda yang konsisten dalam kata dan tindakannya, nampak menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang. Ia mengajak teman-temannya menentang kaum tua yang masih percaya kepada ketulusan sikap Jepang, membantu persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia menolak ikut keanggotaan Badan Persiapan Usaha Pencarian Kemerdekaan Indonesia. Ia juga berada di balik aksi penculikan Soekarno-Hatta sehari menjelang proklamasi kemerdekaan. Sumbangan terbesar Chairul mungkin pada keberaniannya mempertahankan pendapat saat perumusan Naskah Proklamasi. Bung Karno, yang (mungkin) mengacu kepada penyusunan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, meminta semua hadirin bertanggung jawab, karena itu mereka harus mencantumkan tanda tangan. Sebaliknya, Chairul dengan tegas menentang. Ia berpendapat, sebagian dari hadirin adalah pegawai Jepang. Bagaimana mungkin, mereka ikut menandatangani proklamasi? Apa sumbangan mereka kepada perjuangan kemerdekaan. Chairul ngotot mempertahankan pendapatnya. Ia tidak mau berkompromi. Kenekatannya saat itu dalam mempertahankan keyakinan mungkin malahan bisa menggagalkan pembacaan proklamasi. Akhirnya, Bung Karno menyerah. Naskah proklamasi, atas nama bangsa Indonesia, (hanya) ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta. Pada sisi lain, selaku penentang Konferensi Meja Bundar, Chairul kembali masuk hutan, begitu kedaulatan Indonesia diserahkan. Ia memimpin laskar rakyat dan berjuang melawan Republik Indonesia Serikat. Tahun 1950 Chairul ditangkap Kolonel Nasution, dipenjarakan dan kemudian dibuang ke luar negeri. Dia muncul kembali di Tanah Air, persis ketika Bung Karno sedang menata pemerintahan dengan prinsip Demokrasi Terpimpin. Kali ini, Chairul dengan sadar menjadi pendukung gigih Presiden Soekarno. Sebaliknya, Bung Karno yang saat itu sedang memperluas basis dukungan politik, memerlukan dukungan massa pemuda yang dikuasai Chairul. Bintang Chairul melesat. Diangkat jadi Menteri Veteran, lalu Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan sampai akhirnya, Wakil Perdana Menteri III. Kecuali itu, jabatan politiknya melonjak, dari Ketua Angkatan 45 diangkat selaku Ketua MPRS.

Dari sekian jejaknya, masyarakat masa kini mungkin tak tahu tekad Chairul membela prinsip negara kepulauan. Konsepsinya mengenai Wawasan Nusantara, di mana batas teritorial secara sepihak ditentukan 12 mil laut (agar semua laut yang ada di antara pulau-pulau jadi wilayah teritorial) langsung diberlakukan pemerintah Indonesia tanggal 13 Desember 1957. Pemikiran Chairul ini baru bisa disahkan tahun 1982 dalam konvensi internasional tentang Hukum Laut di Montego Bay, Jamaika. "Perjuangan tersebut memakan waktu 25 tahun. Saya beruntung mendapat dorongan dari Uda Chairul Saleh. Dari tidak ada sampai tercipta dan diterimanya konsepsi Wawasan Nusantara, sekaligus diterimanya konsepsi baru kita ini," kata Prof Dr Mochtar Kusuma Atmadja mengenang keteladanan Chairul. Tapi, sejarah sering menyeret seseorang ke arah lain. Pada masa Orde Lama, massa komunis dengan gegap gempita menuding Chairul gembong kapitalis birokrat yang harus dilenyapkan. Namun, dalam masa pancaroba kebangkitan Orde Baru, dia malahan masuk tahanan karena dianggap pendukung Soekarno. Meskipun telanjur mati dalam tahanan (8 Februari 1967) dan tidak sempat diajukan ke depan sidang pengadilan, "...yang dapat saya beritahukan, Bung Chairul tidak terlibat G30S/PKI," begitu pernyataan Panglima TNI-AD Jenderal Soeharto, ketika secara pribadi mengirimkan ucapan bela sungkawa kepada istri Chairul Saleh.

Pertanyaannya kini, sebagai politikus ulung yang pasti membaca tanda-tanda zaman, mengapa dia tidak mau pindah posisi ketika fajar kebangkitan Orde Baru muncul di cakrawala? Mengapa dia tidak sebagaimana Adam Malik, rekannya sesama tokoh Murba, melakukannya? Mengapa Chairul tidak menjadi tikus-tikus yang berebut meninggalkan kapal karam, seperti kelakuan rekan-rekannya semasa regim Soekarno mulai nampak menyurut? Analisis tentang ini dengan indah dilukiskan oleh Mochtar Lubis. "...tak ubahnya seperti pahlawan Yunani kuno, melakukan apa yang mereka yakini harus mereka lakukan, karena itulah suratan hidup yang ditentukan para dewata. Mereka tahu yang menanti adalah nista dan maut. Namun, dalam tragedi yang mereka masuki dengan kesadaran, mereka mencapai kebesaran yang tidak sempat diraih semasa (mereka) masih hidup." "... di mata saya, sebagai seorang sahabat, dia tampil sebagai tokoh pahlawan tragis," kenang Mochtar Lubis (Tempo, Agustus 2007). Chairul Saleh dengan penuh kesadaran melangkah menjalani nasib yang dipilihnya, karena itulah kewajiban yang harus dilaksanakan. Inilah puncak tragedi seorang pejuang kemerdekaan yang sangat memilukan.

Referensi : Asvi Warman Adam (2009)


Fenomena Klan Mallarangeng dalam Ranah Politik Indonesia

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Mallarangeng, nama itu tiba-tiba saja begitu terkenal. Peran Rizal Mallarangeng sebagai desaigner kampanye SBY yang menghebohkan, Fox yang dikomandani Choel Mallarangeng dan tingkah pola Andi (Alfian) sang jubir kepresidenan. Meski pro dan kontra, harus diakui bahwa Mallarangeng bersaudara sangat prestisius. Ganteng, muda, pintar dan kaya.

Andi Alfian Mallarangeng


Dinasti Mallarangeng mulai naik ke permukaan, ketika Andi (Alfian) Mallarangeng yang semula hanyalah seorang pengajar di Universitas Hasanuddin bergerak mengikuti laju reformasi. Pria kelahiran Makassar 14 Maret 1963 ini bergabung dalam Tim Tujuh yang diketuai Prof. Ryaas Rasyid di masa pemerintahan B.J. Habibie yang bertugas merumuskan paket Undang-undang politik yang baru dan undang-undang pemerintahan daerah. Nama Andi makin berkibar ketika terpilih mewakili pemerintah di Komisi Pemilihan Umum (KPU), 1999. Komentar dan pendapatnya dikutip media. Andi pun kemudian dipercaya menjadi staf ahli Menteri Negara Otonomi Daerah. Bersama bosnya ini, dia kemudian mendirikan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). Saat pendeklarasian, Minggu, 28 Juli 2002 di Hotel Horison Jakarta, Susilo Bambang Yudhoyono yang ketika itu Menko Polkam ikut menghadiri. Andi mengenalkan PDK sebagai partai masa depan yang mengedepankan persatuan bangsa dan Andi sebagai kandidat presidennya. PDK berhasil meraih 1,16% suara dan mendapat lima kursi di DPR. Suatu prestasi yang cukup bagus untuk partai baru. PDK kemudian mengusung Wiranto sebagai presiden. Keputusan ini menyebabkan Andi keluar dari PDK, sebab dengan suara lima kursi, PDK seharusnya memilih beroposisi. Andi pun bergabung dengan SBY-JK. Ketika pasangan itu menang, Andi diangkat menjadi Juru Bicara Kepresidenan. Kemudian Andi, yang selalu pedas dengan Wiranto ini, pun resmi bergabung dengan partai Demokrat, Januari 2008.

Andi Rizal Mallarangeng


Pria yang dikenal dengan Celli ini akhir-akhir ini menghebohkan terutama dengan kritikannya yang tajam terhadap Prabowo. Berbeda dengan Andi yang kalem, Celli agak temperamental. Ketika kuliah di UGM, Rizal rajin menulis opini di Tempo dan Kompas. Konon, Tempo yang mengusahakannya kuliah di Ohio State University, Columbus, Amerika. Saat kembali ke Indonesia, 2001, Rizal terlihat memandu siaran televisi selama 12 jam saat kekuasaan Abdurrahman Wahid di ujung kekuasaan dan baru berhenti saat Megawati dilantik menjadi presiden 23 Juli 2001 sore. Usai siaran, Rizal mengaku ditelpon Taufiq Kiemas dan kemudian menjadi ikon penting Megawati setiap perjalanan ke luar negeri. Pidato Megawati saat berkunjung ke Amerika, menurut Rizal adalah konsepnya. Ketika kunjungan Megawati ke India, Rizal dikabarkan memesan "ayam India" (pelacur) seperti yang dikatakan Esty, mahasiswa asal Indonesia di salah satu milis. Isu ayam India itu tidak menyurutkan hubungan Rizal dengan Megawati. Saat pilpres 2004, Rizal masih dipercaya menjadi tim sukses Mega Hasyim. Pria kelahiran Parepare, 29 Oktober 1964 ini pasca kekalahan Megawati dipercaya menjadi anggota Tim Sebelas Lembaga Kepresidenan yang digagas sang kakak dan Deny Januar Aly. Tim yang beranggotan M. Chatib Basri, Lin Che Wei itu memiliki peran strategis dalam merancang kabinet baru Yudhoyono.

Rizal kemudian mengajukan proposal mendirikan Freedom Institute kepada Bakrie. Lembaga yang di Amerika dikenal sebagai lembaga pengelola korban pecandu narkoba ini, di Indonesia lebih berperan dalam penggiringan opini. Bakrie yang dikenal Rizal selagi mahasiswa ini, kemudian membawa Rizal sebagai staf ahli Menko kesra. Meski dikenal pendukung Megawati, Rizal bersama Goenawan Muhamad, Lin Che Wie, Iksan, Chatib Basri, Raden Pardede, Sofyan Wanandi dan Todung Mulya Lubis dan sang kakak Andi dari Freedom Institute memasang iklan di kompas, 26 Februari 2005 yang mendukung kenaikan BBM.Freedom institue resmi berdiri pada 2001 diketuai Rizal sebagai Direktur Eksekutif, Saiful Mujani (pimpinan LSI) sebagai direktur riset, Luthfie Asysyaukanie sebagai deputi direktur dan Hamid Basyaib sebagai direktur program. Andi Mallarangeng, M. Chatib Basri, Mohamad Iksan, Nirwan Dewanto, Ahmad Sahal, dan Ulil Abshar Abdallah tercatat sebagai Associates.

Rizal kemudian dipercaya Surya Paloh untuk menjadi pembawa acara "Save Our Nation" di Metro Tv. Hubungan Rizal dengan Megawati memburuk saat Rizal mencalonkan diri menjadi capres alternatif. Saat pencalonan tersebut, Rizal meminta Yudhoyono untuk tidak mencalonkan diri lagi. Rizal menyatakan mampu memimpin Indonesia, pembangunan saat ini tidak begitu cepat, mulai dari infrastruktur, pengangguran, kemiskinan, ekonomi dan BBM. Pilihan Rizal ini ditanggapi Andi, "wajar dalam demokrasi. Itu artinya dia sudah tidak mendukung Megawati. Mungkin selangkah lagi mendukung SBY,” Rizal muncul di dalam kereta yang ditumpangi Boediono, saat akan menuju Bandung, untuk acara deklarasi, 15 Mei 2009. Dia menjadi ketua rombongan Boediono. Masih menurut Jawa Pos, beberapa anggota rombongan terkejut melihat kehadiran Rizal. Dalam perjalanan di kereta api itu, Rizal bahkan tidak berhenti “digoda” oleh anggota rombongan lain termasuk Boediono. “Kamu sabar dulu ya, tunggu 2014,” kata Boediono. Dewi Tjakrawati, istri Rizal ikut menimpali. “Tenang Pak Boed, pas deklarasi, Celi saya ikat biar tidak lepas ke panggung,” tuturnya lantas tertawa. Semua yang mendengar ikut tertawa. Rizal tersenyum kecut.

Andi Zulkarnain Mallarangeng


Pria yang dikenal sebagai Choel ini tidak seterkenal kedua kakaknya. Choel adalah pimpinan utama Fox, yang digagas Rizal, yang berdiri sejak 14 Februari 2008. Fox adalah konsultan politik untuk korporasi, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden, Strategic and Political Consulting terdiri dari tiga divisi yakni divisi korporasi, divisi politik dan divisi produksi (media). Jasanya meliputi pembiayaan, perencanaan strategis, relasi dan peliputan media. Nama Fox mulai berkibar saat mengantarkan Alex Noerdin menjadi Gubernur Sumatera Selatan September 2008. Strategi pertama adalah membombardir seluruh Sumatra Selatan dengan iklan di televisi, radio, dan koran. ”Kami perlu merebut air supremacy, untuk softening the ground, sebelum ’serangan darat’ dilancarkan,” kata Zulkarnain.

Setelah itu Fox melakukan survei untuk mengetahui kabupaten mana yang masih resistan, mana yang sudah lunak. Rencana kampanye pun kemudian disusun untuk memenangi hati pemilih di daerah-daerah yang masih enggan memilih Alex. Hasilnya Alex terpilih menjadi gubernur. Padahal kata Zulkarnain, enam bulan sebelum hari pemilihan, popularitas Alex hanya 32 persen, jauh di bawah popularitas Syahrial. Sukses itu mengantarkan Fox mendapatkan klien kakap Sutrisno Bachir dengan nilai kontrak 120 milyar. Saat baru meraup 40 milyar, Sutrisno merasa dikadali, karena iklan Rizal di televisi dengan statement "if there is a will, there is a way" menimpali kata-kata Sutrisno "hidup adalah perbuatan.". Konon, gara-gara itu Rizal didepak dari Fox Indonesia dan mendirikan RM09.

Choel dan Foxnya kemudian mendapatkan kepercayaan dari Demokrat dan SBY mulai dari pileg hingga pencitraan SBY. Hasilnya Demokrat melejit. Segudang ide untuk metode dan strategi kampanye Demokrat juga muncul dari Zulkarnain. Salah satunya adalah kampanye hari terakhir Demokrat di Magelang, Jawa Tengah. Saat semua partai gencar melaksanakan rapat akbar di lapangan terbuka dengan ribuan massa, Demokrat justru menyewa gedung pertemuan yang mampu menampung 500 orang. Jumlah yang sedikit memang tapi Zulkarnain memboyong seratusan jurnalis dari Jakarta untuk meliput kegiatan tersebut. “Itu kampanye modern. Tidak perlu mengerahkan banyak massa, tapi efektif. Pesan tersampaikan,” kata Zulkarnain. Dalam belanja iklannya, Zulkarnain lebih memilih menggunakan strategi media spinning. Misalnya dengan menampilkan wajah Yudhoyono di harian terbesar di Indonesia di halaman depan dengan setengah halaman tambahan. Jenis iklan flap-ads itu jarang digunakan di Indonesia. Selain Demokrat dan Yudhoyono, klien Fox yang lain adalah Edhie Baskoro, putra bungsu Yudhoyono yang maju sebagai kandidat legislator di wilayah kampung halaman sang Bapak. Ongkos untuk Ibas –panggilan Edhie termasuk murah, hanya Rp 10 miliar.

(c) Dari berbagai sumber/diskusi di Facebook dan kaskus.com/

Rabu, 14 April 2010

Dari Diskusi dan Pemutaran Film Dokumenter "Selopanggung" (Tan Malaka)

Oleh : Muhammad Ilham

Rasanya, membicarakan Tan Malaka, seakan-akan tak pernah kehabisan bahan. Putra Pandan Gadang Suliki ini, terlalu menarik untuk diperbincangkan. Dalam balutan fisik yang sakit-sakitan, ia mampu melahirkan inspirasi intelektual dan pergerakan, sesuatu yang sulit ditemukan pada aktor besar sejarah Indonesia lainnya. Kehidupan yang berpetualang, zigzag lagi misterius serta "terkesan dingin terhadap prestise dan wanita", Tan Malaka menjadi sosok yang paling menarik untuk dibedah, dikupas dan dikiritisi. Sayang, kebesaran kontribusinya bagi arah pembentukan bangsa ini serta pemikirannya yang jauh melintasi zamannya, justru berakhir tragis. Kematian yang "ditangisi" sejarah. Namanya kemudian menjadi "of the record" dan dipinggirkan dalam layar sejarah. Jasa besar-nya justru dikerdilkan, termasuk oleh pemilik rahim-nya, orang Minangkabau sendiri. Dalam konteks inilah, pada hari Rabu tanggal 14 April 2010, komunitas Pecinta Tan Malaka dari Jakarta melakukan persinggahan terakhir Road Show-nya ke beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, tepatnya di IAIN Padang. Diskusi berlangsung sangat "hangat-bergairah" yang dihadiri hampir 800 peserta (mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Kota Padang). Bersama-sama dengan Prof.DR. Zulhasri Nasir dan Devy SP. (Sutradara dari IKJ), dilakukan diskusi dan pemutaran film "Selopanggung", sebuah nama yang diasumsikan para Tan Malaikaist (Harry Poetze, Rudolf Mrazek, Herly Javis maupun Ted Sprague) sebagai tempat singgah "terakhir" Tan Malaka di dunia fana ini, ia di eksekusi oleh instrumen negara yang ia perjuangakan dengan peluh, keringat dan badan ringkih. Tragis !!

Dalam kegiatan ini, Prof. DR. Zulhasri Nasir (Guru Besar Universitas Indonesia, Pengarang Buku : "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau) bersama dengan Prof. DR. Mestika Zed (Guru Besar-Sejarawan UNP) dan Muhammad Ilham (Dosen Sejarah IAIN Padang) serta Muhammad Nasir (PK. Magistra) bertindak sebagai pembicara-narasumber. Dalam paparan, Muhammad Ilham menekankan bahwa Tan Malaka adalah Pahlawan Off the Record, "orang besar" yang dikecilkan dan dipinggirkan karena pilihan "takdir" ideologi. Sejarah adalah milik pemenang yang berarti mereka juga punya peran sebagai penguasa. Ceritanya bisa dikarang, dilegitimasi, dan diajarkan di sekolah-sekolah sesuai keinginan para pemenang yang serakah ini. Dan dalam kenyataannya sejarah manipulatif lahir, karena tidak ada kesadaran kritis dari masyarakatnya. Dalam konteks inilah kita menyadari bahwa sejarah “kiri” adalah sejarah yang dilupakan. Sejarah “kiri” adalah cerita kecil yang tak dirangkai bersama-sama dengan cerita besar yang dominan, sehingga sejarah kita bukanlah sejarah yang utuh. Cerita besar yang dominan hanya berisikan ketakutan, kekejaman, kebusukan orang “kiri”. Orang “kiri” memang telah dicap sebagai “pemberontak”. Pemberontakan itu tak dimaknai sesuai dengan kapasitas definitifnya. Perlawanan PKI pada pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1926 tidak dimaknai sebagai upaya mengusir kolonialisme. Sebagai tokoh kiri, pemikiran Tan Malaka pasca-reformasi mulai bercahaya di tengah masyarakat hedonis-kapitalis kontemporer. Pemikirannya memberikan ingatan sosial, bahwa Indonesia dulu memiliki tokoh besar yang tak kalah hebatnya dengan filsof, ilmuwan, dan teknokrat barat. Tak hanya sebagai aktivis pergerakan, ahli perang, penguasa bahasa. Gagasan besar lahir dari pikiran-pikiran Tan, membuka optimisme sebagai intelektual besar yang berasal dari “warga Indonesia”.
Sebagai seorang intelektual, Tan Malakal-ah yang menginspirasi berdirinya Negara “Republik Indonesia’. Rumusan naskah akademik Naar de 'Republiek Indonesia' (1925) yang muncul dari gejolak pemikiran sang intelektual yang memimpikan kemerdekaan Indonesia ―negeri tempat ia dilahirkan dan dibesarkan―yang seutuhnya. Buku yang lahir sebagai reaksi kapitalisme Indonesia yang saat itu dipengaruhi oleh kapitalisme kolonial Belanda, mendorong adanya pembangunan bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi, dalam pemikiran Tan Malaka harus lebih dikedepankan ketimbang politik. Kemandirian ekonomi merupakan modal utama yang mendesak untuk mensejahterakan masyarakat. Ekonomi harus dibangun melalui memperbanyak koperasi, menasionalisasi perusahaan, bank, pabrik, berikut pemberdayaan potensi tenaga kerja. Setelah ekonomi membaik, keluar dari krisis, politik dengan sendirinya akan berkembang. Tumbuh kembangnya perkumpulan, serikat, komunitas, dan terimplementasinya hak sosial, ekonomi, dan politik. Tan Malaka memiliki mimpi. Dalam mimpi Republik Tan, proyek emansipasi pendidikan masyarakat Indonesia juga menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan. Situasi kolonial membuat hanya beberapa gelintir saja warga Indonesia yang mampu membaca dan menulis. Kebodohan hanya akan memperkuat kedudukan imperialisme Belanda untuk mengeksploitasi sumber daya nasional.
Dalam konteks pendidikan inilah, Tan tampil sebagai sosok yang tak hanya menyarankan, melainkan telah mencontohkannya. Kerja keras dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, membuatnya haus belajar. Dalam kondisi pengejaran, Tan tetap membaca dan menulis. Bahkan dalam penangkapannya, Tan melahirkan buku “Dari Penjara ke Penjara”. Republik dalam benak Tan haruslah menginisiasi kesesuaian konsep negara dengan susunan sosial ekonominya. Republik itu tak hanya Negara yang dipimpin oleh warganya sendiri―bukan dipimpin oleh penjajah, melainkan berdiri kokoh secara defensif untuk melindungi segenap masyarakatnya. Indonesia dengan keragaman kebudayaan dan lautan yang memisahkan berbagai pulau, dalam pandangan Tan hanya dapat dipersatukan dalam konsep Republik Indonesia Merdeka. Kondisi inilah yang membuat pluralisme Indonesia sangat rentan terkena terpaan politik devide et empera Belanda. Sebab itulah Republik yang mempersatukan berbagai keragaman ini harus terbangun kokoh di tanah Indonesia. Dengan republik impian Tan inilah, ilmu pengetahuan tidak ditimbun oleh negara-negara penjajah, melainkan dapat dipergunakan oleh kemakmuran bangsa. Republik Indonesia itu mencerminkan terlaksananya tranformasi pendidikan, kebersatuan dari keberagaman masyarakat, dan pelaksanaan cita bangsa. Kecintaan Tan Malaka pada ilmu pengetahuan terbukti dalam magnum opusnya “Madilog”, dimana ia menjelaskan posisi “cara berpikir” ilmiah dan filosofis. Dengan memanfaatkan perkembangan tekno-sains untuk menjawab persoalan ontologism dan epistemik.

Sementara itu, pembicara yang lain - Muhammad Nasir yang dikenal sebagai aktifis Magistra mengatakan bahwa popularitas bukanlah tujuan utama dari asesmen yang dilakukan di atas. Tetapi melalui upaya tersebut diharapkan gambaran singkat tentang profil pahlawan asal Minangkabau atau Sumatera Barat di mata “kaumnya” sendiri. Apalagi Pasca Orde Baru dan menggebu-gebunya semangat otonomi daerah, Sumatera Barat tidak ketinggalan mengacungkan beberapa nama yang dianggap pantas menjadi “Pahlawan Nasional”. Misalnya, setelah kisah sukses mengajukan Muhammad Natsir agar di-SK-kan sebagai pahlawan nasional, selanjutnya Sumatera Barat juga memperjuangkan HAMKA, Roehana Kuddus, Sutan Alam Bagagarsyah dan yang lainnya sebagai pahlawan nasional. Perjuangan mempahlawankan orang besar asal Minangkabau bukanlah sebuah kesalahan. Justru merupakan langkah maju untuk memperbaiki historiografi nasional Indonesia, mengapresiasi gerakan lokal dalam perjuangan kemerdekaan dan untuk kebenaran sejarah itu sendiri. Tetapi di samping itu patut juga dipertimbangkan esensi dan dampak yang logis dari mempahlawankan seseorang. Kepahlawanan merupakan penggalan cerita sukses perjuangan. Ada banyak manfaat yang akan diperoleh dari pahlawan, di antaranya ide-ide besar, semangat perjuangan dan patriotisme, pesan-pesan perjuangan dan bengkalai kerja yang mesti dilanjutkan. Kepahlawanan Tan Malaka meniscayakan kerja besar etnis Minangkabau untuk masa mendatang. Tak terbayangkan jika generasi sekarang hanya bisa mengaku berjasa dengan hanya memperjuangkan seseorang menjadi pahlawan lalu menjajakannya sebagai cerita sukses yang dijual dalam kampanye pilkada tetapi tidak mengambil semangat dan ajaran orang yang dipahlawankan itu, maka bisa-bisa generasi sekarang “ketulahan” istilah pahlawan itu sendiri karena pahlawan telah menjadi “idol” melebihi “hero”. Tak akan maju-maju. Cerita kepahlawanan saat ini sejatinya diupayakan lahir dari tindakan nyata para penyelenggara negara. Pembacaan yang tepat dan tindakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi amburadulnya masa depan negara Indonesia yang justru jauh dari cita-cita “merdeka 100%”-nya Tan Malaka. Suatu yang patut direnungkan dari pernyataan Tan Malaka bahwa rakyat dan kebudayaannya itu merdeka, bahkan negarapun tak boleh menjajahnya.

Kematian Tan Malaka memang masih simpang siur. Menjelang tes DNA Tan Malaka selesai, sementara ini ia boleh dianggap hilang tak tentu rimbanya, mati tak tahu kuburnya. Selopanggung, tempat yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai kuburan Tan Malaka bolehlah dianggap sebagai tempat di mana tulang belulangnya ditanam. Selain itu tugas berat sedang menanti kita, yaitu mencari kebenaran tentang sebab musabab kematiannya. Tetapi di mana “Maqam” selayaknya bagi Tan Malaka di hati orang Indonesia dan Minangkabau khususnya lebih patut dipikirkan. Perlukah meletakkan seseorang di posisi kanan, kiri, tengah dan sebagainya dalam konteks gerakan kemerdekaan Indonesia? Ada yang menjawab penting dengan alasan agar kita lebih mudah mengenali seorang tokoh melalui kecendrungan politik dan ideologinya. Ada juga yang menganggap tidak penting, karena pemosisian itu justru akan menzalimi dan menenggelamkan ketokohan seseorang.

Agaknya, kedua opini di atas ada benarnya dan bisa diterima. Alasan pertama menjadi penting mengingat peminggiran alasan ini berakibat kaburnya cara pandang generasi yang dibesarkan historigrafi “sekolahan” sehingga hanya dapat mengenali tokoh-tokoh dari kulit luarnya saja. Akhirnya apresiasi terhadap ketokohan seseorang berkurang karena tidak ada cita rasa istimewa yang diperdapat melalui pengetahuannya tentang seorang tokoh. Tentang alasan kedua, agaknya dipengaruhi oleh trauma amburadulnya historiografi nasional –terutama orde baru- yang menghapuskan beberapa tokoh hanya karena berhaluan kiri, ekstrim kanan dan sebagainya. Termasuk Tan Malaka yang sedang dibincang ini. Karena generasi sekarang dibesarkan ingatannya oleh historiografi yang zalim, maka sepantasnya pula ingatan itu diperiksa kembali melalui pembacaan intensif terhadap karya-karya besar Tan Malaka yang untuk saat ini tidak begitu sulit diperoleh. Booming buku Tan Malaka rasanya sudah cukup memadai untuk memeriksa kembali ingatan tersebut. Belum lagi ketersediaan bahan digital di internet. Oleh sebab itu maqam yang paling logis untuk Tan Malaka saat ini adalah di dunia akademis. Karya-karya Tan Malaka dari dahulu hingga sekarang mungkin saja telah diterapkan aktivis pergerakan pemuda sebagai buku “how to” perjuangan. Tetapi sepertinya itu belum cukup, karena dunia akademis kitapun masih alergi menjadikan karya Tan Malaka yang sarat muatan akademis sebagai referensi. Terakhir ini saya telah memeriksa beberapa silabus matakuliah filsafat umum dan filsafat ilmu namun tidak ada buku Tan Malaka di sana, misalnya, Madilog yang beberapa bagiannya merupakan subtopik dari mata kuliah tersebut.

Bak kata kawan saya, Muhammad Nasir "Salo"Setiap orang Minang yang berniat hendak turun di Jalan Tan Malaka akan selalu menyebut “Tan Malaka, Kiri!” ... Ado Tan Malaka?, kata sang sopir. Tan Malaka, kiri! ... Tan Malaka, pinggir! ... Tan Malaka ciek!. Bukan hanya itu, semua pahlawan yang dijadikan nama jalan selalu saja dicap “Kiri” ::::::: dan, di Selopanggung, Tan Malaka putra Pandan Gadang Suliki yang diakui oleh Komintern Internasional sebagai "orang paling berpengaruh di Asia" pada zamannya, dikuburkan, setelah dieksekusi. Selopanggung menjadi saksi bisu, bahwa terkadang sejarah tidak selalu berpihak pada "pahlawan yang sebenarnya".

(Setelah diskusi dan pemutaran film berlangsung, rombongan dari Jakarta beserta perwakilan mahasiswa se-Kota Padang memancangkan Plank Merk Jalan Tan Malaka di samping RRI Padang .......... bukan untuk mengkultuskan, tapi sekedar mengingatkan bahwa "rahim" Minangkabau pernah melahirkan orang besar se-kaliber Tan Malaka)

Senin, 12 April 2010

Calon yang Rakus (Cerita Ringan Pilkada Sumbar)

Oleh : Muhammad Ilham

Sumatera Barat dan mungkin juga di daerah lain, ”epidemi” deman Eleksi Politik (dalam hal ini : Pilkada) mulai terasa. Sebagaimana halnya tahun 2009 yang lalu (Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden), maka jelang Pilkada Juni 2010 yang akan datang, meman Eleksi Politik (dalam hal ini "rah lain, "enarik sekali melihat “kesan-kesan” yang kita tangkap pada masa jelang Pilkada tersebut. Setelah hampir satu tahun, publik tidak lagi disuguhi janji-janji dan seribu satu harapan, sekarang publik dihadapkan lagi pada seruan (appeal) berupa harapan dan janji tersebut. Lihatlah spanduk, baliho ataupun sticker dan ragam jenis instrumen sosialisasi lainnya. “Calon Gubernur dan Wabup yang Terbukti Membuat Perubahan”, “Mari Babaliak ka Surau”, “Calon Bupati dan Wabup yang akan Sejahterakan Rakyat”, ”Menciptakan Masyarakat Madani”, ”Calon yang Layak Memimpin” dan seterusnya dan seterusnya yang pada prinsipnya membuat kita mengklaim mereka “panduto raya”. Dalam kondisi ini, timbul indentifikasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan sang calon. Sedapat-dapatnya, sang caleg menciptakan kesan berfikir menurut jalan rakyat. Tapi apapun yang dilakukan oleh para calon belakangan ini, wajar-wajar saja. Sosialisasi yang berhasil, menurut sosiologi politik, adalah yang mampu mengadakan “political engineering” – suatu penyiasatan politik untuk mencapai tujuan politik dan mewujudkan kemauan politik tertentu, dengan cara menciptakan suatu kerangka berfikir menurut kerangka acuan kelompok.

“Historia Vitae Magistra”, kata Bennedicto Croce. Sejarah memberi pengalaman. Pengalaman historis bangsa kita, memberikan pelajaran yang sama. Kolonialisme yang ingin ditumbangkan melahirkan kondisi kerangka berfikir yang sama dalam benak setiap anak bangsa kala itu. Indonesia merdeka pun menjelma. Kemudian, lahir sejumlah kelompok dan partai politik. Kemudian saling gontok-gontokan. Kemudian, terjadi instabilitas. Kemudian, kemudian dan kemudian. Menjadi pertanyaan : “Mengapakah orang-orang yang tadinya demikian bersatu padu, dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi amat terpecah belah?”. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali membuat rakyat menjadi masygul dan kritis menghadapi seruan politik dalam berbagai kampanye. Persatuan kepentingan dengan mereka dikerahkan sehabis-habisnya tatkala suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan suatu perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai memperlihatkan hasilnya, mereka cenderung tidak diutamakan lagi, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat ketika lagi berjuang. Ungkapan “Calon Gubernur dan Wabup yang Terbukti Membuat Perubahan”, “Mari Babaliak ka Surau”, “Calon Bupati dan Wabup yang akan Sejahterakan Rakyat”, ”Calon yang Layak Memimpin” menjadi kehilangan makna.

Kalau dulu, jelang Pemilihan Legislatif, saya pernah mendengar nyanyian anak-anak yang baru pulang dari Didikan Subuh : Berakit-rakit ke hulu/berenang-renang ke tepian/bersakit-sakit dahulu/bersenang-senang sendirian/. Saya lihat kemudian, rupanya mereka bernyanyi menghadap pada baliho gambar seorang Caleg yang terletak dekat musholla. Setelah nyanyi, mereka pun ketawa dan salah seorang nyeletuk, “Calegnyo bencong, lai laki-laki tapi bibianyo bagincu” (Rupanya ada beberapa caleg kala itu yang ingin tampil sempurna, lalu mensiasati foto-nya yang sebenarnya tidak gagah-berwibawa menjadi gagah-berwibawa, dan salah satunya adalah tampilan bibir yang tebal-hitam dari sang caleg "direkaya-digital" dengan menipiskah dan memerahkan bibir, seperti tampilan banci-waria-bencong). Beberapa hari ini, saya mendengar celetukan dari beberapa orang anak-anak yang berdiri di depan baliho seorang Calon Gubernur : ”Haaa ..... mancalon pulo baliak, apak ko kan baru tahun patang mancalon, kini mancalon pulo .... iyo rakuih bapak ko maa ?” (Translate : ”Bapak ini kembali lagi mencalonkan diri, padahal tahun kemaren, si Bapak ini sudah mencalonkan diri .... Rakus betul Bapak ini!). Rupanya, si anak masih merekam dalam memori mereka gambar seorang calon Gubernur yang kebetulan juga Walikota yang (baru) terpilih tahun 2009 yang lalu. Rupanya, sang Walikota ini ingin menaikkan ”derajatnya” jadi Gubernur. Dan ..... anak-anak yang lugu ”menjudge”nya sebagai insan yang rakus. Anak-anak terkadang menyuarakan nurani terdalam, beda dengan kita yang cenderung berdiplomatis.

Komunisme dan Pan-Islamisme Menurut Tan Malaka

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922. Menentang thesis yang didraf oleh Lenin dan diadopsi pada Kongres Kedua, yang telah menekankan perlunya sebuah “perjuangan melawan Pan-Islamisme”, Tan Malaka mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih positif. Tan Malaka (1897-1949) dipilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921, tetapi pada tahun berikutnya dia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Belanda oleh pihak otoritas koloni. Setelah proklamasi kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, dia kembali ke Indonesia untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Dia menjadi ketua Partai Murba (Partai Proletar)), yang dibentuk pada tahun 1948 untuk mengorganisir kelas pekerja oposisi terhadap Soekarno. Bulan Februari 1949 Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi.


Kamerad! Setelah mendengar pidato-pidato Jenderal Zinoviev, Jenderal Radek dan kamerad-kamerad Eropa lainnya, serta berkenaan dengan pentingnya, untuk kita di Timur juga, masalah front persatuan, saya pikir saya harus angkat bicara, atas nama Partai Komunis Jawa, untuk jutaan rakyat tertindas di Timur. Saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kedua jenderal tersebut. Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan mengenai sebuah front persatuan di Jawa; mungkin front persatuan kita adalah sesuatu yang berbeda. Tetapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional Kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front persatuan dengan kubu nasionalisme revolusioner. Karena, seperti yang harus kita akui, pembentukan sebuah front bersatu juga perlu di negara kita, front persatuan kita tidak bisa dibentuk dengan kaum Sosial Demokrat tetapi harus dengan kaum nasionalis revolusioner. Namun taktik yang digunakan oleh kaum nasionalis seringkali berbeda dengan taktik kita; sebagai contoh, taktik pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme. Dua hal inilah yang secara khusus saya pertimbangkan, sehingga saya bertanya begini. Pertama, apakah kita akan mendukung gerakan boikot atau tidak? Kedua, apakah kita akan mendukung Pan-Islamisme, ya atau tidak? Bila ya, seberapa jauh kita akan terlibat?
Metode boikot, harus saya akui, bukanlah sebuah metode Komunis, tapi hal itu adalah salah satu senjata paling tajam yang tersedia pada situasi penaklukan politik-militer di Timur. Dalam dua tahun terakhir kita telah menyaksikan keberhasilan aksi boikot rakyat Mesir 1919 melawan imperialisme Inggris, dan lagi boikot besar oleh Cina di akhir tahun 1919 dan awal tahun 1920. Gerakan boikot terbaru terjadi di India Inggris. Kita bisa melihat bahwa dalam beberapa tahun kedepan bentuk-bentuk pemboikotan lain akan digunakan di timur. Kita tahu bahwa ini bukan metode kita; ini adalah sebuah metode borjuis kecil, satu metode kepunyaan kaum borjuis nasionalis. Lebih jauh kita bisa mengatakan; bahwa pemboikotan berarti dukungan terhadap kapitalisme domestik; tetapi kita juga telah menyaksikan bahwa setelah gerakan boikot di India, kini ada 1800 pemimpin yang dipenjara, bahwa pemboikotan telah membangkitkan sebuah atmosfer yang sangat revolusioner, dan gerakan boikot ini telah memaksa pemerintahan Inggris untuk meminta bantuan militer kepada Jepang, untuk menjaga-jaga kalau gerakan ini akan berkembang menjadi sebuah pemeberontakan bersenjata. Kita juga tahu bahwa para pemimpin Mahommedan di India – Dr. Kirchief, Hasret Mahoni dan Ali bersaudara – pada kenyataannya adalah kaum nasionalis; kita tidak melihat sebuah pemberontakan ketika Gandhi dipenjara. Tapi rakyat di India sangat paham seperti halnya setiap kaum revolusioner disana: bahwa sebuah pemberontakan lokal hanya akan berahir dalam kekalahan, karena kita tidak punya senjata atau militer lainnya di sana, oleh karena itu masalah gerakan boikot akan, sekarang atau di hari depan, menjadi sebuah masalah yang mendesak bagi kita kaum Komunis. Baik di India maupun Jawa kita sadar bahwa banyak kaum Komunis yang cenderung ingin memproklamirkan sebuah gerakan boikot di Jawa, mungkin karena ide-ide Komunis yang berasal dari Rusia telah lama dilupakan, atau mungkin ada semacam pelepasan mood Komunis yang besar di India yang bisa menentang semua gerakan. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah kita akan mendukung taktik ini, ya atau tidak? Dan seberapa jauh kita akan mendukung?
Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah yang panjang. Pertama saya akan berbicara tentang pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita telah bekerja sama dengan kaum Islamis. Di Jawa kita memiliki sebuah organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara tahun 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah gerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner. Hingga tahun 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan melakukan propaganda di dalamnya. Pada tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam juga melakukan agitasii pedesaan mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua kekuasaan untuk kaum tani miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.
Namun pada tahun 1921 sebuah perpecahan timbul karena kritik yang ceroboh terhadap kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agen-agennya di Sarekat Islam mengeksploitasi perpecahan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan Kongres Komunis Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para petani jelata? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan perpecahan, mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan bagi seorang petani muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tidak akan! Ini adalah cara seorang Muslim jelata berpikir. Para propagandis dari agen-agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasi ini dengan sangat baik. Jadi kita pecah. [Ketua: Waktu anda telah habis] Saya datang dari Hindia Belanda, dan menempuh perjalanan selama empat puluh hari ..... [Tepuk Tangan] ...... Para anggota Sarekat Islam percaya pada propaganda kita dan tetap bersama kita di perut mereka, untuk menggunakan sebuah ekspresi yang popular, tetapi di hati mereka mereka masih bersama Sarekat Islam, dengan surga mereka. Karena surga adalah sesuatu yang tidak bisa kita berikan kepada mereka. Karena itulah, mereka memboikot pertemuan-peretemuan kita dan kita tidak bisa melanjutkan propaganda kita lagi. Sejak awal tahun lalu kita telah bekerja untuk membangun kembali hubungan kita dengan Sarekat Islam. Pada kongres kami bulan Desember tahun lalu kita mengatakan bahwa Muslim di Kaukasus dan negara-negara lain, yang bekerjasama dengan Uni Soviet dan berjuang melawan kapitalisme internasional, memahami agama mereka dengan lebih baik, kami juga mengatakan bahwa, jika mereka ingin membuat sebuah propaganda mengenai agama mereka, mereka bisa melakukan ini, meskipun mereka tidak boleh melakukannya di dalam pertemuan-pertemuan tetapi di masjid-masjid.
Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim - ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim [Tepuk Tangan Meriah], karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! [Tepuk Tangan Meriah] Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk bekerjasama dengan kami. Ketika sebuah pemogokan umum terjadi pada bulan Maret tahun lalu, para pekerja Muslim membutuhkan kami, karena kami memiliki pekerja kereta api di bawah kepemimpinan kami. Para pemimpin Sarekat Islam berkata: Anda ingin bekerjasama dengan kami, jadi Anda harus menolong kami juga. Tentu saja kami mendatangi mereka, dan berkata: Ya, Tuhan Anda maha kuasa, tapi Dia telah mengatakan bahwa di dunia ini pekerja kereta api adalah lebih berkuasa! [Tepuk Tangan Meriah] Pekerja kereta api adalah komite eksekutif Tuhan di dunia ini. [Tertawa]
Tapi ini tidak menyelesaikan masalah kita, jika kita pecah lagi dengan mereka kita bisa yakin bahwa para agen pemerintah akan berada di sana lagi dengan argumen Pan-Islamisme mereka. Jadi masalah Pan-Islamisme adalah sebuah masalah yang sangat mendadak. Tapi sekarang pertama-tama kita harus paham benar apa arti sesungguhnya dari kata Pan-Islamisme. Dulu, ini mempunyai sebuah makna historis dan berarti bahwa Islam harus menaklukkan seluruh dunia, pedang di tangan, dan ini harus dilakukan di bawah kepemimpinan seorang Khalifah [Pemimpin dari Negara Islam – Ed.], dan Sang Khalifah haruslah keturunan Arab. 400 tahun setelah meninggalnya Muhammad, kaum muslim terpisah menjadi tiga Negara besar dan oleh karena itu Perang Suci ini telah kehilangan arti pentingnya bagi semua dunia Islam. Hilang artinya bahwa, atas nama Tuhan, Khalifah dan agama Islam harus menaklukkan dunia, karena Khalifah Spanyol mengatakan, aku adalah benar-benar Khalifah sesungguhnya, aku harus membawa panji [Islam], dan Khalifah Mesir mengatakan hal yang sama, serta Khalifah Baghdad berkata, Aku adalah Khalifah yang sebenarnya, karena aku berasal dari suku Arab Quraish.
Jadi Pan-Islamisme tidak lagi memiliki arti sebenarnya, tapi kini dalam prakteknya memiliki sebuah arti yang benar-benar berbeda. Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia. Ini adalah sebuah tugas yang baru untuk kita. Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta Muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis. Karena itu saya tanya sekali lagi: haruskah kita mendukung Pan-Islamisme, dalam pengertian ini? Saya akhiri pidato saya. [Tepuk Tangan Meriah]
(c) sumber dari Ted Sprague : 2009

Islam dalam Tinjauan MADILOG Tan Malaka (1948)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Tulisan ini merupakan pendapat Tan Malaka @ Ibrahim Sutan Malaka tentang Islam dalam karya monumentalnya "Madilog". Pada awalnya dicetak oleh Penerbit Widjaja, Jakarta: 1951 dan kemudian di edit ulang oleh Ted Sprague (Februari 2008).


Pengantar Penerbit
Telah lebih dari setahun lamanya kopi ini tesimpan dalam almari, karena terhalang oleh kesukaran kertas, apalagi mengingat tebalnya lebih kurang 200 halaman dari kertas ukuran besar serta ditek dengan mesin tulis Hermes baby, dan kalau dijadikan buku menurut ukuran yang sekarang ini, mungkin mencapai 500 halaman, sedang niat hendak menerbitkan sekaligus. Nasehat tuan HAJI ILJAS JACOB-lah yang membuka perhatian untuk menerbitkan dengan jalan beransur-ansur ini. MADILOG, berasal dan melalui jembatan keledai, yaitu MA terialisme, DI alektika, LOG-ika ! "Saya tidak menyangka akan sampai begitu dalam dan luas pengetahuan TAN MALAKA, sehingga saya sebagai Jurist dipimpinnya pula ke lapangan filsafat hukum, lebih berisi dan lanjut dari pada yang saya pelajari di sekolah hakim", demikian ucapnya seorang Akademisi yang jujur setelah membaca kopi Madilog !
Islam dalam Kacamata Tan Malaka
Sumber yang saya peroleh buat Agama Islam, inilah yang hidup. Seperti saya sudah lintaskan lebih dahulu dalam buku ini, saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Pada ketika sejarahnya Islam buat bangsa Indonesia masih boleh dikatakan pagi, diantara keluarga tadi sudah lahir seorang Alim Ulama, yang sampai sekarang dianggap keramat! Ibu Bapa saya keduanya taat dan orang takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi. Saya saksikan ibu saya sakit menentang malaikat maut menyebut "Djuz Yasin" berkali-kali dan sebagian besar dari AL-Qur’an, diluar kepala. Orang kabarkan bapak saya didapati pingsan setelah badannya dalam air. Dia mau menjawat air sembahyang, sedang menjalankan terikat, setelah bangun sadar, dia bilang dia berjumpa dengan saya yang pada waktu itu di negeri Belanda. Masih kecil sekali saya sudah bisa tafsirkan Al-Qur’an, dan dijadikan guru muda. Sang Ibu menceritakan Adam dan Hawa dan Nabi Yusuf. Tiada acap diceritakannya pemuka, piatu Muhammad bin Abdullah, entah karena apa, mata saya terus basah mendengarnya. Bahasa Arab terus sampai sekarang saya anggap sempurna, kaya, merdu jitu dan mulia. Pengaruhnya pada bahasa Indonesia pada zaman lampau bukan sedikit. Cangkokan bahasa Arab pada bahasa Indonesia baik diteruskan, karena lebih cocok pada lidah kita, asal betul-betul mengadakan pengertian baru, yang tiada terbentuk pada kata Indonesia umum atau lokal, seperti perkataan akal, fikir dsb. Saya sendiri tiada sempat meneruskan pelajaran bahasa Arab yang saya pelajari berpuluh tahun yang silam dengan cara surau yang sederhana itu tentulah sekarang sudah melayang sama sekali. Tetapi semua perhubungan dengan Islam dan Arab dahulu di Eropa, pasti mengambil perhatian saya. Dengan mengikat pinggang lebih erat, saya ketika di Negeri Belanda membeli sejarah dunia berjilid-jilid salinan bahasa Jerman ke Belanda, karena di dalamnya ada sejarah Islam dan Arab dituliskan degan lebih sempurna dari yang sudah-sudah.
Meskipun banjir ombak asik dalam senubari saja di masa usia pancaroba dilondong hanyutkan sampai sekarang terus dihilirkan oleh kejadian "1917" perhatian saya tehadap Islam terus berjalan. Pengertian yang masih saya ingat dari tafsir Qur’an itu, tentulah tiada berarti lagi. Yang tinggal dibawah lantai kesadaran (subconciousness) ialah kesan semata-mata. Tetapi terjemahan Qur’an ke dalam bahasa Belanda dahulu beberapa kali saya tamatkan, semua buku dan diktatnya Almarhum Snouck Hurgroaje tentang Islam sudah saya baca. Baru ini di Singapura saya baca lagi terjemahan Islam ke bahasa Inggris oleh "Sales dan ahli timur Maulana Ali Almarhum". Dengan begitu tiadalah pula saya maksudkan bahwa semua sumber itu sudah cukup buat me-obor Islam dan sejarah. Ahli sejarah Barat, Arab dan Tionghoa memang berlipat ganda lebih bisa dipercayai dari pada Ahli sejarah Hindu. Begitulah sejarah masyarakat dengan kemajuan pesawat dan ekonominya dibelakangkan kalau tiada dilupakan sama sekali. Jangan pula dilupakan, bahwa sejarah politik yang semacam itu di-tinggal-kan; tiada berseluk-beluk dan dipelantunkan dengan sejarah politik, ekonomi, dan kelasnya masyarakat. Jadi sejarah semacam itu, walaupun sejarah politik saja adalah pincang sekali. Tiada mengherankan kalau dalam pembacaan, saya tiada mendapati sejarah yang teratur selangkah demi selangkah, tentangan masyarakat, politik, ekonomi, dan tehnik Arab, tidak saja sebelum dan ketika Muhammad SAW mengembangkan Agama Islam, tetapi juga di dalam tempo dibelakangnya, lebih dari 1300 tahun sampai sekarang. Tidak saja di tanah Arab tempat asalnya agama Islam dan negara berkelilingnya, tetapi juga ditempat mengembangnya seperti Siria, Mesir, Spanyol, Irak, Iran, (Mesopotamia), India dan Indonesia. Dalam Negara asalnya Agama Islam tumbuh dan berdahan, mendapat bentuk dan corak baru dan bentuk corak ini tentulah langsung atau menukar mempengaruhi pokok asalnya di Arabia. Teristimewa pula karena semua bangsa dari semua agama acap berkumpul di Mekah.
Sejarah Islam berurat dan diairi oleh masyarakat politik, ekonomi dan pesawat Arab asli dan akhirnya bertukar bentuk dan corak pada iklim keadaan baru di luar daerah asli, menurut pengetahuan saya masih belum ditulis. Pekerjaan semacam itu bukanlah pekerjaan sembarang ahli, boleh jadi sekali bukan pekerjaan seorang ahli yang tersambil, melainkan pekerjaan beberapa ahli yang bergabung dalam tempo yang lama, boleh jadi pula bukti yang berhubungan dengan beberapa perkara sama sekali tiada bisa diperoleh lagi. Bagaimana juga buku seperti Foundation of Christianity buat Islam masih belum lahir. Berhubung dengan keterangan diatas maka sejarah-Islam dalam lebih kurang 1200 tahun sesudahnya Muhammad SAW yakni sejarah yang condong pada politik seperti pengangkatan Imam baru, menurut dan menurutkan partai Ali atau meneruskan pilihan yang demokratis seperti pengangkatan Abubakar, Umar, dan Usma; perbedaan mazhabnya Imam Syafi’I, Hanafi, Hambali dan Maliki satu aliran Islam ke arah kegaiban (systisisme) pada satu fatihah (Imam Gazali) dan kenyataan (rationalisme), sampai ketiadaannya Tuhan-Tuhan (atheisme), pada lain pihak (moetazaliten); pergerakan Islam yang baru kita kenal sekarang seperti Wahabi, Muhammadiya dan Ahmadiyah; semuanya ini mesti diseluk dengan sejarahnya politik, ekonomi, seperti bumi dan pesawat masyarakat Muslimin di Eropa Selatan, Afrika, Asia Barat dan Tengah diluar maksudnya buku ini dan diluar kekuasaan kesempatan saya. Maksud tulisan saya yang ringkas ini tentulah bukan buat pengganti buku yang masih ditulis itu, maksudnya cuma buat petunjuk (suggestion). Saya bagaimana juga tak lebih berlaku dari pada itu karena kekurangan bahan bukti, lagi pula pokok perkara yang berhubungan dengan Islam, ialah ke Esaan Tuhan, sudah termasuk boleh dikatakan hampir sama sekali pada tulisan yang baru lalu.
Muhamad SAW mengakui sahnya kitab Yahudi dan Kristen. Muhammad SAW mengakui Tuhannya Nabi Ibrahim dan Musa. Tetapi Tuhannya Nabi Ibrahim dan Musa menurut Muhammad SAW itu mesti dibersihkan dari pemalsuan Yahudi dan Kristen dibelakang hari. Memang masyarakat Arab asli membutuhkan ke-Esaan pemimpin sekurang-kurangnya sama dengan kebutuhan yang dirasa oleh Nabi Musa dan daud. Pada Muhammad SAW, bangsa Arab yang terdiri dari beberapa suku, dan menyembah bermacam-macam berhala itu mengharapkan pimpinan. Peperangan saudara yang kejam keji tiada putus-putusnya berlaku. Bangsa Arab teguh tegap, berdarah panas, pada negara yang sebagian besar terdiri dari gurun pasir dan gunung batu, kurus kering, sejuk tajam di musim dingin, panas terik di musim panas, susah gelisah mengadakan nafkah hidup sehari-hari. Perampokan dan pembunuhan adalah pekerjaan lazim sekali. Perniagaan ke lain negara dan dalam negarapun mesti dikawal dengan prajurit yang siap sedia menentang musuh ialah penyamun Badui yang rakus garang. Saudagar pada masa itu sama juga dengan serdadu, makin ramai penduduk Arab dan memang sudah ramai, makin sengit seru pertarungan suku dan suku. Makin banyak lelaki yang mati makin banyak pula kelebihan perempuan. Tiada mengherankan kalau mendapat anak perempuan dianggap sebagai malapetaka oleh rumah tangga Arab asli itu, apa lagi rumah tangga yang tak berpunya. Perempuan sudah terlampau banyak dan perempuan pada masyarakat semacam itu bukanlah makhluk yang bisa mencari nafkah diluar rumah tangga, melainkan dianggap satu makhluk penambah mulut makan. Jadi penambah kemiskinan. Kalau perempuan banyak, dibunuh. Beruntunglah perempuan kalau ada lelaki yang mampu mengawininya mengangkat dia jadi isteri yang ketiga ataupun kesekian puluh. Ditengah masyarkat semacam itu lahirlah Muhammad bin Abdullah, walaupun sukunya suku kuraisy dianggap suku tertinggi di kota Mekkah, tiadalah ia seorang anak yang dimanjakan oleh ibu bapa yang mampu. Dia malang atau memang beruntung kematian ibu bapa menjadi anak piatu dan dipelihara oleh paman Abdul Mutalib. Dari kecil sudah mengenal susah melarat di tengah-tengah masyarakat saling sengketa dan gelap gelita. Buah pikiran kita menyaksikan masyarakat semacam itu dan dalam keadaan semacam itu bisa timbul paham peragai dan bumi seperti Muhammad bin Abdullah. Tetapi memang intan itu bisa diselimuti tetapi tak bisa dicampur lebur dengan lumpur.
Makin riuh rendah bunyi sengketa dan sentak senjata disekelilingnya makin tenang teduh pikiran pemuka ini menghadapi sesuatu kesusahan atau permusahan. Lawan dan kawan sekarangpun terlampau banyak memajukan hal, bahwa Muhammad SAW seorang Nabi. Huru hara tiada bisa disangkal, tetapi tiadalah hormat saja yang memberi petunjuk, ilham dan kiasan kepada manusia. Mata yang nyalang, telinga yang nyaring, serta otak yang cemerlang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri lebih lekas menyampaikan seseorang pada hakekat tentang pergaulan hidup manusia dari pada buku bertimbun-timbun diluar masyarakat. Pemuda Muhammad dilatih dan tersepuh oleh masyarakat Arab sendiri, undang langsung yang saling seteru dan gelap gelita itu. Entah karena wajah parasnya, entah karena perawakan peragainya dengan langsung, entah karena cerdik kepandaiannya, entah karena semuanya, janda orang kaya Chadijah berusia 40 tahun akhirnya menjatuhkan hati dan kepercayaan pada pemuda 15 tahun lebih muda ini, sesudah berjasa bertahun-tahun. Bertahun-tahun Muhammad bin Abdullah melayani perniagaan buat janda Chadijah. Sekaranglah baru diperoleh tempat dan tempoh mengheningkan pikiran membanding mengiaskan, mencocokkan, menyeluk belukan persoaan yang bertimbun-timbun jatuhnya pada pikiran yang acap terbang mealyang seperti terdapat dalam bangsa Arab, seperti tergambar dalam cerita 1001 malam itu. Tetapi Arab bukannya Hindu. Pikiran melayang itu selalu kembali ke tanah. Penerbangan bolak-balik di antara awang-awang dengan daratan itu bisa berhasil, bukanlah satu scientist seperti Newton tahu pendapat seperti Edison mesti bisa terbang dengan pikirannya ? Tetapi mereka terbang dengan benda yang nyata menurut undang-undang yang pasti pula.
Pada tempat yang sunyi senyap bermacam-macam di gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Langit Arabia tiada diliputi awan pada malam itu, kalau diterangi oleh bulan dan bintangnya mesti menarik perhatian seseorang yang sungguh (serious, ernstig). Tak heran kalau pemuda Muhammad didesak oleh persoalan sebagai siapakah yang mengemudikan jalannya bulan dan jutaan bintang ini, yang tetap teratur ini. Siapakah yang menjatuhkan hujan yang memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia itu ? Apakah asalnya dan akhirnya manusia ini ? Tiadakah ada buat mempersatukan bangsaku, memperlihatkan seteru sengketa dan menerangi gelap gulita itu : mengangkat bangsaku jadi obor dunia ? Newton dan Edison diberi pusaka oleh para scientist almarhum berupa perkakas dan teori berupa laboratorium dan undang perhitungan. Tetapi pemuda Muhammad hidup lebih dari 1300 tahun yang silam. Undang apakah tentang peredaran bintang atau perhubungan hawa uap dan hujan atau undang tentang kodrat, paduan dan pisahan jasmani dan rohani yang sudah diketahui ? Ahli Yunani pun belum sampai kesana, kalau ada paham yang miring kesana belum tentu paham itu sampai ke telinga Muhammad bin Abdullah. Demikianlah Muhammad bin Abdullah mesti mencoba jawab dengan banding membanding pengalaman dan pengetahuannya pada mana jauh lebih tinggi, dari pada yang dikenal oleh bangsanya dikelilingnya.
Berkali-kali sudah perdagangan dilakukan (dengan karavan kalifah) ke Siria, barangkali juga sampai ke Mesir, ke Arabia Selatan tak mustahil sampai ke Mesopotamia. Cantumkanlah d imata pembaca seorang pemuda pendiam, mata sering melayang tinggi tetapi cepat bisa menaksir barang dan uang dimukannya, kening lebar dan tinggi menandakan kecondongan pikiran pada filsafat, tetapi juga menyaring apa yang praktis bisa dijalankan. Bibir yang menandakan kemauan keras dan juga mahir lancar kalau berkata, perawakan sedang, liat cepat tahan tangkas dan berkali-kali dalam perjalanan jauh berbahaya mendapat latihan dalam perjuangan. Penghilatan pada puluhan negara dan negeri biadab setengah adab dan pekerjaan tawar menawar dengan saudagar bermacam-macam bangsa dan bahasa; percakapan dengan lawan kawan, tua muda dalam usia pancaroba dipuluhan negara dan negeri itu, semua itu mendidik penyair dan pemimpin pembesar negara dan Nabi. Huruf dan sekolah tak bisa memberi bahan hidup semacam itu, tetapi bahan hidup semacam itu bsa memberi kesempatan pada Muhammad bin Abdullah menimbulkan huruf dan sekolah baru. Tidak semuanya orang bersekolah, bisa menjadi pemimpin Tuhan, tetapi buat seseorang pemimpin Tuhan tiadalah sekoah saja jalan buat menyampaikan maksudnya buat melaksanakan sifatnya. Dunia Arab berpenduduk sedang ramainya terus menerus bertarung diantara suku dan sukunya, belum pernah dijajah dijahanamkan bangsa Asing, sedikit dikenal oleh dunia luarnya, sudah sampai ke tingkat persatuan satu bangsa satu bahasa dan satu pemimpin. Tiadalah sekali mengherankan kalau Muhammad bin Abdullah tertarik oleh tuhan Esanya, Nabi Ibrahim, Musa dan Daud. Disini Tuhan itu lebih terang ke Esaan-nya pada pertaruangan lahir batin yang seru sengit yang mesti dijalankan dengan jasmani dan rohani yang mesti dipimpin oleh satu kemauan, maka kesangsian atas ke Esaannya Tuhan, pemimpin yang Maha Tahu dan Maha Tahu itu bisa menewaskan si petarung, Satu Tuhan itulah yang dibutuhkan oleh Arabia. Ketika Muhammad bin Abdullah yang buta huruf itu cuma sedikti tahu tentang agama Kristen, dikatakan oleh mereka bahwa Muhammad bin Abdullah mendapat pengetahuan itu dari mulutnya monikkan atau rahib dan setengah ulama Kristen. Mereka lupakan keterangan mereka sendiri bahwa Muhammad bin Abdullah sesudah memasuki gereja Katholik di Asia Barat ia berkata :"Ini cuma rumah berhala lain". Sekarang pun pada abad kedua puluh ini kalau orang memasuki gereja Katholik di Ruslan atau Rome, di Jerman atau di Indonesia, kalau orang melihat patungnya nabi Isa dan ibunya maryam yang dipuja dan tak mengherankan kalau orang netral mendapat kesan seperti kesan memasuki rumah berhala Hindu atau Budha. Buat Muhammad SAW Tuhan semata-mata rohani. Tuhan yang semata-mata rohani yang tiada dipatungkan lagi itu baru didapat sesudah Luther dan Calvin. Jadi sesudah lebih kurang 1500 tahun Nabi Isa lahir atau sesudah 900 tahun nabi Muhammad wafat. Dalam gereja Protestan kita tak lihat lagi patung yang seolah-olah mencoba mempengaruhi manusia dengan perasaan belaka; kasihan pada nabi Isa yang tergantung dipakukan tangannya pada palang gantungan itu oleh musuhnya Yahudi Jahanam itu. Jadi pada Protestant nyata pengaruh Islam buat seseorang yang tiada digelapi oleh dogma (kepercayaan) agamanya sendiri. dengan Yahudi Muhammad bin Abdullah menganggap Tuhan itu semata-mata rohani dan berada dimana-mana. Seseorang Muslim bisa bersambung langsung dengan Dia, tiada perlu memakai kasta Rabbi atau pendeta sebagai perantaraan atau sebagai tengkulak. Kelangsungan perhubungan manusia dan Tuhan itulah yang menjadi salah satu perkara buat Protestant umumnya, Cromwell dan tentaranya khususnya ketika berperang dengan partai Katholik dan raja-raja Katolik. Ini terjadi juga sesudah lebih kurang seribu enam ratus lima puluh (1650) tahun sesudah Nabi Isa wafat atau lebih kurang 1000 tahun sesudah Nabi Muhammad wafat. Pun disini nyata buat orang yang berpikiran objectief (tenang) pengaruhnya Islam atau Nasrani seperti juga pada Yahudi.
Jadi agamanya Nabi Isa dan Nabi Musa dijalankan pada masa perjalannya nabi Muhammad bin Abdullah di Asia Barat itu tiadalah diambil bulat mentah dengan tiada kritik semata-mata. Tidak saja Muhammad bin Adullah mengambil pokok besarnya agama Yahudi dan Kristen, tetapi pada kemudian harinya Yahudi dan Nasrani walaupun resminya tak mau mengaku terus terang mengambil sifat baru dari Islam. Demikianlah pada Muhammad SAW "ketunggalan" Tuhan itu ke Esaan Tuhan itu sampai ke puncak tak ada kesangsian seperti melekat pada agama Nasrani pada masa Muhamad SAW. Tentangan, terhadap agama Nasrani itu dikeraskan dan dijelaskan pada satu Juz yang pendek, tetapi dianggap terpenting sekali oleh Muslimin: bahwa Tuhan tunggal tak memperanakkan (Nabi Isa) dan tidak diperanakan (Qul huallahuahad …………….dsb). Karena Muhammad SAW yang mendapatkan ilham tentangan ke Esaan Tuhan yang sempurna dan kesamaan manusia dan manusia lain terhadap Tuhan itu yang masih belum terang benderang buat semua bangsa Yahudi pada zaman nabi Ibrahim, lebih-lebih pada masa Nabi Sulaiman dan kemudiannya tiada terang pula pada Kristen, Katholik, Anatolia atau Rumawi di masa Muhammad SAW, tentulah semestinya Muhammad SAW Nabi yang terbesar dan terakhir but monotheisme, kalau Albert Einstein menyempurnakan teori relativity maka orang tiada berkeberatan menamainya teori itu teori Einstein. Adakah ke Esaan yang lebih pasti dan persamaan manusia dan manusia terhadap Tuhan lebih nyata dari pada agama Islamnya Muhammad SAW ? Juga Nabi Isa mengakui dirinya anak Tuhan dimuka Rabbi dan mengakui dirinya Rajanya Yahudi buat negara 1000 tahun dimuka Pilatus ? Adakah salahnya kalau Muhammad SAW mengaku pesuruh rasulnya tuhan yang terakhir dan terbesar ?
Kepercayaan pada Allah sebagai Tuhannya yang Esa Muhammad sebagai rasulnya dan persamaannya manusia terhadap Tuhan, belum cukup buat mempersatukan sekalian suku Arab yang saling seteru sengketa dan peperangan terus menerus itu. Malah hal itu menimbulkan ejekan kebencian dan caci makian terhadap Muhammad yang oleh penduduk Mekah diketahui sebagai anaknya Adullah dan Aminah. Sama siapakah mereka Arab yang galak ganas itu akan takut dan apakah dunianya berbuat baik di dunia ini kalau sesudah mati semua perkara perhubungan dengan manusia itu berhenti sama sekali? Malah lebih baik jadi orang kuat, kebal, piawai pendekar, berani, jahat, perampok atau apa saja asal bisa dapatkan harta buat kesenangan, perempuan buat permainan dan laki-laki buat hamba sahaya. Di dunia fana inilah mesti dicari puncak kesenangan dengan mendapatkan puncak kekayaan dan kekuasaan, baik dengan jalan halal atau haram. Demikian satu pemikir luhur merasa perlu keterusannya hidup. Tidak didunia fana ini melainkan pada dunia baka pada akhirat. Dengan begitu perlu pula ada jiwa terkhusus yang bertiang dalam jasmani kita. Jasmani dan jiwa itulah kelak sesudah hari kiamat akan dibangunkan kembali dari matinya. Jasmani dan jiwa yang hidup kembali itu akan ditimbang kebaikan dan keburukannya, yang berdosa akan masuk api neraka dan yang saleh akan masuk surga dikerubungi oleh nikmat tak terhingga banyaknya ragam dan lazatnya ditempat permai damai di antara puteri bidadari cantik molek dan manis bagus parasnya, ratusan ribuan banyaknya yang taat saleh, terutama yang mati sahid akan mendapat upah yang kekal dan luhur itu. Kalau kita peramati gurun pasir dan gunung batu Arabia, peramati wataknya Badui sekarang dan gambarkan orang Arab dan Badui semasa nabi Muhammad maka surganya orang Islam itu surga yang tidak sejuk dingin seperti Nirwananya Budha atau suci seperti surganya nabi Isa, maka surga Islam itu kuat seperti kutup Utara menarik jarum pedoman, sebelum sampai ke surga djanatunna’im itu, sesudah Muhammad SAW wafat. Arabia dan Badui yang sudah bersatu itu mendapatkan surga dunia di Siriya, Mesir, Spanyol, Iran dan India. Banjirnya para calon syahid yang mengalir dari Arabia. Tuhan itu ialah Allah dan Muhammad itu ialah Rasulnya. Tiada satu negara dan bangsapun beratus tahun bisa tahan. Begitu cocok surga Islam dan mati sahid dengan masyarakat dan peragai Arab. Allah itu menurut Logika tentulah tiada bisa "Maha Kuasa" kalau tidak segenap umat manusia, segenap jam dan detik dapat menentukan nasib manusia. Segenap detik dia bisa perhatikan matahari berjalan, bintang dan bumi beredar, setiap detikpun tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia di matikan, sebaliknya manusia janganlah takut menghadapi mara bahaya apapun juga, kalau Tuhan Yang Maha Kuasa itu belum lagi memanggil. Di dunia Islam, hal ini dinamai takdir Tuhan. Di dunia barat hal ini dikenal sebagai pre-destination. Calvin bapaknya Mahzap Protestant pada abad ke 17 juga mengemukakan hal ini. Oliver Cromwell dan tentaranya di Inggris diakui paling nekat tunggang oleh sejarah Barat, juga mengikut kepercayaan ini, pun disini tak bisa dibantah pengaruhnya Islam pada dunia Kristen.
Memang pemikir yang ulung consequent yang mengesakan Tuhan mesti mengesakan kekuasaannya Tuhan itu. Kalau seketika satu saja kekuasaan dikurangi dipindahkan pada anaknya seperti pada nabi Isa, (anaknya Tuhan) atau Maryam, dan sedetik saja kekuasaan si Atom itu bisa dipegang diluar Tuhan dengan tidak izinnya Tuhan, maka kekuasaan Tuhan itu tiada absolute sempurna lagi. Walaupun si Atom dalam sedetik kalau bisa dikurangi maka kesempurnaannya dikurangi pula bukan? Itulah maka saya anggap bahwa Agama Monotheisme nabi Muhammad yang paling consequent terus lurus. Maka itulah sebabnya menurut logika maka Muhammad yang terbesar diantara nabinya monotheisme. Kaum Kristen boleh memajukan kedudukan, tingginya kaum ibu maka tingginya kasih sayang dan ta’at setia pada dasar sebagai pusaka dari Nabi Isa.
Tetapi pada masyarakat Arab dimana perempuan tak bisa diangkat ke tempat yang lebih tinggi dari yang dilakukan oleh Muhammad SAW. Tak sedikit ahli sejarah Barat yang mengakui hal ini kalau lama dibelakang wafatnya Nabi Muhammad perempuan dikudungi, dibungkus atau ditimbun-timbunkan ke dalam haramnya Sultan atau Muslim kaya raya buat melepaskan nafsu lelaki, maka itu adalah berhubungan rapat pula dengan keadaan masyarakat Arab. Perkara kasih sayang Muhammad SAW juga seperti nabi Isa berhak mempunyai. Nabi Muhammad berada dalam masyarakat sebesarnya, sebagai pemimpin propaganda, pertarungan peperangan dan masyarakat. Sedangkan nabi Isa tinggal melayang diatas langit propaganda saja tak mengatur peperangan ekonomi, politik ataupun sosial. Sebab itu lebih gampang memegang dasar kasih sayang itu. Tetapi Muhammad dengan memaafkan yang dahulunya mau menewaskan jiwanya, mengubah musuhnya itu menjadi pengikut, hambanya dianggapnya saudara kandungnya, bukankah pula kaum Kristen sendiri yang mendapat kedudukan tinggi sekali dibawah itu dengan kaum Nasrani dibawah Rumawi yang berkebudayaan tertinggi pada zaman purbakala itu. Begitu juga dengan teguh tegap memegang dasar itu nabi Muhammad tiada ketinggalan. Ketika seluruh Mekah memusuhi, mengancam jiwanya, dan dalam keadaan begitu menewaskan harta dan pangkat kalau memperhatikan propagandannya nabi Muhammad bersabda: Walaupun di sebelah kiri ada bintang dan di sebelah kanan ada matahari yang melarang, saya mesti meneruskah suruhan Tuhan.
Tetapi semua perkara ini yakni kedudukan kaum isteri dalam masyarakat, belas kasihan kepada semua manusia, taat setia pada dasar sendiri itu, ada lebih rapat berhubungan dengan masyarakat politik ekonomi, pesawat dan iklim dari pada dengan kepercayaan semata-mata, hal ini adalah diluar maksud tulisan ini. Yang dimajukan disini ialah perkara kepercayaan pada ke Tuhanan umumnya dan ke Esaan Tuhan itu terkhususnya. Sekali lagi disoalkan disini, bahwa pada Islam ke Esaan itu tentangan banyak dan sifatnya sampai ke puncak. Sebab itu pula maka pertentangan dengan ilmu pasti umumnya, madilog terkhususnya sampai ke puncak pula. Pada permulaan buku ini perkara itu sudah dilaksanakan Maha Keesaan Dewa Rah. Pembaca dipersilahkan membaca bagian itu sekali lagi. Sarinya tulisan itu kalau diperhubungkan dengan keesaan Tuhan ialah kalau seperseribu detik saja Yang Maha Kuasa itu membatalkan bumi kita ini menarik matahari dan meletus serta hancur luluhlah kita ke jurusan matahari yang panas terik itu. Kalau sekiranya seperseribu satu detik saja Yang Maha Kuasa itu bisa membatalkan undang tolak tariknya sekalian bintang matahari dan bumi di Alam Raya ini seperti semua kereta diperhentikan dalam satu kota pada satu saat, maka kita manusia, hewan dan benda yang sekarang lekat pada bumi ini akan tarikan bumi akan terpelanting ke awang-awang terus menerus terbangnya.