Oleh : Muhammad Ilham
Sudah sekian generasi kita melakukan (termasuk saya) : "ketika seorang pemimpin yang satu dijulang disanjung setinggi bintang, sementara pada sisi lain, seorang pemimpin dihantam-teruk, tak ada yang baik sedikitpun apa yang ia lakukan".
(c) istockphoto.com |
Sekali lagi, saya bukan mendikotomikan antara Jokowi dan SBY. Tapi
begitulah kita, termasuk saya, kadang-kadang. Ketika SBY mencalonkan
diri menjadi Presiden pada tahun 2004, suami Ani binti Sarwo Edhie
Wibowo ini dianggap media dan publik sebagai "Imam Mahdi" karena
Presiden petahana (incumbent) waktu itu - Megawati Soekarnoputri
dianggap sebagai Presiden "lemah", banyak diam dan sulit berdamai dengan
emosi kewanitaannya (baca : pendendam dan sedikit introvert). SBY
dijulang tinggi, Megawati dihantam teruk. Pada periode sebelumnya,
justru Megawati dianggap sebagai "solusi" dari "kenyelenehan" Presiden
Abdurrahman Wahid. Gus Dur "dikubak" aib personalnya. Kecerdasan serta
kepintaran luar biasa cucu pendiri NU ini, dianggap tidak berguna. Hal
yang sama juga berlaku ketika Habibie menggantikan Soeharto. Dalam
rentang waktu satu tahun lebih beberapa bulan, Teknokrat jebolan Aanchen
Universitet Jerman yang bergelar "Mr. Crack" ini dianggap sebagai figur
muslim "borjuis" panutan dan dibanggakan. Suami Ainun "si mata indah"
Besari juga dipandang kaum muslim Indonesia sebagai orang yang mampu
"menghijaukan" ranah politik Indonesia era 1990-an. Pokoknya, ayah Ilham
dan Tareq Habibie, walau badannya pendek, tapi otaknya cemerlang,
bening sebening bola matanya. Bahkan penyanyi balada Iwan Fals merasa
perlu untuk menulis satu bait dalam lagunya Guru Omar Bakrie : .......
lahirkan otak orang seperti otak Habibie. Habibie bahkan ditahbiskan
sebagai "orang paling berpengaruh" di lingkaran Soeharto pasca kematian
ibu Tien. Putra Mahkota Politik Soeharto, demikian kata indonesianist
William Liddle di jelang Pemilu 1998. Pada era ini, perbincangan
terpusat pada Habibie. Kecuali bagi yang iri-dengki, khususnya kalangan
militer (maklum Habibie berasal dari kalangan sipil), hampir tak ada
cela founding father Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
tersebut. Tapi, "mata indah bola pingpong" Habibie ini (kemudian)
kehilangan kebeningan pada era 1999-an, seketika ia menjadi Presiden RI
setelah lengser keprabon-nya Soeharto. Habibie yang dijulang tinggi pada
masa Orde Baru, justru dipojokkan dari segala mata angin. "Bola
matanya" yang bak bola pingpong diplesetkan jadi pemikiran bulat yang
tak punya ujung pangkal. Bulat, memang tak bersegi. Mana pangkal, mana
ujung tak dijumpai. Dan, kebeningan Habibie selama ini berubah drastis
menjadi figur yang tidak menarik lagi bagi lawan politiknya. Habibie
yang dianggap sebagai Presiden RI pembuka "kran" demokrasi ini,
dituding-hina. Ia salah, mengapa Habibie jadi Presiden. Habibie justru
dianggap sebagai sebagi Presiden gagal, dengan indikator yang jelas :
Timor-Timur lepas dari pangkuan NKRI.
Betapapun hebatnya
seorang pemimpin, pasti ada celah-celah tertentu yang enak untuk
dikecam. Bila ia sukses di satu bidang, dibidang lain ia akan
"ditembak". Dan biasanya, kesuksesan besar dan kelebihan utama seseorang
itu akan abih tandeh oleh secuil kesalahannya. Jangankan Habibie, Mega,
Abdurrahman Wahid ataupun SBY, tokoh besar se"gadang" Soekarno dan
Gamal Abdel Nasser juga tak luput dari hal sedemikian. Soekarno,
misalnya. Siapa yang meragukan kebesaran dan ketokohannya. Pemersatu
bangsa, proklamator, tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan tanah air sejak
muda, penggali Pancasila ...... tapi (masih ) teramat sering kita
mendengar tentang "kegenitannya". Bahkan - meminjam istilah tokoh posmo
Jean Bauddrillard - Soekarno dianggap "megalomania", orang yang gemar
serba besar dan serba cemerlang. Bahkan Cindy Adams, penulis biografi
Soekarno, pernah mempertanyakan (sekaligus menjawab sendiri), mengapa
Soekarno begitu suka menggunakan berbagai lambang dan logo kebesaran di
dadanya. "Pasti terlihat gagah dan jumawa", kata Cindy Adams.
Soekarno-pun meng-iyakannya. Ditengah "megalomania"nya ini, sejarah
mencatat rakyat masih susah. Tapi kenyataannya, ketika "Putra Fajar" ini
meninggal dunia, ia tidak meninggalkan kekayaan buat keluarganya. Walau
gosip tentang kekayaannya yang "tertanam" di negeri antah berantah
(hingga) kini masih terus dijaga oleh sebagain orang. Soekarno yang
"besar" itu (tetap) terus disalahpahami.
Jokowi sekarang
menjadi "media darling", bahkan mengalahkan "pemilik sah ideologis yang
dianutnya" - Megawati. Ketika anarkisme atas nama agama sedang
berkembang di negeri ini, orang merindukan Gus Dur. Ketika Ahmadiyah,
Syi'ah dan aliran keagamaan lainnya disudutkan, kerinduan terhadap ayah
Yenny Wahid ini membuncah di setiap nafas publik. Ketika berbicara
masalah NKRI, orang akan mengingat Megawati dan ayahnya Soekarno. Pada
suatu ketika, orang merindukan kemajuan teknologi, masyarakat akan
mengingat Habibie. Setiap BBM mau naik, pak Harto akan disebut dalam
"zikir" publik. begitulah ........ kita dan termasuk saya,
kadang-kadang mudah melihat sisi-sisi jelek seorang pemimpin. Nilai baik
dan inspiratif yang mereka tawarkan, justru dianggap pencitraan. Saya
yakin, beberapa tahun ke depan, tak kecil kemungkinan, Gus Dur, Megawati
dan SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak.
Sedangkan Presiden pada masa mereka, akan dihantam teruk. Semoga tidak
dan semoga saya salah.
Catatan akhir :
Seandainya DN.
Aidit-Nyoto-Syam Kamaruzzaman berhasil "memerahkan" sistem politik
Indonesia tahun 1965, niscaya kita tak akan menemukan Jalan Soedirman,
Jalan Hamka dan seterusnya di jalan-jalan protokol. Pasti yang akan
dijumpai adalah Jalan Tan Malaka, jalan Moeso, jalan Sneevliet, jalan
Misbach, dan bisa jadi jalan Karl Marx. Tapi itu tak terjadi. 1965
seterusnya, "ideologi merah" adalah public enemy yang dibungkus cantik
dalam bungkusan politik. Dan lihatlah beberapa tahun belakangan, justru
ideologi merah sedang menjadi "cantik" di kalangan anak muda yang justru
nantinya akan menjadi usang pada anak muda generasi berikutnya.