Jumat, 29 Juni 2012

Mewawancarai “kembali” Bung Hatta


Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(dari Majalah Tempo, 26 April 1975 cc. serbasejarah.wordpress.com) 

BATAVIA, 1919. Sabtu sore. Dari rumahnya di Tanah Abang ia bersepeda ke gang Kwini. Pakaiannya selalu rapih, bersih. Dan selalu lima menit sebelum waktu yang dijanjikan ia sudah berdiri depan sahabatnya di asrama STOVIA (School tit Opleiding voor Indische Artsen) Gedung Kebangkitan Nasional jalan Abdurrahman Saleh 26 Jakarta sekarang. Tak jarang keduanya lalu ke Pasar Baru, makan nasi goreng, sate ayam atau nonton film. Lebih sering, acara malam Minggu itu mereka isi dengan diskusi tentang keadilan sosial, sistem kapitalisme, pikiran-pikiran sosialis Jerman Ferdinand Lasalle, dan agama. Pemuda belasan tahun asal Bukittinggi itu semula bernama ‘Attar (minyak wangi). Barangkali haji Muhammad Djamil berharap, kelak puteranya yang lahir 12 Agustus 1902 itu pun mengharum namanya sebagai orang besar. Sehari-hari ia dipanggil sebagai Atta. Ditambah Muhammad yang juga melekat pada nama sang ayah, jadilah kemudian: Muhammad Hatta. Setengah abad kemudian, sejawatnya bersepeda itu menulis dengan bahasa puitis: Wajahnya yang ketat, yang tidak lekas mengundang seseorang untuk mendekatinya, hanya sekali-sekali dilembutkan oleh senyuman yang menarik….. 


Jakarta, 1975. Jalan Diponegoro bising oleh kendaraan. Seperti jalan besar lain di Ibukota. Tapi rumah besar bernomor 57 itu tampak tenang. Di sana tinggal orang tua itu: intelektuil, pejuang, salah seorang proklamator, bekas Wakil Presiden, bapak Republik. Rumah bercat putih itu biasa saja. Tanpa pengawal.  

TEMPO: Kami yang muda uda ini agak sukar juga memanggil Bung Hatta. Dengan ‘bung’ atau ‘bapak’?  

Hatta: Terserah. Di antara kawan-kawan lama memakai ‘bung’saja. 

T: Apa ‘bung’ lebih demokratis ‘ 

Hatta: Ya. 

T: Dari tulisan para pemuda Jong Soematranen Bond awal abad 20, banyak ungkapan pertentangan generasi. Anak-anak muda mengecam adat generasi lama dan sebaliknya. Apakah itu hanya terdapat di kalangan Jong Soematra saja? 

Hatta: Pertentangan melawan adat konservatif ada di mana-mana. Yang sana ketahui di Jong Soematra. Itu selalu ada, tak perlu dikecam. Biarkan saja. 

T: Waktu itu siapa teladan anak-anak muda? 

Hatta: Tak ada, Mereka jalan sendiri, 

T: Bagaimana dengan generasi sekarang? 
Hatta: Sekarang leih jauh. Yang perlu dikecam misalnya kontes-kontes kecantikan dan yang semacam itu: manusia diperlombakan seperti ternak, seperti yang pernah ditulis Prof: Prijono dulu.
T: Tahun berapa Bung Hatta ketemu Bung Karno pertama kali?
Hatta: 1932, di Bandung
T: Bagaimana kesan pertama?

Hatta: Biasa saja. Saya sudah membaca pidato pembelaannya sewaktu saya masih di negeri Belanda, Saya juga sudah berkorespondensi dengannya. Misalnya saya sarankan agar lebih memperhatikan organisasi, bukan hanya agitasi saja. Surat itu masih tersimpan di Arsip Kolonial negeri Belanda. 

Fisiknya memang sudah udzur. Tapi ingatannya masih segar bugar. Idealisme dan semangatnya tak kunjung menurun. Sikapnya selalu prinsipiil. Sejak muda suka berolah raga, terutama sepak bola dan pernah belajar pencak silat. Sampai sekarang pun tak jarang Hatta menyempatkan diri nonton pertandingan sepak bola. Dalam usia lebih setengah abal sekarang, sehari dua kali ia berlatih Orhiba (olah raga hidup baru). Dan Minggu jam enam pagi orang sering melihat Bung Hatta jalan kaki di lapangan parkir timur Senayan. Waktu-waktu terluang di penjara kolonial dulu, ia suka mengajukan cerdas-tangkas pengasah otak di kalangan rekan-rekan seperjuangannya. Dan ia kutu buku. Pindah dari penjara ke penjara, dari kota satu ke kota lain, harta benda utamanya belasan kopor buku. Kecerdasannya tampak ketika sebagai ketua Perhimpoenan Indonesia (1926) ia mengucapkan pidato Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen yang mengupas pertentangan kulit putih (penjajah) versus kulit berwarna (terjajah). Pada usia 25 tahun ia bicara tentang Indonesie et son probleme de Independence (tentang eksploitasl kapital asing terhadap Indonesia) delan forum Kongres Liga anti Imperialis (Desember 1927, Brussels), yang tahun sebelumnya diselenggarakan di Bierville, Perancis. Ia juga hadir dalam Kongres Wanita Internasional di Gland, Swiss. Pada Kongres Liga di Frankfurt (Juli 1929), sidang bertepuk-tangan beberapa menit. Hatta berpidato dalam tiga bahasa: Inggeris. Perancis, Jerman …..


T: Tidakkah disadari sejak tahun-tahun pertama pergerakan nasional adanya perbedaan konsepsi mengenai Indonesia Merdeka’?

Hatta: Untuk mencapai ‘Indonesia Merdeka’ memang ada perbedaan antara penganjur kerja sama dengan Belanda dengan golongan non-koperasi’. Yang pertama, misalnya Hadi dan Susanti, menghendaki kerja sama dengan Belanda dulu sampai kita mendapatkan status dominion, baru kemudian melepaskan diri. Saya menolak itu.

T: Bagaimana konsepsi tentang Indonesia setelah Merdeka’?

Hatta: Perhimpoenan Indonesia sudal punya kinsepsi. Yakni ekonominya berdasarkan koperasi dan sistem politiknya demokrasi.

T: Bagaimana dengan konsepsi Marxisme dan Pancasila?

Hatta: Tak ada hubungan antara Marxisme dan Pancasila. Waktu persiapan kemerdekaan dulu ketika menyiapkan UUD, Dr. Radjiman bertanya negara yang akan kita dirikan ini dasarnya apa? Pada 1 Juni 1945 Bung Karno yang menjawab dan itulah Pancasila. Belakangan ini saya diminta ikut merumuskan penafsiran Pancasila. hasil panitia sudah diserahkan kepada Jenderal Surono, ketua Angkatan ’45.

T: Sejauh mana itu nanti menjadi penafsiran resmi? Bagaimana kalau ada orang lain yang berbeda pendapat?

Hatta: Itu terserah pemerintah.

T: Bagaimana tentang kritik terhadap Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945 yang dianggap menyimpang dari UUD ’45 ?

Hatta: Sudah baca maklumat ini atau belum ? Mana isi Maklumat yang menunjukkan menyimpang dari UUD ’45:’ Dapatkah saudara perkirakan bahwa saya yang seumur hidup menentang libralisme yang mencelakakan kehidupan rakyat jelata dan saya yang ikut memmbuat UUD ’45 – saya lagi yang menyelewengkannya ?

T: Apa sebenarnya alasan yang mendorong keluarnya Maklumat itu? 

Hatta: Perlu saya peringatkan satu hal yang harus diketahui dan sebenarnya dianggap sudah diketahui. Perang dunia II adalah perang antara Demokrasi dam Facisme (facisme Jerman Italia, Jepang) disertai kemudian oleh Soviet Uni pada pihak Demokrasi. Apalagi, kemudian dibentuk Partai Persatuan atas anjuran Bung Karno pada sidang pertama Komite Nasional Pusat 29 Agustus 1945 dengan nama Partai Nasional Indonesia Rata-rata Partai Persatuan itu ditentang dan dianggap mirip dengan Facisme sebagai tidak sesuai dengan Demokrasi. Dikuatirkan negara-negara Sekutu turun-tangan dan membantu Belanda kembali ke Indonesia dengan segala perlengkapannya. Kemudian berhubung Kabinet akan mengadakan pemilihan umum secara sederhana bulan Januari 1946, keluarkan suara dalam masyarakat dan dalam Komite Nasional Pusat, supaya partai-partai boleh didirikan kembali dengan syarat tertentu supaya dapat melaksanakan UUD ’45 pasal 1 ayat 2. Inilah yang menjadi alasan keluarnya Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945 yang membolehkan berdirinya partai-partai dengan syarat yang tertentu 

T: Apa syarat itu? 

Hatta: Maklumat itu menyatakan bahwa partai gunanya memimpin aliran faham dalam masarakat ke jalan yang teratur. Ada pula restriksi, partai-partai hendaknya memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan. Dalam rangka UUD ’45 di masa itu di bawah pimpinan Presiden dan wakil Presiden tak ada kemungkinan menyeleweng ke arah liberalisme. Penyelewengan baru terjadi dalam rangka Konstitusi 1950 yang berdasar demokrasi parlementer di mana Presiden dan Wakil Presiden menjadi Kepala Negara yang tak mempunyai tanggung jawab polik.

T: Bagaimana pendapat Bung Karno ?

Hatta: Antara Bung Karno dan saya ada permufakatan untuk melancarkan ancamannya pemerintahan. Bila seorang di antara kami tak ada di Ibukota, yang di Jakarta mengurus segala-galanya yang urgen dan akan disetujui oleh yang keluar kota. Di masa ini Bung Karno memang banyak sekali ke luar kota. Itulah sebabnya saya mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X dan Maklumat 3 Nopember 1945, keduanya disetujui Bung Karno setelah ia kembali ke Ibukota. Baru kemudian setelah liwat 12 tahun, setelah menjadi penganjur Nasakom, Bung Karno mengatakan tidak bertangung jawab terhadap Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945. Waktu saya di Sumatera (ketika itu meleus Clash I dan saya tertahan kira-kira tujuh bulan) saya tidak campur tangan dalam perundingan di bawah Komisi Tiga Negara. Tapi tentang akibatnya yang tak baik bagi Republik, saya mengaku ikut bertanggung jawab. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945 ini terlalu dibesar-besarkan seolah-olah lalu banyak timbul partai-partai politik yang menjurus ke liberalisme. Waktu itu partai-partai yang sudah ada dan baru muncul berdasarkan Maklumat tersebut tak lebih dari enam: Masjumi, PNI, PSI, Parkindo, Partai Katolik dan Partai Murbanya Tan Malaka. Awal tahun 60-an, apalagi setelah Manipol dicanangkan (Juli 1959), tak sedikit guru-guru sejarah bicara depan kelas bahwa Maklumat itu adalah biang keladi berkecamuknya “setan liberalisme”. Baru sekarang–15 tahun kemudian – Bung Hatta menjelaskannya.

T: Jadi adakah bukti-bukti penyelewengan itu?

Hatta: Tunjukkanlah dengan bukti bahwa di masa in, selama Dwitunggal memimpin negara, ada partai atau partai-partai yang menyelewengkan politik negara ke arah aliran liberalistik. Sebagai bukti dapat saya katakan bahwa di masa RI pertama itu tidak ada aliran yang menyeleweng ke sana. Aliran menyeleweng ke liberalisme baru disebut dan diulang-ulang setelah Bung Karno mengatakan tak bertanggung jawab terhadap Maklumat tersebut. Di masa Republik pertama itu, Dwitunggal tetap utuh, tiada keretakan sedikit pun sampai pemulihan kedaulatan. Keretakan Dwitunggal baru bermula waktu kita kembali menjadi Negara Kesatuan di bawah UUD 1950. Dengan perubahan Kabinet Presidentiil menjadi kabinet Parlementer, di mana tampuk pimpinan tidak lagi pada Presiden dan Wakil Presiden tapi pada Kabinet, Dwitunggal menjadi Dwitanggal. di masa itulah jumlah partai menjadi banyak. Terutama karena perpecahan di kalangan partai masing-masing.

T: Angkatan 20-an yang memperjoangkan kemerdekaan terdiri dari cendekiawan yang berfikiran konsepsionil. Bagaimana dulu peranan rakyat, terutama di desa-desa, dalam gerakan nasional itu?

Hatta: Kalau dilihat dari rapat-rapat umum di masa itu saja, tampak rakyat ikut aktif dan punya keinginan merdeka. Waktu itu rapat-rapat tak perlu izin. Yang datang kebanyakan malah bukan orang-orang kota. Penduduk kota rnasih sedikit. Rakyat tahu bahwa kita sedang menuju dunia baru. Jadi mereka datang bukan karena agitasi para pemimpin politik. Desa kita kan lain dari desa di India, misalnya. Di India, lembaga kepala desa yang seperti kita tak ada. Rakyat kita memilih sendiri kepala desanya.

Kamis, 28 Juni 2012

Politisi-Politisi Perempuan Muda Nan Seksi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(dari detiknews.com/nwk - times.com

Politik diidentikkan sebagai dunia yang keras dan maskulin. Namun di tengah kerasnya dunia politik, terdapat perempuan muda, cantik, seksi dan tangguh di bidang ini. Eits, seksi bukan cuma masalah fisik lho, tapi juga karena kecerdasannya. Muda karena mereka sudah dan menjadi politikus saat berusia maksimal 30 tahun. Berikut nama-nama politikus perempuan muda dan seksi itu : 

Rathika Sitsabaiesan 

Rathika adalah anggota parlemen dari Kanada dari Partai Demokrat Baru mewakili wilayah Scarborough—Rouge River. Rathika yang kelahiran 23 Desember 1981 itu terpilih pada Mei 2011 lalu, berarti saat itu umurnya baru 29 tahun. Alhasil Rathika menjadi anggota parlemen termuda di Wilayah Toronto. Tak cuma itu, Rathika menjadi satu-satunya anggota parlemen dari keturunan suku Tamil, Sri Lanka. Rathika lahir di kota kecil di semenanjung Jaffna, Sri Lanka. Saat umur 5 tahun, keluarga Rathika beremigrasi ke Kanada, tepatnya di Missisauga, Toronto. Ayahnya yang menjadi difabel karena kecelakaan memaksa ibunya berhenti belajar keperawatan dan harus bekerja di gudang untuk menafkahi keluarganya. Namun kondisi itu membuat Rathika belajar keras dan akhirnya memasuki bangku kuliah di Universitas Toronto saat dia kelas 2 SMA. Di universitas itu, dia menjadi Wakil Presiden Asosiasi Mahasiswa Tamil. Pindah ke Universitas Carleton, Rathika mengejar sarjana di bidang commerce atau perdagangan. Tak hanya kuliah, Rathika juga menjabat Wakil President BEM kampus Carleton. Setelah lulus Rathika menyelesaikan masternya di bidang hubungan industrial.  Kerja-kerja sosial Rathika dimulai dari umur 9 tahun. Dan berlanjut saat kuliah, di mana dia membantu Gabungan Pekerja Pelayanan Internasional, advokasi bagi pekerja kelas bawah yang bersifat pelayanan, seperti cleaning service dan sebagainya. Bekerja sosial dan mengadvokasi buruh mempengaruhi pandangan politiknya. Dia ingin mengurangi kemiskinan, menyediakan perumahan layak, akses pendidikan, kesetaraan pekerjaan, imigrasi dan melestarikan bahasa dan budaya Tamil. Rathika lantas bergabung dengan Partai Demokrat Baru sejak tahun 2004 hingga mengikuti pemilu dan terpilih menjadi anggota parlemen pada 2011. Rathika sempat digunjingkan lantaran memperhalus fotonya. Foto dia yang memperlihatkan belahan dada menjadi tidak berbelahan dada. Foto asli bisa ditemukan di internet, namun ketika nangkring di situs parlemen Kanada, belahan dada itu hilang. Entah apakah penghalusan foto itu inisiatif Rathia atau partainya. 

Julia Bonk

Julia Bonk, politikus muda Jerman kelahiran Burg Bei Magdeburg, Jerman Timur 29 April 1986. Julia terpilih menjadi anggota parlemen pada tahun 2004, saat dia berusia 18 tahun melalui partai kiri Jerman, Partai Sosial Demokrat, mewakili wilayah Landtag of Saxony. Saat itu Julia baru saja lulus sekolah dwibahasa (Jerman-Prancis), Abitur. Setelah terpilih Julia melanjutkan kuluahnya di bidang politik dan sejarah di Universitas TU Dresden. Praktis kiprah Julia ini menjadikannya sebagai politikus termuda di Jerman, dan fotonya langsung terpampang pada 87 koran internasional. Wow. Kiprah Julia dimulai sejak sekolah, dia menjadi anggota Dewan Pelajar Kota Dresden, juga juru bicara Dewan Pelajar State of Saxony. Selama 4 tahun (2004-2008) periode pertama Julia menjadi anggota parlemen, dia menjadi wakil jubir komisi yang membawahi sekolah dan olahraga, juga anggota komisi yang membidangi sains, pendidikan tinggi, budaya dan media Nah, pada periode kedua (2008-2012), Julia terpilih lagi sebagai anggota parlemen di komisi yang membawahi hukum, konstitusi dan masalah Eropa. Julia juga menjadi 1 dari 10 jubir organisasi kaum muda sosialis, Solid dan Emansipatori Kiri. 

Tin Pei Ling


Tin Pei Ling, politikus perempuan moncer dari negara jiran, Singapura. Tin maju melalui Partai Aksi Rakyat mewakili wilayah Marine Parade (meliputi Bedok, Chai Chee, Geylang, Kaki Bukit, Kallang, Kembangan, Marine Parade, Mountbatten, Ubi dan sebagian Serangoon) dan terpilih pada pemilu Singapura, Mei 2011 lalu. Tin dimajukan untuk menarik para pemilih pemula dan pemilih muda di negara kota itu. Kelahiran Singapura, 8 Juli 1983 itu sebelumnya sudah menjadi anggota Partai Aksi Rakyat Muda selama 7 tahun. Tin juga pernah menjadi bendahara partai pada pengurus cabang Ulu Pandan. Maklum, lulusan Universitas Nasional Singapura (NUS) itu ternyata sudah bekerja sebagai akuntan di kantor akuntan publik Ernst & Young. Saat mencalonkan diri menjadi anggota parlemen, Tin menuai cibiran sinis karena dinilai belum dewasa. Foto cute-nya menenteng tas bermerk Kate Spade hadiah dari suaminya sempat membuat Tin dinilai dungu, materialis dan memiliki hak istimewa. Maklum saja, suaminya adalah Kepala Asisten Pribadi Perdana Menteri Singapura. Publik menilai posisi suaminya ini juga turut memuluskan langkah Tin menjadi anggota parlemen.

Alina Maratovna Kabaeva

Alina Maratovna Kabaeva merupakan anggota parlemen State Duma, semacam majelis rendah di Rusia dari Partai Gabungan Rusia. Perempuan kelahiran Tashkent, Uzbekistan 12 Mei 1983 ini merupakan atlet jawara senam ritmik sebelum terjun ke dunia politik. Darah atlet Alina menurun dari ayahnya, atlet sepak bola terkenal di Uzbekistan dan ibunya atlet bola basket. Prestasi Alina dalam senam ritmik tak tanggung-tanggung, 2 kali menyabet medali olimpiade, 18 medali kejuaraan dunia, dan 25 medali kejuaraan Eropa. Dia kemudian mengumumkan pensiun dari dunia senam ritmik pada Oktober 2004. Perempuan jelita ini memulai kiprah publik dengan menjadi salah satu dari 126 anggota Kamar Publik Rusia yang baru terbentuk tahun 2005. Kamar Publik Rusia, adalah lembaga yang mengawasi kinerja parlemen, pemerintah dan badan-badan pemerintah Rusia. Kemudian pada 2007 sampai sekarang, dia menjadi anggota State Duma, semacam majelis rendah di Rusia melalui partai pendukung pemerintah Partai Rusia Gabungan. Selain bergiat di parlemen, Alina juga menjadi Ketua Dewan Publik National Media Grup yang menjalankan media Izvestia, Channel One dan REN TV. Salah satu kontroversi Alina adalah dia sempat digosipkan tunangan dan menikah dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada pertengahan April 2008. Atas gosip ini, Putin berkata, "Itu tidak benar". Sementara jubir Alina menolak berkomentar, "Ini tidak masuk akal". Apa tanggapan Alina? "Bukannya saya hipokrit. Tapi saya tidak suka ketika kehidupan pribadi saya diekspose seperti barang di etalase. Saya yakin setiap orang butuh ruang privasi. Jadi ini 'kehidupan privat' saya, ruang milik saya dan saya seorang. Saya harap Anda mengerti," tulis Alina pada situsnya www.kabaeva-alina.com.

Yuri Fujikawa

Yuri Fujikawa, merupakan politikus dan anggota DPRD Kota Hachinohe, Prefektur Aomori, Jepang dari jalur independen. Keinginannya untuk maju menjadi politisi usai lulus dari Universitas Teikyo ditentang ayahnya yang juga politikus, karena berharap Yuri menjadi ibu rumah tangga biasa. Saat ayahnya kampanye untuk menjadi anggota parlemen tahun 2003, Yuri menjadi juru kampanye. Ayahnya pun berhasil menjadi Ketua DPRD Hachinohe. Kekalahan ayahnya saat mencalonkan lagi pada 8 April 2008, melecut Yuri untuk maju. Pada 10 April atau 2 hari setelah ayahnya dinyatakan kalah, Yuri menyatakan maju untuk anggota DPRD dari jalur independen. Fantastis, dari 6.962 suara, Yuri mendapatkan lebih dari separuhnya, 3.665 suara. Yuri yang kelahiran 8 Maret 1980 itu lantas melaju menjadi anggota DPRD pada usia 28 tahun. 3 Hal yang diperjuangkannya dalam DPRD, tumbuh kembang anak-anak, kesehatan dan keperawatan.

Saya terfikir untuk mengkomparasikan mereka diatas dengan : 

Anggelina Sondakh ? ....... ia sudah "pudur".
Nurul Arifin ? ...... smart, seksi tapi ia sudah "senja"
Tere ? ...... muda, cantik memang, tapi sayang kurang smart, mungkin karena itu ia mundur
Lalu, dahulu ada :
Khofifah Indar Parawansa ? ........ yang ini pintar bro, muda di masanya, tapi sayang kurang seksi.
(hicks ...hehehe)

Selasa, 26 Juni 2012

21 Juni 1970 : Si Bung, SOEKARNO, meninggal !!

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

21 Juni 1970
Si Bung, SOEKARNO, Sang Putra Fajar
Anak tersayang aristokrat Bali - Ida Ayu Rai .......... meninggal !! 

Tentang hari-hari terakhir Bung Karno, saya sadur dari  Reni Nuryanti dalam bukunya Tragedi Sukarno, Dari Kudeta Sampai Kematiannya. Tulisan saya penggal dari peristiwa tanggal 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa pukul 20.15, harinya Selasa. Ada banyak versi Hari-hari terakhir Bung Karno ini, saya penggal mulai dari peristiwa tanggal 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa pukul 20.15, harinya Selasa. Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Di antaranya ada yang menyebutkan, Sukarno dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit. Hal itu ditegaskan oleh Dewi Sukarno yang mengkonfirmasi alasan militer, bahwa Bung Karno dibawa ke RS karena koma. Dewi mendapat keterangan yang bertolak belakang. Waktu itu, tentara datang membawa tandu dan memaksa Bung Karno masuk tandu. Tentara tidak menghiraukan penolakan Bung Karno, dan tetap memaksanya masuk tandu dengan sangat kasar. Sama kasarnya ketika tentara mendorong masuk tubuh Bung Karno yang sakit-sakitan ke dalam mobil berpengawal, usai menghadiri pernikahan Guntur. Bahkan ketika tangannya hendak melambai ke khalayak, tentara menariknya dengan kasar. 

Adalah Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di saat-saat akhir. Demi mendengar bapaknya dibawa ke RSPAD, ia pun bergegas ke rumah sakit. Betapa murka hati Rachma melihat tentara berjaga-jaga sangat ketat. Hati Rachma mengumpat, dalam kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh masih dijaga ketat seperti pelarian. “Apakah bapak begitu berbahaya, sehingga harus terus-menerus dijaga?” demikian hatinya berontak. Dalam suasana tegang, tampak Bung Karno tergolek lemah di sebuah ruang ujung becat kelabu. Tak ada keterangan ruang ICU atau darurat sebagaimana mestinya perlakuan terhadap pasien yang koma. Tampak jarum infus menempel di tangannya, serta kedok asam untuk membantu pernapasannya. Untuk menggambarkan kondisi Sukarno ketika itu, simak kutipan saksi mata Imam Brotoseno, “Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa –dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar kemana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas". 

Hari kedua, 17 Juni 1970, Sukarno tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Tapi, ia tidak mau makan. Bahkan, obat-obatan yang diberikan dokter pun enggan meminumnya. Setiap kali dokter hendak memberi suntikan pun, Bung Karno selalu menolak. Rachmawati menerka, Bung Karno mengetahui bahwa semua pengobatan selama ini hanya untuk memperlemah dirinya. Dalam kacamata politik, pengobatan dengan misi pembunuhan. Karenanya, kondisi Sukarno makin lemah dari hari ke hari. Hingga saat itu Rachma berani bertanya kepada tim dokter yang merawat, dalam hal ini ia bertanya kepada Ketua Tim Dokter yang merawat Bung Karno, yakni Prof Mahar Mardjono, “Mengapa sakit komplikasi yang diderita bapak dibiarkan begitu saja. Mengapa tidak dilakukan cuci darah?” Mahar hanya menjawab sambil lalu, sehingga Rachma berkesimpulan, dokter-dokter itu tidak benar-benar merawat Sang Proklamator Bangsa. Bahkan, para dokter tampak tak punya rasa iba sedikit pun. Lebih sakit hati Rachma ketika dr Mahar mengatakan, “Alat itu sedang dipesan dari Inggris, dan belum tentu ada. Kalaupun ada, kapan datangnya, tidak tahu.” Keterangan Mahar ini, di kemudian hari dibenarkan anggota dokter lain, “Sebenarnya sudah lama, tim dokter telah mengusulkan agar alat itu dibeli. Tapi alat itu tak kunjung datang meski pembeliannya kabarnya telah dijajaki di Singapura dan Inggris.” Dan akhirnya, anggota tim dokter itu menambahkan, “jangan-jangan memang sengaja tidak dibeli….” 

Dalam keterangan lain, situasi saat itu memang membuat tim dokter yang dipimpin Mahar Mardjono tak berdaya. Ada kekuatan besar yang bisa mengancam nyawa mereka seandainya mereka bekerja di luar kendali penguasa. Karenanya dalam suatu kesaksian terungkap, saat kondisi Bung Karno kritis, Prof dr Mahar Mardjono sempat menuliskan resep khusus, namun obat yang diresepkannya itu disimpan saja di laci oleh dokter yang berpangkat tinggi. Mahar mengemukakan hal itu kepada rekannya, dr Kartono Mohammad. Kesaksian datang dari saksi lain yang juga mantan pejabat di era Sukarno. Menurutnya, adalah fakta bahwa Sukarno ditelantarkan oleh Soeharto pada waktu sakit. Saksi yang juga seorang purnawirawan tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan yang seragam terhadap Sukarno berasal dari sebuah instruksi, “Yang memberi instruksi adalah Soeharto,” katanya. Semua detik yang berdetak, semua menit yang lewat, semua jam yang bergulir, semua angin yang berembus… adalah duka sepanjang hari. Satu hari bernama tanggal 18, mungkin hanya bermakna 24 jam. Satu hari berikutnya yang bernama tanggal 19 Juni 1970, adalah bilangan 1440 menit, 86.400 detik. Tapi semua itu adalah tusukan duri bagi Sukarno yang tengah tergolek lemah. Sedangkan tanggal 20 Juni, tercatat sebagai simbol dwitunggal yang terpatri abadi. Sejarahlah yang berkuasa pada hari itu. Bung Hatta, datang menjenguk sahabat seperjuangan. Sementara, Bung Karno, seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan Sang Hatta. Maka, terjadilah pertemuan yang mengharu-biru, seperti dikisahkan Meutia Hatta dalam bukunya: Bung Hatta : Pribadinya dalam Kenangan. 

Berkata lirih Sukarno kepada Hatta, “Hatta… kau di sini….? 

Seperti diiris-iris hati Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya. Demi memompa semangat kepada sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut yang direkayasa, “Ya… bagaimana keadaanmu, No?” begitu Hatta membalas sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno. Bung Karno melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at het met jou…” (Bagaimana keadaanmu?). Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa raut teduh. Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgi. Apalagi, usai berkata-kata lemah, Sukarno menangis terisak-isak. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya. Seketika, Hatta pun tak kuasa membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut terpisah. Keduanya bertangis-tangisan.

“No….” 

Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh memilukan. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi yang menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan tangan. Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan… mereka berbicara melalui bahasa mata. Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang bersejarah itu. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput, guna mengantarnya ke swarga loka, terbang bersama cita-cita yang kandas di tangan bangsanya sendiri.


 Referensi : Reni Nuryanti (2009). Foto : ANRI

Senin, 25 Juni 2012

Islam Manakah yang (Paling) Baik ?


Catatan Ayahanda buat Iffa dan Malika Ilham, hari ini :


Ada seorang bertanya kepada Nabi Saw.
“Islam manakah yang paling baik ?”
Nabi saw menjawab : 
“kamu memberi makan dan memberikan kedamaian (salam) 
kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal

(Hadits Imam Bukhari Kitab 2 Bab 19 No.27)

Kelak mereka akan turut merasakan
Begitu beragamnya dunia dan sejarah mendefenisikan Islam
Kelak mereka akan bingung ketika mendengar :
 Inilah Islam murni
Inilah Islam (paling) murni
Inilah Islam (paling) utama
Inilah Islam (paling) asli
Tapi jarang orang mengatakan :
Manakah Islam yang paling baik ?

Islam itu membaikkan
Bukan memurnikan ataupun meng-asli-kan



Sumber foto : Tony Hirsch

Partai Saudagar


Pagi ini, ada berita menarik, tentang Partai Baru besutan "saudagar" brewok, Surya Paloh - Nasional Demokrat, yang biasa disingkat dengan NasDem. 

"Saya ingin menyampaikan bahwa politik di Indonesia adalah politik para saudagar sehingga hanya saudagar dan politisi yang punya uang yang bisa punya kekuasaan," kata Sekjen NasDem (detik.com : 23/6/2012).

Dan ........... itu bagi saya, berarti :
1. Mari kita bertransaksi
2. Mari kita mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, M. Natsir "seakan-akan" mau bangkit dari kubur mereka !!


 

Kamis, 21 Juni 2012

Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?

Ditulis ulang : Muhammad Ilham 

Sebuah tulisan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif  yang dimuat  di koran Republika (kolom Resonansi), edisi Selasa 15 Mei 2012 yang berjudul ” Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)” menarik untuk dibahas sebagai wacana pemikiran dan mengingat akan masa lalu tentang relasi Islam dan Pancasila sebagai sebuah Ideologi. Tulisan lengkapnya saya copy paste disini (cc : dari serbasejarah/kopral cepot, sebagai berikut : 

Saat bala tentara Jepang masih punya kekuasaan di Indonesia sekitar 2,5 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, pertarungan sengit antara Islam dan Pancasila untuk diusulkan sebagai dasar filosofi negara telah terjadi. Medan pertarungan itu adalah dalam sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan). Islam diwakili tokoh-tokoh puncak kelompok santri, seperti Agus Salim, KH Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Sanoesi, Kahar Muzakkir, sedangkan di pihak Pancasila muncul Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan para pemimpin nasionalis lainnya. Sekiranya Ketua BPUPK Dr KRT Radjiman Widiodiningrat tidak menanyakan tentang dasar filosofi negara yang mau merdeka, kita tidak tahu apakah negara Indonesia akan punya dasar atau tidak. Yang paling serius menjawab tantangan Radjiman itu adalah Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 yang terkenal itu. Pidato inilah yang menjadi sumber Pancasila itu, tidak yang lain. Pancasila yang sekarang ini, sekalipun bersumber dari Bung Karno, perumusannya telah mengalami perubahan, tetapi bilangan silanya tetap lima. 

Perdebatan antara golongan santri dan nasionalis pada Juni itu kemudian menghasilkan sebuah titik temu dalam bentuk Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, dengan sila-silanya sebagai berikut:
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam ini hanya berumur 57 hari sebab pada 18 Agustus 1945, demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus dan posisinya digantikan oleh ungkapan “Yang Maha Esa“ sehingga bunyi lengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Pancasila rumusan 18 Agustus inilah yang kita gunakan sekarang. Dalam perkembangan selanjutnya, golongan santri rupanya tidak terlalu bahagia dengan Pancasila 18 Agustus itu, apalagi dengan Pancasila UUD 1949/UUDS 1950. Dalam sidang-sidang Majelis Konstituante, 1956-1959, ketidakbahagiaan itu mereka lontarkan kembali dengan menggugat rumusan ini dan mengajukan Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan Pancasila. 

Gugatan ini sepenuhnya benar secara konstitusional karena UUDS 1950 memang membuka pintu untuk itu. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, pergulatan tentang dasar negara dalam majelis pembuat UUD ini berjalan sangat alot karena tidak satu pihak pun yang berhasil mengegolkan usulannya sebagaimana yang diminta oleh UUDS. Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu. Dengan dekrit ini, Pancasila 18 Agustus dan UUD 1945 dikukuhkan kembali dan Majelis Konstituante dibubarkan. Akibatnya, suhu politik menjadi sangat panas ketika itu ditambah lagi sangat panas ketika itu ditambah lagi dengan maraknya pergolakan daerah yang mengkristal dalam bentuk PRRI/Permesta sejak 1958 yang telah menguras energi bangsa Indonesia. Ironisnya, Dekrit 5 Juli juga dipakai Bung Karno untuk melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang minus demokrasi itu, tetapi kemudian berakhir dengan sebuah malapetaka nasional. Kekuasaan Bung Karno pun tidak bisa bertahan untuk kemudian digantikan oleh era Demokrasi Pancasila (1966-1998) dengan Presiden Soeharto sebagai penguasa tunggal. 

Pada era inilah, petarungan Islam dan Pancasila memasuki tahap terakhir dengan segala masalah dan dinamika politik yang menyertainya. Ringkasnya, sejak itu Pancasila sebagai dasar negara secara formal konstitusional telah sangat mantap. Jika masih ada pihak-pihak yang menggugat Pancasila, kekuatan mereka hanyalah berupa riak-riak kecil yang tidak akan mengubah dasar filosofi konstitusi Indonesia. Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu.
 

Rabu, 13 Juni 2012

"Jenggot dan Hak Kambing" a-la Agus Salim

Oleh : Muhammad Ilham

Benarlah kata syahibul hikayat, bila orang inspiratif, tidak akan pernah lapuk untuk diperkatakan. Haji Agus Salim, contohnya.  Beberapa malam ini, menjelang nonton Piala Eropa, entah mengapa, saya kembali membuka-baca  buku "Seratus Tahun Hadji Agus Salim".  Mencari bagian yang membuat senyum tersungging, membayangkan "kurenah" salah seorang putra terbaik dari nagari legendaris-historis Minangkabau, Koto Gadang. Dalam buku agak tebal ini, banyak kisah inspiratif, yang lebih otoritatif untuk dirujuk daripada sentuhan-sentuhan verbal-motivatif Tun Desem Waringin atau (su)Mario Teguh. Namun banyak juga kisah-kisah kecil nan sederhana, namun menggigit, diantaranya kisah "jenggot dan hak kambing".   

Suatu hari Bung Sjahrir (mantan Perdana Menteri RI sekaligus pendiri Partai Sosialis Indonesia) bersama kawan-kawannya mendatangi sebuah rapat yang menghadirkan Haji Agus Salim sebagai pembicara utamanya. Tujuan mereka tak lain hanya ingin “mengacaukan” rapat tersebut. Maklum sebagai anak-anak muda, mereka lagi “genit-genit”nya secara intelektual. Setiap Agus Salim yang memiliki jenggot kambing itu bicara, maka anak-anak muda sosilais radikal yang lebih simpati kepada Semaun (tokoh Sarekat Rakjat,pesaing Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto) tersebut serempak menyahutinya dengan suara: “embeeekkkkkk”. Satu kali didiamkan.Dua kali masih dicuekkan. Begitu kali ketiga, embikan berjamaah itu terdengar, tiba-tiba HAS mengangkat tangan seraya berkata :  

“Tunggu sebentar. Bagi saya,adalah suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun berkenan datang ke ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali, mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan, agar sementara, mereka tinggalkan ruangan ini untuk sekadar menikmati rumput di lapangan. Sesudah pidato yang saya tujukan kepada manusia ini selesai, silakan mereka kembali masuk dan saya akan pidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Perlu diketahui, dalam Islam, kambing pun memiliki haknya sendiri. Karena saya menguasai banyak bahasa, maka saya akan memenuhi hak mereka.”  

Demi mendengar kata-kata Agus Salim itu, orang-orang yang hadir di sana bergemuruh dalam tawa. Adapun Sjahrir dan kawan-kawannya, alih-alih meninggalkan ruangan , mereka yang seolah-olah menjadi “sekelompok badut muda” terpaksa harus “menikmati” ejekan masal itu dalam muka merah padam. “Kendati kami tak menghentikan “perlawanan” kepadanya,tetapi sejak saat itu, untuk kembali mencemoohnya kami sama sekali tak pernah melakukannya lagi,”ujar Sjahrir seperti dikisahkan kepada Jef Last (tokoh sosialis Belanda) dalam Seratus Tahun Hadji Agus Salim.

Referensi (termasuk sumber foto) : Seratus Tahun Hadji Agus Salim.

Jumat, 08 Juni 2012

HAMKA : "Ketika Ulama Tidak Bisa Dibeli"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham  

(c)   dikutip dari buku “Mengenang 100 tahun HAMKA”  

Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majeiis Ulama Indonesia (MUI). Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.”  Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri  mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. “Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya.    

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya “bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. “Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,” kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI. Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.” Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. “Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya “kesalahpahaman” antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu. 

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. “Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu “tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar. Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari “politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama”. Ulama mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak bisa dibeli“. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan. 

Tak ada lagi Buya Hamka. orang tak akan menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak akan mendengarkan suaranya yang serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada pengajian subuh lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu akan tak ada lagi. Selama-lamanya. Ulama sangat penting itu berpulang “di hari baik bulan baik”, hari Jum’at 21 Ramadhan (24 Juli), “ketika bulan puasa masuk tahap ketiga” atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian orang santri. Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring jenazahnya ke pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh dikatakan semuanya orangorang yang berpuasa dan baru turun dari sembahyang Jum’at. Entah apa yang menggertak mereka itu: dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran (meninggal pukul 10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul – 14.30), ribuan para pelayat memenuhi jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet panjang di daerah Kebayoran Lama dan Tanah Kusir. Hamka memang sudah hampir tidak berarti “golongan” agama. Juga tidak hanya seorang “kiai”. Barangkali memang inilah ulama pertama yang dipunyai Indonesia, yang sangat paham “hidup di luar masjid”.   

Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau. “Nama ibuku Shafiyah,” katanya dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. “Beliau meninggal pada usia masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang putra. Lima dengan ayahku dan lima pula dengan suaminya yang kedua. Ibuku cantik! . . . ” la sangat memuja ibunya — sebagaimana juga istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia kagumi, hanya sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam hidup intelektualnya –meski dengan pengaruh sangat kuat. Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa — dari Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga mendapat gelar yang sama di tahun 1958 –dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib yang masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang, bagi siapa yang membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk jiwa anak muda yang bengal namun lembut itu. Si Malik itu seorang jagoan kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari ke Jawa dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut pergerakan, lari ke Mekah — dan akan tinggal di sana kalau saja tidak dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang. Dan jangan lupa: pemuda ini juga bercinta — di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi kawin. Ia sendiri mengakui sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung dan perajuk, “juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis” . . . Memang sangat manusiawi. Ia memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan ayahnya: mengganti kedudukannya sebagai ulama, seperti juga neneknya dan ayah neneknya.   

Tapi bahwa ia tak seperti mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya kepada poligami: Hamka termasuk ulama yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah keluarga yang pecah, yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam untuk menggugah jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan penghayatannya kepada adat Minangkabau, yang menjadi modal pokok roman-romannya yang memeras air mata: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan. Hamka bukan sekedar “ulama yang bersastra”. Ia ulama, dan ia pengarang. Hanya segi sastra itu makin mundur ke belakang sejalan dengan usianya yang menua, maupun tugas-tugasnya yang menjadi makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir Qur’annya yang 30 jilid, yang diberinya judul dengan nama masjid yang dicintainya, Al Azhar, kemampuan kepengarangan itu tidak lahir dalam wujud bahasa yang disengaja indah Namun orang toh tahu bahwa caranya bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara rezim Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian ‘. Kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada terasa menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa Hamka. “mudah memaafkan dan menyesuaikan diri”, terlihat dari misalnya pergaulannya dengan keluarga Bung Karno — Nyonya Fatmawati terutama — yang sangat baik sampai akhir hayat. Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin rohani yang paling pokok jadi pelayan. Asal jangan ditekan, dan jangan dibeli. Kata-katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu selesai dicetak, merupakan salah satu firasat. “Nampaknya, tugas yang menjadi beban selama ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . ” Dan panggilan itu pun datang kini. “Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar, ” komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia sekarang ini mengakui: “Akhir-akhir ini beban Buya Hamka memang sangat berat. Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi memikul beban itu.”  

Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir yang mengurai kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI.  

Kepada Saudaraku M. Natsir
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!
(dikutip dari buku “Mengenang 100 tahun HAMKA”)

Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul “Kepada saudaraku M Natsir”.

DAFTAR
Saudaraku Hamka,
Lama, suaramu tak kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,
Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.
Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur
Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun…
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” … *
Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959


(cc) Suka Sejarah Blog/Foto : google.picture.com/panjimas

HAMKA dalam Konteks Sosio Kultural Melayu

Oleh : Tim Peneliti Fak. Adab IAIN Padang
(in-clude Muhammad Ilham)

A.      Latar Belakang Masalah

Hamka merupakan sosok  intelektual yang unik. Keunikannya terletak pada suatu kenyataan, meskipun ia produk lembaga pendidikan tradisional, namun memiliki wawasan generalistik dan modern. Dilihat dari sudut keilmuan Melayu, Hamka, terlahir dari sebuah estafet keberlangsungan tradisi intelektual Melayu klasik yang mengalami masa “keemasan” dalam lapangan ilmu pengetahuan pada abad 17 dan 18 M.[1] Keberadaannya merupan sebuah kontiniuitas intelektual Melayu yang sudah tidak ada lagi di zaman modern ini. Kemampuannya berkomunikasi sesuai dengan nafas kemelayuan  baik melalui bahasa lisan maupun tulisan telah menempatkan dirinya pada kedudukan khusus dalam sejarah intelektual Islam di kawasan rumpun Melayu. Bukan hanya karena beliau banyak menulis buku-buku sejarah, khususnya sejarah Islam di nusantara termasuk biografi, melainkan lebih dari itu pemikiran Hamka telah dapat mengisi kekosongan khazanah peradaban Islam di nusantara. Kemasyhuran pemikiran dan intelektualitasnya melampaui batas tanah air bahkan menyebar sampai ke negeri-negeri Islam baik di kawasan rumpun Melayu maupun Timur Tengah. Dalam konteks ini Hamka dapat dikatakan sebagai pewaris dan penyambung estafet intelektual Islam Melayu klasik.  

Di sisi lain, Hamka merupakan sosok intelektual (modernis) yang senantiasa concern  melihat berbagai persoalan umat dan melalui berbagai macam karya tulisnya, Hamka berupaya melakukan “pencerahan” kelesuan dinamika intelektual dan pemahaman keagamaan umat Islam. Orientasi pemikirannya bukan hanya berkisar pada persoalan-persoalan keislaman semata akan tetapi juga berkaitan dengan persoalan-persoalan kehidupan sosial kemasyarakatan. Keseluruhan karya-karya Hamka dikemas melalui pendekatan keislaman.[2] Sebuah pendekatan keilmuan yang jarang dilakukan oleh para ilmuwan pada zamannya. 

Sepanjang hidupnya Hamka telah menulis lebih dari 118 buku,[3]  belum termasuk tulisan-tulisannya yang dimuat di majalah-majalah dan surat kabar-surat kabar. Karya-karyanya meliputi berbagai macam disiplin ilmu seperti sastra, sejarah, filsafat, tafsir, tasawuf,  dan lain-lain. Dari karya-karya tersebut tergambar betapa luas dan dalamnya pengetahuan Hamka tentang ilmu-ilmu keislaman. Karenanya tidaklah mengherankan jika pemikiran-pemikran Hamka sering dianalisa dan diteliti oleh para ilmuwan dan akademisi keislaman baik di Indonesia maupun di semenanjung Malaya. Melalui berbagai analisa terhadap karya-karya tersebut pantaslah kiranya, Hamka mendapatkan julukan sejarawan,[4] sastrawan,[5] wartawan, mufassir,[6] sufi,[7]  dan lain-lain sebagainya.   

Di Indonesia, studi ilmiah tentang Hamka sebagai seorang intelektual yang produktif dan sumbangannya bagi kemajuan khazanah intelektual Islam di Indonesia telah banyak dilakukan oleh kalangan akademisi baik ditinjau dari pemikirannya dalam bidang tafsir, sejarah, tasawuf, pendidikan dan lain-lain.[8] Ini menunjukan bahwa jaringan intelektual Hamka ternyata sangat mempengaruhi tradisi keilmuanIslam di Indonesia. Eksistensinya sebagai seorang ulama besar yang intelek dan intelektual yang ulama semakin lama semakin  dirasakan.  Di sisi lain penelitian dan studi tentang sumbangan pemikiran dan jaringan intelektual Hamka terhadap kemajuan intelektual Islam di kawasan rumpun Melayu, khususnya Indonesia dan Malaysia terasa agak kurang dilakukan. Pada hal seperti yang telah disebutkan di atas bahwa jaringan intelektual Hamka bukan hanya terbatas  di Indonesia saja akan tetapi juga merambah ke kawasan negara-negara rumpun Melayu khususnya Malaysia dan Singapura bahkan sampai ke Timur Tengah.  Di Malaysia, buku-buku karya Hamka beredar secara luas dan mendapat tempat di kalangan masyarakat Melayu. Bahkan beberapa di antaranya dijadikan sebagai rujukan dan buku teks pada beberapa lembaga pendidikan. Beberapa karya tersebut telah dicetak ulang di Kuala Lumpur. Bagi orang-orang Melayu, Hamka adalah putra besar alam Melayu yang tampil  pada saat umat mengalami kegawatan menangani pelbagai persoalan berat yang diakibatkan oleh penjajah dan proses pembaratan. 

Sebagai seorang ilmuwan pemikir, Hamka, memberikan perhatian serius terhadap isu-isu kemelayuan dan keislaman. Sebagai seorang putra Melayu, Hamka sangat mencintai seluruh bumi Melayu  tanpa dihalangi oleh batas-batas wilayah. Sebagai seorang yang mempunyai kesadaran sejarah dan budaya, Hamka, tidak dapat melepaskan pola pikirnya dari ikatan kemelayuan yang serumpun seagama, serantau sebudaya.[9] Tingginya penghargaan masyarakat Melayu terhadap pemikiran Hamka, telah mengantarkan dirinya sebagai sosk yang dikagumi dan dicintai oleh berbagai kalangan. Atas dasar intelektualitasnya yang brilyan itulah kemudian kalangan ilmuwan dan akademisi Malaysia, menganugrahi Hamka penghargaan Doctor Honoris Causa  dari Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974.   Atas dasar hubungan itulah pentingnya diangkat peneltian ini, sehingga sumbangan Hamka dalam menyatukan tradisi intelektual rumpun Melayu berdasarkan kesamaan agama dan budaya dapat ditelusuri lebih jauh sehingga memberikan sumbangan berharga bagi upaya memperkaya khazanah kepustakaan Islam di kedua negara serumpun.

B.      Rumusan dan Batasan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka persoalan pokok dalam penelitian ini adalah  Kenapa jaringan intelektual Hamka dapat mengaplikasikan Islam dalam konteks sosial budaya Melayu.
Agar penelitian ini lebih terarah, maka persoalan pokok tersebut dapat dikembangkan kepada beberapa rumusan masalah. Dengan rumusan ini diharapkan memberikan gambaran yang jelas terhadap pokok persoalan dalam penelitian ini, yakni: pertama, Faktor kultural Minangkabau mana yang mempengaruhi intelektual Hamka ? . Kedua, Apa faktor penyebab pemikiran Hamka dapat diterima di negara rumpun Melayu, khususnya Malaysia ?

C.      Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian tidak hanya mendeskripsikan tentang tokoh dan peristiwa yang terjadi sehubungan dengan perkembangan intelektual Islam dalam kontek sosio budaya rumpun Melayu, akan tetapi juga menelaah bagaimana dan apa sebabnya peristiwa itu terjadi. Selain itu, penelitian ini juga berupaya menggali dan mengungkapkan fakta dengan penjelasan berdasarkan suatu analisis yang bersandar kepada prosedur kerja penelitian sejarah. Melalui cara itu diharapkan akan dapat diungkap kembali berbagai realita sosial budaya dalam hubungan dengan sejarah intelektual di kawasan rumpun Melayu. 

Manfaat penelitian, pertama, diharapkan dapat menambah dan melengkapi khazanah kepustakaan Islam khususnya tentang Hamka sebagai seorang ulama besar, intelektual dan sejarawan yang pernah dimiliki oleh Alam Melayu. Kedua, sebagai sumbangan ilmiah bagi pemahaman Islam dalam konteks sosio budaya secara umum dan hubungannya dengan kemajuan tradisi intelektual di Alam Melayu, baik dalam bentuk pengayaan informasi faktual maupun sebagai sumbangan pengetahuan teoritis atau  metodologis.

D.      Tinjauan Pustaka

Kajian tentang perkembangan Islam dalam konteks sosio budaya di Alam Melayu dapat dilihat dari pelabagai persfektif, yakni berkaitan tokoh, lembaga dan struktur-struktur yang menjadi subyek dan obyek kajian. Penelitian ini menitikberatkan pembahasannya tentang aktivitas intelektual Hamka dalam mewarnai kehidupan keislaman di kawasan rumpun Melayu. Studi ilmiah tentang Hamka dan sumbangannya dalam tradisi keilmuan Islam khususnya di Indonesia telah banyak dilakukan kalangan akademisi. Beberapa di antaranya dapat dilihat,  misalnya karya Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990. Ditulis pertama kali dalam bentuk desertasi dengan judul yang sama.  Buku ini lebih menyoroti tentang pemikiran Hamka dalam bidang tafsir sebagaimana yang terdapat di dalam tafsir al-Azhar. Buku lain yang tidak kalah pentingnya memuat tentang rihlah kehidupan Hamka adalah karya Rusydi Hamka di bawah judul, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas Jakarta tahun 1983. Buku ini lebih banyak memaparkan tentang riwayat hidup ringkas dan aktivitas karir Hamka.  Penelitian lain adalah hasil karya Wilaela di bawah judul “Posisi Hamka dalam Historiografi Islam di Indonesia (Kajian Ayahku dan Antara Fakta dan Khayal Tuangku Rao)”, Tesis,  Padang: PPS IAIN Imam Bonjol, 1997. Tulisan ini menitikberatkan kajiannya kepada peranan dan posisi  dan metode yang dipakai Hamka di dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia, khusus  yang tertuang  di dalam buku Ayahku  dan Antara Fakta dan Hayal Tuangku Rao. Karya Nasir Tamara, (eds.), Hamka di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, sangat pantas dijadikan sebagai rujukan penelitian ini karena memuat tentang tulisan para tokoh dan sahabat Hamka tentang peranan Hamka di dalam pencerahan pemikiran umat. Lukmanul Hakim dalam penelitiannya yang berjudul “ Buku Sejarah Umat Islam Karya Hamka (Suatu Telaah Historiografi)”, Tesis,  Padang: PPS IAIN Imam Bonjol, 2004. Juga dapat dijadikan sebagai refrensi penelitian ini. Tulisan Mestika Zed, “ Hamka dan Studi Islam di Indonesia”, Historia: Jurnal Pendidikan sejarah,  No 3, Vol. II, Juni  2001, juga dapat dijadikan sebagai pedoman dan sangat membantu pemetaan pemikiran Hamka tentang sejarah Islam di Indonesia. Tulisan lain yang juga dapat dijadikan rujukan penelitian ini adalah karya Azyumardi Azra,  “Hamka: Rihlah Kehidupan dan Kelembagaan” dalam Azyumardi Azra, Hitoriografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.  


(Proposal lengkap, Daftar Pustaka dan "lampiran" footnote, tidak dipublish) 
Sumber foto : google.picture.com/cc. panjimas

Rancangan Kerjasama Sama Penelitian dengan Kerajaan Brunei Darussalam


Oleh : Yulizal Yunus & Muhammad Ilham (et.al)

Kawasan Budaya Melayu adalah salah satu kawasan perkembangan budaya Islam diantara kawasan kawasan besar budaya Islam seperti Arab, Irak, Turki dan Afrika Hitam. Pertumbuhan dan perkembangan Islam di kawasan ini telah mempertemukan Islam dengan tradisi-tradisi lokal yang beragam, namun dalam pertumbuhannya telah melahirkan dinamika yang spesifik, terutama dalam perkembangan tradisi keilmuan Perkembangan Tradisi keilmuan (intelektual) dan socio-cultural  di kawasan rumpun Melayu secara historis pada dasarnya telah berlangsung lama semenjak masuk dan berkembangnya Islam di wilayah ini. Selama lebih dari empat abad tradisi keilmuan dan perkembangan sosial budaya menghiasi perjalanan hidup masyarakat Melayu-Nusantara. Penyebutan Rumpun Melayu-Nusantara, menurut Azyumardi Azra, lebih didasarkan pada kesamaan aspek Socio-cultural dan sistem religi (Islam) yang bekembang dan dianut oleh masyarakat yang hidup di negara-negara kawasan Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, sebagian Philipina, Thailand, Vietnam, Kamboja dan sebagian masyarakat Islam Afrika Selatan dan Bengladesh (Azra, 1999). 

Kenyataan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa nilai-nilai ajaran Islam (the spirit of Islam) sudah merupakan akar budaya bangsa-bangsa rumpun Melayu.  Bahkan dalam tataran yang lebih luas, the spirit of Islam tersebut mampu diperankan sebagai etos pembangunan. Oleh karenanya sebutan Melayu lebih identik dengan Islam. Ketika wilayah-wilayah rumpun Melayu (Nusantara) dikuasasi oleh negara-negara Barat (Inggris, Belanda, dan Portugis), kejayaan dan kekuatan politik Melayu-Islam dan segenap tradisi keilmuan serta socio-cultural mulai mengalami kemunduran. Satu demi satu kesulthanan Islam yang ada di lingkungan Melayu Nusantara jatuh di bawah kekuasaan penjajah. Bahkan akhir dari intervensi Barat menjadikan rumpun Melayu terpecah kepada beberapa negara nasional, di mana antara satu sama lain telah dibatasi oleh garis demarkasi yang tidak boleh dilanggar. Akibatnya spirit ke-Melayu-an seakan-akan telah hilang. Pengalaman sejarah yang pahit ini secara politis sangat merugikan bangsa-bangsa Melayu. Kekuatan bangsa Melayu yang pada masa lalu terjalin kuat, kini pecah. Bahkan dalam percaturan politik internasional agak terpinggirkan. 

Oleh karena itu berbagai langkah untuk menghimpun kembali kekuatan bangsa-bangsa Melayu, terutama Indonesia dan Brunei Darussalam dalam berbagai bidang (terutama bidang sosio cultural dan tradisi keilmuan) sangat mungkin dilakukan. Kreatifitas penelitian dan misi kebudayaan adalah salah satu upaya menggali tradisi sejarah yang pernah berkembang pada masa lalu, perlu dipererat. Ini sangat diperlukan, karena bangsa-bangsa rumpun Melayu dihadapkan kepada persaingan global, terutama dengan negara-negara Barat non-Muslim yang sangat kompetitif terutama dalam hal kemajuan teknologi. Amir Syakib Arsalan, salah seorang intelektual Muslim Mesir, melalui bukunya yang berjudul : Limaza taakhkhara al-muslimuun, wa limaza taqadam ghairuhum (1939), seakan-akan memberikan spirit berarti bagi membangkitkan kesadaran umat Islam tak terkecuali Muslim rumpun Melayu, agar mampu menggapai kemajuan yang saat ini berkembang sangat pesat. 

Bertitik tolak dari kenyataan tersebut di atas, maka Lembaga Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang mengajukan tawaran kerjasama dengan kerjaan Brunei Darussalam dan mana-mana pertubuhan di bawah naungan Kerajaan (seumpama Universiti Brunei Darussalam atau Institut Pengajian Islam Omar Ali Saifuddin) untuk menggali kemajuan tradisi intelektual dan sosial budaya yang pernah dicapai oleh bangsa-bangsa Melayu-Nusantara masa lalu melalui sebuah jaringan penelitian. Mempererat hubungan silaturrahmi dan bertukar pikiran diantara cendikiawan, intelektual, ilmuan dan budayawan dua bangsa serumpun. Mengungkapkan kemajuan tradisi intelektual dan tradisi budaya yang pernah berkembang di antara kedua bangsa serumpun, terutama antara Minangkabau dan Brunei Darussalam. Menggali dan mengumpulkan data keilmuan dan sosial budaya (persamaan dan perbedaan) yang berkembang di antara kedua bangsa serumpun, kemudian disosialisasikan dan dijadikan sebagai acuan untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan. Terjalinnya hubungan yang erat antara insan akademik kedua bangsa serumpun (Minangkabau dan Brunei Darussalam) dalam upaya menggali tradisi budaya dan tradisi keilmuan, sehingga kekayaan intelektual dan kultural masyarakat Melayu masa lalu dapat dikenali oleh generasi masa kini dan masa datang. Tema pokok penelitian ini adalah : 

“Mencari Akar Identitas Budaya Melayu Islam : Studi Komparasi  Realitas Budaya di Minangkabau dan Brunei Darussalam”. 

Untuk tema pokok tersebut di atas, dirancangkan beberapa topik sebagai berikut : 

Pemikiran Syekh Thaher Jalaluddin Al-Falaki dan Pembaharuan Pemikiran Islam di Minangkabau dan Malaysia (in-clude Brunei Darussalam Awal Abad XX). 

Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Tradisi Intelektual di Rumpun Melayu-Nusantara :  Studi tentang Peranan Tulisan Jawi dalam Perkembangan Islam dan Tradisi Keilmuan di Brunei Darussalam dan Minangkabau. 

Diktum  Adat Basandi Syara’ , Akar Tradisi Sosio Kultural Melayu-Islam (Kajian Antropo-Historis Brunei Darussalam dan Minangkabau). 

Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA) dan Pengaruh Pemikirannya di Brunei Darussalam. 

Topik-topik di atas adalah beberapa alternatif yang masing-masing dapat dikembangkan ke dalam proposal lengkap, serta akan di tambah dan diubah-suaikan sejalan dengan tema pokok penelitian, setelah didapatkan persepakatan kerjasama Kerajaan Brunei Darussalam/Pertubuhan Pendidikan Tinggi Islam di Brunei Darussalam, pada masa yang akan datang. 

(Proposal lengkap, tidak dipublish)

Sumber foto : jppn.com

Selasa, 05 Juni 2012

Indonesia


Indonesia !!
Saya orang biasa
Bukan pahlawan ataupun turunannya
Tapi saya ingin berkata dengan sederhana
I Love You, So Much
Walau "basahmu" belumlah kering.


 
Foto : google.picture.com