Kamis, 10 Mei 2012

Historiografi Sejarah Perempuan Indonesia : Sebuah Pengantar

Oleh : Muhammad Ilham 

Buku Sejarah yang tidak mengandung kebohongan, pasti membosankan .. !!
(Anatole France, 1989: 17)
 

Ketika manusia sudah mulai lebih dari satu,  maka dalam konteks ini, perspektif  bias sudah mulai terjadi.[1] Di saat  manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, pertimbangan superior berdasarkan jenis kelamin, mulai ada. Secara tautologik, hal ini sudah menjadi kehendak sejarah, apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender. Sudah menjadi rahasia umum dalam ranah penulisan sejarah (historiografi), khususnya di Indonesia,  kedudukan wanita dipandang secara bias. Ruth Indah Rahayu (2007) menyatakan bahwa sejarah hanya memberikan porsi pada wanita berdarah biru [2]. Pertimbangan takdir begitu signifikan sekali karena penulisan sejarah masih terpusat pada wanita yang ditakdirkan  berdarah biru, wanita yang dalam bahasa sosiologi, mendapatkan kemuliaan karena faktor ascribed bukan karena faktor achievement [3].

Penulisan-penulisan sejarah sejenis ini begitu kentara terlihat ketika sejarah wanita ditulis dalam konteks temporal masa dahulu, khususnya sejak zaman penjajahan. Pada masa itu, wanita dikategorisasikan kepada dua kategori, yaitu wanita yang melakukan kegiatan seperti memusuhi, menentang bahkan melawan penjajahan Belanda, kegiatan yang sebenarnya dianggap sebagai khas laki-laki. Ini dipersonifikasikan melalui tokoh-tokoh wanita utama yang berasal dari elit sosial komunitas dimana perlawanan itu berlangsung. Kategori kedua, kategori wanita yang melakukan kegiatan-kegiatan sosial-edukatif dan dianggap bersifat soft, walau juga masih dipandang sebagai kegiatan laki-laki, yaitu wanita-wanita yang bergerak di dalam dunia pencerahan edukasi seperti dunia pendidikan. Namun terlepas dari perdebatan-perdebatan epistimologis-historiografis sejarah, posisi dan peran wanita pernah dicatat sebagai bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa ini [4].

Terlepas dari dari kalangan mana para wanita pejuang dan wanita pemikir tersebut (sebagaimana yang dikategorisasikan di atas) berasal, kaum wanita pernah menjadi bagian penting dalam proses pembentukan negara-bangsa ini. Sejarah mencatat, cukup banyak wanita-wanita tegar dan vokal yang pernah menjadi aktor sejarah dan berperan aktif dalam ranah politik yang dianggap sebagai ranah laki-laki, terutama pada masa proses pembentukan negara-bangsa Indonesia. Menurut Saskia, hubungan politik antara wanita dan laki-laki menjadi berubah secara mendasar dan signifikan ketika entitas Indonesia sebagai negara-bangsa terbentuk. Hal ini didasari karena tidak ada lagi musuh bersama [5] sehingga laki-laki cenderung mengklaim bidang politik sebagai bidang mereka an sich dan wanita lebih diposisikan untuk berperan di bidang sosial.[6]

Sumber foto : raf.com

[1] Keberadaan Hawa (Eva) di Sorga (Eden) merupakan refleksi dan simbolisasi “bermainnya” kuasa berdasarkan genetically. Hampir seluruh Kitab Suci agama-agama Ibrahim (abrahamic religion) mengatakan bahwa Hawa merupakan “pelengkap” bagi keberadaan spesies sempurna ciptaan Tuhan. Dalam kitab Perjanjian Lama, dikatakan bahwa Hawa didoktrin oleh sang Pencipta untuk membahagiakan Adam. Secara tidak langsung, Hawa “hadir” sebagai aksesoris kebahagian Adam. Dan itu didoktrin Tuhan. Doktrin ini diterjemahkan – dalam bahasa eksistensialisme - sebagai bentuk “teror” eksistensi Hawa yang kemudian menjadi justifikasi-historis-teologis. Inilah bentuk dan simbolisasi teror dan kekuasaan pertama dalam sejarah manusia. Lihat, Muhammad Baqr al-Shadr, Falsafatunna, terjemahan (Bandung: Mizan, 1993), hal. 141-143; lihat juga Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan (Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006), hal. 7-19 Novel Saman karangan Ayu Utami – dalam bagian-bagian tertentu - juga mendeskripsikan  justifikasi-historis-teologis ini (walau terkesan “olok-olok”). Mengenai dialog-teologis  abrahamic religion mengenai  nilai-nilai perrenialis penciptaan Hawa, lihat buku monumental Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, (Bandung: Mizan, 2005), bab II

[2] Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan”, Makalah, Yogyakarta: 2007 (diunggap dalam bentuk edisi PDF tanggal 7 September 2011). Lihat juga Yudi Lathief dan Idy Subandy Ibrahim (et.al), Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), terutama bab I, III dan VI 

[3]  Ascribed mengacu kepada status seseorang dalam struktur sosial yang didapatkannya secara otomatis karena pertimbangan non-prestasi seperti keturunan (genealogic) yang berbeda dengan achievement yang menjadikan prestasi sebagai pertimbangan status seseorang dalam struktur sosial. Biasanya ascribed berkembang dan menjadi tipikal masyarakat tradisional, atau dalam bahasa sosiolog Emille Durkheim, masyarakat jenis mekanik, gemeinschaaft menurut Ferdinand Tonnies. Sedangkan achievement berkembang pada masyarakat organik (Durkheim), gesselschaaft (Ferdinand Tonies), masyarakat dalam tahap positivistic (Auguste Comte).  

[4] Kategorisasi ini dianggap masih “berbau” androcentric yang masih menggunakan pendekatan patriarki dalam penulisan sejarah. Kalimat kegiatan yang dianggap sebagai “khas” kaum laki-laki merupakan refleksi bahwa kegiatan perlawan fisik ataupun kegiatan kontributif-edukatif pada masa kolonialisme, merupakan monopoli kaum laki-laki. Walaupun sejarah mencatat, ada beberapa perempuan – tentunya yang berasal dari elit sosial – melakukan dua kategori kegiatan ini, masih tetap dianggap sebagai sesuatu hal yang menarik, keluar dari mainstream pakem sosial masa itu. Sehingga tidaklah mengherankan beberapa studi/buku yang menganggap bahwa perlawanan kaum perempuan baik dalam ranah perlawanan fisik mapun kontribusi yang bersifat edukatif, merupakan sesuatu yang “asing” sekaligus menarik. Asing dan menarik dilihat dari perspektif androcentric. Ini dibahas dengan baik oleh Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan”, Makalah, Yogyakarta: 2007 (diunggap dalam bentuk edisi PDF tanggal 7 September 2011); Saskia Eleonora Wieringa, Kuntilanak Wangi : Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah Tahun 1950, (Jakarta: Kalyanamitra, 1999); Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta: Hasta Mitra, 2000); Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya, 1999) dan Nur Imam Subono, Sejarah, Laki-Laki, Kekerasan dan Gender (Jakarta: Kalyanamitra, 2004). Makalah dan buku-buku yang penulis sebuat di atas merupakan buku yang integratif.   

[5] Dalam kajian-kajian sosiologi politik dikenal konsep integrasi sosial. Biasanya integrasi sosial akan tercipta dengan sendirinya karena beberapa faktor, diantaranya faktor historis dan kesamaan nasib. Kesamaan nasib bisa dipahami sebagai kesamaan tujuan, kesamaan latar dan kesamaan perlakuan. Kesamaan nasib ini biasanya akan mendikotomikan ingroup outgroup : “kita/kami vs mereka”. Integrasi akan tercipta apabila tujuan dan dikotomi ini hadir, sehingga dalam kajian politik ada dikenal diktum : “bila ingin bersatu, ciptakan musuh bersama”. Dalam konteks sejarah, perspektif ini bisa dibaca dalam Smith Al Hadar, Arab dan Arabisme : Sejarah Etnisitas dan  Entitas Negara Bangsa (Bandung: Mizan, 1997), hal. vi  

[6] Saskia Eleonora Wieringa, ibid., hal. 222-223

"Menggugat" Kartini

Oleh : Muhammad Ilham   

Artikel ini dipubish di padangmedia.com yang merupakan tanggapan dari artikel  Arjuna Nusantara "Jangan Jadi Kartini" di rubrik Opini Harian Padang Ekspres 23/4/2012       

“Jangan Tiru Kartini”, kata Arjuna Nusantara dalam artikelnya di Padang Ekspres 23 April 2012 yang lalu. Memanfaatkan momentum Hari Kartini 21 April 2012, pimpinan Suara Kampus IAIN Imam Bonjol Padang ini, ingin “menggugat”  keabsahan figur Kartini sebagai icon emansipasi wanita Indonesia. Bahkan sedikit profokatif – “Kartini Anak Manja lagi tak tahu secara baik tentang agama (Islam)”, lanjut Arjuna. Arjuna tidak salah. Ia sedang mempraktekkan apa yang dikemukakan oleh filosof Karl R. Popper, “cari angsa putih dalam kerumunan angsa yang semuanya hitam, agar ilmu makin berkembang”.  “Jangan Tiru Kartini” adalah bagian dari mempertanyakan kehadiran sosok historis  Kartini ditengah-tengah konsensus anak bangsa yang mendudukkan Kartini sebagai icon emansipasi wanita Indonesia.  Bagi saya, mempertanyakan justru membuat sosok historis Kartini menjadi lebih “hidup”. Ketika  “si putri sejati”  ini dipualam-kan, di-prasasti-kan bahkan dimitoskan, ia akan menjadi kerdil. Kita tidak lagi mengetahui proses, langgam dan latar perjuangannya yang menjadi nilai-nilai inspiring bagi generasi berikutnya. Dalam konteks ini, seharusnya artikel “Jangan Tiru Kartini” kita tempatkan.  Namun mengkerdilkan kehadiran  seorang figur historis, tanpa memahami proses, langgam dan latar dimana figur itu hidup dan berproses, rasanya juga tidak adil. Melihat Kartini dari “kacamata” Rahmah el-Yunusiyyah, Rohana Kudus apalagi Cut Nya’ Dien yang maskulin itu, (sekali lagi) rasanya juga tidak adil. Dalam konteks ini pula, kita juga ingin mengkritisi pandangan-pandangan yang selama ini menggugat keabsahan posisi historis Kartini.      

Catatan sejarah memang memperkatakan Kartini demikian adanya. Ia tampil dalam panggung sejarah, tidak seperti  Rohana Kudus, Rahmah el-Yunusiyyah, Rasuna Said ataupun semaskulin Cut Nya’ Dien.   Bak kata salah seorang sejarawan,  “wanita yang emansipatoris itu, bukan wanita lembut diam di rumah, wanita santun, ramah penurut, tapi wanita yang tegas lagi kritikal”. Kalau defenisi ini yang ingin kita pegang, nampaknya Kartini tak masuk kategori pionir wanita emansipatoris. Siti Manggopoh, Cut Nya’ Dien atau Rasuna Said, adalah contoh yang paling pas.  Tapi seperti itukah kita melihatnya ? Untuk itu, saya mulai dengan contoh lain, tentang Soekarno - Hatta.  Kalau Soekarno hidup pada era sekarang nan kritis ini, tentu Soekarno akan dicela-sinis bahwa masyarakat tidak akan "kenyang" dengan pidato menggelora. Tapi karena Soekarno hidup pada "zamannya", masyarakat Indonesia menjadi terkesima pada seorang orator ulung. Konon, sejarawan, tepatnya biografer, spesialis Soekarno - Cyndi Adams - begitu terkesima dengan "langgam" kata indah nan menggelegar Putra Ida Ayu Rai ini. Soekarno memang ditakdirkan punya kemampuan olah verbal luar biasa. Ia ekspressionis seperti Hitler yang "bergetar" kala pidato di depan Gestapo. Soekarno diterima dengan hangat melalui pidatonya dan hingga sekarang masih inspiratif itu, karena memang ia hidup pada masa teknologi audio-visual (lagi) absen. Ini menyebabkan pesan-pesan politik berlangsung secara lisan, karena itu-lah tokoh yang muncul megah-meriah dihadapan rakyat adalah para singa podium. Karena itu pula-lah, Soekarno bisa menggeser posisi Hatta yang "dingin" serta "rasional", bahkan di kampung halamannya sendiri. Lihatlah, bagaimana kedatangan Soekarno ke Sumatera Barat (kala itu : Sumatera Tengah) disambut dengan gegap gempita. Kedatangannya membawa pesan pada masyarakat Minangkabau kala itu, sebuah kehadiran "pidato" luar biasa.   

Fachry Ali pernah menukilkan dalam sebuah artikelnya dengan mengutip laporan "pandangan mata" Kedaulatan Ra'jat tanggal 7 Juni 1948. "Satu kilometer menjelang Solok, penyambutan rakyat luar biasa meriahnya. Sesampai di kota, rombongan Presiden Soekarno tenggelam dalam lautan manusia yang bergelombang-gelombang itu. Mereka menantikan pidato luar biasa dari seorang Presiden yang dikenal sebagai ahli pidato". Sambutan spontan luar biasa, jauh dari Tanah Jawa, yang membuktikan bahwa Soekarno milik "semua tanah" Indonesia. Hatta yang rasional dan dingin itu tak disambut segempita Soekarno. Bahkan tokoh proklamator yang oleh Michael Vatikiotis dianggap sebagai "Ayam Gadang Minangkabau" ini dianggap terlampau rasional pada masa itu. Seandainyalah Hatta hidup pada masa sekarang yang lebih mengedepankan rasionalitas dan moralitas, tentu ia akan disambut gegap gempita, oleh ranah sosial politik Indonesia sekarang. Bukan pidato menggelora. Sayang Hatta hidup pada masa dulu.   

Dalam konteks di atas, Kartini juga harus kita tempatkan pada ranah sosial budayanya. Ia hidup dalam masyarakat tipikal feodal murni. Bukan hidup dalam ranah haru biru konflik-peperangan Aceh yang melahirkan Cut Nya’ Dien.  Atau ranah dinamika-dialektik  a-la Minangkabau yang memunculkan Rohana Kudus, Rahmah el Yunusiyyah, atau Rasuna Said.  Rohana Kudus, misalnya,  memiliki kesempatan untuk berkiprah dalam dunia yang dianggap sebagai “dunia laki-laki” pada masanya, dunia pendidikan dan pers. Alam budaya Minangkabau pada masa itu membolehkan dan memungkinkan  Rasuna Said, saudara perempuan satu ayah Sutan Syarir ini,  berbuat demikian.  Rohana Kudus  anak Moehammad Rasjad Maharadja Soetan yang Jaksa itu, memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Minangkabau di awal abad 19 dengan membangun sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia dan Roehana School. Ia berasal dari keluarga terpandang-terdidik, dan besar kemungkinan memiliki “DNA pergerakan”.  Demikian juga halnya dengan Rahmah el-Yunusiyyah yang hidup dalam era “keemasan” dunia pendidikan Minangkabau awal abad ke 19, dengan epicentrumnya Padang Panjang. Saudara laki-lakinya, Zainuddin Labay el-Yunussiy, dikenal sebagai pionir-penggagas lembaga pendidikan modern pada masanya, adalah mentor Rahmah.  Dan, amat tidak mengherankan apabila pendiri Diniyyah Schooll ini, berkiprah total mengikuti jejak dan “langgam” mentornya pula. Sementara Cut Nya’ Dien, tidak akan mungkin tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin perang Aceh yang heroik, apabila kita tidak memahami kondisi historis dan sosial cultural masyarakat Aceh masa itu. Cut Nya’ Dien ditempa oleh “masanya” untuk harus mengangkat pedang dan senjata melawan colonial Belanda. Ia tidak dibesarkan dalam lingkungan “emas dunia pendidikan” Padang Panjang dan tidak memiliki mentor seumpama Zainuddin Labay el-Yunusiyy. Cut Nya’ Dien ditempa oleh mentor tipe lain, suaminya, Teuku Umar Johan Pahlawan dan aura Hikayat Perang Sabil yang menggetarkan.   

Karena itulah, memahami Kartini, dan kemudian membandingkannya dengan Rahmah el Yunusiyyah, Rohana Kudus apalagi dengan Cut Nya’ Dien, sepertinya membandingkan Soekarno dengan Hatta pada masanya. Kartini harus kita tempatkan dalam nilai-nilai feodal masyarakat Jawa pada awal abad ke-19 tersebut.  Dalam kungkungan budaya feodal itulah, Kartini justru memiliki kepedulian besar terhadap kaumnya, walaupun itu hanya terefleksi dalam surat-suratnya dengan Stella Zeehenlander yang fenomenal itu. Surat-surat yang luar biasa inspiratif. Meskipun hanya berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar dan rumahnya. Bila dibandingkan Cut Nya’ Dien yang berperang ataupun Rahmah yang mendirikan sekolah, tentu “bobot” kiprah Kartini bias dipertanyakan. Apalah daya surat menyurat itu ?.   

Saya teringat dengan Karl Marx, bahwa  “Kebenaran sebuah teori bukan terletak pada betul atau tidaknya teori tersebut dari aspek ilmu pengetahuan, akan tetapi terletak pada apakah teori itu menggerakkan orang untuk melakukan perubahan atau tidak". Sebagai salah satu orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda (dalam bahasa Belanda), surat-surat Kartini telah mampu menjadi “penggerak” dan  menjadi corong kondisi rakyat Hindia Belanda.  Surat-surat Kartini bukanlah surat-surat biasa sebagaimana halnya dalam sejarah, kita juga mengenal adanya foto yang juga menjadi corong dan perubah pergerakan sejarah ummat manusia.  Perang Vietnam “berakhir”, setelah dipublishnya foto Eddie Adams (fotographer Associated Press)  yang “memberitakan” Jenderal Nguyen Ngoc Loan, kepala kepolisian Vietnam Selatan menembak kepala seorang komandan gerilyawan vietkong. Foto Eddie Adams tersebut hanyalah satu, oleh seorang wartawan yang tidak memiliki daya tawar tinggi seperti Presiden Amerika Serikat kala itu – Nixon.  Eddie Adams memperoleh penghargaan jurnalisme tertinggi, Pulitzer, lewat foto yang diambilnya ini. Namun lebih dari itu, foto ini mengubah opini masyarakat Amerika terhadap Perang Vietnam, memicu gerakan anti perang dan menginspirasi lahirnya generasi bunga di Amerika waktu itu. Demikian halnya dengan surat-surat Kartini tersebut. Kartini langsung berkorespondensi dengan “penjajahnya”,  sesuatu yang tidak dilakukan wanita-wanita Indonesia tangguh lainnya. Kartini memberitakan nurani paling dalam dan menjadi miniatur harapan-harapan anak bangsa terjajah. Dalam konteks ini, posisi historis Kartini harus kita tempatkan.      

Sayang sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut.  Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri.  Kartini nampaknya tidak bisa “melawan” mainstream budaya-nya kala itu. Tapi ini bukan berarti Kartini lemah atau manja. Ketergantungannya dan penghormatannya yang luar biasa pada ayahnya tersebut sehingga mau dipoligami (contradiction interminis dengan konsep emansipasi secara “umum”), harus dilihat dalam konteks budaya dimana Kartini hidup. Sama halnya ketika kita mempertanyakan legalitas moral  Islam Politik Kekhalifahan Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Turki Utsmany yang selalu dibangga-banggakan oleh sebagian besar ummat Islam, karena praktek hedonis yang membudaya dari para Sultannya, seperti memiliki ratusan selir dalam harem-harem nan sensual. Mereka ini adalah pemimpin Islam politik sedunia lho, pada masa mereka.  Kartini, Rahmah el-Yunusiyyah, Rohana Kudus, Cut Nya’ Dien dan wanita-wanita tangguh lainnya adalah actor sejarah.  Saya lebih suka melabelkan mereka dengan istilah ini. Aktor sejarah adalah insane-insan yang memiliki implikasi positif terhadap gerak langkah perubahan masyarakat, sedangkan pahlawan, lebih bertendensi politis. Karena itu, bagi saya, selalu mengkritisi kehadiran aktor sejarah, adalah sebuah keharusan. Bukan memitoskan, karena memitoskan seseorang akan membuat kita menjadi insane yang tidak waras, kata Bung Hatta.  Dengan selalu mengkritisinya, maka kita bisa mendialogkan nilai-nilai inspiratif seorang actor sejarah yang hidup pada masa lalu dengan “dunia kita” pada masa sekarang, dengan tentunya bersikap adil, empati dan kontekstual. “Ashbabun” actor sejarah itu, juga harus kita pertimbangkan supaya kita tidak terjebak dalam proses pengkerdilan ataupun pemitosan.





Foto 01 : Partitur lagu "Ibu Kita Kartini" (sumber : hadisutrisno.com)
Foto 02 : RA. Kartini bersama suami (sumber : id.wikipedia.org)


JANGAN JADI KARTINI :  
Oleh : Arjuna Nusantara (Padang Ekspres/24-4-2012)

Hampir semua media menerbitkan tulisan yang sifatnya menabikan Raden Ajeng Kartini. Penulis merasa risih. Di sini, penulis mencoba menganalisa keperempuanan Kartini sebagai perempuan tangguh dan pahlawan, dengan melihat sejarahnya dan membandingkan dengan keperempuanan tokoh-tokoh perempuan Minangkabau. Kartini hanya perempuan manja dan tak paham agama. Kartini hidup dengan segala fasilitas terhebat ketika itu. Buktinya, menurut sebagian orang, Kartini bisa mengirim surat ke Belanda. Selain itu, Kartini selalu ditemani pembantu. Namun, dengan fasilitas sekelas bangsawan itu, membuatnya terkekang. Tak bisa memenuhi keinginannya untuk melakukan hal yang dianggapnya bermanfaat di luar rumah, seperti melanjutkan pendidikan. Tidak paham agama. seperti diceritakan oleh Wikipedia, dalam suratnya kepada para sahabat di Belanda, Kartini tidak setuju dengan poligami dalam bahasa mempertanyakan agama yang memperbolehkan berpoligami, sehingga itu menjadi alasan bagi kaum Adam untuk berpoligami. Ini keluar dari pikiran seorang Kartini karena, ayahnya menikah dengan perempuan lain untuk mendapatkan posisi Bupati. Kartini tidak tahu, bahwa dalam Islam, agamanya sendiri, membolehkan berpoligami jika seorang laki-laki bisa berlaku adil. Bagi seorang Bupati seperti Adipati Ario Sosroningrat ayah Kartini, penulis kira mustahil baginya tidak bisa berlaku adil. Dan Kartini, ketika akan menikah dengan bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, mulai menyadari dan menerima dijodohkan –yang sebelumnya menolak budaya jodoh menjodohkan. 

Kartini punya buah pikiran tentang nasibnya dan perempuan Jawa lainnya. Ini dipengaruhi oleh bacaan tentang surat kabar Eropa yang mengisahkan kehidupan sekuler di sana. Perempuan bebas tanpa batas. Tak ada kekangan keluarga, tak ada kekangan budaya, dan tak ada kekangan agama. Ini yang didamba oleh seorang Kartini sebelum ia sadar ketika menjadi istri ketiga dari Bupati Rembang. Renungkan, seorang keturunan Jawa, yang hidup di bumi nusantara, yang berbudaya timur menginginkan kehidupan bebas seperti kaum muda Eropa. Hanya karena, tidak diizinkan melanjutkan pendidikan ke Belanda. Ia menceritakan keluh kesahnya pada teman-teman Belandanya. Lalu dibukukan JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Belanda ketika itu. Setelah menikah, dengan dukungan suami, Kartini mendirikan sekolah. Dan kemudian muncul ke permukaan, RA Kartini seorang tokoh emansipasi perempuan. Diagung-agungkan. Bahkan seperti dinabikan oleh sebagian kalangan. Tidak masuk akal, karena Kartini tidak pernah berbuat apa-apa terhadap bangsa ini, selain memperlihatkan keluh-kesahnya melalui surat yang dibukukan dan mendirikan sebuah sekolah untuk perempuan. Dan surat itu pun diragukan, ”siapa yang bisa membuktikan, surat Kartini itu benar adanya? Hadirkan!”. Dan benarkah, Kartini, anak seorang bupati tidak diizinkan sekolah karena budaya Jawa yang melarang anak-anak perempuan bersekolah? Setelah ini, penulis akan paparkan perempuan dari negeri kita Ranah Minang yang punya pemikiran lebih hebat tentang emansipasi dan jasa terhadap kemajuan pendidikan perempuan serta kemerdekan yang lebih pantas disebut tokoh ketimbang Kartini.  

Sebelum mengkaji tokoh perempuan Minangkabau, mari kita lihat realita sosial perempuan masa kini memahami emansipasi, khususnya emansipasi yang berkiblat ke pemikiran Kartini. Kartini ingin bebas seperti perempuan Eropa. Eropa yang notabene sekuler. Kalau memang Kartini sempat berkeinginan seperti itu, mungkin disebabkan oleh kekangan orangtua dan dorongan jiwa remaja yang penasaran. Tapi, pemikirannya tentang kemajuan perempuan, itu bagus dan perlu didukung. Penulis ingin mengarahkan keinginan Kartini untuk bebas itu adalah dalam hal pendidikan. Bukan bebas sebebas-bebasnya seperti budaya Eropa. Sekarang, kita menyaksikan, perempuan-perempuan Indonesia memahami hal negatif dari pemikiran Kartini, bebas. Bebas di seluruh aspek. Buktinya, anak-anak sekarang tak mau ditunjuk-ajar dan diatur oleh orangtua. Akibatnya, banyak remaja perempuan Indonesia hilang kegadisannya sebelum menikah. Menurut penelitian Komnas Perlindungan Anak di 33 provinsi pada bulan Januari-Juni 2008, menyimpulkan empat hal; pertama, 97 persen remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno; kedua, 93,7 persen remaja SMP dan SMA pernah ciuman, meraba alat kelamin dan oral seks; ketiga, remaja SMP tidak perawan; dan terakhir, 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi. (dikutip: Majalah Cegak, Maret 2012).

Kasus seks bebas, perselingkuhan, itu hanya dua contoh dampak buruk dari kesalahpahaman terhadap emansipasi Kartini. Barangkali, ini tak akan terjadi jika budaya Indonesia dipertahankan sesuai suku masing-masing. Mungkin ini juga tidak akan terjadi, jika Kartini tidak diagungkan. Karena pemikiran emansipasinya tidak didukung dengan nilai-nilai Islam. Bahkan, menurut salah satu isi suratnya, Kartini mengatakan bahwa ia hanya Islam keturunan. Kami bernama orang-orang Islam karna kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih (Kompasiana.com). Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyah adalah perempuan Minang yang tepat dijadikan contoh dalam emansipasi wanita, khususnya Bundo Kanduang (sebutan untuk perempuan Minang). Rohana mempunyai pandangan yang jelas dan positif terhadap emansipasi. Menurutnya, ”Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Begitu juga dengan Rahmah, ia dikenal sebagai tokoh perempuan yang religius. Terbukti dengan pendidikan utama di sekolah yang didirikannya adalah pendidikan agama. Bahkan, pada 1935, dalam Kongres Perempuan di Jakarta, Rahmah memperjuangkan ide tentang busana perempuan Indonesia hendaknya memakai selendang (kerudung). Ide ini menggambarkan pandangan hidupnya yang religius, dan sedapat mungkin berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.

Rahmah dan Rohana sama-sama memperjuangkan pendidikan perempuan dengan tidak mengurangi ajaran-ajaran Islam. Rohana seorang anak pegawai di masa belanda. Kreatif, itulah kepribadiannya. Sama dengan Kartini, Rohana juga belajar dari buku bacaan yang diberikan oleh ayahnya. Dari bacan-bacaannya, Rohana yang peduli dengan pendidikan perempuan, lahir sebagai wanita Minang yang menguasai berbagai ilmu dan bahasa. Di samping itu, Rohana juga ahli dalam menyulam dan menjahit. Ia belajar dari istri orang Belanda atasan ayahnya ketika bertugas di Alahanpanjang, ia kembali ke kampung halaman dan mendirikan sekolah setelah menikah dengan Abdul Kudus, dalam usia 24 tahun. Di kampungnya, Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.   Hasil kerajinan dari sekolah tersebut, diekspor ke Eropa. Sekolahnya berkembang pesat. Perkembangan itu membuat petinggi Belanda terkagum-kagum. Jika Kartini rajin menulis surat kepada teman-temannya, Rohana juga rajin menulis puisi dan artikel. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumbar. Dari kegemarannya menulis, akhirnya diterbitkan surat kabar yang diberi nama Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Surat kabar pertama di Indonesia yang dikelola oleh perempuan, mulai dari pemimpin redaksi, redaktur, dan penulisnya. Kemampuan menulisnya ia gunakan untuk membakar semangat kaum muda dengan tulisan-tulisan yang provokatif. Ia bahkan ikut dalam menyelundupkan senjata.

Sama dengan Kartini dan Rohana, Rahmah juga mempunyai sekolah yang didirikan atas keprihatinannya terhadap pendidikan kaum perempuan. Diniyah School Putri yang kini dikenal dengan Diniyah Puteri. Sekolah yang didirikan 1 November 1923 ini terkenal di Nusantara bahkan mancanegara. Keberhasilan Rahmah dalam mengelola Perguruan Diniyah Putri ini menarik perhatian Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Dr Syaikh Abdurrahman Taj. Maka pada 1955 dia mengadakan kunjungan khusus ke perguruan ini. Di kemudian hari, ia mengambil sistem pendidikan Diniyah Putri ini untuk mahasiswinya. Pada saat itu, Universitas Al-Azhar belum memiliki lembaga pendidikan khusus untuk perempuan. Tidak lama setelah itu berdirilah Kulliyat al-Banat, sebagai bagian dari Universitas al-Azhar Kairo. Sebagai penghargaan, Rahmah diundang berkunjung ke universitas itu. Dalam kunjungan balasannya (1957) yang dilakukan sepulang menunaikan ibadah haji, Rahmah dianugerahi gelar Syaikhah oleh Universitas al-Azhar Kairo. Dengan gelar tersebut kedudukan Rahmah setara dengan Syeikh Mahmoud Syalthout, mantan Rektor al-Azhar, yang pernah berkunjung ke Indonesia tahun 1961. Hamka, yang mengaku sebagai adiknya, sangat mengaguminya dan mengatakan bahwa gelar tertinggi itu biasanya dikenakan bagi seorang laki-laki pakar ilmu agama (Syeikh). Sepengatahuannya selama beberapa ratus tahun ini, hanya Rahmahlah yang memperoleh anugerah gelar penghargaan tersebut di dunia Islam (aisyahiadha.wordpress.com)

Perempuan Minang, jangan jadi Kartini, tapi jadilah Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyah. Dengan tanpa bermaksud meremehkan Kartini, Rohana dan Rahmah tetap lebih hebat dari Kartini. Meskipun tanggal lahir Kartini dijadikan hari besar, tetap saja kebesaran Rohana dan Rahmah tidak terkalahkan oleh Kartini. Siapa berani membantah?

Arab Saudi, Israel dan Iran

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Israel semakin kelimpungan menghadapi pergerakan Republik Islam Iran. Dalam laporan terbaru Universitas Tel Aviv mengatakan, Arab Saudi adalah benteng terakhir Israel untuk menghadapi Iran. Tel Aviv menggambarkan Arab Saudi sebagai garis pertahanan dan kesempatan terakhir untuk melindungi kepentingan politik Israel di dunia Arab. Laporan tersebut juga mengungkapkan, sebagian besar sekutu Israel di wilayah Arab telah runtuh dan tak lagi dapat memainkan peran penting. Dari hasil laporan, Saudi merupakan satu-satunya negara yang masih berdiri melawan Iran. Dengan demikian, Arab merupakan baris terakhir Tel Aviv dalam pertahanannya menghadapi Teheran. Laporan tersebut juga mencatat, Keluarga Al Saud memiliki peran sangat penting bagi Israel. Sebab menurut laporan tersebut, mereka mendorong Saudi aktif mengurangi pengaruh Iran terhadap negara-negara Arab seperti Yaman, Mesir, Irak, dan Libanon.

Sebelumnya pada Maret lalu, seorang ulama senior Mesir, Syekh Mohammad Alaedin Madhi menuduh Saudi dan Qatar merupakan antek-antek Israel. Sebab kedua negara tersebut menurutnya, terlalu ikut campur dalam urusan internal negara-negara Muslim. Ia bahkan menyebut dua negara tersebut sebagai 'hamba Israel'. Tak hanya itu, Syekh Madhi bahkan menuding kedua negara itu telah melancarkan rencana Israel dan Amerika Serikat di Suriah. Pernyataan Syekh Madhi diperkuat dengan email bocoran oleh Wikileaks yang diperoleh surat kabar Al Akhbar di Beirut. Dari bocoran email itu terungkap, Saudi telah meminta Agen Intelijen Israel Mossad, untuk membantu kerajaan Arab. Dari laporan Al Akhbar menunjukan, kebanyakan hasil pengumpulan intelijen tersebut merupakan rekomendasi untuk Iran. 

Sumber : republika.co.id 











  




Sumber Foto : mehr.com

Rabu, 09 Mei 2012

Gerwani di Minangkabau


Oleh : Muhammad Ilham

Sebagai sebuah organisasi massa dan organisasi kader, Gerwani terus mengembangkan organisasi mereka melalui proses pengkaderan di berbagai daerah. Ini sesuai dengan apa yang telah menjadi garis perjuangan Gerwani, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Gerwani ingin memimpin gerakan yang lebih luas dan menjadi gerakan massa, khususnya bagi kaum wanita.  Dengan  pergerakan  yang luas Gerwani serta berkarakter gerakan massa, pada dasarnya Gerwani berusaha meninggikan bargaining-nya dalam pentas politik nasional pada masa itu. Karena itu,  Gerwani terus bergerak melakukan pengkaderan dan rekruitmen anggota-anggota ke berbagai daerah, tak terkecuali di Minangkabau.  Menurut Reni Nuryanti, walau banyak ditentang karena dicurigai sebagai onderbow  PKI, Gerwani tetap bisa berkembang di Minangkabau, walau tidak sepesat seperti di daerah lain, di Sumatera Utara dan Pulau Jawa, misalnya. Pada masa-masa awalnya, Lambau Bukittinggi dijadikan sebagai pusat organisasi, sedangkan pemimpin Gerwani di Sumatera Barat bernama Nur Suhud dan Dahliar.[1]   

Dahliar berasal dari Payakumbuh sedangkan Nur Suhud berasal dari Padang Panjang, daerah yang sebenarnya telah memiliki jejak historis dengan \ideologi merah.  Kalau di pulau Jawa, Semarang dikenal sebagai “kota merah” pada masanya, maka di Minangkabau, Padang  Panjang juga demikian. Cukup banyak penelitian yang menyatakan bahwa Padang Panjang telah familiar dengan ideologi merah  sejak tahun 1920-an. Ideologi merah tidak bisa dilepaskan dari figur Haji Datuk Batuah yang membawa dan menyebarkan paham komunis didaerah tersebut.  Pada tahun 1923,  ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat, dimana Haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya. Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani yang biasa menyebut ideologi ini dengan istilah ilmu kominih. Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis. [2] 

Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Dalam waktu yang hampir bersamaan Datuk Batuah menerbitkan harian  Pemandangan Islam dan dan Nazar Zaenuddin menerbitkan  Djago-Djago. Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis. Media massa yang dianggap sejarawan Ruth Mc. Vey sebagai 2 media massa terbaik diantara 3 media massa milik bumi putera yang ada di Indonesia pada era 1920-an. Perubahan Gerwis yang memiliki kecenderungan  membatasi  persyaratan-persyaratan untuk masuk menjadi anggota organisasi menjadi Gerwani yang cenderung longgar dan  egaliter, dimanfaatkan Gerwani untuk merekrut massa-nya secara massif.  Bila Gerwani menetapkan usia minimal (bagi yang belum menikah atau bersuami) adalah wanita yang berusia 16 tahun, maka yang terjadi di Sumatera Barat (diasumsikan juga terjadi di daerah lain), banyak wanita lajang (gadis) yang berusia 14-15 tahun yang direkrut menjadi anggota organisasi wanita ini. 

Proses perekrutan yang gencar dan (bahkan) dengan persyaratan yang lebih longgar dari ketentuan dasar Gerwani secara organisatoris, membuat Gerwani bisa berkembang di Minangkabau. Benturan dengan organisasi-organisasi perempuan lainnya tidak terelakkan, khususnya dengan Aisyiyah.[3]  Ketegangan-ketegangan yang terjadi antara Gerwani dengan, khususnya Aisyiyah yang telah menyejarah di Minangkabau sebagai organisasi wanita – dapat diredakan dengan tampilnya Aminah, tokoh Gerwani dari Padang Panjang. Ketika itu Gerwani masih bernama Gerwis. Ketika itu juga Aminah masih tercatat sebagai anggota Aisyiyah, sehingga ia memiliki pengetahuan tentang ke dua organisasi wanita ini secara baik. Menurut Aminah, tidak ada pertentangan antara Gerwani dengan Islam.[4] Pada akhir tahun 1956, kala bergemanya isu tuntutan daerah yang menjadi salah satu penyebab munculnya PRRI, pilihan politik Gerwani untuk menentang Dewan Banteng tidak lepas dari pengaruh PKI yang telah mulai berakar dalam tubuh Gerwani.  Setelah terbentuknya Dewan Banteng, PKI adalah partai politik yang mendapat tekanan paling keras karena secara terang-terangan menentang Dewan Banteng. 

Gerwani menjadi bagian dalam bersuara lantang mengkritisi garis politik Dewan Banteng di Sumatera Barat. Apa yang dilakukan oleh Gerwani yang mendukung suara kritis PKI terhadap PRRI di Sumatera Barat, mendapat dukungan penuh dari Gerwani pusat. Dukungan inilah yang kemudian mempengaruhi gerak langkah dan garis perjuangan Gerwani di Sumatera Barat pada tahun-tahun berikutnya.[5]  Konsistensi dukungan Gerwani pada PKI yang nyata-nyata berseberangan secara politik dengan Dewan Banteng, mendapat pujian dari Harian Rakjat dan Api Kartini. Harian Rakjat, majalah resmi PKI menuliskan  : 

 “Kita menyampaikan salut dan rasa solidaritet yang dalam kepada saudari : Manismar, Nadiar, Halimah dan Sanibar dari Sumatera Tengah”.[6]  

Diktum “ingin bersatu, ciptakan musuh bersama” dalam tradisi ilmu politik, dialami oleh Gerwani Sumatera Barat. Kehadiran Dewan Banteng yang selalu dikritik bahkan  dilawan  oleh Gerwani Sumatera Barat, membuat organisasi ini menjadi semakin dekat dengan Gerwani pusat (Jakarta). Daya tawar Gerwani pusat yang semakin tinggi karena kedekatannya dengan PKI,  menciptakan hubungan simbiosis mutualis diantara kedua organisasi sosial dan politik tersebut, juga berpengaruh pada Gerwani di Sumatera Barat. Apalagi, PKI kemudian dijadikan sebagai  anak emas Soekarno. Dalam proses penumpasan PRRI pada era awal 1960-an, Gerwani di Sumatera Barat telah mampu mempengaruhi jalan dan arah dari konflik itu sendiri. Ini terlihat ketika Gerwani turut berperan aktif dalam operasi PRRI. APRI tidak akan mampu bergerak sendirian tanpa bantuan dari Gerwani dan PKI yang ada di Sumatera Barat. Ini terutama terkait dengan medan-ekologi Sumatera Barat yang rumit. Dengan bantuan Gerwani plus PKI, tentunya APRI memiliki kemampuan maksimal-optimal dalam melakukan strategi mobilisasi untuk mendapatkan kekuatan.[7]

Menguatnya opini menentang  Dewan Banteng – yang secara politis didukung oleh Masyumi dan merupakan  musuh politik  PKI –  yang disuarakan oleh PKI dimanfaatkan oleh Gerwani di Sumatera Barat untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi. Sebagaimana halnya Gerwani di pusat (Jakarta), Gerwani di Sumatera Barat pada kurun waktu ini, tenggelam ke dalam kegiatan-kegiatan politik praktis. Dalam setiap kegiatan demonstrasi, PKI dan organ-organ organisasinya seperti SOBSI, BTI dan Pemuda Rakyat selalu hadir memberikan dukungan. Dukungan besar dari PKI, membuat Gerwani di Sumatera Barat tampil secara radikal dalam membantu operasi-operasi PRRI.[8] Namun sejarah tak selamanya memihak satu kelompok orang.  Bandul sejarah selalu berputar, dan biasanya,  hukum sejarah akan selalu mempraktekkan : “bila kamu bunuh musuhmu dengan belati, kemungkinan besar lawanmu akan menghabisimu dengan pedang. Lawanmu nanti akan meniru cara kamu memperlakukan mereka, bahkan mungkin lebih”.[9]   Hubungan simbiosis mutualis antara PKI dan Gerwani (dalam hal ini : plus APRI) dalam menumpas musuh mereka  bersama yaitu PRRI dalam suatu kurun waktu tertentu, akhirnya, berbalik dan bertolak belakang.   

 Pasca Oktober 1965, tepatnya setelah kejadian yang pada awalnya diistilahkan dengan Gerakan September Tiga  Puluh (Gestapu)[10], PKI  dianggap sebagai pengkhianat bangsa berimbas pada Gerwani. Sebagaimana halnya PKI, Gerwani di Sumatera Barat-pun ditumpas dan kemudian dianggap sebagai jelmaan – yang dalam bahasa Saskia Eleonora Wieringa – sebagai “kuntilanak wangi”.[11] “Mpu Gandring, Tunggul Amatung, Anusapati dan Tohjaya sama-sama ditusuk oleh keris yang sama yakni keris Mpu Gandring yang ternyata belum selesai”, kata Arswendo Atmowiloto[12] sangat tepat dan reflektif menggambarkan kondisi Gerwani di Sumatera Barat pada akhir hidupnya.     Gerwani  dianggap sebagai  musuh bersama  hampir seluruh elemen bangsa, masa itu dan terus berlangsung hingga sekarang.  Apa yang di-stigma-kan kepada PRRI selama ini oleh PKI dan Gerwani Sumatera  Barat,  juga diberlakukan pada mereka pasca Oktober 1965 tersebut.  Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, berakhirnya riwayat organisasi perempuan Indonesia yang terbesar ini sungguh mendadak, cepat, dan tidak terduga-duga.

  


[1] Reni Nuryanti, Perempuan Berselimut Konflik : Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011), hal. 70

[2]  Lebih lanjut lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 139-155; Muhammad Ilham (dkk.), “Merahnya Minangkabau” Draft Buku (proses editing dan penerbitan, direncanakan tahun 2012 oleh Tinta Mas Jakarta). Sebagian dari tulisan telah diposting di www.kompasiana.com, www.rantau-net.com, dan www.ilhamfadli,blogspot.com 

[3] Konflik Aisyiyah dengan Gerwani di Sumatera Barat, khususnya di daerah Padang Panjang, diteliti oleh Dharma Z. Ummah, “Sejarah Nasyiatul Aisyiyah di Padang Panjang : 1945-1998”, Skripsi S1 pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fak. Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Tahun 2004, hal. 31-44

[4] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 71

[5] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 72

[6] Harian Rakyat, 1 Januari 1958, sebagaimana yang dikutip Reni Nuryanti, ibid., hal. 72. Manismar, Nadiar, Halimah dan Sanibar adalah tokoh-tokoh Gerwani Sumatera Barat yang getol melakukan kegiatan aksi massa menentang Dewan Banteng.

[7] Reni Nuryanti, op.cit., hal. 130-131

[8] Ibid., hal. 133

[9] Dikutip dari penggalan narasi “Ho Chi Minh” dalam tayang Biography di Metro TV (www.metrotvlivestreaming.com) diunggah tanggal 1 Oktober 2011.

[10] Istilah ini diduga dilontarkan oleh Direktur Harian Angkatan Bersenjata, Brigjen Sugandhi dengan tujuan untuk menanamkan aura jahat yang diasosiasikan dengan istilah Gestapo, singkatan dari Geheime Staatspolizei, yaitu nama suatu kesatuan polisi rahasia Jerman semasa Hitler berkuasa dan dikenal sangat kejam. Sejak tahun 1970 istilah Gestapu pada umumnya diganti dengan G 30 S/PKI, dan menjelang runtuhnya rezim Orde Baru, diganti lagi dengan istilah G 30 S (saja). Lihat Anonim. Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia 1926-1948-1965 (Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan, 1988), hal. 137 (PDF)

[11] Lihat Eleonora Saskia Wieringa, Kuntilanak Wangi : Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Setelah Tahun 1950 (Jakarta: Kalyanamitra, 1998)

[12]  Arswendo Atmowiloto, Senopati Pamungkas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 1033

Selasa, 01 Mei 2012

Ketika Benci Membutakan


Makhluk-makhluk tertentu tak bisa melihat disiang hari, sementara yang lain buta di malam hari. 
Sedangkan orang yang memiliki kadar kebencian tinggi, 
tidak dapat melihat apapun dengan jelas, 
baik Siang maupun Malam hari !

(Amitabh Bachan saya lupa judul fim dimana ungkapan ini diungkapkan beliau). 



Amitabh Bachan (sumber foto : mahiram.com) 


Ungkapan Amitabh Bachan diatas, menjadi "benang merah" bagi saya, ketika pagi ini saya membaca salah satu penggalan buku Edward Said tentang "Kebencian Etnik" : 

Orang Yahudi dan orang Arab Palestina sebenarnya banyak diantara mereka berhubungan sehari-hari, saling memandang pihak lain dari sudut yang harus berbeda. Demikian parahnya, rasa benci diantara mereka, sehingga jika ada sedikit saja persamaan diantara mereka, maka itu harus dianggap sebagai perbedaan 
(Edward Said, 1997 : 77)

Blasteran Pasaman Barat - Filipina : Sebuah Catatan Sejarah Sosial yang Tertinggal

Oleh : Muhammad Ilham

Saya anak kampung. Di ujung paling barat Sumatera Barat. Sekitar tahun 1982,  dalam usia 8 tahun, berkesempatan untuk bepergian ke kota Padang. Biasanya orang kampung saya, bila mau ke kota Padang, jalan laut merupakan jalan paling efisien dan rasional.  Jalan darat, terlampau lama  dengan tantangan "tekstur" jalan yang teramat buruk, sedangkan jalan laut, cenderung mulus bila badai tak datang. Padahal rute Air Bangis - Padang tak begitu jauh, sekitar 295 km. Rute yang sekarang bisa ditempuh (hanya) dengan 5 - 6 jam itu, pada tahun 1982, melalui jalan darat, memakan waktu hingga 15 jam, dengan mobil yang jauh dari rasa nyaman (karena sempit plus aroma rasa nano-nano). Saya masih ingat, Sampagul, PMP dan Mandala - adalah 3 buah nama mobil yang menyusuri rute Air Bangis - Simpang Empat - Talu - Panti - Lubuk Sikaping - Bukittinggi - Padang tersebut. Tahun 1986, saya kembali berkesempatan ke kota Padang lewat jalan darat - "berdarmawisata" sambil perpisahan karena sudah menamatkan SD,  istilah guru saya kala itu. Pada tahun ini, kami (hanya) menempuh jarak Air Bangis - Padang, 7 jam - lebih kurang. Kami tidak melewati Pasaman Timur yang berliku-lekok, karena jalan Pasaman - Padang Pariaman (kami istilahkan waktu itu jalan manggopoh) yang merambah rute Simpang Empat-Kinali-Manggopoh, telah selesai. Jalannya mulus, jembatannya kokoh-kuat-panjang. Saya melongo melihat jalan dan jembatan yang menurut saya dan kawan-kawan waktu itu hanya terdapat dalam film Chips. Pada perjalanan tahun 1986 tersebut, ada guru SD saya yang bertindak sebagai "guide", menerangkan hal ehwal jalan manggopoh ini. "Karena jalan manggopoh inilah, maka kita dari Air Bangis dan Ujung Gading bisa ke Padang dengan tenang dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Jalan ini dibangun pemerintah dengan kontraktornya orang Filipina", demikian kata guru saya itu. Pada waktu itu, praktis yang saya ingat hanyalah kosakata "Filipina". Pasti orang Filipina berdomisili cukup lama di Pasaman Barat, dan (pasti juga) dalam jumlah yang cukup banyak.  Ada rasa takjub pada orang-orang "negeri Jose Rizal" ini. Kosakata Filipina (dalam konteks jalan manggopoh) tersebut pada akhirnya hilang dalam bayangan saya. Filipina ini muncul kemudian, pada minggu lalu.

Semua ini bermula ketika saya berjalan-jalan di sebuah toko buku (loak) di kota Padang. Ingin mencari kliping koran Singgalang era tahun 1990-an yang berhubungan dengan satu topik tertentu, (yang) kebetulan akan menjadi pendukung data penelitian (yang) akan saya lakukan. Di antara banyak tumpukan kliping  dengan rata-rata "dihargai" Rp. 1000,- per-item kliping tersebut, mata saya tatumbuak pada guntingan berita majalah Tempo yang sudah berwarna kuning dan berdebu, sedit sobek bagian bawah. Tercatat tanggal 11 Juni 1982 dengan judul "Perkawinan Model Ipon". Ketika saya baca, bayangan orang Filipina  yang "berjasa" membangun jalan Pasaman Barat - Manggopoh kembali muncul. Berulangkali saya baca, dan setengah berteriak saya berkata, "ini dia !". Sebuah sikap seperti Archimedes yang berteriak "eureka !". Walau guntingan koran Tempo tahun 1982 ini bukan bagian terpenting yang saya cari waktu itu, namun "Perkawinan Model Ipon" ini menjadi sesuatu yang berharga bagi saya. Ia ibarat "anak gadis cantik yang menawarkan payung pada saya waktu hari hujan, padahal rumah tempat saya berteduh sudah dekat". Mungkin karena kegirangan, akhirnya hukum ekonomi berlaku. "10 ribu harga guntingan koran itu pak !", kata si penjual buku loak tersebut.

Berikut, akan saya tulis ulang (secara lengkap) tulisan "Perkawinan Model Ipon" yang membuat bayangan orang Filipina kembali muncul dalam bayangan saya.          

Sebuah kisah dengan setting temporal tahun 1982, di sebuah Kenagarian (sekarang Kecamatan) bernama Kinali.
Namanya Ipon. Hanya seorang gadis desa yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah. Untuk membiayai hidupnya, ia terpaksa bekerja sebagai tukang masak di perkampungan buruh Filipina di Kenagarian Kinali, Pasaman Sumatera Barat. Tapi nasib telah mengubahnya menjadi "nyonya" seorang Insyinyur mekanik dari Filipina -Rusticadizon. Pernikahan yang mereka lakukan di muka penghulu liar, melahirkan seorang bayi blasteran, Argentino, yang berusia 8 bulan.  Perkawinan model Ipon itulah yang menghebohkan masyarakat Pasaman. Sebanyak 33 dari 120 orang buruh Filipina, yang dikontrak untuk membangun jalan antara Pasaman dan Padang Pariaman, ternyata menikah atau kawin sementara sampai kontrak "suami" berakhir. Apa yang disebut "kawin kontrak", yang semula ramai di daerah luar Sumatera (untuk kasus yang mirip), terjadi di Pasaman. Tapi rupanya, pemerintah daerah dan masyarakat Pasaman tidak sepenuhnya bisa menerima "sumando" asing ini. Apalagi buruh Filipina ini dianggap telah melanggar adat, agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat setempat. Di sekitar tempat penampungan itu, setiap malam kuping penduduk bising oleh hingar bingar musik disko. Belum lagi kabar kehidupan bebas antara pekerja wanita dan buruh Filipina itu - sangat menusuk hati masyarakat. "Kehidupan dalam perkampungan itu seperti kambing dan ayam saja", kata salah seorang penduduk. 

Imbauan sering dilakukan tokoh masyarakat dan pemeritah daerah, agar para buruh Filipina ini menghormati hukum adat yang berlaku. Juga diminta tidak ada pernikahan liar diantara wanita setempat dengan para buruh ini. Sebab nanti akan menjadi beban sosial, kata Bupati Pasaman (masa itu : penulis) - Saruji Ismail. Namun imbauan itu tidak mempan. Pernikahan tak resmi itu terus berjalan. Dari 21 orang, meningkat menjadi 33 pasangan. Sebab itu Bina Marga, selaku pimpinan proyek, mengeluarkan instruksi, melarang pernikahan model Ipon ini. Bagi yang telah terlanjur, hubungan mereka dibatasi. Pihak istri tidak diperkenankan lagi memasuki perkampungan buruh Filipina yang dipagari kawat berduri itu. Sebaliknya, suami mereka diwajibkan kembali ke tempat penampungan sebelum pukul 10 malam. "Kami hanya ingin mengurangi permasalahan, bukan untuk menceraikan mereka", kata pimpinan Bina Marga sebagai pimpinan proyek.  

Kawin kontrak melanda Pasaman, semenjak kontraktor Construction Development Corporation of Philipina (CDCP) membangun perkampungan di Kinali, September 1980. Untuk melayani buruhnya, CDCP mempekerjakan wanita-wanita di daerah itu, sebagai tukang cuci atau tukang masak. Kondisi inilah yang kemudian menjelmakan mereka (para buruh dan para wanita tersebut) menjadi "suami istri". Rata-rata perkawinan ini dilakukan di depan penghulu liar, karena si wanita sudah hamil duluan. Untuk menikah secara resmi, mereka tidak bisa. Seperti kata Soeratoen, 56 tahun, yang dua anaknya - Ansah dan Isrina - dikawini buruh CDCP. Ia mengaku tidak berhasil meminta KUA Kecamatan Pasaman menikahkan anaknya secara resmi. Padahal, katanya, ketika itu kedua anaknya itu sudah hamil. Sebab itu, apa boleh buat, dengan bayaran Rp. 100.000,- penghulu liar yang membuka praktek di sekitar perkampungan itu menikahkan putra putri Soeratoen. "Mau apa lagi, daripada mempunyai cucu yang tidak jelas ayahnya", ujar Soeratoen pasrah. KUA menolak karena syarat agama, tidak bisa dipenuhi calon pengantin pria - KUA hanya bisa menikahkan orang Islam. Prosedur perkawinan campuran pun - yang diminta Undang-Undang bagi orang asing yang menikahi pribumi - tidak terpenuhi. Tapi, walau yang hanya terjadi kawin kontrak, para istri buruh Filipina tersebut tidak peduli. Ipon, yang "nyonya"  Insinyur itu, misalnya, tahu benarbahwa perkawinannya tidak sesuai dengan hukum negara dan agama. "Biar saja, kami senang begini", kata Ipon ketika ditanya wartawan Tempo. Ia malah bangga, sebagai orang desa, dapat bersuamikan orang yang memiliki kedudukan tinggi.  

Ipon yang bertumbuh montok, bukan tidak tahu pula bahwa perkawinannya hanya sementara saja. "Saya tahu, kalau kontrak suami saya habis, ia akan pergi. Tapi buat apa dirisaukan, orang yang sudah beranak lima pun bisa bercerai", kata Ipon mantap. Hanya saja, sebelum perpisahan itu terjadi, Ipon bermaksud membangun rumah. "Untuk masa depan anak saya", ujarnya, yang tubuhnya sarat dengan perhiasan emas hadiah suaminya. Kepasrahan yang sama tampak pula pada Soeratoen. Salah seorang menantunya, Boyiscol, memang hanya sempat beberapa bulan mendampingi anaknya, Ansah. Buruh Filipina ini dipindahkan CDCP ke Irak. "Soal jodoh atau cerai tidak bisa diramalkan", ujar Soeratoen, yang masih punya menantu Filipina lagi - Eddy Alfonso - suami Isrina. "Janda" Boyiscol, Ansah, mengaku masih menerima surat dan kiriman uang dari suaminya di Irak. "Suami saya mengatakan rindu pada anaknya. Tapi kalau tidak kembali, maka sudah menjadi nasib saya", kata Ansah polos. Karena merasa pasrah itulah para istri buruh Filipina ini tidak suka diributkan dan dikenai macam-macam aturan. "Saya yang dapat suami, kok orang lain yang ribut", sanggah Asnidar, 26 tahun, yang "mendapat suami" bernama Thoni Santos. Ia merasa kesal, karena suaminya patuh pada peraturan hanya pulang siang hari saja. Padahal dari pernikahannya, ia sudah mendapat putra yang diberinya nama Filindo, singkatan Filipina Indonesia. 
Kekesalan yang sama, tentu saja, juga dilontarkan oleh pihak "suami". Eddy Alfonso, misalnya, mengeluh, kenapa baru sekarang dilarang, setelah semuanya terjadi?". Eddy, 34 tahun, masih tetap bisa pulang menginap di tempat istrinya, berkat jaminan mertuanya. Walau sudah memiliki anak di negaranya Filipina sana, Eddy mengakui mencintai Isrina dan anaknya dari wanita itu. "Kalau sudah punya anak, bagaimanapun akan sulit untuk berpisah", ujar Eddy, sambil menyatakan keinginannya untuk menetap di Indonesia. Yang lebih murung akibat peraturan itu adalah Rhene de Jesus, 28 tahun, yang punya istri di Simpang Tiga, agak jauh dari perkampungannya. Agak lain dari rekan-rekannya, ia jatuh cinta pada Marnis, gadis tamatan SMEA. Jesus akhirnya masuk Islam dan kawin secara Islam dengan Marnis. Sejak keluarnya pertauran bahwa ia tak boleh bermalam di rumah istrinya tersebut, Jesus tidak lagi bisa melihat istrinya yang lagi hamil. Padahal Jesus tidak ingin berpisah dengan Marnis dan berencana ingin menetap secara permanen di Indonesia bila kontraknya telah berakhir. "Saya akan bahagiakan istri saya itu, karena saya cinta sekali", ujar Jesus yang mengaku dulunya duda dan meninggalkan seorang anak di kampung halamannya di Filipina sana. 

:: Kejadian diatas, sudah sekitar 30 tahun lalu terjadi. "Buah" dari fenomena ini, meninggalkan beberapa keturunan yang berusia rata-rata 28 - 30 tahun. Bagaimakah keberadaan mereka hari ini ?. Sebuah "tinggalan" sejarah sosial yang menantang untuk ditelusuri dan dijadikan kajian ilmiah-akademik bagi putra-putra Pasaman Barat yang berkecimpung dalam ranah ilmu sejarah ataupun sosiologi-antropologi. Bukan melihat dalam kacamata subjektif (memberikan nilai), namun hal ini pantas untuk "dicatat"s ebagai  sebuah dinamika sejarah sosial yang sangat menarik untuk ditelaah (lebih lanjut) dan diabadikan.    

Sumber tulisan "miring" : Tempo/11 Juni 1982 
(Guntingan berita "asli" telah diarsipkan oleh Mhd. Ilham - Kliping No. 107/SSB-2012) 

Sabtu, 28 April 2012

Namanya : Profesor (Anumerta) Widjojono

Oleh : Muhammad Ilham 

Gustave Le Bon (1944) mengatakan, "kepahlawanan yang kecil tapi terus menerus adalah jauh lebih sulit daripada kepahlawanan yang besar dan yang terjadi kebetulan". Pahlawan, sebuah konsep-kata yang mengandung aura heroik-emosional. Di mana-mana, di kota kecil atau besar, selalu ada taman makam pahlawan. Mereka dimakamkan lewat upacara sarat air mata dalam suasana syahdu. Salvo ditembakkan ke udara, makam ditimbun dan diatasnya diletakkan karangan bunga. Semua orang yang masih hidup dengan takzim menundukkan kepala. Bak kata penyair Chairil Anwar - "mereka telah beri apa yang mereka punya". Nyawa. Apa yang lebih berharga dari pada nyawa ? Mereka telah hembuskan napas terakhir tanpa mengharapkan hadiah dan imbalan. Bersimbah darah dan terguling di tanah. Untuk apa mereka mati kalau bukan untuk kita hidup lebih baik. Tidak semua pahlawan dimakamkan di taman makam pahlawan. Di antara mereka ada yang dimakamkan di pekuburan biasa ..... dan tak sempat dikuburkan dengan prosesi salvo serta deraian air mata. Tapi dimanapun mereka, semerbak nama mereka tetap di kenang oleh sejarah dan oleh mereka yang masih hidup.




/ anak ayam keluar dari cangkangnya /

demikian, nyanyian terakhir Wakil Menteri ESDM Widjojono Partowidagdo, di gunung Tambora.
Profesor eksentrik yang rendah hati ini, mengingatkan kita kembali bahwa jabatan dan kekuasaan itu sangat manusiawi di tangan manusia-manusia yang ikhlas. 

/ di gunung  Tambora, Profesor dan Wakil Menteri pecinta gunung ini ........ "anumerta".

Berikut :  Tulisan kenangan kompas.com mengenai Wakil Menteri eksentrik berambut gimbal-gondrong ini : 

Kepergian Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo yang begitu mendadak meninggalkan kenangan bagi orang-orang di dekatnya. Pria bersahaja itu meninggal dunia dalam pendakiannya di Gunung Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (21/4/2012). Tidak ada yang menyangka bila pria pencinta alam itu pergi sedemikian cepat. Tak ada tanda-tanda bahwa Widjajono mengalami sakit. Juga tak ada pesan khusus yang ia sampaikan kepada keluarga atau orang-orang dekatnya. Sebelum berpulang, Guru Besar Institut Teknologi Bandung itu memang sempat mengirimkan pesan di mailing list Ikatan Alumni ITB. Dalam tulisan itu, ia berpesan kepada rekan-rekannya untuk tetap berserah kepada Yang Maha Esa. Inilah tulisan tangan terakhir sang profesor itu sebelum meninggalkan dunia:
 
Kalau kita menyayangi orang-orang yang kita pimpin, Insya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menunjukkan cara untuk membuat mereka dan kita lebih baik. Tuhan itu Maha Pencipta, segala kehendak-Nya terjadi.

Saya biasa tidur jam 20.00 WIB dan bangun jam 02.00 WIB pagi lalu Salat malam dan meditasi serta ceragem sekitar 30 menit, lalu buka komputer buat tulisan atau nulis email.

Dalam meditasi biasa menyebutkan:

“Tuhan Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, aku sayang kepadaMu dan sayangilah aku… Tuhan Engkau Maha Pencipta, segala kehendak-Mu terjadi…”

Lalu saya memohon apa yang saya mau…
(dan diakhiri dgn mengucap)
“Terima kasih Tuhan atas karuniaMu.”

Subuh saya Sholat di Mesjid sebelah rumah lalu jalan kaki dari Ciragil ke Taman Jenggala (pp sekitar 4 kilometer). Saya menyapa Satpam, Pembantu dan Orang Jualan yang saya temui di jalan dan akibatnya saya juga disapa oleh yang punya rumah (banyak Pejabat, Pengusaha dan Diplomat), sehingga saya memulai setiap hari dengan kedamaian dan optimisme karena saya percaya bahwa apa yang Dia kehendaki terjadi dan saya selain sudah memohon dan bersyukur juga menyayangi ciptaan-Nya dan berusaha membuat keadaan lebih baik. Oh ya, Tuhan tidak pernah kehabisan akal, jadi kita tidak perlu kuatir. Percayalah…

Salam,

widjajono 


Jumat, 20 April 2012

Sabda Jusuf Kalla (bahwa) Politik Itu Dagang


“Negosiasi adalah soal penawaran”, kata Kalla, suatu hari saat dia mulai menggarap Aceh.
“Kalau tak bisa dapat 1 dengan harga 10, anda bisa tawar dengan harga 15, tapi dapat ...2”. 
Kalla, dalam banyak soal, adalah seorang pragmatis.  

Suatu kali Menteri Hamid pusing oleh banyaknya syarat yang diajukan GAM di meja perundingan di Helsinki. Dia menelepon Kalla di Jakarta. “Pernah mengambil kredit di bank? 
Apakah kau baca semua syaratnya?”, tanya Kalla. 
Seperti halnya bisnis, bagi Kalla, syarat kredit bukan soal pokok. 
Yang penting: uang bisa cair, dan bisnis bergulir. 
“Hamid, yang penting mereka setuju berada di dalam NKRI. 
Yang lain, tak penting,” kata Kalla. 
Dialog pun lancar kembali.



Sumber foto : tempointeraktif.com
Referensi tulisan : vivanes.com
/sorot 

Al Pacino : "Politik Tak Selamanya Luhur"


Di parlemen yang demokratis, tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. 
Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. 
Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana 
tapi juga kepentingan ...... yang tak selamanya luhur "  

(Al Pacino dalam Film "The God Father")


Sumber foto : listal.com