Oleh : Muhammad Ilham
(c) wikipedia.com |
Lewat kota Medan antara Tebing Tinggi dan Asahan, seperti biasa, mobil yang kami tumpangi berhenti di rumah makan. Tidak cukup besar, juga tak terlalu kecil. Sederhana. Nampaknya rumah makan ini, ada "aura" Minangkabau, buktinya, ketika memesan makanan, ada yang (mampu) berbahasa Minangkabau dengan aksentuasi-langgam Batak. Saya tak ingin mengomentari cita rasa makanannya. Karena perut lapar, "telur puyuh dimasak dengan air biasapun, enak, "kata salah seorang mahasiswa saya. Saya lebih tertarik mengetengahkan "cita rasa" yang lain. Rupanya, rumah makan yang ada "aura" Minangkabau ini, menjadikan wanita sebagai pelayannya. Bukan itu saja, para wanita ini, justru menggunakan pakaian ketat-bahenol. Salah seorang diantaranya, teramat menonjol. Berdiri di ruangan tengah agak ke dapur, sambil mencuci piring. Wajahnya cantik dengan tekstur tubuh a-la Dewi Persik dan (sedikit) Julia Peres. Pokoknya, posisinya tepat. Jadi fokus orang yang makan. Tak henti-hentinya, seorang mahasiswa saya berguman, "alah maak jang, mati tegak lah awak", katanya sambil menyuap nasi yang menurutnya tak enak, tapi jadi SODAP karena ada "cita rasa" yang lain. Cita rasa mata yang "hijrah" ke lidah.
Saya teringat dengan Mochtar Naim. Dalam sebuah penelitiannya tentang Rumah Makan Padang (saya pernah baca sekilas ketika observasi arsip ke PDIKM Padang Panjang sekitar pertengahan bulan Oktober 2012 yang lalu), sosiolog yang mantan anggota DPD RI ini dengan tegas mengatakan, "rumah makan Minang atawa rumah makan Padang, tidak menggunakan tenaga kerja wanita". Lelaki Minangkabau, menurut Mochtar Naim, melihat wanita yang bekerja di rumah makan, akan teringat dengan ibunya hingga menimbulkan perasaan kasihan. Namun lebih dari itu, kehadiran wanita di rumah makan, akan membuat pemikiran laki-laki yang makan menjadi "pecah", pemikiran bermacam-macam akan muncul berkelindan. Padahal, rumah makan bagi laki-laki Minang, hanyalah untuk makan tok.
_____ ketika jadi mahasiswa dahulunya, saya sering makan di beberapa rumah makan di kota Padang, khususnya rumah makan "harga miring". Dan, pelayannya, semuanya laki-laki. Orang pun datang ke rumah makan, hanya untuk makan. Belakangan ini, beberapa rumah makan yang saya jumpai, justru hanya menggunakan laki-laki sebagai kasir dan penjaga pintu depan saja. Pelayannya kebanyakan wanita. Ketika nasi diletakkan, ia kemudian berjalan membelakang ...... dan pemikiran kita-pun "pecah" jadinya. (Ternyata) Mochtar Naim ..... betul !
_____ Tadi, saya memeriksa laporan catatan perjalanan beberapa orang mahasiswa saya yang berjenis kelamin laki-laki. Dan, kesan yang sangat mengezutkan bagi mereka adalah, "rumah makan Minang dengan wanita montok berpakaian ketat sebagai pelayannya". Dan saya tak menganggap mereka "gatal" ataupun freudian. Bagi saya, mereka sangat detail melihat sebuah komparasi budaya !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar