Tanggal 17 Juni yang akan datang, Obama mau "mampir" di Indonesia. Gema kedatangannya sudah jauh hari dipersiapkan, bahkan Surya Paloh dan kawan-kawanpun telah membuat Patung Obama di Menteng. Entah dasar apa yang mereka pakai, Obama dianggap "pantas" di taruh dalam bentuk patung di Taman Nan Hijau itu. Akhirya, patung kontroversial ini terpaksa "dihijrahkan". Publik tak merestui dengan beberapa alasan yang bisa diterima akal sehat. Dan ... hari-hari belakangan ini, euforia Obama mulai "epidemi" kembali. Kedatangan Obama dianggap sebagai sesuatu yang ditunggu-tunggu. Memang tidak salah, karena bukan faktor Obama-nya, tapi faktor "ideology-hidden". Obama mewakili sebuah negara adi daya yang dipandang dengan penuh kekaguman dan harapan besar. "Negara" Obama ini dianggap sebagai trend-setter dalam segala hal. Sehingga tidak-lah mengherankan, apabila boneka Obama, boneka anak-anaknya hingga pakaian dalam istrinya menjadi "pusat-referensi" semua orang. Tidaklah mengherankan bila kedatangan Obama nanti menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu, tack-life nya sebagai anak Menteng dibaca kembali. Orang yang selama ini merasa "dekat" dengannya (dekat-historis) ingin memperlihatkan kedekatannya kembali. Harapan-pun ditata kembali kepada Obama untuk menyelesaikan beragam masalah. Mungkin kedatangan Obama yang disambut dengan karpet merah tersebut nantinya, akan menjadi ajang "keluh-kesah" dan "utara-harapan" dari berbagai pihak. Mungkin banyak yang akan menaruhkan harapan besar padanya tentang nasib warga Palestina, endorse-agar menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di Yerussalem. Tapi mungkin Obama akan mendengarnya dengan senyum, dan mungkin setelah ia "menghapus" jejaknya dari Indonesia, ia akan terikat kembali dengan "mainstream-politik" negeri Paman Sam.
Kita masih ingat, dunia berharap banyak pada Obama. Barangkali memang yang bisa “menghentikan” Israel adalah saudara tuanya Amerika Serikat, dan power itu hanya terdapat pada Obama. Bisakah kita berharap pada Presiden Amerika Serikat yang pernah “singgah sementara” di Indonesia ini? Bagaimakah track record pro-Israel pria kulit hitam yang telah meruntuhkan mitos W-A-S-P, bahwa Presiden Amerika Serikat haruslah White-Anglo Saxon and Protestant ini? Pada Obama yang bernama tengah Hussein ini, hanya terdapat satu, Protestant. Ia bukan putih tapi hitam, walaupun unsur white ada padanya karena kontribusi sang ibu, tapi tetap “darah” Kenya ayahnya lebih dominan. Obama juga bukan “trah” Anglo-Saxon – keturunan British yang dalam sejarah dimaknai sebagai komunitas “pencari dunia baru”. Saya ingat, pada waktu inaugurasi kemenangannya, Obama berpidato secara elegan dengan bahasa tertata rapi, sebuah kelebihan yang pantas untuk ditiru. Pidato yang disiarkan secara lengkap oleh salah satu TV swasta Indonesia ini, Obama berdiri dengan gagah di atas podium. Di depan podium itu, tertera 4 (empat) huruf kapital besar – AIPAC. Seketika, saya ingat buku karangan Paul Findley yang telah diterjemahkan oleh Penerbit Mizan “Mereka Berani Bicara”. Dalam buku ini, Findley mengupas-tuntas pertanyaan : “Mengapa lobi Yahudi-Israel begitu kuat dalam ranah politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia ke-2?”.
(Sebagian dari tulisan ini merupakan Artikel saya yang pernah dimuat dalam Harian Umum Padang Ekspres dan Padang-Today.com)