Senin, 09 Mei 2011

Tan Malaka Memikirkan Indonesia (1)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Bila revolusi dalam sejarahnya dikatakan acapkali “memakan anaknya sendiri”, maka itu ungkapan, mengena benar untuk Tan Malaka. Sosok yang rekam jejaknya nyata, ada, namun kemudian seakan memitos karena dihilangkan/ditiadakan dalam sejarah pembentukan dan perkembangan republik ini. Setelah masa reformasi sosoknya mengemuka kembali. Ada yang masih mengidentikannya sebagai seorang komunis –dipahami awam sebagai negatif; bahkan sebaliknya, ia dikultuskan melalui berbagai ekspresi budaya pop berupa kaus, pin, dan pamflet (mungkin bisa saja kelak nyaris senasib dengan si ikon revolusi dari Amerika Latin, Ernesto ‘Che’ Guevara). Pada masa kolonial Belanda, Tan Malaka dikenal sebagai pedagog, pemikir, hingga petualang politik yang menjadi ancaman serius bagi politik kolonialisme. Tan pun diburu oleh agen-agen spionase di dalam dan luar negeri. Dan hingga selepas masa revolusi, sekalipun Tan telah tiada, jati dirinya malah tenggelam (baca juga: ditenggelamkan) dalam masa pemerintahan Orde Lama (Orla) hingga Orde Baru (Orba). Fakta-fakta seputar avonturisasi pemikiran dan politiknya sejak masa pergerakan nasional hingga masa revolusi menguap dalam buku-buku pelajaran sejarah. Wajar, nama Tan Malaka pun menjadi tabu dibaca apalagi untuk lebih diketahui.

Selibat pengalaman pribadi yang pernah bersentuhan dengan dunia penyuntingan naskah-naskah pelajaran sejarah, hanya sedikit saja nama Tan Malaka didapati dalam materi pergerakan nasional Indonesia; itupun paling hanya di seputar hubungannya dengan ISDV, PKI, dan peristiwa pemberontakan 1926. Pada materi pendudukan Jepang hingga kemerdekaan, namanya langka/nyaris tak banyak ditemukan. Padahal hingga 1949 (tahun Tan dieksekusi), perannya dalam upaya menggapai kemerdekaan hingga jejaknya dalam masa revolusi sangatlah penting. Hingga masa reformasi pun tabu itu masih hidup. Buktinya saja warta belakangan ini seputar pelarangan Opera Tan Malaka yang diputar di stasiun televisi lokal (di Batu, Kediri, dan Sumenep) yang mana “disarankan” untuk tidak ditonton. Agaknya alasan klise : Tan komunis. Premisnya, jika ia dibaca dan ditonton, dicemaskan ideologi kiri itu kembali berkembang di Indonesia. Kenyataan yang sebetulnya kontras dengan pemikiran anti-dogmatis Tan terhadap ideologi apapun itu. Pemikirannya inilah yang menjadi asas ideal Tan mengonsepsi kebangsaan Indonesia sebagaimana terbaca dalam karya-karyanya. Wajar jika Muhammad Yamin (1990) menjulukinya sebagai : “Bapak Republik Indonesia”.

Nama Ibrahim Datuk Tan Malaka atau Tan Malaka memang tertelan oleh kebesaran nama seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir yang lebih dikenal sebagai founding fathers republik ini. Tan yang terlahir di Minangkabau – sebagaimana dikatakan sahabatnya Djamaludin Tamin – pada Juni 1897, dari segi usia lebih tua dari Soekarno (lahir 1901), Hatta (1902), dan Sjahrir (1909). Begitupun dengan kiprahnya berorganisasi dan kisah petualangan politiknya malang-melintang di dalam dan –lebih banyak dihabiskan– di luar negeri itu, membuat kisah Tan lebih menarik perhatian Hasbullah Parindurie untuk menuangkannya dalam cerita bersambung bertajuk Spionnage Dienst dalam surat kabar Pewarta Deli sepanjang Juli – September 1934. Cerita bersambung itu pun dibukukan dalam tajuk Patjar Merah Indonesia; novel yang berkisah kehidupan (setengah) nyata Tan di Thailand, Singapura, Kamboja, dan Hongkong sepanjang 1930 – 1932. Sebegitu rawannya jika bersentuhan dengan Tan termasuk membaca tulisan-tulisannya yang agitatif, membuat Hasbullah mesti menyamarkan nama Tan Malaka dengan nama-nama Vichitra, Tan Min Kha, dan Patjar Merah. Hasbullah sendiri membuat pseudonim untuk dirinya selaku penulis novel tersebut dengan nama Matu Mona. Meski Soekarno, Hatta, dan Sjahrir sama-sama merasakan dibui dan menjadi eksil karena terjerat hukum politik pemerintah kolonial Belanda, perjuangan politik Tan memang paling dramatik. Sebagai avonturir di Hindia dan mancanegara, ia merasakan hidup dari penjara ke penjara. Itulah yang membuat Hasbullah terpikat meromankan perjuangan politik Tan.

Sebagai seorang Minang, Tan kecil hidup dalam dan ditanamkan nilai-nilai tradisi Islam yang kuat. Selepas menamatkan Kweekschool pada 1913, kemudian ia melanjutkan studinya ke Haarlem, Belanda. Di Belanda itulah Tan mulai mengenal dunia politik (baca: sosialisme). Sekembalinya ke Hindia pada 1919, ia mulai menerapkan pengetahuan politiknya untuk menghadapi Pemerintah Kolonial Belanda. Tan mulai menapaki dunia politik di Hindia. Diskusi-diskusinya dengan Semaun (wakil ketua Indische Sociaal Democratische Vereeniging) seputar pergerakan revolusioner menginspirasinya untuk melawan kolonialisme di Hindia Belanda. Cara yang dilakukannya adalah mengorganisasi para pemuda, memberi pendidikan politik bagi anggota Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Islam (SI). Pendidikan lebih diutamakan Tan ketimbang bernafsu mengumpulkan massa, sebagaimana dikatakannya dalam Dari Pendara ke Pendara (jilid I, 2000), bahwa : “mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting.” Pergerakannya di ranah pendidikan dilakoninya sejak menjadi guru bagi anak-anak buruh di perkebunan teh Belanda di Deli, lalu diteruskan pada 1921 dengan mendidik anak-anak anggota SI di Semarang. Pendidikan bagi Tan adalah pemberi jalan bagi para muridnya untuk mendapatkan : pekerjaan di lingkungan kapitalisme, kebebasan mendirikan perkumpulan-perkumpulan, dan perbaikan nasib hidup. Tan memandang pendidikan sebagai jalan bagi kemerdekaan jiwa-jiwa orang Indonesia untuk menggapai kemerdekaan bangsanya. Hal menarik dari Tan adalah tidak taklidnya ia terhadap nilai suatu ideologi tertentu sebagai sarananya untuk menggapai kemerdekaan yang dicita-citakannya. Gelagat mental dan pemikirannya boleh dikatakan terbangun dari alam pikiran akan nilai dan tradisi Islam masa kecilnya. Maka itu, menginjak usia 50 tahun dengan pengetahuan isi kepalanya yang makin memejal, pandangan kritis Tan atas ideologi perjuangannya tersirat dalam Islam dalam Tinjauan Madilog (2000 [1948]).

Menjadi realistis jika membaca pandangan Tan atas Pan-Islamisme yang menyeruak di dunia Islam yang menurutnya suatu kesempatan untuk dikolaborasikan dengan komunisme melawan kezaliman dan kelaliman kolonialisme. Hanya saja, pandangannya acap tak sejalan dengan rekan-rekan komunisnya. Tak heran jika dalam sebuah tulisannya, Alfian (1977) menajukinya Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian. Meski lebih sebagai seorang berwatak soliter, aktivitasnya yang berupaya menggabungkan komunis dengan Islam tetap menjadi ancaman serius bagi pemerintah Hindia Belanda yang lalu menangkap dan mengasingkannya ke Belanda pada 1922. Sejak itulah petualangan politik Tan dimulai di Eropa. Kecakapan Tan berideologi dan berpolitik teruji dengan nyarisnya ia menjadi calon kuat anggota parlemen Partai Komunis Belanda. Tan bahkan juga ditunjuk sebagai wakil Komunis Internasional (Komintern) untuk kawasan Asia Timur. Sejak 1923 – 1925 Tan berpindah ke Kanton dan di sana ia menuntaskan bukunya Naar Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, 1924). Posisinya yang penting di Komintern dimanfaatkan benar oleh Tan dalam kongres Komunis Internasional untuk memberikan advis bagi para peserta kongres akan pentingnya kerjasama komunisme dengan Islam dalam menghadapi kapitalisme kolonial. Meski mendapat aplaus meriah, namun gagasannya tak didukung kongres. Sama halnya dengan reaksi rekan-rekan komunisnya di Indonesia tatkala Tan tidak sejalan dengan rencana gerakan tahun 1926; tahun yang bertepatan tatkala Tan yang tengah berada di Singapura menulis buku Massa Actie. Dalam perhitungan politik Tan, gerakan itu belumlah memadai jika baru sebatas berlandas pada situasi revolusioner, soliditas kepemimpinan PKI dan massa yang mendukungnya, serta program-program revolusi. Tan mengatakan gerakan itu sebagai tindakan abortif yang diramalkan berbuah kegagalan, sebagaiman dalam Massa Actie (Aksi Massa [2000])-nya dikatakan: “selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan ‘putch’ atau anarkisme, hal itu ‘hanyalah impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat merupakan satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak.”

Maka itu Tan memutuskan hubungan dengan tokoh-tokoh sentral PKI: Sardjono, Musso, dan Alimin yang melalui Keputusan Prambanan merekayasa rencana gerakan. Alhasil, kalkulasi Tan atas gerakan 1926 terbukti sebagai prematur yang hasilnya : “bunuh diri” bagi pergerakan nasional. Pemerintah kolonial dengan mudahnya memadamkan gerakan itu serta menangkap dan menahan para penggiat politik, meskipun nyatanya tidak semua adalah elemen PKI. Tak sedikit yang diasingkan ke Digul. Pun tak sedikit pula yang disiksa dan dibunuh. Kecewa atas kepandiran rencana tokoh-tokoh PKI yang berbuah kelumpuhan seluruh pergerakan nasional, membuat Tan yang ketika Juni 1927 tengah berada di Thailand mendirikan Partai Repoeblik Indonesia (Pari) bersama sahabatnya Djamaluddin Tamin dan Soebakat. Lagi-lagi konsepsi “Repoeblik Indonesia” menyembul, menegaskan kembali gagasan Tan sebagaimana tertera dalam bukunya yang terbit tiga tahun sebelumnya (baca: Naar Republiek Indonesia). Penerawangan Tan atas masa depan Indonesia melalui buah pikirnya ini mendahului para calon pendiri Republik Indonesia yang saat itu masih berpilin di tataran organisasi, belum mengonsepsikan secara terang-terangan istilah “Republiek Indonesia.” Dus, wajar saja Muhammad Yamin (1990) menjulukinya “Bapak Republik Indonesiadan memisalkan Tan tak ubahnya Thomas Jefferson dan George Washington merancang Republik Amerika Serikat atau Andrés Bonafacio dan Jose Rizal meramalkan Philipina sebelum revolusi di negara itu pecah. Selama kurun 1927 – 1942 Tan berpindah-pindah, dari Filipina, Shanghai, Hongkong, Pulau Amoy, Burma, dan Malaysia. Setelah 1942 barulah Tan kembali ke Indonesia dengan sebagian besar hayatnya dihabiskan di Pulau Jawa. Sebagai seorang pelarian politik, Tan juga incognito ulung yang mengoleksi berbagai nama: Elias Fuentes, Estahislu Rivera, Hasan Gozali, Ossario, Oong Soong Lee, Tan Ho Seng, Ramli Hussein, dan Ilyas Hussen; pun dengan beragam profesi (wartawan, guru, hingga kerani). Tan bukan berarti tenang selepas 20 tahun ia meninggalkan Indonesia dengan banyak malang-melintang di dunia politik mancanegara. Kegelisahannya atas nasib perjuangan kemerdekaan Indonesia belum bisa pupus, sebagaimana pemikirannya tertuangkan dalam Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika). Sebuah karya filsafat yang dikerjakannya di sebuah gubuk di Rawajati, Jakarta, terhitung delapan bulan, 720 jam, atau kira-kira tiga jam sehari (15 Juli 1942 – medio tahun 1943).

Sumber : (c) Fadly Rahman/2011. Photo : tempo.com

Tidak ada komentar: