Selasa, 03 Mei 2011

Agama dan Ranah Politik

Oleh : Muhammad Ilham

Agama sebagai sebuah fakta historis memiliki dua dimensi utama, dimensi simbolis-mistik dan sosiologis. Dimensi simbolis-mitis mengandung arti bahwa agama merupakan sebuah struktur makna (meaning structure) yang berada di ranah abstrak dan keberadaannya terlepas dari ruang dan waktu. Melalui struktur makna tersebut maka mode pemahaman diri (mode of self-understanding) digagas dan diciptakan melalui berbagai kegiatan penafsiran (hermeneutics) atas ajaran. Dalam kegiatan ini termasuk penciptaan dan penafsiran atas simbol-simbol dan metafor yang ada untuk kemudian dirumuskan serta diterapkan dalam tindakan aktual. Karena sifatnya yang abstrak dan sangat tergantung pada kemampuan tafsir itulah maka ajaran agama pada hakekatnya terbuka untuk diperdebatkan, apalagi ditambah adanya kenyataan adanya konteks sosiologis dan dimensi historis yang akan menjadi batas dan bingkainya. Pemahaman terhadap ajaran agama, dengan demikian, tidak mungkin tunggal atau monolitik. Munculnya berbagai macam aliran atau mazhab (schools of thought) sebenarnya merupakan hal yang wajar dan sah-sah belaka. Ketika agama dan pemeluknya berada dalam konteks politik, maka peran dan fungsi sosial dan politik agama pun akan sangat dipengaruhi oleh dialektika antara dimensi simbolis-mitis dan sosiologis-historis. Pada suatu konteks historis tertentu agama bisa saja begitu hegemonik sehingga sakan-akan menjadi satu-satunya alat untuk menjelaskan realitas atau merupakan kekuatan ideolologis yang tak tertandingi dalam masyarakat. Namun pada konteks yang lain posisi seperti ini dapat saja terdesak ataupun mengalami pergeseran-pergeseran dan bahkan bisa lebih jauh : agama dianggap kehilangan relevansinya sebagai alat penjelas realitas tersebut. Sejarah ummat manusia, jika dilihat dari perspektif perkembangan agama, adalah rangkaian perubahan-perubahan yang terjadi dalam peran dan fungsi agama dalam konteks sosiologis ummat manusia.

Dalam kajian antropologi politik, peranan agama dan simbol-simbol supranatural di dalam politik memainkan arti penting. Agama pun bisa dijadikan landasan bagi struktur, landasan kepercayaan, atau sumber tradisi yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Namun, pilihan paling lazim adalah menjadikan agama sebagai alat legitimasi oleh para elite yang berkuasa atau kekuatan yang mengejar kekuasaan (ini yang dikritisi para kalangan Marxian). Pemakaian” ayat, dalil, atau ungkapan yang dinisbatkan pada agama tertentu sebenarnya identik dengan kemunculan kiai atau tokoh lain yang merepresentasikan agama. Kemunculan simbol-simbol tadi telah mengandung pesan, lebih dari makna yang terkandung dalam substansi yang sebenarnya. Tidak heran bila kosakata silaturahmi lebih sering digunakan ketimbang pertemuan politik. Membebaskan panggung politik dari anasir-anasir agama tidak semudah yang dibayangkan kelompok yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Bahkan, bagi sebagian kalangan, memisahkan agama dan wilayah politik bukan saja sulit, tapi dipandang tidak perlu. Fakta mengungkapkan, dalam pemilihan umum, bagi sebagian pemilih di tanah air dikotomi tua – muda tidak begitu penting. Demikian juga dikotomi sipil - militer sudah melonggar. Namun dikotomi Islam - non-Islam masih dipandang sensitif dan penting dipertimbangkan sebagai variabel penting keputusan untuk memilih. Bagi sebagian kelompok, bila menerapkan sistem politik menurut kaidah agama dipandang belum mungkin, maka mengambil anasir-anasir agama untuk diformulasikan ke dalam kaidah hukum dan politik sudah dianggap cukup. Adaptasi ajaran politik pun terjadi di sepanjang garis keyakinan agama. Keputusan untuk memilih melibatkan variabel yang kompleks. Diperlukan sentuhan personal untuk merebut dukungan. Lebih-lebih dalam situasi ekonomi yang mencekik, para politisi yang "siap-siap" menatap 2014 yang akan datang, bila bisa memberi harapan bagi perbaikan yang dirasakan oleh publik, akan lebih diapresiasi.

Photo : viralpoiltics.com

Tidak ada komentar: