Jumat, 18 Januari 2013

"Simbolisasi" Agama dalam Politik


Oleh : Muhammad Ilham

Kota saya, sudah mulai banyak dipenuhi baliho para "calon", entah itu calon Walikota ataupun calon legislator yang akan mengadu peruntungan tahun 2013 dan 214 yang akan datang. Seperti biasa, pesan-pesan normatif keagamaan dalam baliho-baliho tersebut - apalagi bila berkaitan dengan moment keagamaan - sangat mengemuka. Dalam konteks ini, teringat oleh saya pengalaman seorang kawan dari teman saya, tahun 2009 yang lalu.  Ada seorang teman dari kawan saya yang kebetulan "nyaleg" waktu Pemilu Legislatif 2009 yang lalu. Teman dari kawan saya ini dikenal sebagai "urang pasa", sering duduk dikedai, hobi main koa dan sangat "pa-ota". Ketika jadi Caleg, praktis ia tak pernah lagi ke kedai memegang kartu Koa. Fotonya di baliho kampanye bergandeng dengan gambar masjid, dan ia memakai baju koko-berkopiah. Dibawahnya bertuliskan : "Mari Kita Kembali ke Surau, Mari Semarakkan Masjid, Hindari Maksiat". Ketika ia dinyatakan gagal jadi anggota legislatif, ia kembali ke habitat-nya, Kedai dan Koa. Sambil bergurau, kawan-kawannya-pun menyindirnya memanfaatkan simbol-simbol agama. Dengan santai ia-pun bilang, di dunia ini tiga daya tarik politik : "Uang, Wanita dan Simbol Agama". Yang pertama, sulit bagi saya, yang kedua tidak mungkin kita lakukan di ranah Minang, yang ketiga lebih memungkinkan. Oke ... putar kartu Koa-nya, kita main .... dan azan berkumandang, ia tidak mau ke Surau .... Coki ! 

(Tulisan dibawah, terinspirasi dari dialog saya dengan seorang kawan di FB)

(c) kompasiana.com
Seandainya Sumatera Barat memiliki ulama kharismatis, mungkin saat-saat sekarang, sang ulama akan kewalahan menerima kunjungan para Calon Kepala Daerah, untuk sekedar bersilaturrahmi. Seandainyalah, Sumatera Barat tidak ”dikuasai” Muhammadiyah, tapi dipengaruhi oleh NU-Tradisionalis, maka saat-saat sekarang ini, akan banyak kunjungan Calon Kepala Daerah ke maqam-maqam ulama kharismatik. Begitu menariknya simbol-simbol agama dalam ranah politik, membuat seluruh pasangan Calon Kepala Daerah, setidaknya yang terlihat di baliho pinggir jalan – merasa perlu untuk memakai simbol-simbol agama : ”Surau, Asmaul Husna, gambar Masjid, Kopiah Haji, Baju Koko dan memamerkan gelar Haji”. Hampir pasti, tak ada Calon Kepala Daerah yang memakai simbol-simbol ”grass-root”. Begitu kuat daya tarik simbol-simbol agama dalam politik, sehingga tidak pula mengherankan apabila (ketika jadi Gubernur) Fauzi Bowo ”kewalahan” menghadapi politisasi kasus Maqam Mbah Priok, Pasangan Jokowi, Basuki "Ahok" Tjahaya Purnama merasa kewalahan menghadapi serangan rasis (baca : agama) terhadap dirinya,  bahkan 2 tahun yang lalu  Julia Perez yang ”bahenol-monotok” tersebut seakan-akan layu untuk maju jadi Bupati Pacitan ketika ”Pasal Zina” dihembuskan Mentri Dalam Negeri.

Agama sebagai sebuah fakta kultural dan historis memiliki dua dimensi utama: yaitu dimensi simbolis-mitis dan sosiologis. Dimensi simbolis-mitis mengandung arti bahwa agama merupakan sebuah struktur makna (meaning structure) yang berada di ranah abstrak dan keberadaannya terlepas dari ruang dan waktu. Melalui struktur makna tersebut maka mode pemahaman diri (mode of self-understanding) digagas dan diciptakan melalui berbagai kegiatan penafsiran (hermeneutics) atas ajaran. Dalam kegiatan ini termasuk penciptaan dan penafsiran atas simbol-simbol dan metafor yang ada untuk kemudian dirumuskan serta diterapkan dalam tindakan aktual. Karena sifatnya yang abstrak dan sangat tergantung pada kemampuan tafsir itulah maka ajaran agama pada hakekatnya terbuka untuk diperdebatkan, apalagi ditambah adanya kenyataan adanya konteks sosiologis dan dimensi historis yang akan menjadi batas dan bingkainya. Pemahaman terhadap ajaran agama, dengan demikian, tidak mungkin tunggal atau monolitik. Munculnya berbagai macam aliran atau mazhab (schools of thought) sebenarnya merupakan hal yang wajar dan sah-sah belaka. Ketika agama dan pemeluknya berada dalam konteks politik, maka peran dan fungsi sosial dan politik agama pun akan sangat dipengaruhi oleh dialektika antara dimensi simbolis-mitis dan sosiologis-historis. Pada suatu konteks historis tertentu agama bisa saja begitu hegemonik sehingga sakan-akan menjadi satu-satunya alat untuk menjelaskan realitas atau merupakan kekuatan ideolologis yang tak tertandingi dalam  masyarakat. Namun pada konteks yang lain posisi seperti ini dapat saja terdesak ataupun mengalami pergeseran-pergeseran dan bahkan bisa lebih jauh : agama dianggap kehilangan relevansinya sebagai alat penjelas realitas tersebut. Sejarah ummat manusia, jika dilihat dari perspektif perkembangan agama, adalah rangkaian perubahan-perubahan yang terjadi dalam peran dan fungsi agama dalam konteks sosiologis ummat manusia.

Dalam kajian antropologi politik, peranan agama dan simbol-simbol supranatural di dalam politik memainkan arti penting. Agama pun bisa dijadikan landasan bagi struktur, landasan kepercayaan, atau sumber tradisi yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Namun, pilihan paling lazim adalah menjadikan agama sebagai alat legitimasi oleh para elite yang berkuasa atau kekuatan yang mengejar kekuasaan (ini yang dikritisi para kalangan Marxian). Pemakaian” ayat, dalil, atau ungkapan yang dinisbatkan pada agama tertentu sebenarnya identik dengan kemunculan kiai atau tokoh lain yang merepresentasikan agama. Kemunculan simbol-simbol tadi telah mengandung pesan, lebih dari makna yang terkandung dalam substansi yang sebenarnya. Tidak heran bila kosakata silaturahmi lebih sering digunakan ketimbang pertemuan politik.Membebaskan panggung politik dari anasir-anasir agama tidak semudah yang dibayangkan kelompok yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Bahkan, bagi sebagian kalangan, memisahkan agama dan wilayah politik bukan saja sulit, tapi dipandang tidak perlu. 

Fakta mengungkapkan, bagi sebagian pemilih di tanah air dikotomi tua – muda tidak begitu penting. Demikian juga dikotomi sipil - militer sudah melonggar. Namun dikotomi Islam - non-Islam masih dipandang sensitif dan penting dipertimbangkan sebagai variabel penting keputusan untuk memilih. Bagi sebagian kelompok, bila menerapkan sistem politik menurut kaidah agama dipandang belum mungkin, makamengambil anasir-anasir agama untuk diformulasikan ke dalam kaidah hukum dan politik sudah dianggap cukup. Adaptasi ajaran politik pun terjadi di sepanjang garis keyakinan agama. Keputusan untuk memilih melibatkan variabel yang kompleks. Diperlukan sentuhan personal untuk merebut dukungan. Lebih-lebih dalam situasi ekonomi yang mencekik, kandidat yang bisa memberi harapan bagi perbaikan yang dirasakanakan lebih diapresiasi. 

Referensi : Kuntowijoyo (1994)

Tidak ada komentar: