Jumat, 05 Februari 2010

Istilah Politik yang Jadi Konsumsi Publik

Oleh : Muhammad Ilham

"Setiap masa, pasti ada Joke Politik", demikian kata Kelirumonolog Jaya Suprana. Dan biasanya joke ataupun istilah yang bertendensi "politis"itu menjadi konsumsi publik. Awalnya istilah politik itu mungkin "asing" bagi publik, akan tetapi karena kekuatan media, istilah ini kemudian - meminjam istilah Gramschi - menjadi "milik publik" dan terjadi penyederhanaan pengertian sebagaimana yang diistilahkan oleh peletak dasar hermeneutik, Gadamer. Jadi tidaklah mengherankan apabila dalam 100 hari periode ke-dua pemerintahan SBY-Boediono ini, begitu banyak istilah-istilah yang pada awalnya tidak dipahami oleh publik, akhirnya menjadi "familiar". Siapa yang pada awalnya kenal dengan istilah Bail-Out, saya-pun tak kenal (untuk tidak mengatakan pernah mendengar istilah ini). Istilah yang masuk dalam ranah ilmu ekonomi-perbankan-moneter ini, pada saat sekarang ini bukan lagi menjadi istilah asing. Bertanyalah pada ibu rumah tangga, para buruh-tukang, PNS hingga tukang becak ...... mereka bisa menjelaskan.Walau tidak detail-sistematis, tapi secara substantif mayoritas mampu memahami dan menjelaskannya. Demikian juga halnya dengan istilah lain yang selama ini hanya "dimamah" oleh orang yang bergelut dalam ranah politik, baik ilmuan maupun politisi seperti PANSUS maupun HAK ANGKET. Istri saya yang tidak "melek" politik-pun sudah mampu menjelaskan dengan baik fungsi hak Angket dan bisa menjadi tandem Ruhut Sitompul bilaada dialog tentang HakAngket ini (he..he..he !). Tapi bila ditanyakan tentang Hak Budget ataupun Hak Interpelasi, ia 100 % tidakmengerti dan akan mengatakan : "tidak pernah saya dengar di TV, memangnya ada hak legislatif seperti itu ?". Dalam satu minggu terakhir ini, muncul lagi istilah yang selama ini jarang didengar ataupun dipahami publik, namun sekarang istilah tersebut kembali menambah perbendaharaan pengetahuan publik, yaitu Pemakzulan.

Kita sebagai orang awam sering bertanya-tanya apa arti istilah pemakzulan itu? Yang pasti, istilah pemakzulan tidak tertulis eksplisit dalam konstitusi UUD 1945. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru disebutkan makzul adalah meletakan jabatan; turun tahta raja. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menjelaskan, pemakzulan adalah bahasa serapan dari bahasa Arab yang berarti diturunkan dari jabatan. Atau sama dengan istilah 'impeachment' dalam konstitusi negara-negara Barat. Impeachment itu menuntut pertanggungjawaban dalam rangka pengawasan parlemen kepada presiden, apabila presiden melanggar hukum. Menurut Jimly, mekanisme pemakzulan diatur dalam konstitusi agar forum politik DPR tidak bisa serta merta menjatuhkan Presiden dan atau Wapres. Sebagaimana Presiden tidak bisa membubarkan DPR, DPR juga tidak bisa menjatuhkan Presiden dan atau Wapres kecuali Presiden dan atau Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum, jadi pemakzulan sebagai imbangannya. Pembuktian dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan atau Wapres ini dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Jika MK menyatakan Presiden/Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka proses selanjutnya berlangsung di Majelis Permusyawaratan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wapres. Kalau terbukti secara hukum, berarti ada alasan DPR untuk mengajukan permintaan tanggung jawab Presiden dan atau Wapres lewat forum MPR.

Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut, Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Pasal 7B ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan, usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

Dengan adanya mekanisme pemakzulan, Presiden/Wapres yang tidak punya dukungan mayoritas di parlemen sekalipun tidak bisa begitu saja dijatuhkan oleh mekanisme politik. Artinya wacana untuk menjatuhkan presiden dan wapres melalui mekanisme pemakzulan tidak bisa dilakukan oleh masyarakat maupun DPR, jika presiden dan wapres tidak terbukti melanggar hukum. Saya berharap masyarakat Indonesia sudah memahami apa makna hidup berdemokrasi, sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan dalam berpolitik, bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Kesalahan dalam berpolitik akan menyengsarakan masyarakat, karena situasi politik akan tidak stabil, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian nasional, karena tidak ada investor yang masuk Indonesia. Sementara masyarakat tidak bisa berusaha dengan bebas karena situasi politik yang selalu gonjang ganjing. Mari kita satukan langkah membangun bangsa ini dengan damai, bersatu, berpolitik dengan santun dan kepentingan bangsa ditas segalanya.

(siap menulis artikel ini ......istri saya menyeletuk :"semoga minggu-minggu depan masih ada istilah-istilah baru yang menembah pengetahuan saya. Ini jauh lebih baik daripada istilah-istilah yang berpotensi plagiasi terhadap nama-nama binatang, Cicak-Buaya, Semut-Gajah, Kerbau dan sore tadi muncul pula : Kambing dan Ayam"). Saya tersenyum dan balas nyeletuk,"kan, masih banyak nama-nama binatang yang belum digunakan!"

Tidak ada komentar: