Oleh : Muhammad Ilham
"Hamzah di negeri Melayu, Tempatnya kapur di dalam kayu..."
(Abdul Hadi WM, 1997: iii)
“Membaca” Barus, mengingatkan kita pada sosok ulama sufi, Hamzah al-Fansuri. Hamzah al-Fansuri teramat mencintai Barus. Dalam Syair Perahu, dan Syair Dagang, Hamzah yang bergelar ujung Fansur = Barus ini menukilkan kalam : "Hamzah ini asalnya Fansuri, Mendapat wujud di tanah Shahrnawi, Beroleh khilafat ilmu yang ’ali, Daripada ’Abd al-Qadir Jilani... ! (tentang syair Hamzah al-Fansuri dan hubungannya dengan Barus, lihat Abdul Hadi WM, 1997). Barus menjadi “legenda” tersendiri dalam sejarah. Dicatat-disebut Hamka sebagai tempat persinggahan awal Islam di Nusantara (abad ke-7 M.), dinukilkan Christinne Dobbin sebagai kota pelabuhan ternama di era abad ke 16-17. Semua itu karena Barus menjadi penghasil kayu kamper (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Menurut Hasan Muarrif Ambary (1998 : 77-78), kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum. Salah seorang intelektual Arab, Al-Kindi menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian.
Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan. Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Avicena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, yaitu Al Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Kita tidak akan lagi menemukan kejayaan Islam masa lalu dalam bentuk peradaban hidup. Ia ibarat Cordoba dan Granada Spanyol, hanya tinggalan material yang member pesan bahwa dulunya, Islam pernah menapakkan kejayaan. Mayoritas penduduk Desa Penanggahan, tempat dimana Situs Papan Tinggi berada, mayoritas – untuk tidak mengatakan keseluruhan, adalah Non-Muslim.
Dalam sejarah disebutkan, warga Muslim lebih memilih tinggal dekat laut, sementara warga non-Muslim memilih berada di perkampungan untuk memudahkan mereka bertanam maupun memelihara ternak. Situs Papan Tinggi adalah situs tinggalan arkeologis berupa makam. Untuk menuju makam tersebut, “dipastikan” keringat akan bercucuran. Anak tangga menuju makam Syech Mahmud, yang membawa syiar Islam pertama di Indonesia tersebut berjumlah hampir 900 anak tangga. Bayangkan ! …… saya dan beberapa mahasiswa saya, teramat kelelahan menapak satu demi satu anak tangga tersebut. Makam Syech Mahmud tersebut di perkirakan sekitar tujuh meter lebih. Di batu nisan yang terbuat dari batu cadas itu, nama Syech Mahmud Fil Hadratul Maut yang ditahrikhkan pada tahun 34 H sampai 44 H yang berarti hidup pada masa Umar Bin Khattab sebagai khalifah (cf : Khilal Syauqi, lc., MA). Tidak diketahui bagaimana caranya batu cadas itu bisa sampai di ketinggian ini. “Barus” yang dicatat Dobbin dan dirindudendamkan Hamka itu, telah pupus. Saat ini hanya tinggalan arkeologis Papan Tinggi dan Makam Mahligai yang menjadi bukti bahwa negeri yang dicintai Hamzah al-Fansuri ini pernah menjadi Venecia-nya Sumatera.
Referensi : Abdul Hadi WM. (1997) & Hasan Muarrif Ambary (1998)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar