Sungguh mengagumkan kekuatan Qaddafi, setidaknya hingga hari ini (10/05/2011).
Diserang dari seluruh penjuru mata angin, Qaddafi tetap tegak, walau "sempoyongan".
(times.com/10-05-2011)
Amerika Serikat dan Rusia sama saja, yang satu imperialis, lainnya atheis
(Moammer Qaddafi).

Puritanisme Qaddafi ini lebih merupakan refleksi dari kesederhanaan anak padang pasir pedalaman. Wartawan TEMPO era 1980-an – Parakitri (kalau saya tak salah) – menganggap Qaddafi menemukan dirinya sendiri dalam dinas ketentaraan. Ia mencintai dunia ini karena satu factor : kedisplinan. Tapi nalurinya tetap kebebasan a-la badui Padang Pasir. Tidaklah mengherankan bila ia responsive dan spontan. Ia pernah marah besar pada Raja Yordania – Hussein – yang mengobrak abrik kelompok Fedayyin, “Raja sinting itu harus diborgol dan dibuang ke luar Arab”. Dengan santai-nya Qaddafi juga memanggil raja-raja Arab dengan “saudara”. Tentunya raja-raja konservatif ini merasa tersinggung luar biasa. Qaddafi tak peduli, apakah ucapannya itu akan berpotensi menjadi batu penghalang mewujudkan mimpinya akan “Persatuan Arab”. Dan memang, ide besar yang ia rujuk pada Pan-Arabisme Nasser ini, tak pernah didukung negara-negara Arab yang mayoritas kerajaan itu. Jauh sebelum Qaddafi menjatuhkan Raja Idris di Libya, ia menyaksikan betapa rapuhnya persatuan Arab. Ia miris kala menyaksikan kehancuran dunia Arab, baik dalam Perang Suez 1955 maupun Perang Juni 1967 (Yom Kippur). “Semua ini karena masyarakat Arab bercerai berai,” pekiknya. Tidaklah mengherankan kemudian, tidak sampai dalam hitungan minggu ia merebut kekuasan di Libya, Qaddafi menyampaikan “pesan” pada Nasser – mentornya. “Beritahukan Nasser, revolusi ini digerakkan untuknya, karena itu, ia boleh ambil apa saja milik kami. Libya punya berates mil pantai tengah, punya dana dan segalanya. Semua itu bias dipakainya untuk bertempur mewujudkan persatuan Arab”, ujarnya. Gagasan ini tidak ditanggapi Nasser secara serius. Ketika Nasser meninggal dan digantikan oleh Anwar Sadat, Qaddafi juga mengajak suami Jehan Sadat ini untuk penyatuan Arab – bermula dengan tawaran menyatukan Libya dan Mesir. Bersama ibu, istri dan bayinya dan menggerakkan 40.000 rakyat Libya long march dari Libya ke Kairo – sebuan perjalanan teramat panjang – Qaddafi ingin menunjukkan kesungguhan yang spontan dan responsive. Anwar Sadat tergugah, pembicaraan dua negara ini bermula. Libya akan dijadikan salah satu propinsi Mesir. Lalu Qaddafi ? … ia siap melepaskan jabatannya. Tapi ambisi penyatuan dua negara ini tak lama. Anwar Sadat dan Qaddafi, pecah kongsi dan berselisih paham. Bagi Sadat, Qaddafi tidak matang dan tidak memiliki keseimbangan. Ia terlampau spontan dan tak stabil, menggelora tanpa perhitungan. Sebaliknya, Qaddafi menilai Sadat kurang revolusioner.
Gagal dengan Nasser dan Anwar Sadat, tak menyurutkan Qaddafi untuk mewujudkan keinginan dan mimpinya tentang penyatuan Arab. Pada awal tahun 1980-an, ia pernah mengajak negara Aljazair dan Syiria serta Maroko bersatu. Tapi karena ia gabungan “militer yang disiplin dan naluri badui” membuat negara-negara yang diajaknya ini tidak berkenan. Nasser yang “bermantagi”, gagal, apatah lagi Qaddafi yang spontan-menggelora ini. Tapi “mimpinya” ini setidaknya memberikan catatan bagi sejarah bahwa solusi terbaik bagi negara-negara di Timur Tengah agar tidak identik dengan konflik adalah dua – “penyatuan Arab” dan selalu mengingat kata-katanya … Amerika Serikat dan Rusia sama saja, yang satu imperialis, lainnya atheis !. Rasanya, Qaddafi benar !. (Hanya catatan kecil : di Timur Tengah, tak ada yang mengalahkan lamanya Qaddafi berkuasa, tak Husni Mubarak ataupun Ben Ali serta pemimpin negara Arab lainnya seperti Yaman ataupun Aljazair. Libya bukan negara baik dalam praktek demokrasi. Tapi riak Jasmine Revolution dan Egypt Revolution seakan tak "bergema" di Libya. Tapi kita tidak tahu, setidaknya kala artikel ini ditulis, hembusan Tunisia dan Mesir telah mejadi pemicu konflik horizontal di Libya. Atas nama demokrasi, Obama (cc) NATO yang kental dengan "kepentingan minyak" dan para pemberontak di Libya menyerang Qaddafi. Awalnya hitungan hari, namun minggu yang mendekati bulan, Qaddafi tetap tak "kalah", walau ia diserang dari empat penjuru mata angin. ).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar