Oleh : Muhammad Ilham
Apalah “mantagi”cecak ? Makhluk yang selalu saya “tembak” bersama dengan teman-teman masa kecil sewaktu di masjid. “Membunuh seekor cecak, sama artinya membunuh sekian orang kafir”, demikian doktrin bodoh yang saya terima waktu dulu, sebelum saya akil baligh, sebelum memiliki kemampuan untuk membantah guru-guru mengaji saya. Guru-guru mengaji saya itu, saya fikir juga tak salah. Mereka mewarisi “pengajian” sejenis dari guru-guru mereka dulunya. “Cecak-lah yang menunjukkan persembunyian Rasulullah ketika putra Abdullah dan Aminah ini melakukan perjalanan hijrah dari Mekkah menuju Madinah bersama sahabatnya Abu Bakar ash-Shiddiq. Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di sebuah gua agar tak diketahui kafir Qureys. Persembunyian Rasul yang ummi ini hampir diketahui kafir Qureys karena cecak berbunyi, untunglah ada laba-laba yang membuat sarang, sehingga kafir Qureys merasa yakin, didalam gua tidak ada manusia”, demikian kata salah seorang guru mengaji saya dulunya. Dan, dendam kesumat saya berkecambah. Di bulan puasa, saya teramat rajin “menembak” cicak-cicak di dinding dengan senjata panah yang terbuat dari lidi runcing di ujung, ditarik dengan karet yang sangat elastis. Setiap cecak yang tertembak-mati, saya dan teman-teman berteriak girang, seakan-akan kami seumpama “mujahidin”. Demikianlah. Perilaku “bodoh” ini berlangsung untuk beberapa saat, hingga almarhum ayah saya berkata, “tak ada yang sia-sia diciptakan Tuhan di muka bumi ini nak. Mungkin cecak lebih berharga bagi manusia, dibandingkan kamu. Coba lihat, berapa nyamuk yang dimakan cecak. Ketika kamu membunuh satu ekor cecak, maka semakin berkecambah jumlah nyamuk di sekeliling kita”, kata ayah saya sambil menghisap rokok Kaiser setelah berbuka puasa. Dan saya (teramat) ingat dengan ucapan ayah saya ini. Saya tak protes pada guru mengaji saya. Namun yang pasti, setiap bertemu cecak, dalam hati saya selalu “minta maaf” …. Hehehe. Pada dua anak perempuan saya, saya selalu katakan, “walau terkesan menjijikkan bagi sebagian orang, cecak adalah makhluk Tuhan yang tugasnya jelas, yaitu memangsa nyamuk, nyamuk yang selalu menggigit kalian jelang lena tidur”. Saya juga tak pernah menceritakan pada mereka, kisah “bodoh” bunyi cecak di mulut gua kala nabi dan Abu Bakar bersembunyi. Saya ingin pemahaman yang “ramah” pada mereka tentang cecak, walau menurut saya tak memiliki “mantagi”.
Dan, di Tomok pulau Samosir, saya mendapatkan “mantagi” makhluk yang bernama cecak ini. Dalam kajian antropologi, dikenal adanya konsep “key-culture” dalam bentuk simbol. Biasa-nya ini dinisbatkan pada warna, seumpama warna kuning bagi orang Melayu, merah untuk orang Cina, paduan kuning-merah-hitam bagi orang Minangkabau dan seterusnya. Simbol itu juga dipersonifikasikan dengan binatang. Bila kerbau menjadi salah satu simbolisme “key-culture” Minangkabau, babi bagi masyarakat Papua dan Mentawai, kuda bagi orang Lombok dan Sumbawa, Naga untuk etnik Tionghoa, ular pada sub etnik tertentu di India …. maka cecak menjadi pilihan orang Batak. Lihatlah, simbolisasi cecak selalu dietakkan di depan rumah adat Batak, pada tiang-tiang upacara ataupun pada bangunan-bangunan estetik-kultural etnik asal Ruhut Sitompul ini. Ketika kali pertama saya berkunjung ke Tomok tahun 2000, melihat bangunan megalitik Ompu Sidabutar-Naibatu Sidabutar-Anting Malela, saya tertawa-tawa melihat “pilihan” orang Batak jatuh pada cecak untuk mempersonifikasikan nilai-nilai “key-culture” mereka. “Inilah binatang yang sering saya tembak dahulu”, guman saya dalam hati. Namun tawa saya ini berubah menjadi kekaguman ketika saya berdiskusi panjang dengan para tetua adat Batak di pulau Samosir (Tomok dan Ambarita), ataupun di Balige dan beberapa daerah “asli” di Tapanuli Tengah serta Tapanuli Utara.
“Mengapa harus cecak, ompung?”, tanya saya pada Marulin Sipahutar, orang pertama yang saya jumpai tahun 2000 tersebut.
“Saya yakin, itu adalah pertanyaan yang akan kau tanyakan”, jawabnya. Aksentuasinya mengingatkan saya dengan Nagabonar, tokoh idola saya, apalagi ketika ia selalu memanggil saya dengan KAU. “Dengarkan, baik-baik”, katanya sambil memperbaiki letak ulosnya.
“Kau tahu Bill Clinton ? Kau tahu SBY ? Kau tahu Maradona ? Tahukah kau Mike Tyson ?”, tanyanya pada saya.
“Ahhh, tahulah ompung, masak saya tak tahu”, jawab saya dengan bingung karena tak mengerti arah dan tujuan pertanyaannya.
“Mereka punya rumah kan ?. Di rumah Clinton, SBY, Maradona dan Mike Tyson pasti ada cecak. Seperti juga, cecak ada di rumah tukang becak, tukang angkat di pelabuhan, di rumah kenek mobil, sopir angkot hingga sopir taxi, di rumah bintang film Hollywood hingga di rumah pengamen, dari rumah gedung hingga rumah reyot, bahkan rumah yang belum jadi sekalipun ….. cecak pasti ada”, jawabnya bersemangat. Skak Ster.
(Saya-pun mulai terpana. Jawaban yang yang telah mulai menemui titik terang)
“Orang Batak itu harus seperti cecak. Dimanapun mereka berada, mereka harus bisa menyesuaikan diri. Jangan main-main kau dengan filosifi cecak ini, walau ia binatang yang terkesan dilecehkan, tapi ia satu-satunya binatang yang dibangunan apapun didunia ini, ia pasti ditemukn !”, cetusnya kembali sambil menawarkan saya rokok Gudang Garam Merah yang masih terngaga. Terngaga, kagum dengan “makna-filosofis” binatang yang selalu saya tembak waktu kecil itu.
Apa yang diterangkan Marulin bermarga Sipahutar ini membuat saya teringat dengan sosiolog besar peletak dasar grand theory fungsional dalam tradisi ilmu sosiologi, yaitu Talcott Parson. Parson mengatakan bahwa tingkat kemajuan sebuah komunitas sosial sangat dipengaruhi oleh daya adaptif yang dimiliki oleh pendukung komunitas sosial tersebut. Semakin mereka mudah beradaptasi, semakin tinggi potensi mereka untuk dinamis dan terbuka (dua prasyarat komunitas sosial yang diidentikkan dengan masyarakat maju). Saya juga teringat dengan analisis antropolog (muslim) Akbar S. Ahmed yang mengatakan bahwa peradaban Islam di Spanyol sangat maju pada zamannya dikarenakan kemampuan adaptif yang tinggi dari para pendukung peradaban tersebut. Cecak ternyata memiliki “matagi” !!
“Lalu, apa hubungannya dengan gambar nan sensual itu, ompung ?”, tanya saya sambil menunjuk replica PAYUDARA yang jumlahnya empat buah.
Gambar yang membuat fantasi saya liar entah kemana. Apalagi bentuknya yang “pas-montok” ….. tanpa silicon.
Si Ompung ini ketawa terbahak-bahak.
“Tempat kau menyusu ini, ucok!”, jawabnya pada saya.
“Ya, saya tahu. Tapi mengapa cecak mengahadap replica payudara ini ? Apalagi jumlahnya empat buah pula. Setahu saya, jumlahnya dua. Montoknya, bolehlah, tapi kalau jumlahnya empat …. alamaaak jang, pening aku melihatnya”, kata saya. Kembali si ompung ini terbahak.
“Tetek ini, jumlahnya memang empat. (ia menggunakan istilah “tetek” untuk menyebutkan payudara”). Tapi jangan kau bayangkan wanita Batak dulu, teteknya empat pula. Ini maknanya banyak, ucok”, katanya.
“Apa kira-kira maknanya tu ompung”, tanya saya dengan tak sabar.
“Orang Batak, yang digambarkan dengan cecak itu, harus menjadi manusia yang mudah beradaptasi, di negeri manapun di dunia ini. Mereka harus menjadi orang berguna dengan segala ragam profesi. Tapi jangan lupa, mereka punya ibu yang digambarkan dengan tetek. Ibu genetic dan ibu budaya. Intinya, sejauh-jauh cecak merantau, jangan lupa pada kampong halaman mereka, ataupun pada ibu mereka”, terangnya pada saya yang terngaga kembali.
“lalu, kok harus empat jumlah tetek itu, ompung”, Tanya saya kembali.
“hahahahaha, tandanya orang Batak harus menghargai wanita yang subur. Untuk menghargai wanita yang subur itu, maka digambarkan dengan empat buah tetek!”, jawabnya dengan membelalakkan mata (mungkin ia ingat istrinya di rumah).
Sejurus, kami berdua-pun tertawa.
“Ada satu lagi makna nya Ucok”, katanya setengah berteriak.
“Apa itu ompung?”, Tanya saya setengah berteriak pula.
“Empat buah tetek itu menggambarkan empat penjuru mata angin. Cecak yang merantau, di seluruh penjuru mata angin …. harus ingat tetek …. Eh, salah, maksud saya, ibu dan kampong halamannya”, katanya.
(Kami berdua-pun kembali tertawa). Kemudian, saya memandang cecak dan “tetek” yang empat buah tadi. Apa yang ada dalam pemikiran kami berdua, tentulah berbeda. Tahun 2000, kala saya masih bujangan, melihat gambar ini, membuat saya “entah mengapa gituuu !”. Tapi yang pasti, penjelasan Ompung Marulin Sipahutar tadi, membuat saya semakin menyesali perilaku saya waktu kecil dahulu.
Horaaaaas !
Dan saya selalu merindukan terus berkunjung ke Tomok dan Ambarita.
Akhir tahun 2012 yang lalu, adalah kunjungan riset saya yang ke 5 kalinya. Dan tak pernah membosankan.
Apalagi melihat cecak …….. dengan tetek yang empat buah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar