Dan pertumpahan darah “ditengah rumah” terus berlanjut hingga periode dan dinasti-dinasti berikutnya. Teringat saya dengan tulisan “Viking dan Tartar”nya Syu’bah Asa. Syu’bah Asa mengutip Thantawi Jauhari yang mengatakan bahwa andai saja musyawarah bisa dilestarikan, takkanlah sejarah Islam ini dipenuhi kisah-kisah perebutan kekuasaan yang begitu brutal. Menurut Thantawi Jauhari, apa yang ditempuh para penguasa muslim itu tidaklah berbeda kekejaman dan “gaya” pengkhiatannya dari tingkah raja-raja dan kaisar despotic Eropa, Cina atau dari manapun jua. Bahkan juga tidak berbeda dengan Amangkurat II pada masa Mataram (Islam) yang pernah membantai sekaligus ratusan – bahkan ribuan – santri dan kiai. Apa yang dilakukan Amangkurat II tak kalah “serunya” dengan apa yang diperbuat oleh Abul Abbas As-Saffah – pendiri Dinasti Abbasiyah – yang tangannya banyak dilumuri darah kaum muslimin (As-Saffah secara harfiah bisa diartikan “penumpah darah”). As-Saffah bersama pasukannya dicatat dalam sejarah membunuhi klan Umayyah dan diakhir pembunuhan itu, As-Saffah memerintahkan untuk membentangkan karpet diatas gundukan mayat-mayat yang mereka habisi. Lalu mereka makan minum diatas bentangan karpet itu, diantara rintihan tubuh-tubuh menggeliat yang masih terdengar. Fantastis !!.
Cerita memilukan ini, dinarasikan dengan luar biasa sehingga bisa membawa bulu kuduk “bergidik” oleh George (Jirji) Zaidan dalam novelnya Bendera Hitam dari Khurasan. Menurut Jirji Zaidan, pada orang Arab, referensi kebrutalan memiliki referensi histories : tradisi Jahiliyah. Bahkan Nabi Muhammad SAW. pernah mengingatkan akan hal ini agar mereka jangan (nanti) kembali pada kekafiran jahiliyah dimana “sebagian dari kamu akan menebas leher yang lain” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi). Kekhawatiran Rasulullah inilah yang kemudian mereka lakukan belakangan. Ini juga yang (mungkin) sekarang juga dilakukan oleh Bashar Al-Assad yang “membantai” ratusan rakyatnya di Suriah (dahulunya menjadi salah satu enclave utama basis Islam politik). Tapi, apapun kebrutalan yang dinukilkan oleh etnik Arab dalam sejarah, bagi beberapa sejarawan (Thantawi, Ira Martin Lapidus, JE. Bosworth, Martin DGS. Hodgson – untuk menyebut beberapa nama diantaranya), tetap memiliki “beda” dengan kebrutalan Viking, Tartar apalagi Amangkurat II (yang terakhir ini, hanya improve saya). Di luar kekuasaan, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah (dua dinasti besar yang pondasi-nya diletakkan oleh klan dari etnik Arab) dikenal mempraktekkan “puncak keadilan dan peradaban”, ini yang membedakan mereka dengan dari para despotic Eropa, Jepang dan Cina dan dibelahan manapun jua - tentunya pada masa mereka – dimana tempat kekuasaan raja memungkinkan mereka untuk menjadikan leher seorang rakyat hanya untuk (sekedar) mencoba ketajaman sebuah pedang. Sementara para penguasa muslim justru mempraktekkan ajaran Qur’an, namun dalam soal politik, itu berbeda. Dalam soal politik itulah terjadinya pengingkaran kemanusiaan. Di bagian hidup yang lain, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah memiliki catatan manis peradaban dan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan.
Referensi : Thantawi Jauhari (1981 ed.ter), Jirji Zaidan (1992), Ira Martin Lapidus (1999), DGS. Hodgson (1998), Syu'bah Asa (1998).Foto :luvislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar