Jumat, 12 Agustus 2011

Ramadhan dan Religiositas Masyarakat Konsumer

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Membaca artikel Rahmat Hidayatullah "Ramadhan dan Religiositas Masyarakat Konsumer" (Kompas, Kamis, 4 Agustus 2011, p.7) sambil menonton acara "Tabligh Uje" di MNC-TV. Geleng-geleng kepala: mau diapain aja agama di Indonesia ini bisa demi uang .... : (kegundahan seorang sahabat : Suryadi Sunuri FB)

Memasuki bulan Ramadhan, artefak-artefak budaya populer dan situs-situs budaya konsumer di Indonesia mulai dilanda demam ”islamisasi”. Media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, televisi, dan radio, program-program hiburan seperti film, sinetron, musik, dan opera sabun; pusat-pusat perbelanjaan dan makanan seperti mal, plaza, dan restoran mendadak ”masuk Islam”. Pada bulan ini, perkawinan antara elemen-elemen kebudayaan Barat dan simbol-simbol keislaman—yang sering kali diandaikan sebagai dua entitas yang saling bertentangan—memasuki episode ”bulan madu”. Dari segi kuantitas dan intensitasnya, ”peristiwa” semacam ini jarang kita jumpai di bulan-bulan lain. Fenomena ini mendemonstrasikan sebuah ritual perkawinan yang aneh dan membingungkan sehingga memaksa kita untuk bertanya, ada apa dengan Ramadhan di abad ini.

Sejarah masyarakat kontemporer di era globalisasi dibentuk secara signifikan oleh abad mesin dan teknologi baru industri kapitalis. Pada masa ini, kapitalisme telah menjadi kekuatan dominan yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan dan mengarahkan masyarakat dalam pembentukan status serta identitas personal dan kolektif. Dalam era ini, media elektronik dan budaya konsumer memainkan peranan penting di jantung kehidupan masyarakat kontemporer. Di zaman ini, logika komoditas telah jadi logika umum yang tak hanya mendikte proses-proses kerja dan produk-produk material, tetapi juga mentransformasikan bentuk-bentuk dan praktik-praktik kebudayaan, agama, serta masyarakat. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar ini, cara pandang manusia terhadap agama pun mengalami pergeseran. Agama tidak lagi menjadi sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi telah menjadi instrumen gaya hidup itu sendiri. Agama telah berubah menjadi produk yang dikonsumsi dalam rangka ”identifikasi diri”. Kecenderungan ini merepresentasikan proses komodifikasi agama yang melibatkan manipulasi tanda. Alhasil, yang dikonsumsi manusia bukan lagi makna agama, melainkan simbol-simbol agama. Strategi komodifikasi agama ini melibatkan dua proses sekaligus: religifikasi komoditas dan komoditisasi agama (Ronald Lukens-Bull, 2008).

Proses pertama dimulai dengan produk, kemudian menginfusi makna religius ke dalamnya. Dengan memasukkan makna religius ke dalam komoditas, para ”khalifah kapitalis” mampu menciptakan produk-produk mereka lebih dari satu cara untuk memuaskan dahaga konsumen. Proses tersebut sekaligus menjadi cara untuk menyuguhkan imaji ketaatan beragama di benak konsumen yang mengonsumsi produk-produk kapitalis. Proses kedua dimulai dengan makna religius, kemudian mengekspresikannya ke dalam produk-produk material. Para produsen produk-produk ini berusaha mengartikulasikan sentimen-sentimen religius yang sudah bersemayam di benak konsumen dengan cara menciptakan produk-produk yang mungkin diminati oleh mereka. Dalam banyak kasus, persentuhan antara agama dan budaya populer kerap menghasilkan apa yang disebut sebagai hiburan keagamaan (religiotainment). Proses religiotainment ini mempertautkan dua modus ekspresi, yakni hiburan yang bernuansa keagamaan dan agama yang dikemas menjadi paket hiburan (Akh Muzakki, 2008).

Bulan Ramadhan menyuguhkan testimoni sosiokultural yang paling gamblang dalam konteks ini. Selama bulan ini, kita dapat dengan mudah menemukan berbagai bentuk ”hiburan keagamaan” di sejumlah media massa dan elektronik, mulai sinetron islami, musik religi, kuis, iklan, unjuk omong, dakwah keagamaan, hingga kontes dai cilik. Singkatnya, dalam kasus ini, Islam mengalami transformasi menjadi merek-merek populer (popular brands) bagi komoditas, media, dan produk-produk budaya. Barangkali kita tidak perlu membangun pengandaian hiperbolis atas fenomena agama di dunia kontemporer ini. Sudah sejak dahulu agama sebagai sebuah gejala historis-sosiologis selalu memuat nilai-nilai ekonomi. Dalam setiap momen keagamaan, seperti ziarah ke pemakaman orang suci, perayaan Maulid Nabi, ritual ibadah haji, hingga perayaan Idul Fitri, nilai-nilai ekonomi selalu menjadi ”mitra” agama yang sulit untuk diceraikan. Persoalannya, di zaman postmodern ini, ketika manusia dikepung dalam gelombang budaya konsumer, mana yang mendefinisikan yang mana: agama mendefinisikan ekonomi atau sebaliknya, ekonomi yang mendefinisikan agama.

Sederet pertanyaan lain bisa saja kita ajukan. Apakah fenomena di atas merepresentasikan proses komodifikasi agama atau religifikasi komoditas? Proses pendangkalan agama atau peningkatan kesadaran beragama? Proses islamisasi kesenian atau estetisasi Islam? Jawabannya bisa sangat ambigu dan kontradiktif, berpulang kepada siapa yang menjawab: apakah kaum elite (pemerintah, ulama, dan kapitalis) atau kaum awam (rakyat, umat, dan massa). Tulisan ini sama sekali tidak berpretensi menawarkan kerangka kepastian atas persoalan-persoalan di atas. Ini sekadar refleksi atas realitas empiris yang mengepung keberadaan kita atau mungkin sekadar ekspresi kebingungan atas simtom zaman yang serba tidak pasti. Satu hal yang saya yakini, ikhtiar untuk memahami dan menghayati agama di dunia postmodern memerlukan ”jalan berputar” yang kerap sulit untuk dilakoni. Tanpa melewati jalan berputar tersebut, umat beragama cenderung rentan menjadi mangsa kapitalis, pemuja komoditas, ”nomad” ideologi, pengidola simbol, jemaah kultus, pelaku teroris, atau malah menjadi rasionalis-skeptis yang renta dan pesimistis. Semoga Ramadhan kali ini dapat menjadi momen yang baik bagi kita untuk meretas jalan berputar yang rumit itu; sebuah ritus primordial yang senantiasa diajarkan oleh para malaikat di atas langit, oleh bintang-bintang di semesta tata surya, oleh para pencinta Tuhan di sekeliling Baitullah. Barangkali inilah yang mendorong para sufi kerap menyitir firman Allah Swt, ”Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah.” Mampukah kita menapaki jejak Tuhan dalam kepungan budaya konsumer?

Sumber : (c) Rahmat Hidayatullah.
Foto (www.jawapost.com)

Tanggapan dari beberapa sahabat-Facebookers (dalam Muhammad Ilham Fadli FB), berikut :

Ida Muis Ridwan - Berlin Germany :

Buat kami yang tinggal di negeri mayoritas bukan muslim tidak merasakan hingar bingar "parade" tersebut. Kami melalui hari-hari puasa sangat biasa dan bersahaja. Waktu puasa di atas 19 jam dengan rentang waktu berbuka ke waktu sahur kira-kira hanya 5 jam saja. Menu berbuka dan sahur pun sangat simpel. Puasa dipenuhi rutinitas harian yang padat. Untuk menikmati alunan suara adzan, shalat tarawih dan buka bersama, harus menempuh perjalanan beberapa puluh kilometer. Itupun hanya di akhir pekan. Hari raya pun terkadang harus dilalui di tempat kerja, kuliah atau sekolah anak. Tapi dalam situasi apapun, semoga wajah Allah selalu hadir dan menyapa kami dengan penuh kehangatan. Selamat menunaikan ibadah puasa!

Selinaswati - Australia:
Agama menjadi komoditas, jadi objek bagi budaya konsumen, bukan subjek. Selama momen ramadhan, gebyar kuis, ceramah dll.......sepertinya memang tampak jelas di Indonesia.. saya tak punya perbandigan dengan negara muslim mayoritas lain ... semisal Malaysia, Brunai dll.. mungkin hanya di Indonesia yakk yang begitu terasa gebyar nya..Tapi sayang, maraknya 'syiar' agama demikian tak sejalan dengan sikap moral dan prilaku kebanyakan orang Indonesia.. apalagi pelaku para petingginya..:)


Nico V. Vargas - Indonesia :

Ekonomi digerakkan oleh momentum2 dalam kehidupan manusia...dari yang sangat personal (perayaang ulang tahun seseorang dst) sampai upacara keagamaan...semuanya "diperbesar" gaungnya..agar menjadi sesuatu yang patut "dirayakan", dan tak ada ...perayaan tanpa kebendaan...kita tak mungkin bersenang2 cukup dengan berkumpul mendengarkan cerita, setidaknya hadirkan jualah teman untuk menemani obrolan kumpul2 itu seperti penganan dan minuman (satu pintu masuk untuk para saudagar dapat memanfaatkan segera terbuka lebar)...apakah kita mungkin menghadiri "pertemuan" yang mengumpulkan orang banyak dengan tampil dengan baju beserta aksesoris yang sama tahun demi tahun ?...maka satu lagi pintu masuk bagi "saudagar"...apakah pulang kampung dari tahun2 ke tahun akan selalu naik kendaraan umum ?...mengapa tidak menyewa kendaraan laksana milik pribadi ?...satu lagi peluang muncul dari saudagar...mereka buat masyarakat "membutuhkan" apa yang mereka tawarkan...:-)). Konon katanya...kata saudagar berarti "seribu akal"...jadi itulah mereka yang akan berpikir bagaimana caranya memanfaatkan momentum dalam kehidupan manusia...dan "pemilik seribu akal nan tulen" tidak membutuhkan kedekatan/kesamaan momentum yang ada dimasyarakat dengan yang ada pada dirinya...ia boleh berasal dari agama yang berbeda untuk ikut "berniaga" di momentum umat agama lain ?...apakah sah ?...sah dong !...sebagaimana kita banyak melihat penduduk negeri ini berbondong2 berdesak2an tanpa ada malu lagi memenuhi tempat peribadatan umat lain untuk sekedar memperlihatkan kemiskinan masing2, untuk sekedar memperoleh uang puluh ribu rupiah per orang, ataupun sedikit sembako ?. jadi maaf tampaknya kita tidak sedang membicarakan agama dan prilaku yang seharusnya dicerminkan, tetapi ini murni bisnis, ini ekonomi, yang "disusupkan" dalam setiap kesempatan termasuk momentum keagamaan, dengan pelakunya dari lintas budaya dan agama...yang mayoritas dijalani penduduk di negeri "krisis" ini... :-))


Tidak ada komentar: