(Tulisan ini merupakan tulisan Bung Karno .... sehingga ejaan yang digunakan juga bahasa Indonesia dengan ejaan lama)
Ada orang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi jang mengatakan dia bukan nasionalis bukan Islam, tapi Marxis, dan lagi jang mengatakan dia bukan nasionalis bukan Islam, bukan Marxis, tetapi jang berfaham sendiri. Golongan jang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa jang biasanja disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan paham-paham jang tidak sesuai dengan pahamnja banjak orang Islam; mau disebut Marxis, dia… Sembahjang; mau disebut bukan Marxis, dia “gila” kepada Marxisme itu! Kini saja mendjadi pembantu tetap dari “Pemandangan”, dan oleh karena artikel-artikel saja nanti tentu akan membawa tjorak djiwa Sukarno, maka baiklah saja tuturkan kepada Tuan, betapakah… Sukarno itu. Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islam-kah? Pembaca-pembaca, Sukarno, adalah… campuran dari semua isme-isme itu. Perhatikan uraian di bawah ini.
Saja adalah seorang nasionalis, ja Allah, adakah orang jang berpendapat bahwa saja tidak cinta kepada tanah-air dan bangsa? Bahkan saja mohon kepada Allah Subhana Wata’ala, tetapkanlah kecintaanku kepada tanah-air dan bangsa itu menjala-njala di dalam saja punja dada, sampai terbawa masuk ke lubang kubur. Manakah misalnja Jawaharlal Nehru berkata, bahwa kecintaan kepada tanah-air dan bangsa adalah sebagian dari beliau punja njawa, maka bagiku kecintaan kepada tanah-air dan bangsa adalah sebagian dari beliau punja njawa, maka bagiku kecintaan kepada tanah air dan bangsa adalah satu passie. Dan bukan saja nasionalisme itu bagi saja satu “rasa” ja adalah “haluan”, pula satu “richting”. Sejak dari waktu pergerakan pemuda (waktu itu saja murid kelas dua HBS Surabaja), sampai masuk ke dalam pergerakan politik, sampai mendirikan partai politik sendiri, sampai masuk penjara, sampai dinternir, sampai sekarang, masih tetaplah nasionalisme saja punja “rasa” dan saja punja “haluan”.
Ini perlu saja terangkan di sini, oleh karena banjak orang mengira, bahwa sejak saat saja lebih memperhatikan agama Islam, saja tentu melepaskan haluan nasionalisme itu. Terhadap kepada orang-orang jang menjangka begitu saja berkata: Tuan-tuan salah dugaan. Tuan-tuan salah mentafsirkan Islam. Tuan-tuan menjangka, bahwa Islam adalah bertentangan dengan nasionalisme, padahal Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme, hanjalah manakala nasionalisme bersifat nasionalisme jang sempit jakni nasionalisme jang membuat satu bangsa membenci kepada bangsa jang lain, Islam hanjalah bertentangan dengan nasionalisme, manakala nasionalisme itu bersifat chauvinisme atau “provinsialisme” jang memecah-mecah. Adakah Tuan pernah dengar sesuatu alasan agama jang melarang orang cinta pada tanah-air sendiri? Adakah Tuan pernah dengar sesuatu dalil agama, jang melarang orang cinta kepada tanah-air dan bangsa, dimana ia dilahirkan, dimana ia mendjadikan besar, dimana ia makan dan minum, dimana ia beranak-istri, dimana ia akan mati? Sebaliknja, siapa jang mengerti betul-betul moralnja agama, ethieknja agama, ia akan mengerti, bahwa cinta kepada tanah-air dan sedia-bekerdja bagi tanah-air adalah satu budi baik, satu budi jang terpuji, satu karunia Tuhan, satu deugd.
Ada orang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi jang mengatakan dia bukan nasionalis bukan Islam, tapi Marxis, dan lagi jang mengatakan dia bukan nasionalis bukan Islam, bukan Marxis, tetapi jang berfaham sendiri. Golongan jang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa jang biasanja disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan paham-paham jang tidak sesuai dengan pahamnja banjak orang Islam; mau disebut Marxis, dia… Sembahjang; mau disebut bukan Marxis, dia “gila” kepada Marxisme itu! Kini saja mendjadi pembantu tetap dari “Pemandangan”, dan oleh karena artikel-artikel saja nanti tentu akan membawa tjorak djiwa Sukarno, maka baiklah saja tuturkan kepada Tuan, betapakah… Sukarno itu. Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islam-kah? Pembaca-pembaca, Sukarno, adalah… campuran dari semua isme-isme itu. Perhatikan uraian di bawah ini.
Saja adalah seorang nasionalis, ja Allah, adakah orang jang berpendapat bahwa saja tidak cinta kepada tanah-air dan bangsa? Bahkan saja mohon kepada Allah Subhana Wata’ala, tetapkanlah kecintaanku kepada tanah-air dan bangsa itu menjala-njala di dalam saja punja dada, sampai terbawa masuk ke lubang kubur. Manakah misalnja Jawaharlal Nehru berkata, bahwa kecintaan kepada tanah-air dan bangsa adalah sebagian dari beliau punja njawa, maka bagiku kecintaan kepada tanah-air dan bangsa adalah sebagian dari beliau punja njawa, maka bagiku kecintaan kepada tanah air dan bangsa adalah satu passie. Dan bukan saja nasionalisme itu bagi saja satu “rasa” ja adalah “haluan”, pula satu “richting”. Sejak dari waktu pergerakan pemuda (waktu itu saja murid kelas dua HBS Surabaja), sampai masuk ke dalam pergerakan politik, sampai mendirikan partai politik sendiri, sampai masuk penjara, sampai dinternir, sampai sekarang, masih tetaplah nasionalisme saja punja “rasa” dan saja punja “haluan”.
Ini perlu saja terangkan di sini, oleh karena banjak orang mengira, bahwa sejak saat saja lebih memperhatikan agama Islam, saja tentu melepaskan haluan nasionalisme itu. Terhadap kepada orang-orang jang menjangka begitu saja berkata: Tuan-tuan salah dugaan. Tuan-tuan salah mentafsirkan Islam. Tuan-tuan menjangka, bahwa Islam adalah bertentangan dengan nasionalisme, padahal Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme, hanjalah manakala nasionalisme bersifat nasionalisme jang sempit jakni nasionalisme jang membuat satu bangsa membenci kepada bangsa jang lain, Islam hanjalah bertentangan dengan nasionalisme, manakala nasionalisme itu bersifat chauvinisme atau “provinsialisme” jang memecah-mecah. Adakah Tuan pernah dengar sesuatu alasan agama jang melarang orang cinta pada tanah-air sendiri? Adakah Tuan pernah dengar sesuatu dalil agama, jang melarang orang cinta kepada tanah-air dan bangsa, dimana ia dilahirkan, dimana ia mendjadikan besar, dimana ia makan dan minum, dimana ia beranak-istri, dimana ia akan mati? Sebaliknja, siapa jang mengerti betul-betul moralnja agama, ethieknja agama, ia akan mengerti, bahwa cinta kepada tanah-air dan sedia-bekerdja bagi tanah-air adalah satu budi baik, satu budi jang terpuji, satu karunia Tuhan, satu deugd.
Dr. Cipto mangunkusumo [pernah] menulis di dalam sk. “Hong Po”, bahwa faham Marxisme adalah “membakar Sukarno punja djiwa”. Saja mengucapkan terima kasih atau kehormatan jang Dr. Cipto Mangunkusumo limpahkan atas diriku itu. Memang sejak saja sebagai “anak plonco” buat pertama kali belajJar kenal dengan teori Marxisme dari mulut seorang guru HBS jang berhaluan social democrat (C. Hartgh namanja), sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banjak-banjak buku marxisme dari semua tjorak, sampai bekerdja di dalam actieve politiek, sampai skarang, maka teori Marxisme begitu adalah satu-satunja teori jang saja anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasjarakatan. Marxisme itulah jang membuat saja punja nasionalisme berlainan dengan nasionalismenja nasionalis Indonesia jang lain, dan Marxisme itulah jang membuat saja dari dulu pula saja benci fasisme. Tetapi Alhamdulillah pula saja ucapkan, bahwa Allah ta’ala siang-siang telah menanamkan faham marxisme di dada dan di otak saja sehingga dari dulu mula, sebelum ada peperangan, sebelum ada kaum Nazi berkuasa di Jerman, ja sebelum Hitler terkenal saja telah onderkennen (mengetahui) jahatnja fasisme itu, dan kemudian gembar-gembor menghantam dan memuntah-kan kebencianku kepada fasisme itu. Alhamdulillah, bahwa saja kepada fasisme itu bukan suatu kebencian jang karena 10 Mei saja, tetapi satu kebencian jang memang karena kejakinan dan kesadaran. Inilah salah satu jasa Marxisme kepada saja.
Dulu saja cinta kepada teori Marxisme itu: kini mendjadilah ia sebagian dari saja punja kepuasan djiwa. Tetapi, bagaimanakah akurnja Marxisme itu dengan Islam jang juga mengisi saja punja djiwa? Tidakkah orang berkata, bahwa agama dan marxisme itu seteru kebujutan satu sama lain, mengikari satu sama lain dan membantah satu sama lain? Buat orang lain, barangkali begitu! Tetapi buat saja, maka Marxisme dan Islam dapatlah berjabatan tangan satu sama lain dalam satu sintese jang lebih tinggi. Buat saja Islam satu agama jang rasionil, satu agama jang bersandar kepada kemerdekaan akal, jang berbeda setinggi langit dengan agama-agama jang lain. Orang mengatakan Marxisme adalah seolah-olah “satu agama sendiri”, orang mengatakan dia satu star system pula, o-rang malah mengatakan dia semacam satu hocus-pocus jang dikira bisa dipakai buat menyelami semua sedalam-dalamnja roh dan djiwa, padahal dia hanjalah satu metode saja untuk memecahkan soal-soal ekonomi, sejarah, politik, dan kemasjarakatan. Sesuatu metode berpikir dan sesuatu ilmu-perdjoangan tidak mesti harus bertentangan dengan sesuatu agama, apalagi kalau agama itu adalah satu agama rasionil seperti saja visikan itu. Kini cukuplah kiranja saja menggambarkan kepada pembaca-pembaca garis-garisnja saja punja djiwa. Saja tetap nasionalis, tetap Islam, tetap marxis. Sintese dari tiga hal inilah memenuhi saja punja dada – satu sintese jang menurut anggapan saja sendiri adalah satu sintese jang “geweldig”.
Foto : Bung Karno berbincang-bincang dengan Che Guevara dan pemimpin-pemimpin Kuba saat berkunjung ke negara tersebut pada tanggal 9-14 Mei 1960. Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri atau bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa perluasan daerah negeri dengan kekerasan senjata sebagai diartikan oleh Van Kol, tetapi juga berjalan dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique” (penetrasi secara damai). Indonesia Menggugat, 1930.
Sumber : Buku "Indonesia Menggugat" dan gentarevolusi.com
Foto : Bung Karno berbincang-bincang dengan Che Guevara dan pemimpin-pemimpin Kuba saat berkunjung ke negara tersebut pada tanggal 9-14 Mei 1960. Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri atau bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa perluasan daerah negeri dengan kekerasan senjata sebagai diartikan oleh Van Kol, tetapi juga berjalan dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique” (penetrasi secara damai). Indonesia Menggugat, 1930.
Sumber : Buku "Indonesia Menggugat" dan gentarevolusi.com
1 komentar:
sukarno adalah seorang sukarnois ,penganut synthese dari Dec.of Independebce dgn Manifesto Komunis. Pancasila juga bisa dianggap synthese dr kedua paham yg kutub2an itu.
Posting Komentar