Seorang lelaki, agak pemalu dan selalu berpakaian rapi, hadir di Indonesia, ketika penyerahan kedaulatan, 1949. Ia memotret Bung Karno dan pengosongan istana di Jakarta. Ia juga mengembara ke pelosok Jawa, Bali, dan Sumatera. Pria itu adalah fotografer ternama Prancis, Henri Cartier- Bresson. Menyambut peringatan Proklamasi RI ke-46, 17 Agustus 1991 ini, foto-fotonya yang klasik tentang Indonesia dan jarang dilihat orang itu kami tampilkan. Foto-foto itu khusus hanya bisa diterbitkan oleh TEMPO, sesuai dengan perjanjian. Artinya, foto-foto ini tak boleh direproduksi ulang sama sekali. Bresson, yang selalu menolak dipotret dan dikenal tertutup, juga memberikan sebuah wawancara khusus pada Kunang Helmi, koresponden TEMPO di Paris. Kunang, lahir di Yogyakarta, kini bekerja sebagai asisten fotografer di Eropa dan Amerika Serikat. Sarjana di bidang ilmu politik, sejarah, dan hokum internasional itu, saat ini, ikut menyiapkan pameran "A Century of Indonesia Photographed" -- pameran yang juga menampilkan karya-karya Cartier-Bresson -- sebagai asisten kurator.
Ia Merekam Puisi Kehidupan Ditinggalkannya gaya hidup borjuis, lalu dengan kamera dan syair Rimbaud di saku, Cartier-Bresson berburu "puisi kehidupan". Ia sempat merekam Indonesia, 1949. "IA berani menghadapi keseharian dunia ini dan memutarbalikkannya bak sehelai kaus kaki kotor." Kata-kata sastrawan Andre Pieyre de Mandiargues tentang Henri Cartier- Bresson ada benarnya. Dalam upayanya mengungkapkan rahasia kehidupan, fotografer Prancis itu terus-menerus merekam dunia yang sering tak lebih anggun dari sehelai kain rombeng. Di Meksiko, sepasang pelacur berpupur tebal menjajakan diri dari balik jendela. Di lorong sepi New York, seseorang berbagi cerita dengan kucing. Sedangkan di sebuah pabrik di Moskow, di bawah potret Lenin dan Stalin, sebait melodi mengajak para buruh berdansa sejenak. Cartier-Bresson merekamnya semua. Semua kehidupan yang berlalu cepat. Semua yang tampak kecil, murah, dan tanpa arti. Tapi, di balik senyum seorang pelacur, Cartier-Bresson mendengar tangis anak manusia. Di antara kata-kata dan kesunyian, ia menyaksikan hidup yang tak pernah berhenti bergelora. Kehidupan itu berawal di tengah keluarga ternama pemilik pabrik tekstil, 1908. Cartier-Bresson tumbuh di dunia baru yang serba otomotif, cepat, dan kritis dunia yang lahir dari reruntuhan Perang Dunia Pertama. Henri kecil seperti terbawa semangat memberontak ini. Kegemarannya, selain bolos sekolah, adalah mengunjungi sanggar pelukis Andre Lhote. "Saya belajar melukis pada setiap Kamis dan Minggu, dan memimpikannya pada hari yang lain," Cartier-Bresson mengenang.
Pada usia 22 tahun, Cartier-Bresson meninggalkan kehidupannya yang borjuis. Ia mengembara ke Pantai Gading, berbekal "lampu sorot dan bedil". Satu tahun ia mencari nafkah sebagai pemburu binatang, sampai suatu hari ia jatuh sakit. Ia menjual senjatanya. "Kemudian saya memperoleh kamera Leica yang menjadi pengganti mata saya." Maka, dengan kamera di tangan dan syair Rimbaud di kantung, Cartier-Bresson menerkam puisi kehidupan di pojok-pojok jalan. Hasilnya adalah foto yang kaya dengan intuisi dan ironi, di mana momen dan geometri menyatu. Dalam foto orang melompati genangan, misalnya, loncatan itu bukan saja tercerminkan di permukaan air, juga pada gambar penari dalam poster balet di dinding. Inilah fotografi decisive moment, rekaman di saat yang menentukan.
Di akhir 1930-an, Cartier-Bresson tidak lagi sekadar merekam keanehan hidup. Ia juga merekam pergolakan sosial di Eropa. Setelah belajar sinematografi dari sutradara Jean Renoir, ia membuat film dokumenter Victoire de la vie yang diilhami perang saudara di Spanyol. Pada 1940, Hitler menyerbu Prancis dan Cartier-Bresson menjadi tawanan perang. Setelah dua kali gagal melarikan diri, ia berhasil lolos dan bergabung dengan pejuang bawah-tanah Prancis. Salah satu tugasnya, ketika pasukan Sekutu datang membebaskan Paris, adalah memotret sidang pengadilan para pengkhianat dan pertempuran di jalanan. Di sana, Cartier-Bresson bertemu sahabat lamanya, David Seymour dan Robert Capa, fotografer perang tersohor. Tiga serangkai itulah pendiri Magnum kantor berita foto yang kini terkenal karena liputannya tentang perjuangan manusia di berbagai negara. Perjuangan itu pula yang membawa Cartier-Bresson ke Asia selama tiga tahun. Pada 1949, ia singgah ke Indonesia untuk merekam penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia. Matanya yang tajam dan hatinya yang simpatik pada wong cilik tak cuma sibuk dengan "Sejarah". Leica Cartier-Bresson membedah manusia Indonesia. Lensanya merekam gerilyawan TNI yang turun dari gunung dan bertanya: sudah berakhirkah perjuangannya? Lalu ia hinggap di wajah Bung Karno, dan bertanya lagi: bisakah pemimpin karismatik ini mempersatukan bangsa yang ratusan tahun terpecah belah?
Indonesia mempunyai tempat khusus di hati Cartier-Bresson. Bukan cuma karena Ratna, istrinya -- yang penari dan penyair -- adalah orang Indonesia. Juga, karena sebagai seniman dan wartawan yang berusaha memahami rahasia kehidupan, Cartier-Bresson berpihak kepada yang lemah dan tertindas. Ini yang dipuji-puji oleh sastrawan De Mandiargues, sahabat dekat Bresson. Di wajah manusia Indonesia, Cartier-Bresson merekam wajah semua manusia. Dan dalam perjuangan bangsa Indonesia, ia menyaksikan pergulatan semua manusia untuk merdeka. Tengoklah foto gerilyawan muda TNI yang turun dari gunung. Ia mengingatkan kita pada bocah pembawa anggur yang dipotret Cartier-Bresson di pojok Kota Paris. Ada semangat hidup dan harapan yang bergemuruh di balik dada mereka yang ringkih.
Sumber : tempo.com/arsip/html
Sumber : tempo.com/arsip/html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar