Kamis, 31 Desember 2009

MITOS Majapahit

Re-Write : Muhammad Ilham

Tahukah Anda bahwa umur Kerajaan Majapahit yang sangat terkenal itu ternyata hanya 185 tahun (1293-1478). Kerajaan Jawa yang didirikan oleh Raden Wijaya yang masih keturunan raja Kerajaan Sunda Galuh ini namanya begitu masyhur dalam buku-buku sejarah resmi yang kita pelajari dari SD hingga SMA. Apalagi ditambah penisbatan Majapahit sebagai sumber inspirasi berdirinya Republik Indonesia karena kerajaan inilah yang mula-mula “mempersatukan” (menaklukkan) pulau-pulau di seantero Nusantara dalam genggaman kekuasaannya. Kita seolah lupa bahwa di bumi Nusantara ini ternyata ada juga kerajaan-kerajaan yang tak kalah hebat, baik dari segi masa pemerintahannya maupun kekuatan militernya. Siapa sangka Kesultanan Aceh Darussalam itu memiliki umur 396 tahun! (berdiri tahun 1507 dan takluk pada Belanda pada tahun 1903 akibat kalah perang). Sebagai catatan Aceh akhirnya kalah setelah perang berlarut-larut yang memakan waktu 30 tahun (1873-1903) dan berkurangnya bantuan militer dari Kesultanan Ottoman.

Diluar Kerajaan Aceh Darussalam yang digdaya itu ternyata masih ada lagi 2 buah kerajaan yang berumur panjang (dan tentunya lebih panjang daripada Majapahit yang terkenal itu). Kedua kerajaan ini masih berada di Sumatera. Sriwijaya adalah kerajaan yang lebih awal dari Majapahit yang sempat menancapkan bendera di bumi Nusantara ini setidaknya selama 617 tahun. Sriwijaya telah ada sejak tahun 671 menurut kesaksian I-tsing, seorang pendeta Tiongkok yang mengunjungi kerajaan tersebut pada tahun itu. Kerajaan ini runtuh setelah Ekspedisi Pamalayu yang dilancarkan Kerajaan Singasari tahun 1288. Kerajaan kedua adalah Kerajaan Pagaruyung atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Minangkabau. Kerajaan yang berlokasi di Sumatera Tengah ini sempat berumur 477 tahun. Ia didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347 dan runtuh akibat Revolusi Sosial Wahabbi (Islam Mazhab Hambali) pada tahun 1824. Revolusi Wahabbi yang berniat mendirikan Daulah Islam Minangkabau ini akhirnya gagal dan berakhir dengan kisah Perang Paderi yang terkenal itu.

Kembali kepada topik awal yaitu soal Majapahit, kita terlanjur mempercayai kebesaran kerajaan tersebut yang mana sumber datanya rata-rata berdasarkan klaim dalam kitab manifesto politik berjudul Negarakertagama. Kitab yang ditemukan pada abad ke 19 di dalam sebuah Puri di Lombok ini seolah melegitimasi fakta sejarah yang masih kabur tentang wilayah kekuasaan Majapahit. Andaipun sebagian cerita di dalam kitab ini benar adanya, maka tidak serta merta Nusantara berada dalam genggaman Majapahit selama 185 tahun. Yang benar adalah hanya selama 39 tahun saja! Dasarnya adalah sebagian besar wilayah-wilayah tersebut ditaklukkan pada masa Raja Hayam Wuruk berkuasa (1350-1389) dengan bantuan Patih Gadjah Mada -nya yang terkenal itu. Sebagian besar wilayah pantai di pulau-pulau utama Nusantara memang sempat jatuh dalam hegemoni Majapahit dengan perkecualian wilayah Tatar Pasundan di Jawa Barat dan Pulau Madura. Setelah era Hayam Wuruk berakhir, satu persatu negara bawahan itu mulai melepaskan diri.

Sekali lagi andai isi kitab ini benar tentu kiranya akan dengan mudah kita temukan jejak-jejak kekuasaan Majapahit di daerah-daerah taklukannya tersebut, sama seperti dengan mudahnya kita menemukan pengaruh India, Cina, Arab, Persia dan Eropa di negeri ini. Namun pada kenyataannya di wilayah Sulawesi Selatan dimana Kerajaan Gowa dan Kerajaan Luwu diklaim takluk tidak ditemukan sedikitpun jejak kerajaan yang berpusat di Tanah Jawa itu. Satu-satunya jejak kosakata mungkin kata kuda yang dalam bahasa Makassar adalah “jarang” (kemungkinan diambil dari kata jaran dalam bahasa Jawa). Selain itu nyaris tidak ada. Justru salah satu pamor keris di Jawa dinamakan pamor Luwu, dimana pada masa Majapahit, Kerajaan Luwu sangat terkenal dengan industri senjatanya yaitu keris itu sendiri. Jadi pertanyaannya manakah versi sejarah yang harus kita percaya. Saya rasa atas nama ilmu pengetahuan, perlu kiranya kita merevisi pemahaman kita selama ini dan perlu pula meneliti ulang cerita-cerita yang sempat dijadikan mitos sejarah dengan tujuan-tujuan tertentu.

(c) www/umum.kompasiana.com/2009/09/23

Rabu, 30 Desember 2009

"Selamat Jalan" GUS DUR ....... Anda LEBIH Anda KURANG, tapi Anda Tetap Inspiratif

Oleh : Muhammad Ilham

"Demokrasi yang baik adalah ketika kita menghargai hak-hak minoritas" (Abdurrahman Wahid : 2003)

Gus Dur atawa Abdurrahman Wahid telah ”menutup” catatan hidup yang ditorehkannya secara empiris-personal. Namun, catatan hidupnya tetap memberikan pengaruh bagi pencerahan bangsa, entah sampai kapan. Sebagai figur bangsa, bagi saya pribadi, Gus Dur bukanlah sosok ideal bagi saya untuk dikagumi secara utuh. Hanya bagi saya dan secara utuh. Tapi pada bagian-bagian tertentu, Gus Dur bagi saya sangat inspiratif, luar biasa dan pantas untuk saya ceritakan pada anak cucu saya kelak. Sebagai tokoh yang sangat kontroversial (bagi ”ranah” Indonesia), kehadiran seorang Gus Dur justru memberikan pencerahan bagi peradaban Indonesia dan mungkin kaum muslimin di seluruh dunia.

Mungkin banyak pemikirannya yang hingga hari ini belum bisa diterima oleh semua pihak, tapi bukan berarti pemikirannya itu ”tidak akan pernah” diterima. Terkadang, lontaran pemikiran seseorang bisa mendahului zaman. Nurcholish Madjid @ Cak Nur adalah contoh terbaik. Pemikiran Cak Nur tersebut justru terasa ”hidup” bagi kita setelah ia meninggal. Sosok seorang Gus Dur nampaknya membekas begitu mendalam di benak orang-orang yang pernah mengenalnya. Gus Dur sebagai seorang cendekiawan dan pejuang demokrasi yang berperan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sejarah mengenal, se-kontroversial apapun seorang putra KH. Wahid Hasyim ini, tapi semua orang bersepakat bahwa ia adalah pejuang demokrasi yang pandai dalam membina hubungan beragama di Indonesia. "Beliau tokoh besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungannya dengan negara dan agama, khususnya agama Islam sangat luar biasa," kata Adnan Buyung Nasution usai melayat ke rumah duka, Rabu ( 30/12/2009 ) malam, di Ciganjur, Jakarta Selatan. Dengan kemampuannya, suami Sinta Nuriyah ini mampu membangun hubungan yang sangat demokratis antara negara dan agama. Padahal, dua hal tersebut merupakan salah satu hal yang paling sulit untuk disinergikan.

Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara. Dwifungsi tamat. Gus Dur adalah pejuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Fenomena paling hebat adalah ketika Gus Dur yang buta dan berkursi roda mengalahkan lawan-lawannya yang sehat dalam perebutan kursi Presiden Indonesia keempat. Banyak yang menganggap terpilihnya Gus Dur waktu itu sebagaii ironi besar bangsa Indonesia berpenduduk lebih dari 200 juta. Tetapi ironi sesungguhnya, dan itu sangat fenomenal, adalah kehebatan seorang buta dan lumpuh yang mampu melumpuhkan keperkasaan orang-orang sehat dan cerdas. Di kalangan pengagum fanatiknya Gus Dur adalah dewa. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan. Dengan selentingan kesukaannya 'begitu aja kok repot' Gus Dur tidak menggampangkan persoalan. Justru itu memperlihatkan kejeniusan seorang Gus Dur menyelesaikan banyak hal pelik dengan mudah.

Soekarno tak pernah, Soeharto apalagi, Habibie belum. Baru Gus Dur membuat sesuatu yang bersejarah ini: di depan sebuah pertemuan internasional di Bali, dialah presiden Indonesia pertama yang bisa membuat hadirin tertawa. Para kepala negara terdahulu berpidato dengan gagah, serius, atau mendayu-dayu. Tanpa humor. Tapi Gus Dur tidak. Presiden yang hampir buta itu berbicara tentang dirinya dan juga tentang wakil presidennya, Megawati, yang enggan berkomentar. “Kami berdua akan jadi sebuah tim yang sempurna,” katanya dalam bahasa Inggris yang bagus, tanpa teks. “Saya tak bisa melihat, dia tak bisa omong.” Para hadirin tergelak mendengar olok-olok itu. Harian Financial Time beredar ke seluruh dunia dan menulis tentang Gus Dur yang “memikat” (to charm) dunia. Selama bertahun-tahun retorika Indonesia adalah retorika kekuasaan. Di mimbar, Bung Karno bergemuruh seperti gelombang samudra magis yang berseling petir. Pidato Soeharto datar-lurus seperti barisan tentara yang maju dengan disiplin. Habibie memberi sambutan dengan nada naik-turun seperti sebuah kapal udara ringan yang melintasi perbukitan. Samudra, tentara, pesawat terbang—semua itu kiasan untuk bermacam daya yang menaklukkan. Sebaliknya, retorika Gus Dur adalah retorika pertemuan. Ah ..... sudahlah, membicarakan Gus Dur memang memikat. Kelemahannya juga memikat, apalagi tentang kelebihannya.

”Buku berjalan” ini (demikian banyak kalangan menyebutnya saking luas dan dalamnya pengetahuan beliau) adalah orang yang paling memahami hubungan antara negara dan agama, dan itu merupakan pengantar luar biasa bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Banyak orang beranggapan bahwa pandangan beliau jauh lebih besar daripada politisinya, pejabatnya, birokratnya, pedagangnya Indonesia. Selamat Jalan Gus Dur ............ Selamat Jalan Putra Jombang yang fenomenal.

Selasa, 29 Desember 2009

Atas Nama Nurani Keadilan Akhirnya Prita .... Bebas !

Oleh : Muhammad Ilham

Hak publik pula untuk memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu keadilan. Dengan logikanya yang sederhana, masyarakat kadang bahkan lebih cermat dalam menakar keadilan ketimbang para penegak hukum yang berkiblat dengan logika-logika yuridis yang kaku tanpa memiliki nurani keadilan itu sendiri (Adnan Buyung Nasution)


Hari ini Prita bebas. Sebuah peristiwa perlawanan rakyat menghadapi arogansi hukum yang mengatasnamakan "demi hukum" akan tercatat dalam sejarah. Dibaca dan akan dijadikan referensi anak cucu kita mendatang. Kasus Prita meninggalkan banyak catatan-catatan mengharukan dan menyentak ranah "humanis" kita. Koin atawa uang receh adalah salah satu bentuk fenomena yang mungkin dari zaman Hayam Wuruk hingga sekarang, mungkin tak akan bisa kita prediksi akan terjadi. Namun, kasus Prita memberikan pelajaran dan contoh berharga. Secara harfiah, pengumpulan receh memang dimaksudkan untuk membebaskan Prita dari hukuman dan beban finansial akibat tingginya denda yang harus dibayarkan. Namun secara implisit, gerakan ini sesungguhnya sarat makna. Ruh zaman (zeitgeist) yang harus dihadapi dalam konteks kekinian memang membenturkan kita dengan realitas sulitnya mencari keadilan. Hukum yang dikonstruksi di negeri ini enggan berpihak kepada rakyat kecil. Sebaliknya, secara telanjang hukum justru menunjukkan keberpihakannya kepada golongan tertentu. Namun apa daya, publik tak kuasa menghadapinya.

Masyarakat dihinggapi perasaan tak berdaya (powerless), pesimis, dan frustrasi menghadapi mandulnya hukum dalam mencipta keadilan. Hari ini Prita, esok, atas nama hukum, mungkin kita yang akan ”dipritakan”. Koin receh adalah bentuk perlawanan dengan satire di tengah ketidakberdayaan, sekaligus adalah kanal nonagresi untuk meliberasi diri dari semua emosi, kejengkelan, dan ketegangan psikologis akibat keadilan yang tak tertegakkan. Sementara uang receh sengaja dipilih untuk menggambarkan begitu mudah dan murahnya keadilan itu dibeli. Hati publik yang terketuk dalam kasus Prita adalah tanda hati yang masih memiliki empati. Secara imajinatif, publik memosisikan dirinya pada perasaan, pikiran, dan penderitaan seorang ibu rumah tangga, yang atas nama hukum dipaksa negara membayar ratusan juta, justru ketika ia menuntut haknya. Empati itu lantas mengalirkan dukungan yang tidak sebatas pada pernyataan belaka, tetapi diikuti perilaku prososial berupa pengumpulan uang receh yang secara spontan dilakukan di beberapa kota di Indonesia. "Uang Receh" menjadi catatan manis ..... "fenomena sosial" yang menampar kebekuan hukum Indonesia.

Palu hakim acapkali lebih berpaling kepada mereka yang berduit. Asumsi tersebut memang tidak dapat digeneralisasi, tetapi setidaknya kasus Prita menjadi pelajaran bahwa lembaga peradilan kita masih perlu pembenahan. Sepertinya kita harus lebih dewasa lagi dalam berpikir dan bersikap. Kita harus dapat melihat sebuah permasalahan dengan berbagai pertimbangan. Setidaknya ada pertimbangan tentang nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan yang menjadi patokan di dalamnya. Jangan hanya berpedoman pada Undang-undang yang sering menyesatkan dan sering menimbulkan perdebatan. Kedewasaan dalam beretika dan berpikir harus kembali kita kedepankan. Bukan malah memperuncing permasalahan dan saling berkeras untuk mengklaim sebagai pihak yang benar dengan menjadikan Undang-undang sebagai senjata yang mematikan.

Minggu, 27 Desember 2009

“Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century”

Oleh : Muhammad Ilham

"Membakar buku adalah kejahatan. Tetapi kejahatan sesungguhnya adalah buku yang tidak dibaca" (Orang Bijak)

“Setiap rezim melahirkan ceritanya sendiri”, kata Mao Tse Tung. Dan biasanya, setiap rezim juga melahirkan catatan teks dalam bentuk buku – tentunya, ada yang mendukung, menjilat, menentang bahkan hanya untuk sekedar mencari ”sensasi”. Demikianlah, sehingga sejarah kemudian mencatat terbitnya buku ”Siapa Menanam Angin Akan Menuai Badai”, karangan Soegiarso Soerojo. Kehadiran buku ini ”menggugat” kemapanan (baca: indoktrinasi) a-la Orde Baru terhadap kasus latar dan konteks historis Pemberontakan 30 September 1965. Dari buku ini, lahirlah kemudian beberapa buku ”counter” seperti ”Buku Putih” terbitan Sekretariat Negara. Karena rezim Orde Baru begitu ”otoriter” terhadap kebebasan berpendapat, kehadiran beberapa buku ”counter” atau buku alternatif terhadap kasus berkenaan, tidak begitu banyak. Beda dengan rezim-rezim pasca Orde Baru. Zaman Presiden B.J. Habibie melahirkan buku-buku politik alternatif yang sangat dinamis. Mulai dari kesaksian BJ. Habibie sendiri, yang kemudian di-counter oleh ”Kesaksian di Tengah Badai’-nya Fadli Zon dan selanjutnya muncul pula buku Kivlan Zein yang menyudutkan Jenderal Wiranto .... dan selanjutnya dibantah oleh Wiranto sendiri yang kemudian di-counter ulang kembali Prabowo Subianto via Fadli Zon. Paling mutakhir untuk kasus ini, Letnan Jenderal Sintong Panjaitan (orang dekat BJ. Habibie), tak mau ketinggalan. Sebagai ”saksi sejarah”, Sintong Panjaitan yang dikenal berjasa membebaskan pembajakan Pesawat Garuda Woyla DC 9 di Dong Muang Air Port Bangkok ini (dibawah komando Jenderal Lambertus Benny ”LB” Murdani), juga menukilkan pengalaman empirisnya untuk meng-counter buku Prabowo cs. Dengan ”Kesaksian Seorang Jenderal”. Menghebohkan, tapi sebentar.

Bulan Desember 2009, dunia politik Indonesia kembali tersentak. Adalah George Junus Aditjondro sebagai pemicunya. Akibat buku “Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century” yang ditulisnya, George Junus Aditjondro menggegerkan konstelasi politik nasional. Pasalnya, buku yang diterbitkan Galang Press Jogjakarta dan diluncurkan pada 23 Desember 2009 ini, sengaja mengungkap borok ‘Kerajaan’ Ciekas, tempat Presiden SBY. Buku Membongkar Gurita Cikeas setebal 183 halaman ini didahuli dengan kata pengantar yang menyatakan bahwa penulis tidak bermaksud menyerang lingkaran keluarga Cikeas. Meski demikian, ini sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap kinerja pemerintah SBY agar memberantas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) tanpa tebang pilih. Dimulai dari keluarga besarnya yang banyak menguasai pos-pos strategis yang rentan terhadap peluang-peluang KKN. Sebanyak 10 bab yang ada dalam buku dibuka dengan foto bergambar keluarga SBY di rumah sakit saat menantu SBY, Anissa Pohan, melahirkan anak pertamanya. Ke-10 bab tersebut adalah Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century, Bantuan Grup Sampoerna untuk Harian Jurnas, Pemanfaatan PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center, Yayasan-Yayasan yang berafiliasi dengan SBY, Kaitan dengan Bisnis Keluarga Cikeas, Yayasan-yayasan yang Berafiliasi dengan Ny. Ani Yudhoyono, Pelanggaran-pelanggaran UU Pemilu oleh Caleg-Caleg Partai Demokrat, Kesimpulan, Lampiran, dan Referensi penulis. Meski ada ‘larangan’ bagi buku karya Aditjondro ini untuk beredar, namun Galang Press Yogyakarta sebagai penerbit tetap akan mendistribusikan buku tersebut. Menurut Dirut Galang Press, Julius Felicianus, Sabtu (26/12), buku ini sudah tersebar 4.000 eksemplar di toko buku se-Jawa.

George Junus Aditjondro selalu menciptakan sensasi. Tapi bukan sensasi a-la politisi Senayan. Aditjondro adalah ilmuan-peneliti. Tentunya, bukunya tersebut selalu berbasiskan data – walau mungkin ada data-datanya lemah. Namun, kehadiran data-data lemah tersebut sebagai ”jembatan emas” untuk melahirkan data-data dan analisa lebih kuat. ”Tak selamanya pendapat saya ini benar, kata Karl Raymond Popper, tapi saya bahagia, karena kesalahan pendapat saya ini justru akan menjadi pijakan bagi orang lain untuk melahirkan pendapat yang benar”. Saya adalah pengagum dan fans SBY. Saya hanya berharap kiranya, konsep ”fitnah” yang dikeluarkan oleh SBY dalam beberapa kesempatan belakangan ini, hanya-lah diperuntukkan putra Pacitan ini bagi politisi-politisi avountourir Senayan saja, jangan bagi Aditjondro.

Aditjondro sendiri sudah vokal sedari dulu dan sejak 1994 -1995 namanya dikenal luas sebagai pengkritik rezim Soeharto dan berani membongkar berbagai kasus korupsi dan Timor Timur. Masih segar dalam ingatan saya, ketika tahun 1990-an awal (waktu saya masih SMA), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga pernah ”dihuni” tiga orang dosen populer. Prof. Arief Budiman (kakak kandung Sio Hok Gie) yang dikenal sebagai ”sosiolog mbeling” dan kritis terhadap rezim Suharto, kemudian ia tercampak ke Melbourne University Australia. Di samping Prof. Arief Budiman ini, UKSW juga menjadi tempat bagi DR. Ariel Heryanto mengajar. Ariel yang pernah menulis buku ”Perlawanan dalam Kepatuhan” ini juga terdepak dari UKSW sebagaimana Arief Budiman ..... dan kemudian mengajar di Melbourne University Australia setelah sebelumnya di Nanyang University Singapore. Aditjondro juga mengalami hal serupa dengan dua secondan-nya ini. Ada kesamaan diantara mereka bertiga, sama-sama chinnese schollar (intelektual keturunan Cina), sama-sama dari UKSW, sama-sama berbasis LSM, sama-sama orang pergerakan, sama-sama terusir dari UKSW dan Indonesia dan sama-sama ke Australia. Satu lagi ....... sama-sama tak disukai rezim apapaun di Indonesia.

Aditjondro sempat harus meninggalkan Indonesia ke Australia pada tahun 1995-2002 dan dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998. Di Australia ia menjadi pengajar di Universitas Newcastle dalam bidang sosiologi. Sosiolog sekaligus aktivis LSM ini lahir 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia juga pernah dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada 1998, saat hendak menghadiri sebuah lokakarya di Thailand pada November 2006. Kini pun, Aditjondro membongkar dugaan kasus korupsi keluarga Cikeas.

Sebenarnya, naskah buku Membongkar Gurita Cikeas ini diterima Galang Press pada Juni 2009 atau sebelum kasus Century menjadi booming. Sebelumnya, George juga pernah menulis tentang korupsi di kepresidenan. Pada tahun 2006, pria yang pernah dicekal oleh rezim Soeharto ini menulis buku yang berjudul 'Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa'. Ia juga pernah menulis buku berjudul 'Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari'. Buku itu mengkritik habis perilaku koruptif di era Soeharto dan Habibie. Kali ini, mungkin yang tidak mengenakkan bagi ‘geng Cikeas’ dalam merespon isi buku 'Membongkar Gurita Cikeas' adalah pembeberan empat yayasan yang dikelola keluarga Presiden SBY selama ini menjadi pemobilisasi dana dan suara pada Pemilu dan Pilpres 2009. Saat jumpa pers prapeluncuran bukunya di Yogyakarta, Aditjondro menyerukan dilakukan audit keuangan atas yayasan-yayasan yang terkait keluarga Presiden SBY. Menurutnya, yayasan-yayasan itu tidak pernah diaudit dan dilaporkan kepada DPR dan media. Hal ini berpotensi melakukan memobilisasi dana dan memobilisasi suara pada Pemilu dan Pilpres 2009.

Penarikan (pelarangan) buku "Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century" dari peredaran, diprotes oleh penulisnya. Ia mengaku heran atas larangan peredaran ini. Karena dua buku karangannya mengenai korupsi di kepresidenan tidak ada larangan. Buku Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century sendiri merupakan kelanjutan dari dua buku tersebut. Ia mengaku, tanpa menulis dua buku sebelumnya, maka penulisan buku ini tidak dapat dilakukan. "Pola-pola korupsi yang dilakukan sama, sehingga saya dapat membangun analisa," paparnya. Saya tidak mau terjebak dengan politisasi kehadiran buku kontroversi ini. Namun, sebagai orang yang bergelut dalam pengembangan epistimologi ilmu pengetahuan, rasanya ungkapan Karl Raymond Popper di atas perlu kita renungkan. Janganlah peredaran sebuah Buku dihambat dengan tangan kekuasaan, justru ciptakan ”counter” dengan penelitian dan buku alternatif. Pelarangan buku menjadi parameter untuk melihat apakah pemerintahan sudah dewasa dalam demokrasi atau sebaliknya, kekanak-kanakan. Di rezim demokrasi manapun buku tidak boleh dilarang, karena menyalahi prinsip kebebasan berpendapat dalam demokrasi. Inilah, salah satu "berkah" demokrasi (kalau boleh saya mengatakan demikian). Demokrasi tidak selamanya pilihan enak, tetapi pilihan pahit yang harus dirawat dengan ketabahan untuk kemudian menjadi sebuah realitas manis. Reformasi yang telah berjalan satu dasawarsa di Indonesia adalah kesadaran kolektif kita untuk memilih yang pahit itu. Demokrasi yang memberi tempat terhormat pada kebebasan pasti memunculkan kegaduhan. Tetapi, dialog adalah semangat resolusinya. Dengan dialog, konflik diselesaikan tanpa kekerasan. Pilihan itu dilengkapi lagi dengan hukum yang berpihak pada kebenaran dan keadilan.

Jika pemerintah melarang buku, sama halnya dengan kelompok massa tertentu yang membakar buku. Sama-sama tidak dewasa, cuma beda caranya saja, yang satu membakar dan yang satu melarang. Alangkah lebih baik dan elegannya apabila setelah buku itu terbit, dilakukan saja bedah fakta, bedah kasus, dengan mengundang penulisnya. Buktikan bahwa buku itu tidak benar. Kalau terbukti fitnah, pengarang bisa diproses secara hukum. Ini akan menciptakan proses pendewasaan bagi masyarakat dan tentunya akan menjadi pemicu dinamika pengembangan ilmu ke depan. Kontroversi terkadang harus dibutuhkan sebagaimana kata pujangga Pakistan Allahamah Muhammad Iqbal : ”Terkadang saya ingin mengatakan Tuhan itu mati, agar mereka bisa mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan itu hidup”. Sekarang bukan masanya "bumihangus buku a-la tentara Mongol dan membuangnya ke Sungai Eufrat dan Tigris" ....... tapi masanya spirit "Baitul Hikmah" dengan koleksi beragam dari semua sudut dunia, dari semua aliran dan ideologi agama (dan terkadang: bertentangan dengan ideologi penguasa).

Sabtu, 26 Desember 2009

Dari kasus si-Luna Maya dan Infotainment

Oleh : Muhammad Ilham

Kemaren, satu hari sebelum hari ini, istri saya minta “wejangan”. “Bang, saya nggak mau lagi menulis di-Blog atau Facebook !”. “Mengapa”, kata saya. “Saya takut, salah-salah nanti, saya bisa diadukan oleh seseorang, entah siapapun orang-nya”. “Memangnya kenapa?”, tanya saya heran. “Belakangan ini saya tak bebas untuk mengekspresikan pendapat saya di Blog atau Facebook, saya takut seperti si-Luna Maya dan Prita”, katanya kembali. Saya ketawa, dan sambil berseloroh berkata, “Yaa udah, kamu tulis yang lebih bombastis dan controversial di Blog kamu, nanti ada yang merasa tersinggung, lalu melapor ke Polisi dengan delik aduan Pencemaran Nama Baik yang didasarkan pada UU ITE keramat itu”. “Lalu ?”. “Kamu kan nanti terkenal, menjadi headline di berbagai media massa, untung-untung ada yang kumpulkan KOIN kayak kasus Prita”, cetus saya sambil makan Langsat di teras rumah. “Ngacoooooo !”, katanya sambil mencubit bagian pinggang saya (sebuah kebiasaan baru, meniru “kesengsaraan” Kario yang dicubit istrinya pada bagian pinggang dalam “Istri-Istri Takut Suami”). Istri saya sudah mulai takut. Kasus si-Luna Maya dan Prita serta ”ancaman” UU ITE seakan-akan menghambat kreatifitasnya dan apresiasinya terhadap Blog dan Facebook/Twitter. Padahal ia baru gandrung beberapa bulan belakangan ini.

Tidak cuma skandal Century atau penangkapan mertua gembong teroris Indonesia, Bahruddin Latif @ Baridin yang membuat haru biru suasana ujung tahun kali ini. Artis Luna Maya pun menghiasi perbincangan publik. Pacar Ariel Peterpan (info ini saya dapatkan dari infotainment) sedang menyulut kemarahan kelompok wartawan infotainment, publik juga mulai menjuluki mereka wartawan gossip. (Sekali lagi …. berdasarkan berita yang saya dapatkan dari infotainment) konon, si-Luna Maya ini kesal dengan ketidaknyamanan karena selalu dikejar-kejar wartawan infotainment sehingga kepala anak pacarnya kena kamera wartawan, dan Luna-pun meluapkan kejengkelan dalam akun Twitter pribadinya dengan “sumpah paling serapah”. Wartawan infotainment ia kategorikan lebih rendah daripada pelacur sehingga hanya pantas ditenggelamkan ke dasar neraka. Rupanya kejengkelan Luna Maya nampaknya sudah sampai ke ubun-ubun. Karena tidak suka dijuluki pelacur, kelompok wartawan infotainment melaporkan Luna Maya ke polisi.

Mereka menuduh Luna telah mencemarkan nama baik. Pijakan yuridis adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena Luna mencemarkan nama baik melalui Twitter, medium di dunia maya. Mereka membidik Luna dengan pasal 27 ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan dilapis lagi dengan pasal 310, 311 dan 315 Kita Undang-undang Hukum Pidana. Inilah undang-undang yang tergolong kejam. Pencemaran nama baik menurut versi undang-undang ini diancam hukuman enam tahun penjara. Prita Mulyasari yang sempat ditahan dan divonis denda ratusan juta karena menulis keluhannya terhadap pelayanan sebuah rumah sakit swasta adalah salah satu contoh. Luna Maya kini terancam mengalami nasib sama dengan Prita. Publik cenderung membela Prita. Hal serupa juga terjadi pada Luna Maya. Pembelaan publik melalui Facebook di dunia maya pun meluas untuk Luna Maya. Belakangan kelompok wartawan melunak dengan hanya menuntut dialog dengan Luna Maya. Sebelumnya mereka ngotot agar Luna minta maaf terbuka. Tapi Luna tidak melunak. Dia enggan bertemu dan minta maaf terbuka. Soal maaf dia sudah menyampaikan melalui akun Twitter-nya. Banyak perkara yang muncul dari kasus Luna Maya dan sebelumnya Prita.

PWI mendukung upaya pekerja infotainment itu. Pada Hari Pers Nasional 2005, organisasi itu secara resmi mengakui infotaintmen sebagai wartawan. Tapi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyesalkan tindakan PWI melaporkan Luna ke polisi. Apalagi, karena laporan itu, Luna dijerat dengan pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Luna Maya sendiri secara resmi sudah meminta AJI memfasilitasinya dalam perkara ini. Bahkan, Luna juga meminta perlindungan dari LBH Pers. Pengaduan itu, membuka peluang Luna diseret ke pengadilan seperti halnya kasus Prita Mulyasari, ibu dua anak yang digugat RS Omni, Tangerang. Tak hanya AJI, kalangan blogger juga mengecam tindakan PWI yang membenturkan Luna Maya dengan undang-undang ITE itu. “Ini ironi. Sebab, banyak jurnalis memperjuangkan penghapusan pasal itu. Ada ancaman represif dalam masalah itu," kata tokoh blogger Enda Nasution.

Yang paling mendasar adalah apakah medium e-mail dan sejenisnya adalah sarana penyiaran publik sehingga pihak-pihak yang merasa dirugikan menggunakan UU ITE untuk membela nama baiknya yang dicemarkan? Yang lain adalah dunia jurnalistik kita lalai untuk memastikan apakah wartawan infotainment adalah jurnalis yang terikat pada standar kompetensi dan etika profesi?. Pencemaran nama baik adalah premis yang tidak disukai dunia kewartawanan. Karena itu, adalah sangat lucu ketika wartawan menggugat seorang Luna Maya yang mengekspresikan kebebasan berpikir dan berkata melalui teks di dunia maya.

Jumat, 25 Desember 2009

Perempuan Perkasa dalam "Dekapan" Sejarah : Antara Rohana Koedoes dan Keumala Hayati

Oleh : Muhammad Ilham

Mungkin artikel ini terlambat saya posting. Sehingga "substansi" tulisan kehilangan momentum. Tapi bak kata "secondan-hidup" eksistensialist Jean-Paul Sartre, Simione de Beavoir, "tulisan tak pernah kehilangan momentum, momentum-lah terkadang yang tidak pernah ditulis". Ribet, tapi pas. Demikian halnya dengan artikel ini, bercerita tentang perempuan. Harusnya bukan bulan ini, walau bulan ini adalah bulan apresiasi terhadap IBU. Sementara, saya ingin bercerita tentang PEREMPUAN ...... sang EMPU yang tegar dalam sejarah. Tapi sayang, banyak para Empu ini yang tidak terekam dengan baik dalam layar sejarah. Ah ..... betul juga ungkapan Massima Haina, wanita pemikir Tunisia, "layar sejarah hanya merekam laki-laki".

Indonesia mengenal tokoh-tokoh "Empu" tegar, namun tak mendapat porsi memadai dalam catatan sejarah. Sebutlah, Roehana Koedoes. Ia tak selalu muncul di layar radar sejarah. Atau, kalaupun ada yang mencatat, keberadaan catatannya sangat terbatas, atau terselip entah di mana. Siapa Roehana Koeddoes? Dalam pengantar bukunya yang berjudul Roehana Koeddoes: Perempuan Sumatera Barat (2001), Fitriyanti menuliskan demikian: "Di awal abad ke-19, di mana sekitar hampir 99 persen perempuan di Tanah Melayu masih buta huruf, hidup di tengah ajaran agama dan adat istiadat dengan penafsiran yang sempit dan cenderung picik, serba mengekang kemajuan perempuan, terpuruk dalam kebodohan, Roehana kecil sudah mengajari teman-temannya bermain sambil membaca di usia 8 tahun pada tahun 1892." Lalu: "Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan, mengalami berbagai benturan sosial dengan pemuka adat, agama, dan masyarakat umum, Roehana dipuji dan dikagumi tetapi sekaligus difitnah dan dicaci-maki sehingga terpaksa meninggalkan kampung halamannya." Roehana, seperti disebutkan dalam subjudul buku yang sama tapi edisi yang diterbitkan empat tahun kemudian, adalah perempuan yang pernah menjadi wartawan pada masa hidupnya. Berdasarkan catatan yang tersedia, tak ada perempuan lain yang menjalani profesi yang sama sebelum itu, atau pada masa yang sama; dengan kata lain, dialah perempuan pertama yang berprofesi sebagai wartawan. Dia tak pernah bersekolah formal. Tapi dia mengerjakan sesuatu yang tak remeh bagi kaumnya, dan karena itu juga bagi bangsanya, walau luput masuk ke dalam buku sejarah dengan gegap gempita.

Perempuan lain bisa disebut juga, sebagai contoh: Keumala Hayati atau Malahayati. Pada masa kekuasaan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil di abad 16, persisnya selama 17 tahun antara 1589 dan 1604, Malahayati adalah panglima yang memimpin armada kerajaan. Pasukannya terdiri atas sekurang-sekurangnya seribu Inong Balee, pasukan yang terdiri atas para janda prajurit. Jabatan itu bukanlah hiasan belaka. Sebuah laporan dari masa itu menyebutkan armada di bawah pimpinan Malahayati berkekuatan 100 kapal perang bersenjata meriam. Sebagian dari kapal-kapal itu mampu mengangkut 400-500 orang. Ini termasuk armada yang terkuat di Asia Tenggara kala itu. Malahayati-lah, atas perintah Sultan, yang menyerbu armada kapal dagang bersenjata dari Belanda pimpinan Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada 1599. Sultan Aceh merasa kepercayaannya dikhianati oleh dua bersaudara ini, yang memanipulasi perdagangan, mengacau, dan menghasut.

Dua perempuan, dua macam perjuangan di medan laga, apa pun rupa medan laga itu, tidak selalu berupa perang. Tapi sesungguhnya mereka tak sendiri. Masih ada sejumlah perempuan lain, barangkali banyak, seperti mereka. Belum lagi yang masih absen dari berbagai wujud catatan historis dan hanya diketahui (atau malah hanya diingat) di lingkungan lokal. Dengan mereka itu, pastilah beragam pula rupa pertarungannya. Perjuangan, pergulatan, atau pertarungan mereka itu sesungguhnya sulit untuk diabaikan, atau dianggap biasa saja. Roehana memimpin Oetoesan Melajoe, koran khusus perempuan di Padang. Melalui tulisan-tulisan di koran yang terbit pertama kali pada 10 Juli 1912 ini, beraneka macam, kebanyakan menekankan pentingnya perempuan menempuh pendidikan, Roehana berusaha memberikan pencerahan bagi kaumnya. Dan dia melakukannya tatkala belum ada seorang pun perempuan yang mendahuluinya.

Tetapi kepeloporan seperti itu, yang bisa terjadi di mana saja, selalu menghadapi halangan yang kukuh. Secara tak langsung, apa yang dia lakukan telah menggoyahkan peraturan adat yang sudah mapan. Apalagi, "Saya terutama sekali menulis mengenai segi keagamaan dan keharusan adat Minangkabau, khususnya Kotogadang, yang mengubah sikap mereka mengenai perempuan," katanya. Yang menjadikan Roehana terlihat menonjol adalah keteguhan hatinya betapapun tekanan yang mesti dihadapi luar biasa. Roehana sebenarnya beruntung. Juga Malahayati. Atau perempuan-perempuan lain yang telah mendapatkan tempat dalam sejarah, sekalipun mungkin belum sepadan dengan apa yang mereka lakukan; sebagian dari mereka pun bisa dibaca riwayatnya dalam buku. Walau begitu, mesti diakui bahwa pengetahuan mengenai mereka belum sepenuhnya tersiar luas. Dan kenyataannya, setiap kali orang bicara mengenai perempuan dan kepeloporan atau kepahlawanan, nama yang selalu disebut ya itu-itu juga.

Demi menyebarkan pengetahuan yang telah ada itu diperlukan lebih banyak lagi tindakan. Pada saat yang sama, usaha yang lebih keras juga merupakan keniscayaan demi memberi "kesempatan sejarah" bagi mereka yang kebetulan namanya belum terdengar, atau malah hanya terdengar dan belum ada satu dokumentasi pun yang merekam perjuangan mereka. Kita memerlukan lebih banyak warga di "kampung para perempuan perkasa" demi menunjukkan kenyataan penting: bahwa di negeri ini, di masa lalu yang gelap pun, ada perempuan yang telah sadar akan hak-haknya dan karenanya, dengan melawan segenap resistensi tradisi, adat, dan agama, berusaha memberikan penerangan bagi kaumnya. Kenyataan itu seharusnya bisa menjadi dasar bagi tegaknya kesempatan yang lebih baik yang lebih luas bagi perempuan di masa modern ini.

Kamis, 24 Desember 2009

Bukan Hanya Sekedar Non-Aktif

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam beberapa hari belakangan ini, saya berusaha "keras" untuk memahami dunia yang bukan "ranah" ilmu saya, yaitu ekonomi. Sebagai seorang yang bergelut dalam ilmu sejarah dan sosiologi politik, beberapa istilah yang muncul belakangan ini berkaitan dengan kasus Bank Century (BC) seperti "sistemik" dan "Bail-Out" hanya saya pahami dalam tataran konseptual tanpa ada dasar kontekstual. Memang saya pernah mengajar "Pendekatan Sejarah Ekonomi" di kampus saya dan "Pengaruh Politik dalam Sistem Ekonomi" di sebuah Perguruan Tinggi swasta, tapi tetap yang saya pahami masih dalam tataran filosofis-normatif saja. Karena itulah, dalam beberapa hari terakhir ini, saya sangat menikmati "perdebatan akademik" diantara pengamat-akademisi ekonomi di berbagai media. Dan, "perdebatan politik" berkaitan dengan BC, biasanya saya anggap "angin lalu", karena untuk kasus ini saya dari awal telah "berburuk sangka", dunia politik adalah "Bargaining" - tawar menawar, apalagi untuk kasus BC.

Beberapa pertanyaan yang muncul berkaitan dengan BC belakangan ini setidaknya membuat seorang Sri Mulyani "dihabisi" oleh orang-orang yang terkadang tidak mengerti dengan apa yang mereka katakan. Termasuk beberapa teman dan mahasiswa saya. Bagi mereka, kasus BC adalah "kesalahan" Sri Mulyani + Boediono. Mereka korupsi, biasanya itu simpulan awal dan akhir. Ketika ditanya, konteks sistemik dan Bail-out itu, mereka hanya mengetahui dari lontaran-lontaran "panas" politisi-politisi Senayan, dan bagi mereka itu-lah yang benar. Bagi saya, kebenaran di luar ranah ilmu saya, itu bukan kebenaran bagi saya. Karena itulah, memahami kasus BC, referensi saya adalah mereka yang betul-betul "dipercayai" selama ini sebagai ilmuan atau ekonomo berintegritas di Indonesia. Lucu, bila saya harus mendengar defenisi para politisi yang begitu "bernafsu". Saya berusaha memahami konteks kasus Bank Century tersebut dari beberapa pendapat ekonom berintegritas, dan beberapa pertanyaan terutama tentang konteks sistemik dan Bail-out itu, walaupun terkesan subjektif, setidaknya saya bisa belajar untuk "berfikir jernih" dan tidak terbawa "nafsu" para politisi di Senayan sana.

Bagi saya kasus BC (sebagaimana yang saya "tangkap" dan pahami) bisa dilihat latar-nya dengan sebuah analogi. Ada sebuah analogi yang baik sekali dari Menteri Keuangan Sri Mulyani: di sebuah perkampungan yang amat padat, terjadi kebakaran. Kebetulan pemilik rumah tersebut adalah orang yang jahat. Kita bisa saja membiarkan rumah itu terbakar, tetapi akibatnya rumah di sekitarnya akan ikut terbakar, dan seluruh perkampungan akan terbakar. Maka kita tak bisa mengambil risiko—siapa pun pemilik rumah tersebut—kita harus memadamkan apinya. Bukan untuk menolong dia, tetapi untuk menyelamatkan seluruh kampung. Dan ini tak hanya terjadi dengan Century di Indonesia. Lalu apakah benar ini sistemik? Bukankah faktanya krisis perbankan tak terjadi? Bagaimana jika waktu itu tidak dilakukan bailout? Sayangnya, kita tidak bisa tahu persis apakah karena bail out maka krisis perbankan tidak terjadi, atau memang situasi krisis tidak parah sehingga tidak perlu dilakukan bailout. Jika dua argumen mengenai soal yang sama datang dengan kesimpulan yang berbeda, mana yang paling mendekati ”kebenaran relatif”?

Dalam risalahnya yang berjudul The Methodology of Positive Economics, pemenang Nobel Ekonomi Milton Friedman menulis: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya karena model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model dapat dikatakan salah—atau belum membuktikan kebenarannya—jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya. Dalam kasus Bank Century ada dua fakta empiris: pertama, ada bailout, dan kedua: tidak ada krisis perbankan. Amat naif bila kita menyimpulkan bahwa karena bailout terhadap Century, krisis perbankan tidak terjadi. Sangat mungkin situasi perbankan yang aman disebabkan juga oleh faktor lain. Artinya, penyelamatan Century punya probabi­litas untuk benar dan sekaligus juga salah. Artinya pula, kondisi perbankan yang aman mungkin disebabkan oleh penyelamatan Century, tetapi bukan pasti karena itu. Namun, yang jelas: tidak ada bukti empiris bahwa dengan menutup atau tidak memberikan bailout kepada Century, krisis perbankan tidak terjadi. Karena faktanya: peme­rintah tidak pernah menutup Bank Century, dan krisis perbankan tidak terjadi. Karena itu, argumen bahwa kalau toh Century tidak di-bail out, ekonomi Indonesia akan selamat, tidak punya bukti empirisnya.

Lalu bagaimana soal aliran dana? Atau soal penyalahgunaan? Jawabannya sederhana: buktikan saja melalui data PPATK dan penyidikan KPK. Jika memang ada bukti dan kesalahan: hukum saja mereka yang bertanggung jawab. Siapa pun dia. Apa pun posisinya. Tetapi soal menjadi lain jika ia masuk ranah politik. Di sini terbuka semua kemungkinan, termasuk pengadilan terhadap kebijakan, termasuk kemungkinan mendapatkan jabatan. Jika kebijakan bisa diadili, tak ada orang yang berani mengambil risiko kebijakan. Lalu, kalau terjadi guncangan di sektor keuangan lagi—dengan risiko sistemik atau terkenanya sektor perbankan—apakah pemerintah dan Bank Indonesia berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menenangkan sektor keuangan?

Jadi, ini bukanlah sekadar soal mempertahankan Boediono dan Sri Mulyani. Ini adalah soal yang lebih besar: membela nasib Indonesia. Apakah karena persoalan politik, nasib rakyat harus dikorbankan? Siapa yang dibela? Kepentingan rakyat atau jabatan? Saya tak pandai menjawabnya. Kekisruhan dan keserakahan politik membuat kita lupa tentang nilai. Tentang integritas. Padahal kita tahu, negeri ini tak dibangun oleh keserakahan. Tak dibangun oleh perebutan kekuasaan. Ia dibangun oleh niat baik, ia dibangun oleh jutaan orang yang setiap hari bergulat untuk selangkah lebih baik. Ia dibangun oleh integritas, seperti rekam jejak Boediono dan Sri Mulyani selama ini. Integritas mungkin tak lebih kuat daripada kekuasaan, tetapi ia lebih tinggi. Sejarah menulis: republik ini dibangun oleh orang yang bisa bersikap, walau itu tak populer, walau itu tak ramai dijejaki orang.

Putu Setia : "Kamu Kenal Sri Mulyani ?" (Sekali Lagi tentang Sri Mulyani)

Re-write : Muhammad Ilham

PUTU SETIA, sastrawan besar Indonesia asal Bali suatu ketika dipanggil oleh sahabatnya, Romo Imam. "Kamu kenal Sri Mulyani?", tanya Romo Imam pada Putu. Ketika saya (Putu Setia) jawab tidak, Romo tampak kecewa. Romo lalu menyebut sejumlah nama. Kwik Kian Gie, Bambang Soesatyo, Maruarar Sirait, Aburizal Bakrie, dan banyak lagi. "Semuanya tidak saya kenal Romo, saya kan rakyat kecil, mana kenal tokoh besar itu," jawab saya. Dengan nada kecewa, Romo berkata: "Kamu kurang bergaul, padahal saya ingin membicarakan Sri Mulyani dalam kasus Bank Century." Saya berusaha membelokkan perbincangan. "Urusan Bank Century ruwet, kita bicara Ibu Sri dalam kaitan Hari Ibu saja," kata saya. Romo seperti tersinggung: "Itu keliru besar. Kasus Century masalah sederhana yang diruwetkan karena banyak pihak memiliki target masing-masing."

Romo menjelaskan dengan analogi rumah terbakar, padahal saya mengharapkan analogi Profesor Kodok, seperti yang dilansir Kwik. Saat itu, kata Romo, ada rumah terbakar di sebuah kompleks di kawasan kampung besar. Untuk memadamkan rumah itu, perlu disemprot air dan zat kimia yang membutuhkan biaya mahal. Uang ada, karena setiap rumah di kompleks itu sudah urunan untuk musibah tak terduga seperti ini. Bukan uang milik kampung. Badan otorita kompleks mengadakan rapat darurat. Ada dua pendapat, biarkan rumah itu terbakar sendiri, dan tak perlu biaya untuk memadamkan api. Pendapat lain, semprot segera, toh uang ada, karena bisa berdampak sistemik, api merambat ke rumah yang lainnya. Jika itu terjadi, bukan hanya warga kompleks yang menanggung akibatnya, tapi juga warga kampung. Keputusan harus diambil cepat. Berdasarkan analisis saat itu, rumah harus disemprot. Jadi masih ada fondasinya dan dibangun rumah baru. Pemilik rumah itu nanti harus mengembalikan uang hasil iuran itu, karena memang sifatnya bantuan sementara.

"Sri Mulyani mengambil keputusan itu dengan cepat," kata Romo. Kalau sekarang ada yang mencela pengambilan keputusan itu, kata Romo, itu sangat tak adil. Karena pencelanya berbicara saat kondisi aman tenteram. Pengambilan keputusan cepat saat keadaan emergency sering disebut "judi yang dibenarkan". Andaikata Sri Mulyani memutuskan membiarkan rumah itu terbakar, lalu api merembet ke mana-mana, bayangkan celaan macam apa pula yang diterimanya.

"Tapi nyatanya api tak merembet, Romo," saya memotong. "Kamu ikutan tolol," jawab Romo. "Kamu berbicara dalam konteks situasi sekarang yang aman."

Saya diam, takut kena "semprot". Kemudian Romo bicara lagi, jika aliran biaya menyemprot rumah itu dipersoalkan, nah, itu bagus, jangan Sri Mulyani yang dihujat. Kan tak mungkin Ibu Sri turun langsung memeriksa, berapa aliran uang untuk beli air, beli selang, dan sebagainya. Kalau di situ ada korupsi, ya, tindak di situ. Juga jangan sok pahlawan kesorean, selalu bilang: uang rakyat raib. Uang ini memang diperuntukkan bagi keadaan emergency semacam itu untuk para anggotanya yang kemudian akan dikembalikan lagi. Ya, kalau disebut uang negara atau uang rakyat, itu perdebatan para kusir delman, memangnya ada organisasi silat menerbitkan uang? Semua uang, ya, dikeluarkan negara, tapi ada "hak milik" yang melekat pada orang atau paguyuban.

"Kamu kenal Marsillam Simanjuntak?" tiba-tiba Romo bertanya tentang orang lagi. "Kalau dia saya kenal, karena Marsillam orang besar yang menghormati martabat saya sebagai orang kecil," jawab saya. "Sejauh mana kenal?" Saya jawab: "Sampai saya mengenali suaranya di telepon meski beliau sering bercanda. Karena itu, dalam rekaman yang kini beredar, saya yakin Sri Mulyani berbicara dengan Marsillam, bukan Robert Tantular."

Sumber : Majalah Tempo Edisi Minggu ke-3 Desember 2009

Sabtu, 19 Desember 2009

Melanggengkan Kekuasaan Versi Antonio Gramschi

Oleh : Muhammad Ilham


ANTONIO GRAMSCHI, seorang filosof berkebangsaan Italia, suatu waktu pernah mengatakan bahwa kekuasaan itu bisa dilanggengkan dengan dua cara. Cara pertama melalui tindakan kekerasan, dan bersifat memaksa. Cara kedua adalah membujuk, dan ini bersifat lunak. Menurut Gramschi yang dikenal awalnya sebagai seorang Marxian (namun di akhir masa-masa "petualangan" intelektualnya, Grmaschi justru mengkritik pandangan Marxisme), perangkat keras yang memaksa itu dilaksanakan oleh lembaga-lembaga seperti institusi hukum, polisi dan penjara. Sedangkan yang lunak dan membujuk, dilaksanakan dalam pranata-pranata kehidupan swasta seperti kehidupan keagamaan, keluarga, pendidikan dan sebagainya. Gramschi yang mengakhiri hidupnya dalam penjara ini mengatakan bahwa perangkat keras yang bersifat memaksa dilaksanakan oleh negara (state), dan yang lunak-membujuk dilakukan oleh civil society.

Bila kekuasan dicapai dengan cara mengandalkan kekuatan memaksa semata, maka yang tercapai adalah domination (dominasi). Dalam konteks ini, akan tercipta stabilitas dan keamanan, tidak ada gejolak atau oposisi karena rakyat dikondisikan untuk bungkam. Apabila rakyat membangkang (bahkan mengkritik), maka "diamankan". Tindakan memaksa dengan kekerasan ini sangat mutlak diperlukan oleh penguasa (mungkin Gramschi, dalam konteks ini, terinspirasi dari Niccolo Machiavelli). Tetapi dominasi semacam ini, bagi Gramschi tidak akan mampu melanggengkan kekuasaan. Maka, untuk melanggengkan kekuasan tersebut, menurut Gramschi, dominasi harus dilengkapi dan lama kelamaan digantikan oleh hegemoni. Konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Gramschi tahun 1926 ini adalah adalah suatu konsep pelanggengan kekuasaan dengan pengabsahan. Bila hegemoni tercapai, penguasa tidak perlu terus menerus menindas karena yang tertindas akan pasrah terhadap status quo. Mereka terbujuk untuk tidak lagi melihat ketimpangan yang merugikan mereka sendiri. Atau melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, bahkan adil sesuai dengan kehendak Illahi.

Tentu saja, mencapai kekuasaan yang hegemonis (membuat yang tertindas merasa bahagia ditindas) jauh lebih sulit ketimbang sekadar mencapai dominasi (penindasan yang keji). Namun, bagi Gramschi, hegemoni bisa terbentuk lewat berbagai cara dan dalam berbagai ranah kehidupan sehari-hari, bahkan tanpa disadari, terkesan tidak serius, tidak angker dan tidak bersifat politis. Misalnya melalui kesenian, keagamaan, kebudayaan dan keluarga. Hegemoni memberi kebebasan dan toleransi bagi keberagaman, tentunya hingga dalam batas-batas yang dapat dikendalikan penguasa. Dengan demikian, kaum tertindas diharapkan merasa senangdan berharap masih akan ada perbaikan walau masih dikuasai. Hegemoni bukan hanya bersifat mengalah terhadap tuntutan musuh, tetapi juga menahan diri untuk tidak semata-mata memperjuangkan kepentingan sendiri secara vulgar. "Kemasan" adalah kata kuncinya. Kepentingan sendiri dibungkus dengan aneka kepentingan lain, sehingga tampil seakan-akan mewakili kepentingan umum(misalnya : kepentingan nasional atau kepentingan rakyat) ...... Bagaimana dengan kondisi politik Indonesia akhir-akhir ini ?. Begitu banyak yang mengobral "atas nama kepentingan rakyat", "kasus ini mewakili suara rakyat" ... dan seterusnya.

Kamis, 17 Desember 2009

Timur Lenk : "Si Pincang Dari Timur"

Oleh : Muhammad Ilham

Namanya Timur Lenk atawa Tamerleng. Si Timur Pincang. Ia anak Taragai, Kepala Suku Barlas di wilayah Uzbekistan kini. Sang ayah kabarnya keturunan Karachar Noyan -menteri dan kerabat Jagatai, anak Jenghis Khan. Namun Timur Lenk sendiri sering disebut sebagai keturunan Jenghis Khan. Secara resmi keturunan Mongol ini telah memeluk Islam. Diperkirakan ia lahir pada 25 Sya'ban 736 Hijriah, atau 8 April 1336 Masehi. Sejak kecil, keberaniannya nampak luar biasa. Pada usia 12 tahun, ia telah terlibat dalam sejumlah pertempuran. Ketika ayahnya wafat, Timur bergabung dengan pasukan Gubernur Tansoxiana, Amir Qaghazan, sampai gubernur itu meninggal. Serbuan pasukan Tughluq Temur Khan melambungkan nama Timur Lenk. Ia bertempur sampai mengundang perhatian Tughluq. Ia direkrut Tughluq menjadi pasukannya, namun kemudian memberontak setelah Tugluq mengangkat anaknya, Ilyas Khoja sebagai Gubernur Samarkand dan hanya menjadikan Timur sebagai wazir. Timur bergabung dengan Amir Husain -cucu Qaghazan.

Tughulq dan Ilyas Khoja tewas dalam pertempuran. Kemudian Timur malah membunuh Amir Husain yang juga iparnya sendiri. Pada 10 April 1370, ia mengangkat dirinya sebagai penguasa tunggal. "Sebagaimana hanya ada satu Tuhan di alam ini, maka di bumi seharusnya hanya ada satu raja." Demikian semboyannya. Sejak itu, Timur menebar maut sebagaimana dilakukan Hulagu seabad sebelumnya. Khurasan, Afghan, Persia , Kurdistan dikuasainya. Di Sabwazar, Afghanistan, ia membangun menara terbuat dari 2000 mayat dibalut dengan lumpur. Pada 1395, ia menyerbu Moskow. Lalu balik lagi ke Timur ke India -tempat ia konon membantai 80 ribu tawanannya. Kebiadaban terus ditebarkan. Pusat-pusat peradaban Islam dihancurkannya kecuali Samarkand. Di tempat ini, ia malah membangun kota dengan mendatangkan batu dari Delhi, India, dengan diangkut oleh gajah.

Di Aleppo, Syria, Timur Lenk membangun piramida dari sekitar 20 ribu kepala manusia. Di Baghdad, sebanyak itu pula penduduk yang dibantainya. Di Armenia, 4000 tentara musuh dikubur hidup-hidup. Sekolah dan masjid-masjid di sekitar Irak dihancurkan. Masjid Umayah di Damaskus dihancurkannya sehingga tinggal dinding. Tak terhitung lagi jumlah korban Timur Lenk. Timur juga menggempur dua kesultanan penting. Yakni kesultanan Usmani di Turki serta Mamluk di Mesir. Dalam pertempuran melawan Timur Lenk, Usmani dipimpin sendiri oleh Sultan Bayazid I. Erthugul, anak Bayazid, tewas. Dalam pertempuran berikutnya, perang di Ankara 1404, Bayazid bahkan tertawan dan meninggal sebagai tawanan. Di Takrit -kota kelahiran Salahuddin Al-Ayyubi-Timur Lenk juga membangun piramida manusia. Dinasti Mamluk di Mesir tak luput dari ancamannya. Apalagi Sultan Malik Zahir Barquq melindungi penguasa Baghdad yang melarikan diri, Sultan Ahmad Jalair. Namun, seperti menghadapi Hulagu sebelumnya, Mesir akhirnya luput dari serangan Timur.

Serangan Timur Lenk benar-benar menghancurkan peradaban Islam. Praktis hanya Mesir yang selamat. Baghdad yang belum pulih akibat serangan Hulagu Khan dulu, kini remuk kembali. Tak puas menjarah ke Barat, Timur Lenk kemudian mengincar Cina di timur. Padahal saat itu, ia telah berusia 71 tahun. Saat hendak melakukan invasi itu, Timur Lenk sakit dan meninggal pada 1404. Dua orang anaknya, Muhammad Jehanekir dan Khalil bertempur hebat memperebutkan kursi sang ayah. Khalil (1404-1404) menang, namun dikudeta oleh saudaranya yang lain, Syakh Rukh (1405-1447). Syakh Rukh dan anaknya, Ulugh Bey (1447-1449) memimpin negaranya dengan baik. Ilmu pengetahuan kembali berkembang. Namun tidak lama. Pada 1469, kekuasaan keluarga Timur Lenk itu ambruk. Timur adalah salah seorang pemimpin paling brutal dalam sejarah. Sepak terjangnya menghancurkan masyarakat Islam habis-habisan. Namun, ironisnya, Timur Lenk adalah seorang muslim. Kabarnya, ia berpaham Syi'ah namun dekat dengan tarekat Naqsabandiyah. Dalam kehidupan sehari-hari, ia seperti menghormati para ulama. Dikabarkan ia dengan sangat hormat menerima sejarawan besar Ibnu Khaldun yang ditugasi Sultan Faraj untuk berunding. Apapun, noda hitam telah terlalu banyak ditorehkan Timur Lenk. Terlalu banyak merah darah yang telah dibanjirkannya.

Rabu, 16 Desember 2009

Kekaguman Seorang Guru TK Terhadap Pramoedya Ananta Toer

Oleh : Muhammad Ilham

Ada seorang guru TK, awalnya ia hanya perempuan biasa dan memiliki "selera" biasa-biasa saja. Tidak begitu suka politik, sejarah, ekonomi, apatah lagi yang namanya sejarah-sastra. Namun karena "soulmate" (baca: suaminya) memiliki hobby baca, terutama sastra "menggerakkan", maka mulai-lah ia yang hanya guru TK ini menjadi perempuan biasa penyuka sastrawan, salah satunya sang "maestro-sastra" Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. (Artikel ini juga saya persembahkan "untuk dibaca" oleh mahasiswa saya yang memiliki interest terhadap posisi sastrawan dalam sejarah bangsa).

Berikut petikan "catatannya" tentang pengarang Tetralogi (ada yang bilang Katrologi) "Bumi Manusia".

Saya berusia 21 tahun, seorang Guru pada sebuah Taman Kanak-kanak di Yogyakarta. Saya pengagum karya-karya Pramoedya. Sebelumnya saya tidak begitu mengenal beliau. Siapa Pramoedya, dari mana dia berasal, tokoh penulis seperti apa dia? Kekaguman saya pada beliau berawal ketika saya bertemu dengan seseorang yang sekarang menjadi suami saya. Karena dia tahu saya hobi membaca, dia menawarkan salah satu novel karya Pramoedya. Sejak itulah saya mulai mengenal sosok Pramoedya dan bersentuhan dengan karya-karyanya. Novel Pramoedya yang pertama kali saya baca berjudul “Gadis Pantai”. Mulanya saya kurang tertarik dan tak berminat, karena saya lebih suka membaca roman percintaan dan buku fiksi anak-anak. Sedangkan karya Pramoedya lebih bernuansa sejarah perjuangan Indonesia dan berbau politik. Tetapi, saat mulai membaca “Gadis Pantai”, saya seakan-akan seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya seolah menyelami alur cerita dalam Gadis Pantai yang disuguhkan Pramoedya secara mengalir itu. Saya seakan-akan melihat kejadian dalam cerita itu dari dekat, dalam imajinasi saya seolah-olah berada di tempat yang diceritakan dalam novel. Itulah salah satu kelihaian Pramoedya, mampu menghipnotis para pembaca melalui karyanya.

Menyusul kemudian “Tetralogi Buru” yang mengobati dahaga saya akan karya-karya Pramoedya. Sampai akhirnya saya jadi ketagihan membaca buku-buku Pramoedya yang lain. Membaca novel-novel Pramoedya seperti terbawa arus yang mengalir lembut dalam cerita, sungguh ini benar-benar luar biasa. Sebenarnya belum begitu banyak karya Pramoedya yang saya baca, karena banyak buku yang sulit saya dapatkan. Selain itu banyak karya Pramoedya yang belum diterbitkan kembali. Padahal saya ingin membaca karya-karya lainnya. Membahas karya Pramoedya, memang tak ada habisnya. Selalu ada topik menarik yang bisa dibicarakan tentang setiap karyanya. Saya selalu terpesona dengan cara Pramoedya melukiskan jalan cerita. Membuat saya benar-benar hanyut dalam dunia rekaannya. Salah satu contohnya adalah bagaimana dia menggambarkan persetubuhan antara Annelies dan Minke dalam “Bumi Manusia”, sungguh bersahaja, tidak vulgar. Keindahan alam yang diamati dan dilalui tokoh saat melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain juga begitu elok. Sehingga membuat saya penasaran dengan apa yang akan terjadi dalam lembar-lembar selanjutnya, saat tokoh dalam cerita tiba di tempat tujuan. Saat cerita memasuki suasana tegang, saya ikut-ikutan tegang. Ketika suasana sedih, saya juga larut dalam kesedihan, mata saya pun tak terasa jadi berkaca-kaca. Seolah-olah saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh dalam cerita.

Dan yang lebih hebat lagi, Pramoedya menuliskan kisah masa lalu Indonesia dalam kurun waktu antara tahun sekian hingga sekian. Dia seakan-akan memberitahukan apa yang terjadi saat itu dengan bumbu rekaan jalan cerita yang semakin sayang kalau dilewatkan. Saya sungguh salut dengan Pramoedya. Sebab, kata Pramoedya sendiri, dia sebenarnya SMP saja tidak selesai. Tapi pada kenyataannya, Pramoedya bisa menulis lusinan karya sastra yang mendunia, tanpa harus menjadi seorang sarjana sastra. Hal ini selalu membuat saya bertanya-tanya bagaimana mungkin seseorang yang tidak lulus SMP dan tidak menuntut ilmu di bidang tulis-menulis bisa menghasilkan karya yang membesarkan namanya sampai ke manca negara. Ternyata ketekunannya dan ketelitiannya dalam mengkliping dan riset data merupakan salah satu kunci keberhasilan Pramoedya menulis karya-karyanya yang luar biasa. Dan satu lagi yang membuat saya hampir tidak percaya, ternyata Pramoedya pernah menjadi staf pengajar Fakultas Sastra di Universitas Res Publica.

Dari sini saya dapat mengambil hikmah bahwa syarat utama untuk bisa menghasilkan karya yang berkualitas adalah ketekunan, kemauan, dan kerja keras seperti yang sudah dicontohkan oleh Pramoedya. Untuk menjadi seorang penulis tidak harus melalui jenjang pendidikan tinggi. Kalau Inggris punya J.K. Rowling, Indonesia punya Pramoedya Ananta Toer. Dan saya kira tak ada salahnya menyandingkan Pramoedya dengan penulis-penulis besar dari negara lain. Saya pribadi merasa bangga karena Indonesia punya putra bangsa seperti Pramoedya yang karya dan namanya mendunia. Semangat juang Pramoedya yang ditularkan lewat tulisan-tulisannya, sungguh memberi inspirasi dan motivasi untuk belajar lebih giat lagi dalam menghasilkan karya, seperti yang saya tekuni saat ini, menulis cerita anak, sesuai dengan bidang yang saya geluti. Dengan begitu saya bisa menularkan semangat, kerja keras, dan dedikasi tinggi, serta semua hal yang diperjuangkan oleh Pramoedya kepada anak-anak, dengan tulisan dan dongeng.

* Esei ini merupakan salah satu dari puluhan tulisan yang dipublikasikan dalam buku berjudul PRAMOEDYA ANANTA TOER, 1000 WAJAH PRAM DALAM KATA DAN SKETSA, yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara, 2009.

Minggu, 13 Desember 2009

Kontroversi Patung Obama : "Budaya Rendah Diri"

Oleh : Muhammad Ilham

Inilah bentuk paling “telanjang” dari inferioritas sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Entah ide siapa, pembuatan patung “Blackberry” menuai kontroversial. Patung Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama yang berada di Taman Menteng (konon pemilihan tempat ini dilatarbelakangi klaim Obama yang mengangap dirinya Anak Menteng) mulai mendapat kecaman dari masyarakat. Melalu situs jejaring sosial Facebook, per tanggal 13 Desember 2009, mereka yang mendukung untuk menurunkan patung Obama telah mencapai 965 orang. Penggagas grup “Anti Patung Obama” bernama Heru Nugroho mengatakan, visi dan misi pembangunan patung Barack Obama dianggap tidak jelas dan tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.. Sebagaimana yang dilansir oleh detik.com, Heru mengatakan bahwa Barack Obama memang pernah menjalani masa kecil di sebuah rumah di Menteng, Jakarta Pusat. Tapi dia bukan siapa-siapa bagi sejarah bangsa Indonesia.

Jujur kita katakan, tidak ada kontribusi yang penting dari Obama untuk bangsa Indonesia, apalagi khususnya bagi masyarakat Jakarta, dimana patung Obama didirikan. Untuk konteks Jakarta, masih banyak pahlawan bangsa ini yang lebih inspiratif dan dianggap layak mendapatkan penghargaan, seperti Ali Sadikin dan sejumlah tokoh kebudayaan seperti Benyamin S. Sementara saat peresmian patung senilai Rp 100 juta pada Kamis 10 Desembar 2009 lalu itu, Walikota Jakarta Pusat, Silviana Murni mengatakan, Obama dapat menjadi inspirasi yang baik bagi pemuda (pemuda siapa ? ...... Hicks). Patung Obama ini dibuat berdasarkan foto tokoh itu semasa kecil yang sedang bermain kupu-kupu. Patung ini terbuat dari bahan perunggu dengan tinggi dua meter dan berada di tegah-tangah taman dengan berat 30 kilogram. Perancangnya adalah Edi Chaniago, seorang seniman patung Ancol. Pembangunan patung ini sendiri digagas oleh lembaga Friends of Obama. Obama kecil dalam patung itu terlihat mengunakan sepatu, celana pendek, kaos dan sedang asik bermainan dengan kupu-kupu. Pada bagian bahan patung tertuliskan "Si kecil bermain bersama ibunya di daerah Menteng ini. Dia tumbuh dewasa dan menjadi Presiden Amerika Serikat ke 44 dan penerima Nobel Perdamaian. -Barack Obama- Dalam peresmian itu, hadir perwakilan dari Duta Besar Amerika Serikat dan sejumlah tokoh yang menjadi donatur dalam pembuatan patung ini, seperti Mien R Uno, Hasyim Joyo Hadikusumo dan Surya Paloh. Hadir pula ratusan siswa dan guru SDN Menteng 01, Besuki, dan teman-teman semasa kecil Obama.

Tapi sudahlah ............ saya masih ingat kata salah seorang teman saya, ”sampai hari ini, saya sulit mencerna dengan logika waras saya, sejauhmana kontribusi Obama buat perdamaian dunia, setahu saya ia hanya ”muda sedikit” dari George W. Bush pada rasa haus terhadap perang. Pembiaran Obama terhadap pencaplokan Masjidil Al-Aqsa dan pengiriman tambahan pasukan perang ke Afghanistan justru membuat logika saya terbalik ketika dihadapkan pada kenyataan : ”mengapa Obama menang Hadiah Nobel Perdamaian ?”, kata teman saya yang pada awalnya fans berat Obama ini. Nah ketika saya menyodorkan realitas ”tambahan” peresmian patung Obama di Jakarta tersebut, teman saya ini menjawab dengan ketus, ”mengapa tak sekalian buat patung Madonna atau Michael Jackson, kapan perlu logo Play Boy sekalian”.

Insert : Foto Patung Obama (www.detik.com)

Sabtu, 12 Desember 2009

Ketika Sukarno Berbicara Tentang Keperawanan

Oleh : Muhammad Ilham

Setiap tokoh memiliki "rumor"nya sendiri, demikian kata Goenawan Muhammad. Dan biasanya, rumor yang paling diminati adalah rumor dalam "ranah" seks serta perempuan. Hitler, misalnya, adalah tipikal personal yang dalam sejarah sangat ditakuti, namun memiliki kesetiaan tingkat tinggi terhadap "teman kumpul kebo-nya" Eva Brauun. Bahkan konon, sebelum bunuh diri bersama ketika NAZI diambang kehancuran, mereka masih melewati petualangan seks di atas meja. Karl Marx memiliki rumor yang tidak kalah seru-nya, memiliki anak di luar nikah .... dan kemudian tidak di-acuhkan-nya. Marx "mengangkangi" ide-nya sendiri, keberpihakan terhadap kaum tertindas. Marx menindas orang tertindas dan melindas ide yang dibangunnya. Demikian juga rumor JFK, jangan ditanya lagi. Presiden pintar-flamboyan ini adalah "penikmat" wanita cantik. Mungkin karena telah merdeka cukup lama, maka kisah-kisah yang berbau wanita pada Presiden-Presiden Amerika Serikat cukup berwarna-warni - sejak George Wahinton hingga Bill Clinton. Butuh sebuah catatan ensiklopedis menceritakan kisah-kisah asmara Presiden-Presiden Amerika tersebut. Kisah cinta, seks dan segala bumbu-bumbu petualangannya, juga banyak ditemui dari kisah hidup "orang-orang besar", dari Raja-Ratu-Kaisar-Sultan hingga Entertainer dan Pebisnis. Sehingga tidak salah apabila seorang penggerak Post-Modernisme "Michael Foucault" merasa perlu menulis salah satu buku tentang "Seks dan Kekuasaan" (telah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia). Bagi Foucault, segala pernak-pernik seks dan percintaan bagi orang-orang yang dekat dengan kekuasaan (baca : politik) merupakan sesuatu yang asyik untuk dibicarakan. Walaupun sebenarnya, petualangan tersebut terkadang juga terjadi pada masyarakat biasa, bahkan lebih bombastis, namun faktor implikasi yang ditimbulkannya membuat kisah seks dan percintaan menjadi lebih "berbobot" ketika itu menyangkut para pemegang kekuasaan.

Demikian juga dengan Sukarno, putra "Sang Fajar". Presiden orator dan flamboyan ini merupakan penikmat lukisan erotik dan pengagum wanita cantik. Track-nya yang memiliki istri lebih dari 4 (empat) orang - dari yang lebih tua dari dirinya hingga seusia anaknya - setidaknya membuktikan anggapannya sebagai pemuja wanita cantik. Selain dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia, serta orator ulung di negeri ini, ternyata Bung Karno memiliki “keahlian” lain. Keahlian yang satu ini agak tabu dibicarakan, yakni ‘cara menentukan keperawanan gadis dari penampilan luar”. Dari buku “In Memoriam” karya Rosihan Anwar, terungkap cara Presiden Soekarno menentukan gadis yang masih perawan. Rosihan Anwar adalah seorang jurnalis yang sudah kritis ketika era pemerintahan Soekarno.

“Tahukah kamu bagaimana cara memastikan apakah seorang gadis pada penglihatan luar masih perawan atau tidak?”tanya Bung Karno.
“Tidak tahu Bung,”Jawab Rosihan Anwar
“Begini… Jika kamu tarik een denkbeeldige recthe li jin (suatu garis imaginer yang lurus) di atas dada si gadis, dari pertengahan lengan yang satu ke lengan yang lain, lalu kamu tentukan pada penglihatan dari luar saja dimana letaknya ujung-ujung payudaranya (pentil), diatas garis atau bawahnya, maka kamu akan bisa berkata, jika dibawah garis dia tidak lagi perawan,tapi jika dia tetap masih perawan.”

Penjelasan : Lengan kita terdiri dua bagian, lengan bagian atas dan lengan bagian bawah. Dan yang dimaksud dengan membagi garis pertengahan adalah garis pertengahan lengan atas. Perkirakan garis tengah antara lengan atas tersebut, lalu tariklah garis khayal antara pertengahan lengan atas lengan kanan ke lengan kiri. Bila garis khayal berada di bawah ‘pentil’ payudara, maka menurut perhitungan Bung Karno, gadis tersebut masih perawan. Namun, bila ‘pentil’ payudara berada di bawah pentil, maka gadis tersebut tidak perawan.

Konon (namanya saja KONON, belum tentu benar) waktu saya kecil (1980-an), beredar juga rumor dalam masyarakat bahwa Sukarno memiliki "Kaca Mata Ajaib", bisa melihat lekak-lekuk tubuh seorang perempuan. Tembus pandang, begitulah kira-kira. Aah, Sukarno ada-ada saja.

Rabu, 09 Desember 2009

Subjektifitasku Terhadap Sri Mulyani

Oleh : Muhammad Ilham

Hati kecil saya “menangis” ketika foto Sri Mulyani dirobah dan dibakakar oleh para demonstan (yang mungkin tidak mengerti untuk apa mereka demonstrasi) seperti Vampir dengan gigi panjang dan dua tanduk menakutkan. Hati kecil saya “menangis” karena Sri Mulyani pernah menolak keinginan Abu Rizal Bakrie untuk menjadikan Tragedi Lumpur Lapindo sebagai tanggung Jawab pemerintah (dan bukan tanggung jawab PT. Minarak yang merupakan “anak kandung” PT. Bakrie) karena berpotensi menghacurkan ekonomi Negara, namun kemudian setelah Aburizal Bakrie jadi Ketua Golkar, Sri Mulyani dijadikan Target untuk dijatuhkan …… Padahal banyak politisi DPR dari Golkar yang terlibat suap Pemilihan Deputi Gubernur BI, justru dibiarkan Aburizal. Hati kecil saya “menangis” ketika Sri Mulyani di ”setting” sebagai musuh bangsa oleh DPR-RI yang konon dimotori oleh PDI-P dan Partai Golkar via Pansus Angket, karena konon – sekali lagi konon – Aburizal Bakri “dendam” pada Sri Mulyani dan Budiono karena Sri Mulyani pernah suatu waktu menolak keinginan Aburizal Bakrioe untuk mengambil sebuah kebijakan agar saham perusahaannya tidak jatuh ….. dan Sri Mulyani tidak mau karena justru melanggar regulasi nasional.

Hati kecil saya masih berharap mudah-mudahan hasil pemeriksaan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus Bank Century itu tidak seluruhnya benar. Sebab, kalau memang tidak ada yang salah, akibatnya akan sangat dramatis: kita bisa kehilangan menteri keuangan yang sangat kita banggakan. Seorang menteri, Sri Mulyani, yang reputasinya begitu hebat. Baik di dunia internasional maupun dalam mengendalikan keuangan negara. Secara internasional dia terpilih sebagai menteri keuangan terbaik di dunia dua tahun berturut-turut. Di dalam negeri dia dikenal sebagai menteri pertama yang berani mereformasi birokrasi di departemennya. Juga menteri yang sangat ketat mengendalikan anggaran negara. Bahkan, dialah satu-satunya menteri yang berani minta berhenti ketika ada gelagat pemerintah akan membela seorang konglomerat yang dia anggap tidak seharusnya dibela.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada yang tiba-tiba mengatakan: kesimpulan BPK itu diperoleh dengan cara kerja yang kurang benar. Maka kita tidak akan kehilangan menteri keuangan yang pandainya bukan main itu. Pandai dalam ilmunya, pandai dalam menjelaskan pikirannya, dan pintar bersilat kata. Saya melihat kecepatan berpikirnya sama dengan kecepatan bicaranya. Kalau lagi melihat cara dia mengemukakan pikiran, seolah-olah otak dan bibirnya berada di tempat yang sama.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang tiba-tiba menemukan data bahwa BPK telah salah ketik. Maka, kita tidak akan kehilangan menteri yang mampu rapat dua hari dua malam nonstop untuk menyelamatkan keuangan negara. Rapat itu tidak boleh berhenti karena lengah sedikit berakibat pada kebangkrutan ekonomi nasional. Rapat itu tentu melelahkan karena angka-angkalah yang akan terus berseliweran. Angka-angka yang rumit: kurs, suku bunga, devisa, likuiditas, rush, neraca perdagangan, stimulus, dan seterusnya. Angak-angka itu saling bertentangan, tapi menteri tidak boleh memilih salah satunya. Dia harus membuat keputusan yang harus memenangkan semua angka yang saling merugikan itu. Padahal, dia baru saja tiba dari Washington, AS, untuk berbicara di forum KTT G-20 yang amat penting itu. Di Washington dia tahu bahayanya ekonomi dunia. Tapi, dia mampu memikirkan keuangan internasional sekaligus keuangan nasional dalam waktu yang sama di belahan dunia yang berbeda. Dia harus menghadiri KTT G-20 di Washington saat itu saat rupiah tiba-tiba melonjak menjadi Rp 12.000 per dolar AS. Dia harus tampil cool di forum dunia yang Singapura pun tidak boleh ikut di dalamnya itu sambil tegang bagaimana harus mengendalikan rupiah yang sudah membuat warga negara Indonesia panik semuanya. Dialah menteri yang datang ke Washington hanya untuk mengemukakan pikiran briliannya dan harus langsung kembali ke tanah air pada hari yang sama untuk mencurahkan perhatian pada ekonomi yang hampir bangkrut itu.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang mengatakan bukan dia yang harus bertanggung jawab. Tapi, ada pihak lainlah yang harus mendapat hukuman. Kalau tidak, kita akan kehilangan seorang menteri yang di saat ibu kandungnya, Prof Dr Retno Sriningsih Satmoko, sedang sakit keras menjelang ajalnya, dia tidak bisa menengok sekejap pun. Dia memilih mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan emosinya untuk menyelamatkan ekonomi bangsa ini. Dia tidak bisa menjenguk ibu kandungnya yang jaraknya hanya 45 menit penerbangan di Semarang sana. Dia harus mencucurkan air mata untuk dua kesedihan sekaligus: kesedihan karena ibundanya berada di detik-detik akhir hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir kehancuran ekonomi. Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah lagi terus bergerak hancur dan detak jatung ibunya juga lagi terus melemah. Dan, Sri Mulyani memilih menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.

Maka hati kecil saya masih berharap ada data di kemudian hari bahwa kebijaksanaan itu sendiri tidak salah. Sebab, sebuah kebijaksanaan bisa diperdebatkan salah benarnya. Saya masih berharap yang salah itu dalam pelaksanaan kebijaksanaannya. Yakni, saat mendistribusikan uangnya yang Rp 6,7 triliun itu. Dan saya sangat-sangat yakin dia tidak mendapatkan bagian serupiah pun. Maka saya sangat bersedih karena sampai hari ini belum ada satu pihak pun yang berhasil mengatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK itu salah. Belum ada yang membantah bahwa hasil pemeriksaan BPK itu keliru. Semua masih mengatakan, hasil pemeriksaan BPK itu menunjukkan bahwa dia bersalah dalam mengambil keputusan. Dan hukum harus ditegakkan.

Insert : Foto Sri Mulyani - www.newyorktimes.com

(Mayoritas tulisan ini terinspirasi/rewrite dari Artikel Dahlan Iskan)

Rabu, 02 Desember 2009

Meski "Gaduh" ...... Demokrasi Tetap Pilihan Terbaik

Oleh : Muhammad Ilham

Mantan Presiden Rumania yang sastrawan, Vaclac Havel, pernah mengatakan bahwa sistem demokrasi berawal dari sistem nilai yang dianut oleh elit-nya. Pembelajaran politik yang baik, menurut Havel, ditentukan secara signifikan oleh kemampuan elit memberikan pembelajaran poolitik yang demokratis kepada rakyat. Dalam konteks ini, terlepas dari kekurangannya, seorang SBY bagi saya adalah figur politisi yang memiliki komitmen tinggi terhadap pembelajaran politik kepada rakyat. Pada masa Presiden kelahiran Pacitan inilah, beberapa kejadian sosial-politik yang cukup "menyentak" dan mungkin tidak terbayangkan selama ini .... justru terjadi. Ketika nama baiknya dicemarkan, menantu Sarwo Edhi Wibowo ini menggunakan "jalur resmi" dengan melaporkan si pencemar nama baiknya itu ke pihak penegak hukum .... tanpa intervensi. Kejadian fenomenal "rekaman Mahkamah Konstitusi" yang ibarat Kotak Pandora, justru bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara luas pada masa beliau. Demikian juga dengan statemennya tentang Kasus Century untuk dibuka secara "terang benderang" dan memberikan keleluasaan bagi DPR untuk mengoptimalkan hak angket, semakin memperkuat komitmen seorang SBY untuk memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat Indonesia bahwa demokrasi itu perlu dan harus terus "dihidupi" (walaupun terkadang ini sering dipandang sinis oleh lawan politiknya sebagai bentuk pencitraan). 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia versi Majalah Times ini juga memberikan sebuah pembelajaran bijak : "setiap kita punya wilayah kerja" ...... sehingga ia tidak mau mencampuri atau menintervensi urusan yang bukan dalam ranahnya ..... walaupun pada akhirnya ada kasus-kasus tertentu, ia justru mengenyampingkan hal ini karena pertimbangan suasana bathin masyarakat (tapi tetap dalam konteks dan koridor konstitusionalis).

Tapi, seorang SBY terkadang juga merasa gundah dengan demokrasi a-la Indonesia belakangan ini. Akan tetapi kegundahan tersebut baginya adalah sebuah dinamika dalam proses pembelajaran demokrasi. Meski hingar-bingar, Demokrasi adalah pilihan yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada. Demokrasi dalam arti dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. "Kalau saya ditanya, demokrasi ini kadang-kadang gaduh, lihat negara lain tidak terlalu gaduh, pembangunan bagus, contohnya Tiongkok dan negara-negara lain," ujar SBY. "Apa tepat kalau pilihan kita demokrasi? Saya mengatakan di berbagai kesempatan, dibandingkan dengan pilihan yang lain, saya tetap menganggap demokrasi itu pilihan yang baik," ujar SBY dalam silaturahmi dengan para Gubernur se-Indonesia.

Menurut SBY, demokrasi dalam arti rakyat kita memilih siapa-siapa yang diberi mandat untuk memimpin baik di tingkat kabupaten, kota, nasional. "Demokrasi dalam arti kebebasan diberi ruang, termasuk kebebasan pers, hak asasi manusia dan sebagainya. Itu demokrasi. Sekarang kita sudah berada dalam tahapan seperti itu. Bahkan beberapa presiden dan perdana menteri mengatakan bahwa freedom di Indonesia itu tumbuh cepat, lebih cepat pertumbuhannya daripada negara-negara lain. Kita merasakan 15 tahun yang lalu dibanding dengan sekarang ini," kata SBY.
Oleh karena itu, lanjut SBY, demokrasi yang hendak kita bangun dan mantapkan dalam reformasi gelombang kedua ini adalah demokrasi di mana nilai dasar demokrasi yaitu freedom itu mesti berjalan bersama-sama dengan aturan dan pranata hukum. Kedua duanya diperlukan.

"Kalau kebebasan kurang, defisit. Rules-nya berlebihan, surplus. Menjadi negara peraturan tidak hidup, sebaliknya kalau freedom berlebihan, absolut , tidak ada aturan akan jadi anarki. Yang kita perlukan adalah demokrasi yang sehat, tetapi juga ada hak dan kewajiban, hak dan tanggung jawab.
Mari kita dorong demokrasi kita lebih bermartabat," kata Presiden SBY.

Selasa, 01 Desember 2009

Transisi Demokrasi

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam tradisi ilmu politik, ada empat variabel untuk menentukan apakah negara tersebut menjalani masa transisi secara damai atau anarkis bahkan "berdarah". Pertama, Watak Civil Society. Konsep ini mengacu kepada kemampuan, dinamika dan kemampuan organisasi kemasyarakatan. Dalam masyarakat transisi, civil society-nya penuh dengan dinamika. Masyarakatnya terlibat secara emosional dengan persoalan-persoalan publik. Namun, Civil Society ini memiliki dua karakter yaitu karakter demokratis dan karakter sekterian-parokial-primordial. Karakter pertama "dihidupi" oleh aura dan nilai-nilai penghargaan terhadap pluralisme, kesediaan berkompromi untuk mewujudkan platform bersama yang demokratis serta timbulnya iklim kritik-terbuka dan transparan. Sementara yang kedua, dimotivasi oleh semangat fanatisme ideologi atau agama, anti-pluralisme, menginginkan previlese (baca: hak-hak khusus) bagi suatu kelompok dan anti kritik. Di antara kedua karakter civil society tersebut, hanya berkarakter demokratis yang memiliki kontribusi pada penyelenggaraan transisi secara damai.

Kedua, efektifitas pemerintah dalam mewujudkan atau mengimplementasikan kebijakannya. Pemerintah merupakan satu-satunya "organ" yang sah-legal untuk bertindak mengatasnamakan masyarakat secara keseluruhan. Memiliki daya paksa. Pemerintah yang efektif sangat mudah mempengaruhi kondisi politik secara nasional. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang dipercaya oleh masyarakatnya. Pemerintah jenis ini dapat mempengaruhi transisi ke demokrasi secara damai. Sebaliknya, pemerintahan yang lemah dan kehilangan legitimasi, maka kebijakan-kebijakan mereka akan mudah dinilai dan ditafsirkan oleh kelompok politik lain sebagai upaya manipulatif. Dengan sendirinya, kebijakan-kebijakan tersebut bukannya diikuti, malah dilawan. Pemerintah jenis ini berpotensi membawa negara ke arah anarki.

Ketiga, Political Society. Konsep ini mengacu kepada aturan main yang menjadi mekanisme kompetisi politik antar aktor dan organisasi politik. Aturan main politik sangat penting. Dalam masyarakat politik ini, juga terdiri dari dua karakter yaitu masyarakat politik harmoni dan masyarakat politik terdisintegrasi. Masyarakat politik yang harmoni akan mudah menerima kemenangan atau kekalahan dalam sebuah kompetisi politik. Penyebabnya, karena mereka yakin dan percaya akan sifat adil dan jujur dari kompetisi. Pihak yang kalah merasa kalah secara fair dan bukan merasa dicurangi oleh sebuah sistem atau aturan main yang manipulatif. Masyarakat tipikal ini memiliki kontribusi bagi terciptanya transisi damai. Sedangkan masyarakat politik yang terdisintegrasi sangatlah rawan. Kekalahan dan kemenangan sangat sulit diterima dengan lapang dada. Bukan karena faktor kebesaran jiwa para aktor politik, akan tetapi lebih disebabkan kepada rasa dizalimi oleh aturan main yang manipulatif. Bahkan, konflik tidak akan menyusut setelah terselenggaranya kompetisi politik melalui pemilu, justru konflik semakin rawan dan menakutkan. Tipikal ini dengan cepat akan membawa negara ke dalam anarki yang berkepanjangan.

Dan yang Keempat, soal kondisi ekonomi. Memang harus diakui, bahwa ekonomi bukanlah satu-satu soal, namun memiliki peranan yang sangat signifikan karena berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pokok dan tersedianya lapangan pekerjaan. Perekonomian yang tumbuh akan memberikan kesejahteraan yang lebih kepada masyarakatnya. Kepuasan publik akan meningkat. Kepuasan publik yang meningkat akan berkorelasi positif dengan kemampuan pemerintah membawa masyarakat menuju demokrasi damai. Sebaliknya, ekonomi yang memburuk justru menimbulkan ketidakpuasan. Masyarakat akan menjadi rumput kering yang akan mudah terbakar untuk melawan dan marah secara massal. Krisis ekonomi akan mudah menyulut anarki berkepanjangan.

Pertanyaannya : "Bila diperhatikan variabel-variabel di atas, apakah Indonesia masa reformasi ini bisa atau berpotensi melakukan transisi secara damai ?"

Sabtu, 28 November 2009

Merantau : "Genuine Tradition of Minangkabau"

Oleh : Muhammad Ilham

Tersebutlah kisah bahwa sebelumnya raja dipercayai sebagai pemimpin yang tidak mempunyai keturunan sampai dia mati terbunuh. Namun di malam ketika raja terbunuh itu gundiknya meminum air mani raja sehingga dia mengandung dan melahirkan Raja Kecil. Setelah Raja Kecil lahir dia tidak diakui langsung sebagai seorang Pangeran yang akan melanjutkan silsilah kerajaan tetapi dia harus membuktikan kesatriaannya dengan mengembara dan kemudian kembali menakhlukkan kerajaan. Cerita yang banyak berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sebenarnya dihadirkan untuk mengukuhkan keberadaan raja, peneliti-peneliti asing tentang melayu tidak mengakuinya sebagai sebuah sejarah sebagaimana rakyat setempat mempercayainya” (Secara umum, bagian ini dikutip dari “Raja Melawar”, melayuonline.com).

Merantau kalau ditelusuri akar sejarahnya akan bermuara pada kebudayaan nomaden nenek moyang manusia dalam mempertahankan hidup. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan umum masyarakat Minangkabau bahwa tidak ada manusia asli di bumi ini yang hadir mambasuik (muncul) dari bumi. Semua manusia dipercayai berasal dari Adam dan kemudian menjadi pengembara keseluruh penjuru dunia seiring perkembangan biakan manusia itu. Masyarakat Minangkabau menganggab manusia asal atau pribumi hanyalah orang yang pertama menduduki tempat itu. Orang yang pertama datang dan bermukim dari pengembaraan panjangnya. Tardisi hidup berpindah-pindah itu kemudian dalam kehidupan baru menjelma dalam bentuk tradisi merantau. Maka tersebutlah orang-orang sukses itu kerena dia merantau. Berani menghadang hidup keras dan memenangkan pertarungan dalam mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Nama-nama perantau sukses itu diabadikan orang dan menjadi buah bibir oleh anak muda di kampung halamannya. Maka tersebut perantau-perantau itu sebagian kecilnya adalah Malewar dan Raja Kecil.

Kehadiran Raja Kecil yang penuh mitos sebenarnya untuk mengukuhkan kekuasaannya dan menarik mayarakat untuk mendukungnya. Hal ini sama dengan banyak tokoh yang menyejarah seperti Bundo Kanduang, Iskandar Zulkarnain, Ken Arok, bahkan pemimpin-peminpin masa kini yang garis keturunannya tidak lepas dari orang-orang hebat. Dalam hal ini mitos dapat berfungsi untuk mengukuhkan jati diri seorang pemimpin dan hal ini sangat penting sekali dalam perantauan banyak orang. Timothy P. Bernard dalam tesisnya untuk meraih Master of Arts pada The College of Art and Science of Ohio University Amerika Serikat, (Maret 1991: 22) berkomentar tentang kesuksesan Raja Kecil dalam memamfaatkan mitos sebagai pendukung kesuksesan dalam merantau. Ia menyebutkan bahwa: “Mitos dalam Sejarah Melayu menghidangkan sebuah piagam bagi sistem politik dan inilah yang dimanipulasi Raja Kecil untuk mencapai tujuannya menguasai Johor. Kemampuannya mempengaruhi keadaan melalui motif-motif mitos oleh sarjana barat berkembang menjadi historiografi. Oleh karena pertentangan mitos dengan sejarah nampaknya tetap menjadi permasalahan dalam kajian teks-teks Melayu tradisional, muncul permasalahan pemahaman mengapa ia berbentuk demikian.”


Dengan demikian teranglah bagi kita bahwa tradisi merantau yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau bukan hanya tradisi “kemaren sore” atau tradisi baru karena telah “sempit” (susah) hidup di negeri sendiri. Tetapi merantau bagi masyarakat Minangkabau dipandang sebagai sebuah cara untuk berkembangnya manusia di dunia dan tradisi ini telah ada semenjak leluhur nenek moyangnya. Seperti Maharaja Diraja anak Iskandar Zulkarnain yang merantau ke negeri yang kemudian bernama Minangkabau ini atau seperti merantaunya Malewar dan Raja Kecil ke tanah Melayu.
Budaya merantau memang merupakan suatu budaya rumpun Melayu yang bersifat dinamis dan positif. Budaya ini berperanan dalam membina dan memajukan setiap individu, keluarga dan masyarakat. Ia bukan saja penting untuk mempertingkatkan mutu kehidupan peribadi seseorang, bahkan juga masyarakat, kerana sifatnya yang banyak membantu mereka kearah hidup yang lebih terjamin. Kalau dahulu merantau bagi masyarakat Minangkabau hanyalah kebudayaan laki-laki, namun kini merantau tidak lagi identik dengan laki-laki sahaja. Kini kaum perempuan juga sudah banyak yang merantau sama ada untuk tujuan ekonomi atau pendidikan. Kedua-duanya bermatlamat untuk merobah nasib.

Misi budaya orang Minangkabau telah membentuk corak dan strategi kehidupan mereka di perantauan. Oleh kerana alam rantau sebagai “dunia kedua”, ia hanya bersifat sementara. Belajar dan bekerja bagi mereka di rantau adalah untuk memenuhi misi budaya, iaitu untuk memperkaya alam Minangkabau. Hakekat kerja dalam konteks ini tidak hanya sekedar mencari nafkah untuk mempertahankan hidup (survive) di rantau, tetapi harus menghasilkan sesuatu yang akan dipersembahkan ke kampung halaman, termasuk ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, terdapat sistem yang saling berkaitan dan saling mendorong antara kampung dengan rantau. Untuk dapat hidup dan bertahan, Minangkabau memerlukan rantau. Rantau Bukan hanya sumber dan medan laga untuk mencari penghidupan, tetapi juga sumber untuk mendapatkan inspirasi dan ide-ide baru. Pemikiran-pemikiran dan ide-ide baru tersalur melalui saluran merantau. Setiap perantau yang pulang memberikan effek-effek demonstratif terhadap yang di rumah dengan memberikan gambaran-gambaran yang indah dari kehidupan di rantau. Setiap yang pulang adalah juga “agent of change”, unsur pembaharu. Supaya berfungsi, merantau melembaga. Merantau dijadikan sebagai “rite de passage” bagi membuktikan kedewasaan.

(*) Terima kasih pada Uni Nelmawarni ..... Disertasi dijadikan inspirasi tulisan ini