Rabu, 04 Mei 2011

Di Abbotabad Pakistan, Osama bin Laden ... "berhenti"

Oleh : Muhammad Ilham


Osama bin Laden .... tewas !, setidaknya demikian Breaking News Metro TV dan TV One hari ini. Osama the end, Obama number One, demikian rilis cnn.com. Osama yang merupakan putra sekian dari 50 (?) orang putra taipan Arab Saudi - Mohammad Laden ini tewas dalam persembunyiannya di Kota Abbottabad, Pakistan. Konon, di kota ini pula tertangkapnya gembong teroris Al Qaeda "putra" Nusantara - Umar Patek - awal tahun ini. Osama tewas dalam operasi rahasia yang dilancarkan pasukan elit Angkatan Laut AS, Navy SEAL. Penyerangan itu dilakukan terhadap sebuah bangunan besar di Kota Abbotabad, sekitar 100 kilometer sebelah utara Islamabad. Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama telah mengumumkan kematian Osama dalam pidatonya di Gedung Putih pada Minggu, 1 Mei malam waktu setempat. Dikatakan Obama, dengan kematian Osama, keadilan telah ditegakkan. "Musuh kita bukan Islam, sekali lagi bukan Islam", kata "anak menteng" ini dalam pidato yang juga disiar ulang oleh Metro TV sore tadi. Terlepas setuju atau tidak dengan pidato Obama, yang jelas kematian Obama .... eh Osama ini, telah menaikkan rating electoral Obama di mata publik Amerika Serikat. Euforia publik Amerika Serikat begitu kentara sebagaimana yang acap kali ditampilkan oleh beberapa TV swasta tanah air. Beberapa sekutu Amerika Serikat seperti Australia, Inggris dan Perancis juga memberikan apresiasi terhadap tewasnya pemimpin Al-Qaeda ini. Tapi, ada juga yang menganggap kematian Osama sebagai duka cita dalam. Hamas, contohnya. Kelompok Hamas mengutuk pembunuhan pemimpin jaringan teroris Al Qaeda itu. "Kami menganggap ini sebagai kelanjutan kebijakan Amerika yang didasarkan pada penekanan dan pertumpahan darah muslim dan Arab," cetus Ismail Haniyeh, pimpinan pemerintahan Hamas di Jalur Gaza seperti diberitakan Reuters, Senin (2/5/2011). Haniyeh menekankan adanya perbedaan doktrin antara Al Qaeda dan Hamas. Namun petinggi Hamas itu tetap menyebut Osama sebagai pejuang suci Arab. "Kami mengutuk pembunuhan pejuang suci Arab tersebut," tegasnya.

Mohammad Laden - "sang Ayah" Osama - taipan Arab Saudi

Osama (lingkaran merah) bersama 22 orang saudaranya kala berlibur ke Swedia 1971

Afghanistan, 1984 - "turning point" Osama bin Laden

rating electoral Obama si Barack Hussein ini "menaik" pasca abbotabad tragedy


Dibawah ini, saya kutip kembali artikel saya yang pernah saya posting tentang Osama - "seorang perantau".

Ada perbandingan menarik antara Osama bin Laden dengan para pejuang-pejuang yang merantau dari negeri mereka sendiri. Belasan teroris yang menghantam Amerika pada 11 September itu, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka pernah bermukim lama di negeri orang. Teroris atau bukan, para perantau cenderung membawa misi politik. Seringkali mereka membuat sejarah ketika mereka berkelana, atau berkelana untuk membuat sejarah. Tan Malaka, misalnya, yang diangkat anak oleh seorang pejabat Belanda dan disekolahkan di Haarlem, terbuai oleh Marxisme pada 1920an, giat di Eropa, lalu keliling Asia. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguak bab sejarah untuk negeri lain: di Filipina dia memperkenalkan Marxisme. Ada pula yang membawa ide-ide chauvenis, otoriter dan semi-fasis, seperti Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sekembali dari Belanda pada 1920an, atau Sarloth Sar (Pol Pot) dan Khieu Samphan, dua mahasiswa Kamboja yang sepulang dari Perancis menjadi arsitek negara-teror Khmer Merah pada 1970-an. Sementara di belahan dunia lain, Che Guevara mengembara dari tanah airnya, Bolivia, untuk berevolusi di Kuba dan Afrika. Perantauan, meski ragam, punya daya, ilham, tekad, dan dinamika tersendiri. Perjalanan diaspora (istilah ini aslinya bagi kaum Yahudi ketika tersebar di Eropa) adalah fenomena sui generis, masing-masing mengisyaratkan suatu momentum zaman. Tak bisa disamaratakan di segala ruang dan waktu. Kancah, pendeknya, bukan sekedar ajang geografis. Ketika sebuah cita-cita dilekatkan padanya, dia bermakna suatu cause. Usamah dan sejenisnya, dengan 'LSM' Yayasan Al-Qaida, seharusnya juga memiliki cause yang jelas. Ternyata, tidak. Usamah, alias Mister Bean versi teroris ini, mengaku berjuang untuk Islam - mungkin, maksudnya demi kehidupan Arab yang Islami. Tetapi para pakar Timur Tengah menunjuk bahwa nama agama itu disandang oleh Usamah ke mana-mana, keluar masuk goa, bak menyandang jubah untuk menjadikannya magnit politik untuk menggalang ummat. Apa pun jubah itu, Osamah bermimpi mewujudkan cita-cita kuno yang telah di-jubah-kannya, tapi tak pernah memberi batasan apa dan di mana jubah itu ingin diwujudkannya. Orang tak tahu dia berjuang untuk apa, siapa, dan negeri apa. Dia pun tak merasa perlu memberi acuan geografis atau negara mana pun. Boleh jadi, dia tak punya cause yang jelas. Dengan kata lain, perbedaan antara perantau Usamah dan sejenisnya di satu pihak, dan perantau-pejuang sejenis Tan Malaka di lain pihak, bukan sekedar siapa teroris dan siapa pejuang. Setiap protagonis tentu akan berkata kepada lawannya bahwa teroris-mu adalah pejuang-ku. Kita tahu, teror juga adalah sebuah sarana dari kekuasaan negara. Dan terbukti, kekerasan politik yang paling besar dan efektif, selalu bersumber dari lembaga negara (Holocaust-nya Hitler, Gulag-nya Stalin, Orde Baru-nya Suharto). Untuk itulah, kemudian, Amerika Serikat menteror rakyat Afganistan dengan bom, untuk memburu Osamah dan Al-Qaida. Kadang, teror negara berubah. Dia tak perlu selalu monopoli negara, tapi bisa menjadi simbiose, perkawinan kepentingan, dari sejumlah unsur kekuasaan negara dan sekelompok warga masyarakat. Contohnya, tentu saja, Osamah bin Ladin dan Al-Qaida-nya. Dia berubah jadi Islamis dan teroris global ketika dia bekerja-sama dan disponsori oleh dinas intelejen militer Pakistan I.S.I, rejim Taliban dan unsur-unsur Saudi dan dinas intelejen Amerika CIA pada 1980-an, lalu berbalik melawan Amerika dan Saudi pada saat Saudi menjadi pangkalan Amerika untuk menggempur Irak awal 1990-an.

Osamah, seperti Tan Malaka, adalah seorang Muslim yang giat membangun jaringan politik global dimanapun dia berada. Bedanya, Osamah sejak berhenti mabuk, berubah jadi Islamis, lalu ketika pasukan Soviet terusir dari Afganistan pada 1989, Usamah menganggap perjuangan itu sebagai kemenangan "Islam" yang pertama terhadap "Barat", setelah "Islam" terus menerus kalah dan kalah selama berabad-abad. Sejak itu, baginya, kemenangan "Islam" harus diglobalkan tanpa pandang bulu sikon dan konteks. Jadi, cause-nya serampangan. Tan Malaka, pada jaman yang berbeda, menjadi pejuang global ketika menginsyafi kebangkitan bangsa-bangsa Asia di pentas dunia awal 1900an. Dia seorang Muslim yang tidak fanatik, seorang kosmopolit yang menguasai bahasa-bahasa Eropa, Cina dan Tagalog, seorang Marxis yang memahami sejarah dan masyarakat, tetapi, pertama-tama, dia adalah seorang pejuang anti-imperialis global, yang membangun jaringan politik di Eropa, Shanghai, Bangkok, Manila dan di Jawa. Cause-nya gamblang.Jangankan dibanding dengan Tan Malaka, bahkan dengan Khomeiny pun, pola Usamah amat berbeda dan terbelakang. Khomeiny punya target yang spesifik (Iran), Osamah tidak. Ketika Ayatullah Ruhullah Khomeini meninggalkan pengasingannya di Perancis pada 1979 dan kembali ke Iran, negerinya sudah bergelora revolusi Islam-Iran yang dipimpin oleh kaum Mullah dan kelas-kelas menengah, untuk melawan rezim Syah Pahlevi yang despotik. Khomeini tidak menyulut api di rantau lantas otomatis terjadi kebakaran besar. Osamah memutar-balik logika itu seolah-olah dia, atau siapa pun, bisa menyalakan revolusi di mana saja tanpa perlu suatu momentum revolusioner. Itulah sebabnya, Osamah dan gerakannya hanya akan membuat teror dan kerusuhan, tetapi tak akan mampu memotori suatu perlawanan rakyat. Walhasil, perbedaan yang paling bermakna -- bagi Osamah dan sejenisnya, adalah kancah itu tak membutuhkan batasan dan acuan geografis, jangka waktu, program sosial, atau apapun. Cause-nya tak jelas. Baginya, jubah itu bisa diwujudkan di mana saja dan kapan saja. Artinya, konsepnya itu anti-historis dan anti-sosiologis. Dan metode untuk mencapainya, jaringan teror, tak bersosok dan tak beridentitas.

Osamah bukan-lah seorang nasionalis. Dia melangkah lebih jauh lagi, dengan berpretensi universal dan membajak sebuah agama untuk menggelar suatu perjuangandemi perubahan besar, tanpa menetapkan tujuan, target sosial, dan batasan ruangnya. Dengan transformasi wacana ini, dan dengan menggebrak adidaya di kandang sendiri pada 11 September, para terorisnya Osamah menggedor sejarah, untuk menyampaikan pesan tentang sebuah cita-cita yang anti-historis. Mereka berangkat dari kategori berpikir bipolar yang sederhana : kami versus mereka, dan memakai metode jaringan teror tak bersosok (invisible). Sebagai pelaku politik diaspora, Osamah cum suis telah jauh melampaui Tan Malaka pada 1920-an dan para perantau nasionalis Sikh atau Irlandia pada 1980-an. Kaum diaspora, dengan ragam misinya, sejak mula sudah bermain global. Osamah cuma menambahnya dengan mengglobalkan teror. Sementara penguasa di Amerika Serikat memperluas daftar teroris yang resmi dicurigai. Dan di Eropa, yang kini berpenduduk migran Muslim sekitar 10 jutaan, organisasi organisasi kaum diaspora makin diamati. Ulah Osamah cum suis, jelas, dampaknya besar dan berbahaya bagi demokrasi dan pluralisme, tetapi juga bisa menjadi dalih bagi penguasa negara mana pun untuk menekan hak-hak sipil warganya.

Referensi : detik.com/reuter.com/cnn.com/mailinglist.yahoo.com. Photos : al-jazeera.com/times.com

Tidak ada komentar: