Oleh : Muhammad Ilham
Artikel ini dipubish di padangmedia.com
yang merupakan tanggapan dari artikel Arjuna Nusantara "Jangan Jadi
Kartini" di rubrik Opini Harian Padang Ekspres 23/4/2012
“Jangan
Tiru Kartini”, kata Arjuna Nusantara dalam artikelnya di Padang Ekspres 23 April 2012 yang lalu. Memanfaatkan momentum Hari
Kartini 21 April 2012, pimpinan Suara Kampus IAIN Imam Bonjol Padang ini, ingin
“menggugat” keabsahan figur Kartini sebagai
icon emansipasi wanita Indonesia. Bahkan
sedikit profokatif – “Kartini Anak Manja lagi tak tahu secara baik tentang
agama (Islam)”, lanjut Arjuna. Arjuna tidak salah. Ia sedang mempraktekkan apa
yang dikemukakan oleh filosof Karl R. Popper, “cari angsa putih dalam kerumunan angsa yang semuanya hitam, agar ilmu
makin berkembang”. “Jangan Tiru
Kartini” adalah bagian dari mempertanyakan kehadiran sosok historis Kartini ditengah-tengah konsensus anak bangsa
yang mendudukkan Kartini sebagai icon emansipasi
wanita Indonesia. Bagi saya,
mempertanyakan justru membuat sosok historis Kartini menjadi lebih “hidup”. Ketika “si
putri sejati” ini dipualam-kan,
di-prasasti-kan bahkan dimitoskan, ia akan menjadi kerdil. Kita tidak lagi
mengetahui proses, langgam dan latar perjuangannya yang menjadi nilai-nilai inspiring bagi
generasi berikutnya.
Dalam konteks ini, seharusnya artikel “Jangan Tiru Kartini” kita
tempatkan. Namun mengkerdilkan kehadiran seorang figur historis, tanpa
memahami
proses, langgam dan latar dimana figur itu hidup dan berproses, rasanya
juga
tidak adil. Melihat Kartini dari “kacamata” Rahmah el-Yunusiyyah, Rohana
Kudus
apalagi Cut Nya’ Dien yang maskulin itu, (sekali lagi) rasanya juga
tidak adil.
Dalam konteks ini pula, kita juga ingin mengkritisi pandangan-pandangan
yang
selama ini menggugat keabsahan posisi historis Kartini.
Catatan
sejarah memang memperkatakan Kartini demikian adanya. Ia tampil dalam panggung
sejarah, tidak seperti Rohana Kudus,
Rahmah el-Yunusiyyah, Rasuna Said ataupun semaskulin Cut Nya’ Dien. Bak kata salah seorang sejarawan, “wanita
yang emansipatoris itu, bukan wanita lembut diam di rumah, wanita santun, ramah
penurut, tapi wanita yang tegas lagi
kritikal”.
Kalau defenisi ini yang ingin kita pegang, nampaknya Kartini tak masuk kategori
pionir wanita emansipatoris. Siti Manggopoh, Cut Nya’ Dien atau Rasuna Said,
adalah contoh yang paling pas. Tapi
seperti itukah kita melihatnya ? Untuk
itu, saya mulai dengan contoh lain, tentang Soekarno - Hatta. Kalau Soekarno hidup pada era sekarang nan
kritis ini, tentu Soekarno akan dicela-sinis bahwa masyarakat tidak akan
"kenyang" dengan pidato menggelora. Tapi karena Soekarno hidup pada
"zamannya", masyarakat Indonesia menjadi terkesima pada seorang
orator ulung. Konon, sejarawan, tepatnya biografer, spesialis Soekarno - Cyndi
Adams - begitu terkesima dengan "langgam" kata indah nan menggelegar
Putra Ida Ayu Rai ini. Soekarno memang ditakdirkan punya kemampuan olah verbal
luar biasa. Ia ekspressionis seperti Hitler yang "bergetar" kala
pidato di depan Gestapo. Soekarno diterima dengan hangat melalui pidatonya dan
hingga sekarang masih inspiratif itu, karena memang ia hidup pada masa
teknologi audio-visual (lagi) absen. Ini menyebabkan pesan-pesan politik
berlangsung secara lisan, karena itu-lah tokoh yang muncul megah-meriah
dihadapan rakyat adalah para singa podium. Karena itu pula-lah, Soekarno bisa
menggeser posisi Hatta yang "dingin" serta "rasional",
bahkan di kampung halamannya sendiri. Lihatlah, bagaimana kedatangan Soekarno
ke Sumatera Barat (kala itu : Sumatera Tengah) disambut dengan gegap gempita. Kedatangannya
membawa pesan pada masyarakat Minangkabau kala itu, sebuah kehadiran
"pidato" luar biasa.
Fachry
Ali pernah menukilkan dalam sebuah artikelnya dengan mengutip laporan
"pandangan mata" Kedaulatan Ra'jat tanggal 7 Juni 1948. "Satu
kilometer menjelang Solok, penyambutan rakyat luar biasa meriahnya. Sesampai di
kota, rombongan Presiden Soekarno tenggelam dalam lautan manusia yang
bergelombang-gelombang itu. Mereka menantikan pidato luar biasa dari seorang
Presiden yang dikenal sebagai ahli pidato". Sambutan spontan luar
biasa, jauh dari Tanah Jawa, yang membuktikan bahwa Soekarno milik "semua
tanah" Indonesia. Hatta yang rasional dan dingin itu tak disambut
segempita Soekarno. Bahkan tokoh proklamator yang oleh Michael Vatikiotis
dianggap sebagai "Ayam Gadang Minangkabau" ini dianggap terlampau
rasional pada masa itu. Seandainyalah Hatta hidup pada masa sekarang yang lebih
mengedepankan rasionalitas dan moralitas, tentu ia akan disambut gegap gempita,
oleh ranah sosial politik Indonesia sekarang. Bukan pidato menggelora. Sayang
Hatta hidup pada masa dulu.
Dalam
konteks di atas, Kartini juga harus kita tempatkan pada ranah sosial
budayanya.
Ia hidup dalam masyarakat tipikal feodal murni. Bukan hidup dalam ranah
haru
biru konflik-peperangan Aceh yang melahirkan Cut Nya’ Dien. Atau ranah
dinamika-dialektik a-la Minangkabau yang memunculkan Rohana
Kudus, Rahmah el Yunusiyyah, atau Rasuna Said.
Rohana Kudus, misalnya, memiliki
kesempatan untuk berkiprah dalam dunia yang dianggap sebagai “dunia
laki-laki”
pada masanya, dunia pendidikan dan pers. Alam budaya Minangkabau pada
masa itu
membolehkan dan memungkinkan Rasuna
Said, saudara perempuan satu ayah Sutan Syarir ini, berbuat demikian.
Rohana Kudus
anak Moehammad
Rasjad Maharadja Soetan yang Jaksa itu, memperjuangkan pendidikan bagi
perempuan Minangkabau di awal abad 19 dengan membangun sekolah
keterampilan
Kerajinan Amai Setia dan Roehana School. Ia berasal dari keluarga
terpandang-terdidik, dan besar kemungkinan memiliki “DNA pergerakan”.
Demikian juga halnya dengan Rahmah
el-Yunusiyyah yang hidup dalam era “keemasan” dunia pendidikan
Minangkabau awal
abad ke 19, dengan epicentrumnya Padang Panjang. Saudara laki-lakinya,
Zainuddin Labay el-Yunussiy, dikenal sebagai pionir-penggagas lembaga
pendidikan modern pada masanya, adalah mentor Rahmah. Dan, amat tidak
mengherankan apabila pendiri
Diniyyah Schooll ini, berkiprah total mengikuti jejak dan “langgam”
mentornya
pula. Sementara Cut Nya’ Dien, tidak akan mungkin tercatat dalam sejarah
sebagai
salah satu pemimpin perang Aceh yang heroik, apabila kita tidak memahami
kondisi historis dan sosial cultural masyarakat Aceh masa itu. Cut Nya’
Dien
ditempa oleh “masanya” untuk harus mengangkat pedang dan senjata melawan
colonial Belanda. Ia tidak dibesarkan dalam lingkungan “emas dunia
pendidikan”
Padang Panjang dan tidak memiliki mentor seumpama Zainuddin Labay
el-Yunusiyy.
Cut Nya’ Dien ditempa oleh mentor tipe lain, suaminya, Teuku Umar Johan
Pahlawan dan aura Hikayat Perang Sabil
yang menggetarkan.
Karena itulah, memahami Kartini, dan
kemudian membandingkannya dengan Rahmah el Yunusiyyah, Rohana Kudus apalagi
dengan Cut Nya’ Dien, sepertinya membandingkan Soekarno dengan Hatta pada
masanya. Kartini harus kita tempatkan dalam nilai-nilai feodal masyarakat Jawa
pada awal abad ke-19 tersebut. Dalam
kungkungan budaya feodal itulah, Kartini justru memiliki kepedulian besar
terhadap kaumnya, walaupun itu hanya terefleksi dalam surat-suratnya dengan
Stella Zeehenlander yang fenomenal itu. Surat-surat yang luar biasa inspiratif.
Meskipun hanya
berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar
dan rumahnya. Bila dibandingkan Cut Nya’ Dien yang berperang ataupun Rahmah
yang mendirikan sekolah, tentu “bobot” kiprah Kartini bias dipertanyakan.
Apalah daya surat menyurat itu ?.
Saya teringat dengan Karl Marx, bahwa “Kebenaran sebuah teori bukan terletak
pada betul atau tidaknya teori tersebut dari aspek ilmu pengetahuan, akan
tetapi terletak pada apakah teori itu menggerakkan orang untuk melakukan
perubahan atau tidak".
Sebagai salah satu
orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda
(dalam bahasa Belanda), surat-surat Kartini telah mampu menjadi “penggerak”
dan menjadi corong kondisi rakyat Hindia
Belanda. Surat-surat Kartini bukanlah
surat-surat biasa sebagaimana halnya dalam sejarah, kita juga mengenal adanya
foto yang juga menjadi corong dan perubah pergerakan sejarah ummat manusia. Perang Vietnam “berakhir”, setelah
dipublishnya foto Eddie
Adams (fotographer Associated Press) yang “memberitakan” Jenderal Nguyen Ngoc Loan, kepala
kepolisian Vietnam Selatan menembak kepala seorang komandan gerilyawan vietkong.
Foto Eddie Adams tersebut hanyalah satu, oleh seorang wartawan yang tidak
memiliki daya tawar tinggi seperti Presiden Amerika Serikat kala itu –
Nixon. Eddie Adams memperoleh
penghargaan jurnalisme tertinggi, Pulitzer, lewat foto yang diambilnya ini.
Namun lebih dari itu, foto ini mengubah opini masyarakat Amerika terhadap
Perang Vietnam, memicu gerakan anti perang dan menginspirasi lahirnya generasi
bunga di Amerika waktu itu. Demikian
halnya dengan surat-surat Kartini tersebut. Kartini langsung berkorespondensi
dengan “penjajahnya”, sesuatu yang tidak
dilakukan wanita-wanita Indonesia tangguh lainnya. Kartini memberitakan nurani
paling dalam dan menjadi miniatur harapan-harapan anak bangsa terjajah. Dalam
konteks ini, posisi historis Kartini harus kita tempatkan.
Sayang
sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini
untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut. Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang
sudah memiliki tiga istri. Kartini
nampaknya tidak bisa “melawan” mainstream
budaya-nya kala itu. Tapi ini bukan berarti Kartini lemah atau manja.
Ketergantungannya dan penghormatannya yang luar biasa pada ayahnya tersebut
sehingga mau dipoligami (contradiction
interminis dengan konsep emansipasi secara “umum”), harus dilihat dalam
konteks budaya dimana Kartini hidup. Sama halnya ketika kita mempertanyakan
legalitas moral Islam Politik
Kekhalifahan Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Turki Utsmany yang selalu
dibangga-banggakan oleh sebagian besar ummat Islam, karena praktek hedonis yang
membudaya dari para Sultannya, seperti memiliki ratusan selir dalam harem-harem
nan sensual. Mereka ini adalah pemimpin Islam politik sedunia lho, pada masa mereka. Kartini,
Rahmah el-Yunusiyyah, Rohana Kudus, Cut Nya’ Dien dan wanita-wanita tangguh
lainnya adalah actor sejarah. Saya lebih
suka melabelkan mereka dengan istilah ini. Aktor sejarah adalah insane-insan
yang memiliki implikasi positif terhadap gerak langkah perubahan masyarakat,
sedangkan pahlawan, lebih bertendensi politis. Karena itu, bagi saya, selalu
mengkritisi kehadiran aktor sejarah, adalah sebuah keharusan. Bukan memitoskan,
karena memitoskan seseorang akan membuat kita menjadi insane yang tidak waras,
kata Bung Hatta. Dengan selalu
mengkritisinya, maka kita bisa mendialogkan nilai-nilai inspiratif seorang
actor sejarah yang hidup pada masa lalu dengan “dunia kita” pada masa sekarang,
dengan tentunya bersikap adil, empati dan kontekstual. “Ashbabun” actor sejarah itu, juga harus kita pertimbangkan
supaya kita tidak terjebak dalam proses pengkerdilan ataupun pemitosan.
Foto 01 : Partitur lagu "Ibu Kita Kartini" (sumber : hadisutrisno.com)
Foto 02 : RA. Kartini bersama suami (sumber : id.wikipedia.org)
JANGAN JADI KARTINI :
Oleh : Arjuna Nusantara (Padang Ekspres/24-4-2012)

Hampir semua media menerbitkan tulisan yang
sifatnya menabikan Raden Ajeng Kartini. Penulis merasa risih. Di sini,
penulis mencoba menganalisa keperempuanan Kartini sebagai perempuan
tangguh dan pahlawan, dengan melihat sejarahnya dan membandingkan dengan
keperempuanan tokoh-tokoh perempuan Minangkabau. Kartini hanya perempuan manja dan
tak paham agama. Kartini hidup dengan segala fasilitas terhebat ketika
itu. Buktinya, menurut sebagian orang, Kartini bisa mengirim surat ke
Belanda. Selain itu, Kartini selalu ditemani pembantu. Namun, dengan
fasilitas sekelas bangsawan itu, membuatnya terkekang. Tak bisa memenuhi
keinginannya untuk melakukan hal yang dianggapnya bermanfaat di luar
rumah, seperti melanjutkan pendidikan. Tidak paham agama. seperti
diceritakan oleh Wikipedia, dalam suratnya kepada para sahabat di
Belanda, Kartini tidak setuju dengan poligami dalam bahasa
mempertanyakan agama yang memperbolehkan berpoligami, sehingga itu
menjadi alasan bagi kaum Adam untuk berpoligami. Ini keluar dari pikiran
seorang Kartini karena, ayahnya menikah dengan perempuan lain untuk
mendapatkan posisi Bupati. Kartini tidak tahu, bahwa dalam
Islam, agamanya sendiri, membolehkan berpoligami jika seorang laki-laki
bisa berlaku adil. Bagi seorang Bupati seperti Adipati Ario Sosroningrat
ayah Kartini, penulis kira mustahil baginya tidak bisa berlaku adil.
Dan Kartini, ketika akan menikah dengan bupati Rembang KRM Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, mulai menyadari dan menerima dijodohkan –yang
sebelumnya menolak budaya jodoh menjodohkan.
Kartini punya buah pikiran tentang
nasibnya dan perempuan Jawa lainnya. Ini dipengaruhi oleh bacaan tentang
surat kabar Eropa yang mengisahkan kehidupan sekuler di sana. Perempuan
bebas tanpa batas. Tak ada kekangan keluarga, tak ada kekangan budaya,
dan tak ada kekangan agama. Ini yang didamba oleh seorang Kartini
sebelum ia sadar ketika menjadi istri ketiga dari Bupati Rembang. Renungkan, seorang keturunan Jawa,
yang hidup di bumi nusantara, yang berbudaya timur menginginkan
kehidupan bebas seperti kaum muda Eropa. Hanya karena, tidak diizinkan
melanjutkan pendidikan ke Belanda. Ia menceritakan keluh kesahnya pada
teman-teman Belandanya. Lalu dibukukan JH Abendanon, Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Belanda ketika itu. Setelah menikah, dengan
dukungan suami, Kartini mendirikan sekolah. Dan kemudian muncul ke
permukaan, RA Kartini seorang tokoh emansipasi perempuan.
Diagung-agungkan. Bahkan seperti dinabikan oleh sebagian kalangan. Tidak masuk akal, karena Kartini
tidak pernah berbuat apa-apa terhadap bangsa ini, selain memperlihatkan
keluh-kesahnya melalui surat yang dibukukan dan mendirikan sebuah
sekolah untuk perempuan. Dan surat itu pun diragukan, ”siapa yang bisa
membuktikan, surat Kartini itu benar adanya? Hadirkan!”. Dan benarkah,
Kartini, anak seorang bupati tidak diizinkan sekolah karena budaya Jawa
yang melarang anak-anak perempuan bersekolah? Setelah ini, penulis akan paparkan
perempuan dari negeri kita Ranah Minang yang punya pemikiran lebih hebat
tentang emansipasi dan jasa terhadap kemajuan pendidikan perempuan
serta kemerdekan yang lebih pantas disebut tokoh ketimbang Kartini.
Sebelum
mengkaji tokoh perempuan Minangkabau, mari kita lihat realita sosial
perempuan masa kini memahami emansipasi, khususnya emansipasi yang
berkiblat ke pemikiran Kartini. Kartini ingin bebas seperti perempuan
Eropa. Eropa yang notabene sekuler. Kalau memang Kartini sempat
berkeinginan seperti itu, mungkin disebabkan oleh kekangan orangtua dan
dorongan jiwa remaja yang penasaran. Tapi, pemikirannya tentang kemajuan
perempuan, itu bagus dan perlu didukung. Penulis ingin mengarahkan
keinginan Kartini untuk bebas itu adalah dalam hal pendidikan. Bukan
bebas sebebas-bebasnya seperti budaya Eropa. Sekarang, kita menyaksikan,
perempuan-perempuan Indonesia memahami hal negatif dari pemikiran
Kartini, bebas. Bebas di seluruh aspek. Buktinya, anak-anak sekarang tak
mau ditunjuk-ajar dan diatur oleh orangtua. Akibatnya, banyak remaja
perempuan Indonesia hilang kegadisannya sebelum menikah. Menurut
penelitian Komnas Perlindungan Anak di 33 provinsi pada bulan
Januari-Juni 2008, menyimpulkan empat hal; pertama, 97 persen remaja SMP
dan SMA pernah menonton film porno; kedua, 93,7 persen remaja SMP dan
SMA pernah ciuman, meraba alat kelamin dan oral seks; ketiga, remaja SMP
tidak perawan; dan terakhir, 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi.
(dikutip: Majalah Cegak, Maret 2012).
Kasus
seks bebas, perselingkuhan, itu hanya dua contoh dampak buruk dari
kesalahpahaman terhadap emansipasi Kartini. Barangkali, ini tak akan
terjadi jika budaya Indonesia dipertahankan sesuai suku masing-masing.
Mungkin ini juga tidak akan terjadi, jika Kartini tidak diagungkan.
Karena pemikiran emansipasinya tidak didukung dengan nilai-nilai Islam.
Bahkan, menurut salah satu isi suratnya, Kartini mengatakan bahwa ia
hanya Islam keturunan. Kami bernama orang-orang Islam karna kami
keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah Islam hanya pada sebutan
belaka, tidak lebih (Kompasiana.com). Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyah
adalah perempuan Minang yang tepat dijadikan contoh dalam emansipasi
wanita, khususnya Bundo Kanduang (sebutan untuk perempuan Minang).
Rohana mempunyai pandangan yang jelas dan positif terhadap emansipasi.
Menurutnya, ”Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan
menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan
dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat
pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani
dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang
kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Begitu juga dengan Rahmah, ia
dikenal sebagai tokoh perempuan yang religius. Terbukti dengan
pendidikan utama di sekolah yang didirikannya adalah pendidikan agama.
Bahkan, pada 1935, dalam Kongres Perempuan di Jakarta, Rahmah
memperjuangkan ide tentang busana perempuan Indonesia hendaknya memakai
selendang (kerudung). Ide ini menggambarkan pandangan hidupnya yang
religius, dan sedapat mungkin berusaha memberikan ciri khas budaya Islam
ke dalam kebudayaan Indonesia.
Rahmah dan Rohana sama-sama
memperjuangkan pendidikan perempuan dengan tidak mengurangi
ajaran-ajaran Islam. Rohana seorang anak pegawai di masa belanda.
Kreatif, itulah kepribadiannya. Sama dengan Kartini, Rohana juga belajar
dari buku bacaan yang diberikan oleh ayahnya. Dari bacan-bacaannya,
Rohana yang peduli dengan pendidikan perempuan, lahir sebagai wanita
Minang yang menguasai berbagai ilmu dan bahasa. Di samping itu, Rohana
juga ahli dalam menyulam dan menjahit. Ia belajar dari istri orang
Belanda atasan ayahnya ketika bertugas di Alahanpanjang, ia kembali ke
kampung halaman dan mendirikan sekolah setelah menikah dengan Abdul
Kudus, dalam usia 24 tahun. Di kampungnya, Rohana mendirikan sekolah
keterampilan khusus perempuan pada 11 Februari 1911 yang diberi nama
Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai
keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis
baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Hasil kerajinan dari sekolah
tersebut, diekspor ke Eropa. Sekolahnya berkembang pesat. Perkembangan
itu membuat petinggi Belanda terkagum-kagum. Jika Kartini rajin menulis
surat kepada teman-temannya, Rohana juga rajin menulis puisi dan
artikel. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita
perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai
perintis pendidikan perempuan pertama di Sumbar. Dari kegemarannya menulis, akhirnya
diterbitkan surat kabar yang diberi nama Sunting Melayu pada 10 Juli
1912. Surat kabar pertama di Indonesia yang dikelola oleh perempuan,
mulai dari pemimpin redaksi, redaktur, dan penulisnya. Kemampuan
menulisnya ia gunakan untuk membakar semangat kaum muda dengan
tulisan-tulisan yang provokatif. Ia bahkan ikut dalam menyelundupkan
senjata.
Sama dengan Kartini dan Rohana,
Rahmah juga mempunyai sekolah yang didirikan atas keprihatinannya
terhadap pendidikan kaum perempuan. Diniyah School Putri yang kini
dikenal dengan Diniyah Puteri. Sekolah yang didirikan 1 November 1923
ini terkenal di Nusantara bahkan mancanegara. Keberhasilan Rahmah dalam
mengelola Perguruan Diniyah Putri ini menarik perhatian Rektor
Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Dr Syaikh Abdurrahman Taj. Maka pada
1955 dia mengadakan kunjungan khusus ke perguruan ini. Di kemudian hari, ia mengambil
sistem pendidikan Diniyah Putri ini untuk mahasiswinya. Pada saat itu,
Universitas Al-Azhar belum memiliki lembaga pendidikan khusus untuk
perempuan. Tidak lama setelah itu berdirilah Kulliyat al-Banat, sebagai
bagian dari Universitas al-Azhar Kairo. Sebagai penghargaan, Rahmah
diundang berkunjung ke universitas itu. Dalam kunjungan balasannya
(1957) yang dilakukan sepulang menunaikan ibadah haji, Rahmah
dianugerahi gelar Syaikhah oleh Universitas al-Azhar Kairo. Dengan gelar
tersebut kedudukan Rahmah setara dengan Syeikh Mahmoud Syalthout,
mantan Rektor al-Azhar, yang pernah berkunjung ke Indonesia tahun 1961. Hamka, yang mengaku sebagai adiknya,
sangat mengaguminya dan mengatakan bahwa gelar tertinggi itu biasanya
dikenakan bagi seorang laki-laki pakar ilmu agama (Syeikh).
Sepengatahuannya selama beberapa ratus tahun ini, hanya Rahmahlah yang
memperoleh anugerah gelar penghargaan tersebut di dunia Islam
(aisyahiadha.wordpress.com)
Perempuan Minang, jangan jadi
Kartini, tapi jadilah Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyah. Dengan tanpa
bermaksud meremehkan Kartini, Rohana dan Rahmah tetap lebih hebat dari
Kartini. Meskipun tanggal lahir Kartini dijadikan hari besar, tetap saja
kebesaran Rohana dan Rahmah tidak terkalahkan oleh Kartini. Siapa
berani membantah?