Mari sobat kita berjabat tangan/Tak perlu saling mengunggulkan/Berlombalah membuat kebajikan/Siapa tahu di surga k'lak kita bertemu/Mengapa masih saling memaki/Mengapa ada saja yang dipertentangkan/Pun buruk sangka dan praduga/Ku ingin tersadar dari lamunan/Karena kita lupa saling mengingatkan/Karena kita, saudara yang lain jadi berbeda/ (Puisi kiriman salah seorang mahasiswa saya beberapa bulan yang lalu)
Dalam bahasa sosiologi, suatu fenomena atau struktur sosial akan tetap eksis dan tetap digunakan ataupun diakui keberadaannya, apabila fungsional dalam sebuah realitas sosial. Poligami, misalnya, pada masa dulu dipandang fungsional bagi masyarakat. Apalagi yang melakukannya elit sosial dan elit agama. Bahkan akan dipandang patologic bila mereka mempraktekkan monogami. Namun jangan ditanya sekarang. Poligami ataupun Monogami, menjadi standar keluhuran pribadi seseorang. Elit sosial maupun elit agama yang mempraktekkan poligami justru dianggap patologic. Dahulu memiliki banyak anak dianggap "kaya". Sekarang justru dipandang asing. Nilai anak dari sudut kuantitatif dipandang dalam perspektif fungsional. Aksioma yang menyatakan : "Bila ingin menghilangkan suatu fenomena atau sebuah nilai sosial, dis-fungsikan nilai atau fenomena itu, ia akan hiang dengan sendirinya".
Hal ini juga terlihat dalam praktek ritual keagamaan (dalam hal ini : praktek ritual ibadah Islam). Selama Ramadhan berlangsung, karena memang secara kuantitatif, begitu banyak orang yang "berkunjung" ke masjid-musholla, melaksanakan qiyam ul-lail. Beragam style teknis beribadah akan kita lihat. Ada yang sholat dengan "memicingkan mata", menggelengkan kepala dari kiri ke kanan kala berzikir, menaik-naikkan telunjuk waktu tahyat akhir dan seterusnya. Terlepas dari dalil dan perdebatan syar'iyah-fiqh, namun kala kita tanyakan "dalil keyakinan dan empirik" mereka melakukan style demikian, akan didapatkan secara umum dua jawaban, pembelajaran dan fungsional. Mereka lakukan seperti itu, karena memang seperti itu yang mereka pelajari dari guru atau tokoh panutan yang diyakini. Kemudian, mereka juga merasa "nyaman", merasa "at-home" dan merasa menikmati beritual demikian. Orang yang melihat, mungkin merasa heran, tapi bagi mereka yang melakukan, justru merasa nikmat senikmat-nikmatnya. Bagi orang lain terkesan lebay, bagi mereka justru fungsional. Dalam bahasa sosiologi agama, diinilah letak kelebihan agama. Agama menawarkan kegairahan fungsional bagi penganutnya.
Setelah melaksanakan sholat maghrib di salah satu masjid di kampung satu hari setelah Lebaran kemaren, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan salah seorang sahabat yang dulunya pernah masuk kedalam komunitas Islam "Antah Barantah" (kalau boleh saya istilahkan demikian). Beberapa tahun lalu, komunitas Islam ini pernah eksis di kampung saya. Namun beberapa tahun belakangan ini, komunitas ini sudah mulai hilang, bahkan bisa dikatakan tidak ada lagi. Pengikutnya tidak banyak, dan praktek ritual-ibadah mereka tidak menyimpang dari apa yang dilakukan oleh mayoritas. Tapi setiap orang yang masuk kedalam komunitas ini, dijamin tidak akan pernah (tidak mau) mengikuti pengajian di masjid atau musholla. Mereka tetap sholat berjamaah di masjid-musholla, tapi ketika ceramah akan dimulai, mereka akan keluar dan pulang. Akibatnya, bagi laki-laki yang masuk komunitas ini, praktis tidak akan pernah sholat Jum'at, karena memang khutbah Jum'at merupakan bagian wajib (rukun) sholat Jum'at. Mereka akan melakukan sholat Jum'at tersendiri di rumah pimpinan atau yang mereka tuakan. Ini sempat menjadi pergunjingan bahkan melahirkan suasana "panas" kala itu di kampung saya, karena terkesan unik dari mayoritas, ditambah lagi, pengikutnya dari hari ke hari makin bertambah.
Baru malam siap sholat maghrib itulah saya mendapatkan jawaban mengapa komunitas ini dulu pernah ada di kampung saya, dan alasan apa yang menyebabkan sahabat saya ini mau menjadi bahagian aktif dari komunitas tersebut. Semuanya tidak terlepas dari kesalahan kita (mungkin juga termasuk saya dan yang lainnya). "Kami tidak ingin mendengarkan ceramah ataupun khutbah Jum'at waktu itu, karena bagi kami khutbah ataupun ceramah tersebut tidak berguna bagi kami. Kami tidak pernah merasa nyaman mendengar setiap khutbah atau ceramah yang disampaikan oleh khatib ataupun penceramah. Isi ceramah lebih banyak tentang politik, mungkin karena awal reformasi, banyak orang yang merasa bebas bersuara sehingga muballigh, ulama, masjid dan mimbarpun tidak luput dari imbas reformasi tersebut, menaikkan seorang tokoh, menjelek-jelekkan tokoh atau ulama lain, membuka aib dan menjadikan mimbar sebagai corong politik. Karena itulah, saya dan kawan-kawan banyak yang tidak mau mengikuti khutbah Jum'at, bahkan menganggap tidak penting. Saya merasa nyaman masuk komunitas ini, kami saling bertausyiah dengan kebaikan bukan menunggangi agama demi kepentingan pribadi atau golongan, tak memanfaatkan mimbar untuk membuka dan menjelekkan orang lain", kata sahabat saya ini. "Setelah banyak protes dari masyarakat, dan setelah banyak pula masyarakat yang memprotes para muballigh untuk tidak menjadikan mimbar sebagai ajang kepentingan pribadi dan kelompok, dan tentunya mendengar masukan bersahabat dari beberapa kelompok yang bisa memahami alasan kami, akhirnya saya dan teman-teman kembali bisa menikmati ceramah dan khutbah itu sendiri", lanjut sahabat saya ini kembali.
:: Terkadang kita lebih mudah memvonis atau menunjukkan "telunjuk" kita pada mereka yang kita anggap berbeda dengan kita yang mayoritas tanpa mau mengedepankan pertanyaan, "mengapa mereka tidak merasa nyaman dengan kita". Ada sesuatu yang tidak fungsional yang mereka rasakan. Buktinya, sahabat saya dan teman-temannya di atas, merasa tidak "at-home" mengikuti suatu ritual ibadah wajib ataupun sunnat yang sudah umum dilakukan kalangan mayoritas. Mereka kemudian pergi meninggalkan kita. Kala kita kembalikan ke substansi dan fungsi awalnya, justru mereka kembali lagi. Wallahu a'alam bish shawab.....!! Marhaban Yaa Ramadhan !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar