Jumat, 20 Mei 2011

Kebangkitan Nasional dan Kehormatan Bagi yang Berhak

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sejarah "pesanan" adalah sesuatu hal yang sering kita jumpai. Baik "pesanan" penguasa yang kental dengan nuansa politik, ataupun "pesanan" individual yang bisa jadi terkadang narsis. Tapi sejarah yang bisa jadi simpang siur tersebut, dan tentunya berpotensi besar membuat kita jadi bingung akan hal yang bernama sejarah mana yang paling benar, akan terus beadaptasi oleh seleksi alam. Artinya, sejarah (penulisan/karya sejarah) itu akan terus melangkah ke arah kebenaran, setidaknya mendekati kebenaran, walaupun ada pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk membuat karya sejarah tersebut sesuai dengan kepentingan mereka. Terlebih setelah 1965—dengan peristiwa G30S, segala macam peran ideologi yang berbau marxis (komunis, sosialis, leninisme, dan lain-lain) tak diakui di negeri yang berpancasila ini. Padahal sejatinya gerakan ke arah Indonesia Merdeka banyak digagas oleh orang-orang—sebut saja misalnya Tan Malaka, H. Misbach, Soekarno, dll—yang terpengaruh dengan paham ini—yang memang cocok menganalisa apa yang terjadi di Indonesia waktu itu : dimana ada bangsa yang menjajah dan terjajah (tertindas), peran mereka banyak yang dikaburkan. Kemudian penguasa menulis buku putih dan bilang kepada semua anak bangsa : ”Inilah sejarah Indonesia yang baik dan benar!”.

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)—selanjutnya Pram—selalu lantang melakukan pelurusan sejarah ini. Melawan lupa yang ditebar penguasa. Untuk sejarah kebangkitan nasional misalnya, yang selama ini oleh sejarah resmi dimulai dengan berdirinya Budi Utomo (BU, 20 Mei 1908)—organisasi modern yang bercorak nasional pertama, sastrawan-sejarawan ini menyatakan bahwa ini keliru—walaupun Pram tidak menafikan peran-peran Budi Utomo. Dalam ”Sang Pemula” Pram mengungkap sejumlah data dan fakta bahwa sebelum BU berdiri telah berdiri organisasi modern nasional pertama: Serikat Priyayi (SP) yang berdiri tahun 1904. Tokoh utama organiasi ini adalah Tirto Adhi Suryo—selanjutnya Tirto. Pram menulis : ”Dalam hal semangat wawasan SP jauh lebih luas. BU merupakan organisasi kesukuan, sedang SP tidak. Sebagai organisasi kesukuan BU menggunakan bahasa Jawa dan Belanda. Karena dalam kehidupan organisasi tidak setiap orang Jawa bisa bahasa Jawa, maka juga bahasa Melayu digunakan sebagai akibat dari persepsi, bahwa bangsa Jawa terdiri dari Sunda, Jawa, dan Madura, yang mempunyai bahasanya masing-masing. SP berwawasan seluruh Hindia tanpa memperhitungkan bangsa-bangsa (suku-suku) di dalamnya, maka bahasa organisasi adalah Melayu lingua-franca sebagai ”bahasa bangsa-bangsa yang terperintah”, dan dengan demikian secara sadar ini menjadi peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional untuk masa-masa selnjutnya.” (Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Lentera Dipantara, Hal. 144).

Dengan paparan Pram ini, maka SP menjadi peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional—sebagai bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang. Selain mendirikan SP dalam perkembagannya Tirto juga ikut membidani Sarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian hari menjadi Sarikat Islam (SI) yang pecah menjadi SI putih dan merah (cikal bakal partai komunis di Indonesia). Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu: termasuk ketidakadilan yang diterima buruh kebun tebu, ketidakadilan hukum kolonial, dan lain-lain. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918. (lihat : id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo). Tirto juga adalah perintis pers nasional. Ia menerbitkan Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Jejak langkah Tirto ini dapat dibaca dalam tetralogi Bumi Manusia yang ditulis Pram dalam tahanan Pulau Buru. Dalam roman ini, sosok Tirto mengejewantah dalam diri Minke. Buku-buku ini dilarang—termasuk Sang Pemula sebagai biografi Tirto—oleh rezim orde baru, dan sampai sekarang tak dicabut pelarangannya oleh Jaksa Agung. Tentu saja dengan alasan klasik: menyebarkan paham komunisme, marxisme, dan leninisme yang menjadi anak haram di negeri ini. Lagi-lagi memang sejarah adalah tafsir—lebih-lebih tafsir penguasa. Tafsir pemenang. Siapa yang berkuasa dia yang membuat sejarah. Tapi ini kezaliman yang harus dilawan, karena kita tak ingin terus tinggal di negeri para pelupa. (catatan kecil ini juga bagian dari usaha untuk terus melawan lupa itu) Kehormatan bagi yang berhak: kalau memang SP dengan Tirto adalah Sang Pemula bagi perintis kebangkitan nasional, saatnya penguasa menuliskannya dalam buku sejarah. Biar kita—anak bangsa ini—tahu sejarah negeri ini. Kan Bung Karno selalu mengingatkan: “Jas Merah—Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”.

Sumber : (c) Jamie Simatupang (2011) & Nugroho Notosusanto dkk. (1987). Photo : www.kaskus.us

Tidak ada komentar: