Minggu, 11 Maret 2012

Dari Matahari Terbit ke Palu Arit (Bagian :1)

Oleh : Muhammad Ilham

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang bertujuan untuk mengetahui dan mengungkapkan latar belakang pembentukan dan aktifitas Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas dalam kurun waktu 1963-1965 yang dilihat dalam konteks perubahan perilaku politik dan gerakan sosial. Kemudian penelitian ini juga ingin mengetahui konsekuensi sosial politis yang diterima oleh anggota dan simpatisan Gerwani pada masa Orde Baru.  Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kehadiran Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas, tidak bisa dipisahkan dari dilaksanakannya operasi penumpasan sisa-sisa simpatisan PRRI di daerah ini pada tahun 1958, dimana kaum wanita menjadi salah satu pihak yang merasakan dampak politis dan psikologis.  Setelah berakhirnya operasi pembersihan simpatisan PRRI di Kecamatan Sungai Beremas,  masyarakat kehilangan reference personal dan terjadi kevakuman kegiatan sosial politik di kalangan wanita-wanita yang selama ini aktif dalam organisasi Aisyiah. Kevakuman ini kemudian dimanfaatkan oleh Gerwani.  Pada tahun 1963, Gerwani mulai menanamkan pengaruhnya di Kecamatan Sungai Beremas. Wanita-wanita yang selama ini aktif dalam Aisyiah kemudian bermetamorfosis menjadi anggota dan simpatisan Gerwani.  Dalam penelitian ini, ditemukan juga anggapan wanita-wanita mantan aktifis Aisyiah bahwa   PKI dan Gerwani itu adalah dua entitas organisasi sosial politik yang berbeda.   

Hal lain yang ditemukan adalah ada perbedaan yang mendasar ketika wanita-wanita tersebut melakukan aktifitas sosial politik waktu masih aktif di Aisyiah dengan ketika bergabung di Gerwani. Mereka memiliki kesadaran politik tinggi ketika masih berada di Aisyiah karena didukung dan dibina oleh kelompok laki-laki panutan yang sadar politik. Sementara ketika mereka aktif di Gerwani, walau hanya dalam waktu lebih kurang 2 tahun, kesadaran politik ini berganti dengan kegiatan-kegiatan yang lebih fokus kepada peningkatan kepribadian kewanitaan dan urusan-urusan domestik.

A.     Latar Belakang Masalah

Ada satu pertanyaan umum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Pasaman Barat pasca pemekaran.[1]  Bukan bermaksud untuk terkesan rasis, pertanyaan tersebut terus bergema hingga saat sekarang yaitu : “Mengapa kaum wanita Minangkabau di Pasaman Barat tidak ada yang menonjol kiprah mereka di ranah sosial politik daerah dan nasional ?”.  “Mengapa tokoh wanita Mandahiling[2] justru yang lebih aktif dan diakui publik?”. Pertanyaan-pertanyaan ini terkesan rasional bila mengingat kiprah tokoh-tokoh wanita yang berasal dari etnik Minangkabau di daerah Pasaman Barat setelah kemerdekaan, cukup besar dan signifikan, terutama kiprah mereka dalam bidang sosial politik.  Konteks spasial Pasaman Barat pada pertengahan tahun 1950-an hingga 1958, banyak  wanita etnik Minangkabau yang berkiprah secara aktif dalam organisasi politik Masyumi[3] dan organisasi sosial keagamaan Aisyiyah.[4] Namun dalam perjalanannya hingga tahun 2009  (bila diambil indikator keterlibatan para wanita-wanita tersebut dalam dunia politik praktis, dalam hal ini Pemilihan Umum), maka kiprah wanita Minangkabau dalam ranah politik tersebut bisa dikatakan tidak muncul ke permukaan.
Secara demografis, Pasaman Barat dihuni oleh tiga etnik utama yaitu etnik Minangkabau, Mandailing dan Jawa.[5] Dua etnik pertama merupakan etnik mayoritas, dan dianggap sebagai etnik pribumi daerah ini. Sementara etnik yang ketiga, jumlahnya cukup signifikan, tapi hingga sekarang masih dianggap sebagai etnik pendatang yang terkonsentrasi di daerah-daerah transmigrasi di kabupaten Pasaman Barat ini.
Dalam konteks Kecamatan Sungai Beremas, bila dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa wanita-wanita etnik Minangkabau tidak cukup aktif dalam dunia politik,  secara asumtif,  bisa ditelusuri dari peristiwa tahun  1958 (penumpasan PRRI) dan tahun 1965 dengan Gerakan Wanita Indonesia (selanjutnya : Gerwani)  sebagai event-nya. Peristiwa tahun 1965, diasumsikan memberi dampak politik luar biasa kepada aktifis-aktifis potensial wanita Minangkabau dan keturunannya, khususnya di Kecamatan Sungai Beremas, untuk meninggalkan tradisi politisi yang telah mereka bina selama ini.
Perkembangan Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas juga diasumsikan berkembang sejak berakhirnya PRRI tersebut. Sebagai sebuah kecamatan yang terletak di pesisir pantai barat Pasaman Barat, Kecamatan Sungai Beremas dikenal sebagai basis Muhammadiyah di Kabupaten Pasaman Barat dari dulu hingga hingga sekarang. [6] Sementara, Masyumi merupakan Partai Politik era Pemilu 1955 yang berpengaruh di Kecamatan Sungai Beremas. Bahkan sampai sekarang, Masyumi masih dianggap sebagai romantical party[7] dikalangan generasi tua.   Kuatnya pengaruh Masyumi sebagai romatical party tersebut terlihat dalam beberapa pemilihan umum yang diselenggarakan pada masa Orde Baru, dimana Golongan Karya (Golkar) tidak pernah menang di Kecamatan Sungai Beremas.
Pasca ditumpasnya PRRI,  tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Aisyiah banyak yang lari keluar dari Kecamatan Sungai Beremas, terutama ke beberapa daerah di Sumatera Utara bahkan ada yang lari ke Malaysia.  Praktis kegiatan Muhammadiyah dan Aisyiah tidak ada. Beberapa wanita di Kecamatan Sungai Beremas yang selama ini aktif dalam kegiatan berorganisasi (Aisyiah) praktis vakum.[8] Dalam masa kevakuman inilah, karena tidak ada organisasi sosial keagamaan lainnya yang berpengaruh secara signifikan apalagi yang mengusung isu-isu kewanitaan sebagaimana halnya Aisyiah, maka kehadiran Gerwani sebagai organisasi yang mengusung kemandirian dan pemberdayaan potensi wanita, bisa berkembang dengan baik. 
Hal diatas menarik penulis untuk membahas tentang metamorfosis simpatisan dan pengurus Aisyiah ke Gerwani yang secara ideologis berseberangan. Ini juga tidak bisa dilepaskan dengan aktifitas sosial politik Gerwani sebagai sebuah organisasi wanita yang bisa menarik minat para wanita di Kecamatan Sungai Beremas serta implikasi sosial politis yang mereka terima selama rezim Orde Baru berkuasa.

B.     Rumusan Masalah

Tesis ini akan mengkaji permasalahan Gerwani sebagai organisasi sosial politik pada tingkat lokal di Kecamatan Sungai Beremas dengan rumusan masalah sebagai berikut :  (1). Bagaimana  pembentukan Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas dan pihak-pihak yang berperan aktif dalam pembentukan tersebut ?, (2). Apa saja aktifitas Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas pada tahun 1963-1965 ?, dan (3). Bagaimana bentuk konsekuensi sosial politis yang diterima oleh anggota dan simpatisan Gerwani pada masa Orde Baru ?

C.     Tinjauan Pustaka

Dalam rangka memperkaya materi penulisan, maka dilakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa buah buku dan hasil penelitian yang relevan. Buku pertama berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.[9]  Buku ini dapat memberikan kontribusi, khususnya pada saat ada keinginan dari kalangan sejarawan  untuk merekonstruksi dan mengkaji ulang sejarah formal yang telah dibakukan oleh penguasa (baca : rezim yang berkuasa) selama ini. Dengan menggunakan paradigma gender[10], penulis buku ini bukan hanya berhasil melakukan penelusuran sejarah yang tersembunyi tentang gerakan perempuan di Indonesia, tapi juga mendekonstruksi bangunan berfikir sebuah masyarakat dari rezim yang mempresentasikan dominasi berfikir laki-laki.  Selanjutnya hasil penelitian yang berjudul “PKI di Sarang Muhammadiyah : Studi Kasus Perkembangan PKI di Kenagarian Air Bangis 1965-1998”.[11]  Hasil penelitian skripsi sarjana Strata Satu di atas,  mendeskripsikan secara diakronik dinamika perlakuan politik yang dialami oleh para bekas simpatisan dan anggota, yang diistilahkan secara kultural sebagai “orang yang terlibat”, di Kenagarian Air Bangis. Deskripsi secara diakronik ini tanpa melihat proses eksistensi awal PKI di daerah bersangkutan serta tidak menganalisis dinamika PKI hingga dibubarkan. Ini menjadi salah satu kelemahan diantara cukup banyak kelemahan yang dijumpai dalam penelitian yang hanya terfokus pada masa rezim Orde Baru ini. Tetapi penelitian ini memiliki relevansi yang cukup kontributif bagi penulisan tesis karena memberikan data-data yang bersifat dokumentasi terutama yang berkaitan dengan daftar nama-nama “orang yang terlibat” baik yang masuk dalam kategori B ataupun C. Dalam daftar nama tersebut, juga include nama-nama bekas anggota Gerwani di Kenagarian Air Bangis. 
Demikian juga halnya dengan penelitian yang berjudul “Gerwani di Kenagarian Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Pasaman Barat : 1963-2010”[12] yang hanya lebih fokus kepada deskripsi diakronik nasib para bekas anggota Gerwani, terutama yang masih hidup.
Kemudian, Reni Nuryanti,  “Perempuan Berselimut Konflik: Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI” yang diterbitkan oleh Tiara Wacana Yogyakarta.[13] Di dalam buku ini dipaparkan pengalaman luar biasa dari perempuan-perempuan biasa di masa konflik dan perang. Dengan meyakini bahwa masih banyak bagian-bagian yang belum dibahas dalam penulisan sejarah PRRI, penulis buku ini mengisi bagian-bagian tersebut dengan berbagai testimoni dari perempuan Minangkabau yang menjadi saksi mata sekaligus pelaku yang terlibat langsung di berbagai peristiwa pada masa Dewan Banteng dan PRRI[14].
Penuturan tentang perjuangan dan penderitaan mereka diungkapkan secara blak-blakan. Jika dikatakan PRRI telah mengguncang mental masyarakat Sumatera Barat, maka bagian terbesar dari guncangan mental itu sesungguhnya menimpa kaum perempuan. Mereka tak jarang mengalami kekerasan fisik, psikologis, dan seksual : diinterogasi dan disekap, terpisah dari suami, anak, ataupun saudara; bahkan sebagian di antaranya dipaksa menjadi ganja kayu atau ganja batu. Buku ini memberikan kontribusi terhadap penelitian ini untuk memahami perkembangan Gerwani di Minangkabau serta posisi Gerwani dalam konstelasi politik daerah pada masanya.

D.    Kerangka Teoritis dan Pendekatan

Penelitian ini menggunakan konsep perubahan perilaku politik[15] dengan pertanyaan-pertanyaan asumsi dasar  : ”Mengapa seseorang ataupun sekelompok orang terhadap ideologi politik cenderung konsisten, sementara yang lainnya berubah-ubah ? Mengapa seseorang ataupun sekelompok orang memilih salah satu ideologi politik, sementara yang lain tidak ? Mengapa ada yang loyal,  tapi pada bagian lain ada yang labil ? Faktor-faktor apa saja yang membuat seseorang ataupun sekelompok orang memilih ideologi politik tertentu poda satu masa tertentu pula ?”.   Secara teoritis konseptual, pertanyaan-pertanyaan diatas bisa dijawab dengan tiga perspektif atau pendekatan (approach) yaitu perspektif psikologis, sosiologis dan rasional politis. Kemudian dalam konteks munculnya Gerwani sebagai sebuah gerakan sosial bisa dilihat dalam teori gerakan sosial.  Menurut Herbert Blummer, gerakan sosial adalah sejumlah besar orang yang bertindak bersama atas nama sejumlah tujuan dan gagasan.[16] Sementara itu, Masoer Fakih merumuskan defenisi yang lebih inklusif dimana gerakan sosial tersebut merupakan tantangan yang hadir dan direspon secara bersama-sama dalam proses interaksi dengan semua lapisan masyarakat.[17] 
Sementara Denny JA. mengatakan bahwa ada tiga kondisi yang menyebabkan sebuah gerakan sosial tersebut lahir, yaitu : (1). Adanya kondisi yang menyebabkan munculnya gerakan sosial tersebut, misalnya, pemerintahan yang moderat atau perubahan politik yang drastis, (2). Gerakan sosial tersebut muncul karena timbulnya ketidakpuasan atas situasi yang ada, dan (3). Gerakan sosial bisa juga dilihat karena pengaruh atau ketokohan yang ada, bisa jadi karena terinspirasi terhadap seorang tokoh ataupun merasa kecewa terhadap tokoh bersangkutan.[18]  Secara teoritis, gerakan sosial bisa dilihat dari beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan Marxis(ian)[19], Interaksionisme Simbolik[20] dan Struktural Fungsional.[21]


[1] Pada awalnya Kabupaten Pasaman Barat menjadi bagian dari Kabupaten Pasaman. Pada tahun 2004, dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Pasaman dengan pusat pemerintahan di Lubuk Sikaping dan Kabupaten (Pemekaran) Pasaman Barat dengan Simpang Empat (Simpang Ampek) sebagai pusat pemerintahannya. 
[2]  Pertanyaan (rasis) ini merujuk pada ketokohan Hj. Emma Yohanna (Hasibuan), yang lahir di Kecamatan Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat. Beliau memiliki kedekatan emosional dengan publik Pasaman Barat yang ditandai dengan kemenangan beliau menjadi anggota DPD RI pada Pemilu Legislatif tahun 2009 yang lalu, beliau mendapatkan suara (lebih kurang) 76,23 % suara dari Pemilih Pasaman Barat (lihat : www.kpu.go.id/kpu-sumbar/). Hingga hari ini, praktis hanya Hj. Emma Yohanna yang berasal dari etnik Mandahiling yang menonjol sebagai tokoh wanita asal Pasaman Barat, terutama tingkat nasional – tentunya, beberapa tokoh wanita lain dari etnik Mandailing di tingkat daerah, khususnya di tingkat Kabupaten.  Beliau bukan hanya dianggap sebagai tokoh daerah saja, tapi juga tokoh nasional. Beberapa bentuk pengakuan tentang beliau ini, telusuri www.emmayohanna.blogspot.com
 
[3] Pembahasan elaboratif, terutama dari aspek sejarah dan dinamika politik internal Masyumi,  dibahas dengan menggunakan pendekatan komparatif oleh Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam : Partai Masyumi (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998), bab II, III dan IV. Lihat juga studi Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), bab V dan bab VI dan Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Graffiti Press, 1988), bab IV.
[4] Pembahasan mengenai dasar historis dan perkembangan organisasi ini, lihat Badruzzaman Busyaeri, Falsafah Perjuangan Aisyiyah (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1989), hal. 19-36 dan Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhamadiyah, edisi revisi (Yogyakarta: Persatuan, 1994), hal. 6-72. Lihat juga Deliar Noer (1982 & 1988), op.cit. 
[5] Struktur sosial daerah Pasaman Barat, menurut Mochtar Naim, merupakan daerah campuran yang bersifat multi etnik. Suku Minangkabau dengan adat matrilineal yang menmpati daerah-daerah bagian barat dan selatan, Batak-Mandailing dengan adat patriarkhat yang mayoritas bermukim di daerah-daerah bagian utara-nya dan Jawa dengan adat parental yang berada di enclave-enclave transmigrasi. Mochtar Naim, “Pasaman Barat: Kasus Daerah Pinggiran,” Prisma, No. 3 tahun 1975, hal. 46-47

[6] Konsep “dulu” penulis gunakan karena belum penulis dapatkan tanggal resmi “hadirnya” Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan untuk pertama sekalinya di Kenagarian Air Bangis. Dalam  Bulletin KOBA, sebuah Bulletin anak rantau Air Bangis, dijumpai satu artikel yang ditulis oleh Buya H. Syahrudji Tanjung, BA (Mantan Ketua PW. PPP 1998-2003/mantan Anggota DPR-RI 1999-2004/sekarang Wakil Ketua PW. Muhammadiyah Sumbar) yang merupakan putra asli Air Bangis menulis tentang perkembangan Muhammadiyah di Kenagarian Air Bangis. Syahrudji Tanjung  tidak mengemukakan secara pasti tanggal dan tahun eksisnya Muhammadiyah di Air Bangis. Beliau mengatakan, Muhammadiyah sebagai organisasi Sosial Keagamaan sudah mulai eksis di Air Bangis sekitar tahun 1930-an yang dibawa oleh beberapa orang putra Air Bangis yang sekolah di Thawalib Padang Panjang. Thawalib Padang Panjang yang dipimpin HAKA dikenal sebagai think tank  Muhammadiyah periode awal di Minangkabau. Syahrudji Tanjung, BA., “Masyarakat Air Bangis yang Terbuka dan Cerdas Menerima Perubahan”, Bulletin KOBA, Jakarta-Air Bangis, Edisi Idhul Fithri 2000.  Sekarang (hingga penulis melakukan penelitian ini),  Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi sosial keagamaan yang sangat berpengaruh di Kenagarian Air Bangis.  Bahkan untuk hal-hal yang bersifat khilafiah,  seperti penetapan Ramadhan dan Hari Raya Idhul Fitri, masyarakat lebih memilih Muhammadiyah sebagai reference-nya. Disamping itu, tokoh-tokoh Muhammadiyah Sumatera Barat beberapa orang diantaranya  merupakan putra asli Air Bangis seperti H. Syahrudji Tanjung, BA (Wakil PW. Muhammadiyah 2010-2015),  Ki Jal Atri Tanjung,  MH  (Ketua Pemuda Muhammadiyah 1999-2004 dan sekarang menjadi Ketua Departemen Pemuda PW.  Muhammadiyah Sumbar),  H. Manaon Lubis dan H. Nahruddin Lubis, Drs. Zulkisman Lubis  (muballigh yang juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah Sumbar) serta Drs. H. Diflaizar (muballigh dan tokoh Muhammadiyah yang orang tuanya berasal dari Air Bangis).  Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pasaman (sebelum pemekaran) pernah juga dipegang oleh putra asli Air Bangis, Drs. H. Syahruddin, MM. 

[7] Hingga sekarang, Masyumi (khususnya pada kalangan tua) selalu mengidentikkan partai-partai Islam seperti PPP, PAN dan PBB sebagai bagian sejarah dari Masyumi. Muhammad Ilham, “Perubahan Perilaku Memilih Ummat Islam dalam Pemilihan Umum 1955 – 1992 di Kecamatan Sungai Beremas”, Jurnal Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, Desember 2000.
                [8] Ini pernah dibahas oleh Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), yang menganggap bahwa masyarakat di Kenagarian Air Bangis merupakan masyarakat yang “sadar politik” (kata-kata dalam  tanda kutip dari penulis yang berusaha menyimpulkan pendapat Gusti Asnan).  Dalam penelitiannya, Gusti Asnan menganggap bahwa di Kenagarian Air Bangis (termasuk juga di daerah-daerah lainnya di pantai barat Pasaman Barat seperti Sikabau, Maligi, Sikilang dan Sasak : penulis), organisasi sosial keagamaan yang eksis sejak dari dulunya adalah Muhammadiyah dan Perti. Namun pendapat ini bisa dikritisi, karena yang eksis mungkin Muhammadiyah dan Perti, akan tetapi yang berkembang  adalah Muhammadiyah. Sementara Perti lebih bersifat “tertutup” dan terkesan eksklusif. Proses rekruitmen dan kaderisasi tidak terjadi secara efektif sebagaimana yang berlaku di Muhammadiyah. Sehingga pengaruh Perti, baik secara organisatoris maupun personal, tidak terasa secara signifikan, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Demikian juga yang terjadi di daerah-daerah lain di pantai Barat Pasaman Barat. Umumnya Perti merasa lebih “safety” bila hanya bergerak dalam ranah spritualitas-sufistik dibandingkan sosial politik. Hal ini diteliti oleh Tim Filologi FIBA IAIN Padang, “Naskah Kuno Ulama-Ulama Pasaman”, Penelitian, Padang: Puslit IAIN IB Padang, 2010, hal. 51-54
[9] Saskia E. Wierenga, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya, 1999)
        [10] Konsep dekonstruksi ini dipopulerkan oleh Jacques Derrida. Dalam konteks di atas, maka dipahami bahwa selama ini terbangun anggapan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah selalu berada dalam ranah berfikir laki-laki – meminjam istilah Asvi Warman Adam – maka kehadiran buku ini mendekonstruksikan – untuk tidak mengatakan menghancurkan – mainstream berfikir selama ini. Lebih lanjut lihat www.kalyanamitra.org/sejarah perspektif laki-laki/html/diunggah tanggal 16 Oktober 2010. Begitu banyak buku-buku sejarah yang dianggap “mapan” dan representative yang ditafsirkan berdasarkan tafsiran “laki-laki”. Salah satu-nya buku babon Dennys Lombard,  Nusa Jawa Silang Budaya, terjemahan (Jakarta: Gramedia, 1999) yang mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variabel ajaran normatif agama, maka pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarki” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normatif-teologis, dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause dan sasaran tembaknya jelas. 
[11] Yudia Warman, “PKI di Sarang Muhammadiyah : Studi Kasus Perkembangan PKI di Kenagarian Air Bangis 1965-1998”, Skripsi S1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang Tahun 2006.
[12] Nurlatifah, “Gerwani di Kenagarian Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Pasaman Barat 1963-2010”, Skripsi S1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang Tahun 2010. 
[13] Reni Nuryanti, Perempuan Berselimut Konflik : Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011)
[14]  PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia adalah sebuah pemberontakan yang menjadikan Sumatera Tengah (Barat) sebagai basisnya. Cikal bakal gerakan ini dapat ditelusuri pada penciutan kesatuan militer Sumatera Tengah dari tingkat Divisi menjadi Brigade, pengangkatan Ruslan Mulyoharjo (seorang birokrat Jawa) sebagai Acting Gubernur, sedikitnya anggaran pembangunan yang diberikan kepada daerah, semakin besarnya peranan PKI dalam kehidupan berbangsa, ’dipecatnya’ beberapa komandan militer daerah, pecahnya Dwitunggal Sukarno-Hatta dlsbnya. Di samping itu gerakan ini juga mempunyai latar belakang pada polarisasi politik Indonesia waktu itu, antara kubu berbasis Jawa yang merupakan koalisi antara Sukarno, PNI, NU dan PKI dengan kubu luar Jawa (daerah-daerah di luar Jawa) dengan partai politik yang sangat berpengaruh di sana yaitu Masyumi. ’Revolusi’ ini dimulai tanggal 20 Desember 1956 yakni ketika Ahmad Husein, komandan militer Sumatera Tengah mengambil alih jabatan Gubernur dan mengangkat dirinya menjadi Ketua Daerah. Pemberontakan dilanjutkan dengan pernyataan ultimatum menentang pusat tanggal 10 Februari 1958 serta pengumuman susunan kabinet PRRI. Pemerintah pusat bersikap represif terhadap gerakan ini dan berupaya mengakhirinya dengan penyelesaian bersenjata. Lihat Gusti Asnan, Op.Cit. Tentang PRRI, akan dibahas secara deskriptif dalam salah satu bagian pada Bab IV. Lihat juga  RZ. Leirissa, PRRI Permesta : Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (Jakarta: Graffiti Press, 1989)

                [15] Secara teoritis, dalam teori ilmu politik, terdapat perbedaan antara  perubahan perilaku terhadap pilihan ideologi tertentu dan pergeseran. Namun,  Martin W. Lipset lebih menyukai istilah “pergeseran pilihan” terhadap ideologi ataupun kecenderungan politik. Martin W. Lipset, Pengantar Politik Perbandingan, terjemahan, (Jakarta: Rajawali Press, 1981), hal. xvii. Sedangkan Samuel P. Huntington menggunakan konsep perubahan pilihan ideologis. Lihat Samuel P. Huntington, Perubahan Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, terjemahan (Jakarta: Rosdakarya, 1999),  hal. 13-18 
[16] Noer Fauzi, Memahami Gerakan-Gerakan Sosial (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hal. 21

[17] Mansoer Fakih, “Tiada Transformasi tanpa Gerakan Sosial”, dalam Zaiyardam Zuber, Radikalisme Kaum Terpinggir, Studi Tentang Ideologi dan Gerakan (Yogyakarta, Insist Press, 2002), hal. xxvii
[18] Ibid., hal. 24-25

[19] Secara umum, kaum Marxisme melihat bahwa gerakan sosial lahir karena adanya struktur kelas yang kontradiktif,  perjuangan kelas yang muncul karena munculnya kesadaran kelas. Salah satu contoh kajian yang paling menarik tentang hal ini (perjuangan kelas – kesadaran kelas) adalah perjuangan kaum Syi’ah dalam mengambil tampuk kekuasaan khilafah dari Bani Umayyah yang bermula dari kesadaran pada diri mereka (kaum Syi’ah) bahwa mereka adalah penerus “trah politik” Muhammad SAW. melalui Ali bin Abi Thalib-Siti Fathimah-Hussein-Hassan. Lihat Yulniza, “Teori Kemunculan Dinasti Abbasiyah dalam Sejarah Peradaban Ummat Islam”, Tesis S2 pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Aceh tahun 1998, hal. 87-91 
[20] Menurut teori ini, gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi sosial yang ada. 
[21] Secara umum, teori ini melihat bahwa gerakan sosial tersebut ada karena fungsional bagi masyarakat untuk menciptakan keseimbangan sosial. Kajian-kajian Messianisme ataupun Mahdiisme merupakan salah satu contoh terbaik dalam mengaplikasikan teori struktural fungsional ini. Lihat Sartono Kartodirdjo (ed.), Elite dalam Perspektif Sejarah (Jakarta, LP3ES, 1981), hal. Viii-xvi

Dari Matahari Terbit ke Palu Arit (Bagian :2)

Oleh : Muhammad Ilham 

Penelitian ini memberikan sebuah kesimpulan umum bahwa dalam sebuah peristiwa politik ataupun perubahan sosial, maka kaum wanita merupakan kelompok yang paling merasakan dampaknya, terutama dari aspek kualitatif dampak tersebut.  Kehadiran Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas, tidak bisa dipisahkan dari dilaksanakannya operasi penumpasan sisa-sisa simpatisan PRRI di daerah ini pada tahun 1958. Operasi ini dianggap sebagai peristiwa yang memberikan implikasi psikologis mendalam kepada mereka seumur hidup. Operasi yang memperhinakan basis gender dan kultural mereka. Kegairahan politik yang diciptakan Masyumi dan Muhammadiyah selama ini, harus mereka bayar dengan trauma psikologis. Selanjutnya, sejarah mencatat, PRRI dan Masyumi ”dijaga rapi” oleh rezim yang berkuasa (baik masa Soekarno maupun Soeharto) sebagai pengkhianat bangsa. Keluarga Muhammadiyah dan bekas pemberontak merasa duduk diantara bara. Itulah yang kemudian (turut) dirasakan para aktifis dan bekas aktifis Muhammadiyah di Kecamatan Sungai Beremas. Partai Masyumi praktis menjadi  cerita tabu dan menakutkan  bagi sebagian masyarakat ketika itu.  

Setelah berakhirnya operasi pembersihan simpatisan PRRI di Kecamatan Sungai Beremas,  masyarakat di daerah ini seperti anak ayam kehilangan induk.  Para reference personal yang selama ini menjadi tokoh anutan masyarakat, banyak yang melarikan diri dan dibunuh.  Pada tahun-tahun tersebut, daerah-daerah di Kecamatan Sungai Beremas berada dalam kelumpuhan psikologis, khususnya bagi kalangan wanita.  Perginya tokoh-tokoh panutan ini, yang umumnya laki-laki tersebut, membuat kaum wanita, baik yang selama ini aktif berorganisasi maupun yang tidak, merasa kehilangan tokoh panutan. Kaum wanita adalah pihak  yang paling menanggung beban politis, sekaligus juga beban ekonomis.   

Selama ini, kaum wanita lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan sosial edukatif yang dilaksanakan oleh Aisyiah-Muhammadiyah dan Masyumi. Namun setelah tahun 1958 tersebut, kaum wanita ini merasa ada sesuatu yang hilang yaitu gejolak (animo) mereka untuk berpolitik dan berorganisasi. Disamping tak adanya reference pesonal,  Perti dan PNI Kecamatan Sungai Beremas bagi mereka tidak memberikan wadah untuk menggantikan Masyumi. Mungkin karena kehadiran PNI dan Perti selama ini hanya disiapkan oleh para tokoh pendirinya untuk kaum laki-laki saja. Berbeda dengan Masyumi yang telah memiliki source tersendiri, yaitu Muhammadiyah dengan Aisyiyah-nya.   

Selama lebih kurang tiga tahun, kaum wanita di daerah ini ”diam”. Pada tahun 1963, Gerwani mulai menanamkan pengaruhnya di Kecamatan Sungai Beremas, sebagaimana halnya PKI, melalui figur out-group.  Bagi wanita-wanita mantan aktifis Aisyiah-Muhammadiyah dan Masyumi ini, PKI dan Gerwani itu adalah dua entitas organisasi social politik yang berbeda. Aktifitas sosial politik Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas, tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang Aisyiah-Muhammadiyah. Disamping tokoh-tokoh kunci Gerwani di daerah ini berasal dari aktifis Aisyiah-Muhammadiyah, aktifitas sosial politik-nya pun tidak bisa dilepaskan dari apa yang selama ini mereka lakukan pada Aisyiah-Muhammadiyah.   Ada perbedaan yang mendasar ketika wanita-wanita tersebut melakukan aktifitas sosial politik waktu masih aktif di Aisyiah-Muhammadiyah dengan ketika bergabung di Gerwani. Mereka memiliki kesadaran politik tinggi ketika masih berada di Aisyiah-Muhammadiyah karena didukung dan dibina oleh kelompok laki-laki panutan yang sadar politik. Sementara ketika mereka aktif di Gerwani, walau hanya dalam waktu lebih kurang 2 tahun, kesadaran politik ini berganti dengan kegiatan-kegiatan yang lebih fokus kepada peningkatan kepribadian kewanitaan dan urusan-urusan domestik. Padahal dua organisasi ini eksis di Kecamatan Sungai Beremas pada fase intensitas politik tinggi, yaitu menjelang Pemilu 1955 dan peristiwa PRRI serta fase isu-isu politik sangat dinamis dan penuh intrik-intrik politik pada tahun 1962-1965.

Mayoritas wanita-wanita yang aktif dalam Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas, adalah bagian penting dari peristiwa politik PRRI di daerah ini. Sehingga mereka adalah kelompok yang merasakan dua kali implikasi psikologis-politik. Menanggung beban politik dan ekonomi pasca PRRI, serta menanggung beban politik yang (bahkan) jauh lebih berat pasca G 30 S.  Sebagian besar dari mereka adalah wanita-wanita yang berasal dari etnik Minangkabau. “Kena dua kali” – sebuah istilah yang selalu mereka gunakan, mereka tebus dengan apatisme dan ketidakpercayaan pada dunia politik. Banyak diantara mereka, mengasingkan diri karena takut terjebak lagi untuk “ketiga kalinya”. Hal ini menjadi salah satu indikasi kuat untuk menjawab pertanyaan, “mengapa wanita-wanita yang berasal dari etnik Minangkabau di Kabupaten Pasaman Barat teramat minim terlibat dalam ranah politik praktis?”.     Sudah cukup banyak kajian-kajian mengenai Gerwani dan hubungannya dengan implikasi politik yang diterima oleh para pengikutnya. Bahkan kajian Gerwani di Sumatera Barat yang dilakukan oleh beberapa orang peneliti, cukup representatif. Demikian juga dengan posisi dan implikasi politik bagi kaum wanita di Sumatera Barat berkaitan dengan peristiwa pemberontakan PRRI. Namun, kajian yang membahas mengenai pergeseran pilihan ideologis entitas atau kelompok wanita tertentu, khususnya di Sumatera Barat, kepada pilihan ideologis yang secara historis serta politis, sangat minim dilakukan.   

Selama ini, kajian-kajian tentang Gerwani ataupun PRRI yang dikaitkan dengan posisi politik entitas sosial politik wanita, mayoritas sangat centre-mindsett. Seakan-akan, wanita-wanita yang bermukim dan beraktifitas di daerah perkotaanlah, pada masa 1950-an dan 1960-an, yang memiliki sense of politic serta pihak yang merasakan dampaknya. Padahal cukup banyak wanita-wanita yang bukan berdomisili di centre tersebut memiliki kesadaran politik tinggi serta kelompok yang paling (sering) merasakan implikasi politik dari kesadaran politik mereka tersebut. Salah satunya wanita di Kecamatan Sungai Beremas pada era 1950-an dan 1960-an.  Dalam konteks diatas, semoga kajian ini bisa menjadi bagian kecil untuk menyusun rangkaian yang lebih besar dari temuan-temuan ilmu pengetahuan.    

Senin, 05 Maret 2012

Eropa pada Perang Dunia II dan Sekarang dalam "Lanskap Photography"

Edit ulang : Muhammad Ilham

Perang Dunia ke II menghadirkan Jerman sebagai "aktor utama". Selama Perang Dunia II, Jerman menyerbu sebagian besar wilayah Eropa dengan menggunakan taktik baru yang disebut "Blitzkrieg" (perang kilat). Taktik Blitzkrieg mencakup pengerahan pesawat terbang, tank, dan artileri. Pasukan-pasukan ini akan menerobos pertahanan musuh menyusuri front yang sempit. Kekuatan udara menghalangi musuh untuk menutupi celah pertahanan yang lowong. Pasukan Jerman mengepung pasukan lawan dan memaksa mereka untuk menyerah. Dengan menggunakan taktik Blitzkrieg, Jerman menaklukkan Polandia (diserang pada bulan September 1939), Denmark (April 1940), Norwegia (April 1940), Belgia (Mei 1940), Belanda (Mei 1940), Luksemburg (Mei 1940), Prancis (Mei 1940), Yugoslavia (April 1941), dan Yunani (April 1941). Selanjutnya, sejarah kemudian mencatat, Eropa dan kawasan Asia Pasifik, diharu biru oleh perang yang - dalam sejarah- tercatat sebagai salah satu perang yang banyak memakan korban. Dibawah ini, ada beberapa foto yang memberikan pesan tentang Perang Dunia ke II di daerah "asalnya" yaitu Eropa (menggabungkan dua buah foto, Eropa masa Perang Dunia II - dalam bulatan hitam putih - dan Eropa sekarang).



Reichstag, Berlin - Gedung Parlemen
Stasiun sub-way Frankfurter Allee
Berlin - Germany

Leningrad - Rusia
Viena - Switzerland
Moscow - Rusia


Vienna - Istana Hoffburg



Berlin, Simpang Vilhelminenhofshtrasse & Edisonshtrasse
Praha, Ceko


Sumber : www.google.com/cnn.com - "sebagai bahan tambahan buat mahasiswa saya di Kelas Sejarah Dunia : Peradaban Eropa Modern".

Sabtu, 03 Maret 2012

Dari Diskusi tentang Phallus

Oleh : Muhammad Ilham

"Kala batu bicara", demikian kata Brainwood puluhan tahun yang lalu, "maka tafsiran bisa terkesan liar ketika pemahaman konteksual dikesampingkan". Dan itu saya rasakan beberapa tahun lalu, kala berkesempatan pergi ke beberapa tempat di Sumatera Utara, Aceh dan beberapa daerah di Sumatera Barat. Saya terpana melihat p...hallus. Sebuah istilah dalam ilmu arkeologi untuk menamakan batu tua "tegak berdiri" sedikit melengkung yang dijumpai di makam-makam raja-raja "saisuak". Phallus, batu tegak penanda makam raja. Bentuknya sangat sensual, mirip penis "anak jantan", dengan kepalanya yang sudah disunat. Ketika melihat phallus ini, secara tidak langsung ada ada pesan yang kita tangkap (setidaknya saya) : "hei bung, disini dimakamkan pejantan tangguh" - hehehe, meminjam istilah Sheila on 7. "Nenek moyang kita doyan porno", kata seorang teman saya yang terheran-heran memandang phallus ini sambil menggosok-gosok kepala phallus yang batangnya melengkung dan sudah menua dilumuri lumut, tapi tetap gagah. Phallus hanyalah bagian kecil dari sensualitas sejarah masa lalu. Bila kita lihat peninggalan tradisi Hindu-Budha kuno, banyak simbol-simbol free sex. Bila ditinjau dari etika kekinian, karya zaman "mpu Tantular" dan mpu-mpu lainnya ini, terkesan pornografis. Tapi, sebagaimana yang diungkapkan Brainwood diatas, pemahaman kontekstual haruslah diperhatikan. Jiwa zaman dalam bahasa ilmu sejarahnya. Patung-patung ini merupakan produk dari masa seksualitas tradisional. Diperkirakan wacana seksualitas ini berasal dari India yang merupakan hulu dari tradisi Hindu (hehehe, jadi ingat Kamasutra). 

Dalam beberapa candi di India dan Indonesia, ada penggambaran nyata alat kelamin dan hubungan seks. Hubungan seksual di zaman Hindu-Budha kuno tersebut, merupakan simbolisasi dari kesuburan. Simbol-simbol seksualitas ini, baik dalam praktek sehari-hari maupun secara abstrak, menjadi jimat yang harus menjamin berhasilnya panen dan kemakmuran. Ong Kho Kham mengatakan pada masa Raja Singasari terakhir, Kertanegara (1268-1292), mencari jimat atau kekuatan ghaib agar panen berhasil dengan jalan Tantrisme - melakukan hubungan seksual sepuas-puasnya sampai letih-muak. Seksualitas juga terungkap pula dalam perkawinan Ken Arok dan Ken Dedes. Seksualitas bukan hanya dimaknai sebagai sebuah keliaran/barbarisme, tapi sebuah jalan untuk memakmurkan masyarakat. Mungkin dalam konteks inilah, raja-raja dahulu memiliki anak puluhan, cucu ratusan dan cicit hampir ribuan dengan istri yang berjumlah entah berapa puluh pula.

Berikut, beberapa (sebagian tidak diposting) tanggapan/diskusi tentang topik diatas di Muhammad Ilham Fadli FB : 

Abdullah Awang :  saya suka ilmu dalam tulisan ini. ianya banyak menceritakan pengalaman masa lalu beberapa etnik Nusantara yang terlepas pandangan kepada kita hari ini. Adakalanya kita tidak melihat sesuatu itu dari sudut atau kacamata Islamisme, malah kebanyakannya menilik dari pandangan sekular. Kalu dilihat dari duniawi maka seksulitas itu adalah porno. tetapi kalu disoroti melalui pandangan Islam tentunya dilihat pada harmonisnya kejadian Ilahi.

Khairul Ashdiq : Satu pertanyaan bang, apakah mungkin kepunahan peradaban zamn "saisuak" itu karena eksploitasi area sensitif ini yang terlalu vulgar.. Membaca kepada sejarah kaum nabi Luth melalui al Quran dan penjelasan Rasulullah, sangat jelas bahwa salah guna bagian "pejantan tangguh" inilah akhirnya Allah swt membalikan bumi tempat mereka berdiam.. Konteks ini kiranya laik menjadi satu perspektif dalam membaca sejarah yang leluhur terdekat kita.. Seperti kita ketahui bahwa "Historia Magistra Vitae Est" sejarah adalah guru terbaik kehidupan.. Jika memang iya kondisinya seperti itu Mudah2an ini menjadi pedoman bagi kita yang hidup d zaman sekarang dimana media eksploitasi seksualitas sudah sangat beragam.. Contoh-contoh salah laku yang dulu dibagi mengikut periode waktu, kaum, dan suku bangsa.. Di zaman kita semuanya sudah ada dalam satu periode waktu.

Utje F. Felagona : koreksi sedikit bang; phallus memang terlihat telah disunat, tetapi karena 'sunat' terkait dengan pandangan abrahamik, cenderung nanti menimbulkan keraguan karena pemaknaannya berbeda. Phallus selalu dibuat dalam posisi ereksi/ tidak dalam posisi normal tanpa adanya akumulasi darah dalam pembuluh. Dari perspektif biologi, kulup atau bagian kulit yang menutupi kepala penis, memiliki fungsi yang melindungi kepala penis yang sensitif karena adanya simpul2 syaraf disana. Penis dalam kondisi ereksi sempurna, dalam kondisi kulup/kulit masih ada, juga terlihat seperti telah disunat.  Pertanyaannya, mengapa phallus selalu berupa penis yang ereksi secara sempurna, tentu ada pemaknaan yang lebih dari sekedar bentuk perlambangan seksualitas tertentu. Karena untuk ereksi, penis membutuhkan ransangan/impuls tertentu baik secara fisik berupa sentuhan, kombinasi ransang syaraf yang berkaitan dengan indera2 pencandra, ransang imajinatif dimana stimuli berkaitan dengan pengetahuan, dan faktor-faktor metabolisme tubuh yang berkaitan dengan sirkulasi darah, siklus hormonal dan adaptasi terhadap lingkungan.  Jika kontekstualitas hanya dimaknai sebagai persoalan etika dan perspektif pengetahuan sejarah dari latar agama tertentu, sebagaimana bang khairul dan pak abdullah awang, seringkali kita terjebak pada soal-soal yang cenderung berperan sebagai mitos, karena hanya menyoal relatifitas reflektif pada masalah2 yang telah menjadi ekstrim. Pornografi dan barbarisme adalah kondisi-kondisi yang telah melebih kondisi2 normal (bukan normatif) seksualitas, dan sangat berkait dengan perspektif etika dan ideologis yang seringkali hitam dan putih, dimana hitam dan putih adalah perlambang sebuah kontras (kondisi ekstrim dari sesuatu yang alamiah). Karena, sekalipun berada dalam ketelanjangan, masyarakat yang hidup dipedalaman (mulai dari papua hingga mentawai), seksualitas dan pro-kreasi tetap dalam rambu-rambu etik yang bersifat khusus. Begitu juga dalam kebudayaan tantrik, yang masih terdapat di bebarapa daerah di Bali dan Jawa, eksploitasi seksualitas badani bukanlah sesuatu yang terlihat segampang dalam tulisan etnografi, karena hal itu bagi mereka adalah bagian dari siklus kehidupan dari lahir hingga ke kematian. :)

Muhammad Hidayat : Tidakkah  phalus merupakan simbol kelelakian atau budaya patriakhi pada zaman saisuak ?

Safwan Yusuf : Phalus adalah dewa penis dan punya jinja (temple), saya pernah kesana, bisanya pasangan muda meminta berkah supaya si calon ayah bisa memberikan anak laki2 yang sehat. Tanggal 15 Maret ada perayaannya di Jepang.Ini bermula pada masa Edo Jidai

Jumat, 02 Maret 2012

Perahu Tertua Indonesia Zaman Mataram Hindu

Ditulis ulang : Muhammad Ilham 

Beberapa tahun lalu tepatnya pada hari Sabtu tanggal 26 Juli 2008, dipagi hari sekitar pukul 7:30 pagi, beberapa warga di desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Jawa Tengah sedang membuat tambak garam. Mereka menggali dengan cara memacul tanah di daerah pesisir tersebut. Lokasi berada sekitar 400 meter dari pantai yang sekarang, yang mungkin dahulunya wilayah situs ini masih merupakan pinggir pantai. Lalu, secara tidak sengaja mereka, para penggali tambak garam tersebut menemukan bangkai perahu kuno yang kemudian wilayah situs itu dikenal dengan nama Situs Kapal Punjulharjo.  Dari hasil identifikasi, jenis kapal berasal dari sekitar abad ke 7 dan 8 setara dengan pembangunan Candi Borobudur. Ini adalah penemuan kapal kayu yang paling komplit dan bisa jadi yang tertua di Indonesia!. Dan penemuan tersebut terlengkap di Asia Tenggara karena kondisi kapal tersebut pada lambung bawahnya masih utuh, dibanding temuan di sejumlah wilayah lain seperti di Sumatera dan juga di negara lain seperti di Malaysia dan Filipina.




Menurut Kepala Balai Yogyakarta,  perahu kuno berusia jauh lebih tua dibandingkan Candi Borobudur yang dibangun pada sekitar abad ke-9 Masehi. Beberapa bulan lalu, sampel kayu perahu yang dikirim ke Amerika untuk diteliti melalui teknologi carbon dating telah keluar. Hasilnya laboratorium menyatakan positif sampel itu berasal dari abad ke 7 Masehi atau sekitar era Mataram Hindu. Hasil uji sampel itu juga mengukuhkan perahu itu sebagai situs arkeologi kelautan tertua dan terutuh yang pernah ditemukan di Indonesia.



Sumber : (c) IndoCropCircles.Wordpress.com

Nuklir, Iran vs Israel dan Soft Power

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini telah penulis posting di Kompas-media.com pada bulan Nopember 2011 yang lalu. Karena kasus Nuklir Iran versus Israel ini kembali aktual dan menjadi headline banyak media massa dalam dan luar negeri, maka penulis mem-posting kembali (dengan mengurangi beberapa alinea) yang terkesan kehilangan konteks waktu. 





Amerika Serikat memiliki kepentingan politis dan ekonomis di Timur Tengah, itu sudah pasti.  Dan hanya Israel yang dianggap loyalist Amerika Serikat di kawasan ini (demikian juga sebaliknya, Amerika Serikat juga loyalist Israel). Hubungan dua negara ini bukan hanya bersifat simbiosis mutualisme ekonomis dan politis semata, tapi sudah menjadi hubungan “genetik-politik”. Beda dengan beberapa negara Kesultanan kaya Timur Tengah, seperti Arab Saudi yang juga (dianggap) sebagai loyalis Amerika Serikat. Hubungan mereka - dalam konteks perspektif rasional politik - hanyalah hubungan yang bersifat pragmatisme (ekonomi) politik. “Minyak” dan “tanah” untuk pangkalan senjata, tak lebih tak kurang. Dan, para Sultan di Timur Tengah berkepentingan untuk menjaga kekuasaan-absolut mereka. Sebuah contradictio-interminis dengan semangat demokrasi (semu) yang diusung-usung Amerika Serikat di bumi nan bulat ini. Pada siapa lagi para Sultan ini “bersandar” kalau bukan pada Obama ?. Jadi tidaklah mengherankan apabila Amerika Serikat (dan NATO, tentunya, plus PBB) menutup mata ketika tentara Arab Saudi membombardir pengunjuk rasa yang ingin menjatuhkan kekuasaan Sultan Al-Khalifa di Bahrain. Sultan Arab Saudi menyediakan tempat (dulunya) untuk menyerang “saudara muslimnya”, Saddam Hussein. Tak juga mengherankan pula, belakangan terdapat bocoran kawat diplomatik Inggris bahwa pemerintah Arab Saudi juga mendukung rencana serangan Israel ke Iran, bahkan mereka bersedia menyediakan tempat di negeri asal Rasulullah SAW. ini untuk menyerang Iran, sebuah negera paling demokratis di kawasan Timur Tengah selain Israel. Negara-negara lain di kawasan ini (hingga sekarang) masih ada yang mengenal sistem politik, “wanita tidak boleh jadi politisi”, Iran justru pernah menempatkan wanita menjadi wakil Presiden mereka. Ketika negara-negara di daerah kaya minyak ini masih mengenal sistem politik “tanpa pemilu”, Iran justru memiliki dinamika pemilu yang teramat menarik dan dinamis. Tapi mengapa semua negara yang banyak orang mengatakan sebagai negara-negara maju, justru menganggap Iran sebagai negara “orang gila” (seperti yang diutarakan Senator AS dari Texas), negara yang dipimpin oleh orang-orang despot, dan ……. “negara setan” ucap mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush. 

Lalu mengapa Iran ? ….. Bila Khaddafi pantas untuk diturunkan oleh NATO (tentunya dibawah pimpinan Amerika Serikat dan justifikasi politik dari PBB) dikarenakan putra dari suku Tuareq ini memimpin negara kaya minyak, dan ….. tak mau dikontrol negara-negara yang (katanya) maju tersebut. Maka Iran, sejak Syah Reza Pahlevi dijatuhkan tahun 1979 dalam Revolusi Islam Islam dibawah pimpinan Ayatullah Ruhullah Khomeini, menjadi negara Timur Tengah yang selalu menegaskan posisi mereka secara jelas : Israel dan “keturunan-keturunannya” adalah musuh mereka. Titik. Sejak Iran dipimpin oleh Presiden Bani Sadr, Ali Raja’i, Rafsanjani, Khatami hingga Mahmoud Ahmadinedjad, posisi jelas-tegas tersebut tak pernah beranjak. Tentunya, hal ini membuat Israel dan Amerika Serikat menjadi “paranoid”. Iran bukanlah Suriah/Syiria yang juga “karengkang”, tapi negara pimpinan klan Al-Assad itu hanyalah negara yang tidak kaya dan (sekaligus) tidak pintar. Libanon ? …. sudah diporakporandakan Israel. Apalagi Mesir yang setiap tahun masih menjadi pelanggan setia IMF dan subsidi Amerika Serikat. Aljazair dan Tunisia ? Mereka masih disibukkan mencari format terbaik sistem politik negara mereka. Dan toh pun, mereka tak kaya amat. Minyak tidak ditakdirkan “singgah” di negara belahan atas benua Afrika ini. Negara-negara Teluk-kaya minyak lainnya seperti Oman, UEA, Kuwait dan Bahrain (tentunya dibawah komando Arab Saudi), hanyalah negara-negara “boneka barbie” Anglo-Saxon. Tapi Iran, beda. Mereka, seperti halnya Libya, juga kaya dengan minyak. Orang-orang Iran, memiliki “trah-genetik” lain dibandingkan negara Arab. Mereka keturunan Persia. Peradaban mereka dahulunya agung. Bahkan sejarah mencatat, Persia merupakan satu dari dua negara adikuasa pada zamannya, selain Romawi. Sehingga tidaklah mengherankan apabila Iran memiliki kebanggaan historis dan referensi sendiri, (serta) diperkaya dengan militansi teologis Syi’ah yang menggetarkan dalam sejarah. Buktinya, Saddam Hussein terpaksa mengeluarkan “bendera putih” dalam Perang 10 tahun Irak-Iran. Padahal Iran pada waktu itu masih sedang melakukan konsolidasi internal pasca kejatuhan Syah Reza Pahlevi. Kekayaan historis dan militansi inilah yang kemudian melahirkan kemandirian untuk tidak mau diinjak-injak negara lain. Dengan ditopang sumber daya manusia Iran yang masuk kategori pintar-pintar, Iran tumbuh dan berkembang menjadi negara yang kuat dan memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Intelektual mereka merupakan intelektual “papan atas”. Saintis yang mereka miliki, masuk kategori nobel. Bahkan secara berseloroh, seorang teman saya pernah mengatakan : “bila tak ada Iran, tentunya dunia Islam modern sekarang masih dianggap negara-negara Barat sedang belajar alif ba ta“. Karena itulah mungkin, Iran memiliki kepercayaan diri membangun kekuatan militer mereka melalui putra-putra terbaik mereka sendiri (dengan tentunya diback up Rusia). Proggres kekuatan militer Iran sekarang , menurut reuters, begitu menakutkan Amerika Serikat, terutama Israel. Ditambah lagi dengan proyek pengembangkan nuklir yang mereka lakukan, membuat Amerika Serikat dan Israel merasa perlu untuk menyerang instalasi nuklir Iran, dengan dalih “untuk perdamaian dunia”. Ditambah tentunya dengan diktum : “yang boleh memiliki nuklir itu hanyalah kami, bukan anda”.

Lalu dimana kekuatan Iran sejatinya dalam menghadapi ancaman Israel yang nota benenya didukung tanpa reserve oleh saudara tuanya - Amerika Serikat ? ..... Menurut pakar Hubungan Internasional, Dina Yulianti Sulaiman, Soft Power lah kekuatan utama negara para Mullah ini. Menurut Dina, dalam studi Hubungan Internasional, power, atau kekuatan negara-negara biasanya didefinisikan dalam dua kategori, hard power dan soft power. Hard power secara singkat bisa dimaknai sebagai kekuatan material, semisal senjata, jumlah pasukan, dan uang yang dimiliki sebuah negara. Umumnya pemikir Barat (atau pemikir Timur yang westernized) lebih memfokuskan pembahasan pada  hitung-hitungan hard power ini. Contohnya saja, seberapa mungkin Indonesia bisa menang melawan Malaysia jika terjadi perang? Yang dikedepankan biasanya adalah kalkulasi seberapa banyak senjata, kapal perang, kapal selam, dan jumlah pasukan yang dimiliki kedua negara. Begitu juga, di saat AS dan Israel berkali-kali melontarkan ancaman serangan kepada Iran, yang banyak dihitung oleh analis Barat adalah berapa banyak pasukan AS yang kini sudah dipindahkan ke pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan sekitar Teluk Persia; seberapa banyak rudal yang dimililiki Iran, seberapa jauh jarak jelajahnya, dst. Bila memakai kalkulasi hard power, harus diakui bahwa sebenarnya kekuatan Iran masih jauh di bawah AS. Apalagi, doktrin militer Iran adalah defensive (bertahan, tidak bertujuan menginvasi Negara lain). Iran hanya menganggarkan 1,8% dari pendapatan kotor nasional (GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7 M dollar). Sebaliknya, AS adalah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia, yaitu 4,7% dari GDP atau sebesar  687 M dollar. Bahkan, AS telah membangun pangkalan-pangkalan militer di berbagai penjuru dunia yang mengepung Iran.

Apa itu soft power? Secara ringkas bisa dikatakan bahwa subtansi soft power adalah sikap persuasif dan kemampuan meyakinkan pihak lain; sementara hard power menggunakan kekerasan dan pemaksaan dalam upayanya menundukkan pihak lawan. Karena itulah, menurut Mohammadi, dalam soft power, mentalitas menjadi kekuatan utama dan investasi terbesar yang dibangun Iran adalah membangun mental ini, bukan membangun kekuatan militer. Pemerintah Iran berusaha untuk menumbuhkan nilai-nilai bersama, antara lain nilai tentang kesediaan untuk berkorban dan bekerja sama dalam mencapai kepentingan nasional. Mohammadi mengidentifikasi ada 10 sumber kekuatan soft power Iran,tiga diantaranya adalah sebagai berikut :

Faktor Tuhan memang jarang disebut-sebut dalam analisis politik. Tapi, kenyataannya, memang inilah yang diyakini oleh rakyat Iran, dan inilah sumber kekuatan mereka. Menurut Mohammadi, bangsa Iran percaya bahwa orang yang berjuang melawan penentang Tuhan, pastilah dibantu oleh Tuhan. Dengan kalimat yang indah, Mohammadi mendefinisikan keyakinan ini sebagai berikut, “Kenyataannya, mereka [yang berjuang di jalan Allah] bagaikan tetesan air yang bergabung dengan lautan luas, lalu menghilang dan menyatu dalam lautan, kemudian menjelma menjadi kekuatan yang tak terbatas.” Keyakinan ini semakin kuat setelah bangsa Iran pasca Revolusi terbukti berkali-kali meraih kemenangan dalam melawan berbagai serangan dari pihak musuh, mulai dari invasi Irak (yang didukung penuh oleh AS, Eropa, Arab, dan Soviet), hingga berbagai aksi terorisme (pengeboman pusat-pusat ziarah, pemerintahan, dan aparat negara). Salah satu kejadian yang dicatat dalam sejarah Iran adalah kegagalan operasi rahasia Angkatan Udara AS untuk memasuki Teheran. Pada tahun 1980, Presiden AS Jimmy Carter mengirimkan delapan helicopter dalam Operasi Eagle Claw. Misinya adalah menyelamatkan 52 warga AS yang disandera para mahasiswa Iran di Teheran. Operasi itu gagal ‘hanya’ karena angin topan menyerbu kawasan Tabas, gurun tempat helikopter itu ‘bersembunyi’ sebelum meluncur ke Teheran. Angin topan dan pasir membuat helikopter itu saling bertabrakan dan rusak parah. Mengomentari kejadian ini, Imam Khomeini mengatakan, “Pasir dan angin adalah ‘pasukan’ Allah dalam operasi ini.” 

Kemudian, peran kepemimpinan dan komando adalah faktor yang sangat penting dalam situasi konflik, baik itu militer, politik, atau budaya. Pemimpin-lah yang menjadi penunjuk arah dalam setiap gerakan perjuangan. Dialah yang menyusun rencana dan strategi untuk berhadapan dengan musuh. Menurut Mohammadi, hubungan yang erat dan solid antara pemimpin dengan rakyatnya adalah sumber power yang sangat penting. Di Iran, karena yang menjadi pemimpin adalah ulama yang memiliki kredibilitas tinggi, kepatuhan kepada pemimpin bahkan dianggap sebagai sebuah gerakan relijius, dan inilah yang menjadi sumber utama kekuatan soft power Iran. Dalam kalimat Mohammadi, “[it] is a source of power per se, that assures the friends and frightens the foes.”  

Selanjutnya, Revolusi Islam Iran telah menggulingkan Shah Pahlevi yang didukung penuh oleh Barat. Pra-revolusi Islam, Barat sangat mendominasi Iran, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Kepentingan Barat di Iran terancam oleh naiknya seorang ulama yang menyuarakan independensi dan sikap anti kapitalisme-liberalisme, yaitu Imam Khomeini. Karena itulah, Barat dengan berbagai cara berusaha menggulingkan pemerintahan Islam, antara lain dengan memback-up Saddam Husein untuk memerangi Iran. Saddam yang sesumbar bisa menduduki Teheran hanya dalam sepekan, ternyata setelah berperang selama 8 tahun tetap tidak mampu mengalahkan Iran. AS dan Eropa kemudian menerapkan berbagai sanksi dan embargo; berusaha meminggirkan Iran dalam pergaulan internasional, mempropagandakan citra buruk terhadap pemerintahan Islam, dll. Karena didasari oleh dua faktor sebelumnya (keyakinan pada rahmat Tuhan dan faktor kepemimpinan relijius), bangsa Iran mampu bertahan hidup dalam situasi yang sulit dan berjuang untuk mengubah tekanan dan ancaman ini menjadi kesempatan untuk maju dan berdikari. Contoh mutakhirnya adalah, ketika akhir-akhir ini semakin marak pembunuhan terhadap pakar nuklir Iran yang didalangi oleh agen-agen rahasia asing; jumlah pendaftar kuliah di jurusan teknik nuklir justru semakin meningkat. Inilah jenis mental yang berhasil dibangun oleh pemerintah Iran selama 34 tahun terakhir:  semakin ditekan, semakin kuat semangat perjuangan mereka. Dalam pidato terbarunya di Teheran, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei, menyinggung masalah ini. Beliau mengatakan, “Ketika kita diembargo, kemampuan kita justru semakin meningkat, potensi kita justru semakin terasah, kita tumbuh dari dalam. Jika kita tidak diembargo senjata, hari ini kita tidak akan mencapai kemajuan yang mengagumkan. Jika kita tidak diembargo dalam pengembangan nuklir –padahal reaktor nuklir Bushehr itu mereka [Barat] yang membangunnya—hari ini kita tidak memiliki kemampuan dalam pengayaan uranium,. Jika mereka tidak menutup pintu-pintu ilmu dari kita, hari ini kita tidak akan mampu menciptakan stem cell, menguasai ilmu antariksa dan mengirim satelit ke angkasa luar. Karena itu, semakin mereka mengembargo kita, semakin besar kita mampu menggali kemampuan dan potensi kita sendiri. Dan semakin hari, potensi kita itu akan semaki mekar berkembang. Karena itulah, embargo sesungguhnya bermanfaat bagi kita.”

Belajar dari Iran, kita perlu mengajukan pertanyaan, bagaimana dengan Indonesia hari ini? Faktor kepemimpinan yang lemah dan lebih mendahulukan membeli pesawat produk luar negeri jelas faktor yang sangat melemahkan soft power Indonesia. Namun sebagai bangsa, kita masih memiliki kekuatan untuk membangun dari dalam, dimulai dari diri sendiri, yaitu membangun kekuatan dan keyakinan spiritual; membangun etos perjuangan berbasis relijiusitas.

Sumber Foto : reuters.com/AFP News.
Referensi : Dina Yulianti S. 

Kamasutra Blogger & Fesbuker


Kamasutra a-la Blogger dan Fesbuker ........
Bagaimana gaya anda ?

Foto : (c) blogdetik.com

Machiavelli


Dalam tradisi Filsafat Politik, nama MACCHIAVELLI adalah kebengisan dalam meraih kekuasaan. Tapi mari kita "inap-inapkan" perkataannya : ”untuk meraih kekuasaan, jika perlu menghabisi nyawa seseorang, lakukan itu, asal alasannya jelas. Namun, ” begitu tulis Machiavelli, "terutama bagi seorang pemimpin tak boleh mencuri harta rakyatnya karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya.” 



Kamis, 01 Maret 2012

Historia Repete ... dan Sejarah Sudah "Ditakdirkan" Terus Berulang

Oleh : Muhammad Ilham

Hidup adalah siklus ...... sejarah terus berulang, karakter dan kepribadian manusia-pun terus berulang kembali. Sebagai makhluk yang berusaha menjaga eksistensinya, maka manusia-pun terus berusaha menjaga hal itu, walau tetap mengulang kesalahan manusia sebelumnya dalam "bungkusan" dan simbol yang secara substantif adalah sama.
(Ali Shariati, 1992)

April 1969, Presiden Suharto mencanangkan Pembangunan Lima Tahun Pertama 1969-1974 (Pelita : yang kemudian sangat "disakralkan"). Dari Maret 1966 hingga April 1969, para pelopor dan penegak Orde Baru, gencar mengumandangkan "pembaharuan" dan "pelurusan" terhadap apa yang disebut dengan "Orde Lama". Lucunya, ketika itu, "Orde Lama" dianggap sebagai total waktu pemerintahan Soekarno, dari tahun 1945-1967. Padahal secara resmi Orde Lama hanya berlangsung dari bulan Juli 1959 (ditandai dengan keluarnya Dekrit Presiden) sampai dengan Maret 1967. Antara 1966-1969, konsep politik yang "membahana" dalam ruang publik adalah "pembaharuan". Sedangkan, sejak Mei 1998, wacana yang familiar adalah "reformasi". Bila pada awal Orde Baru, kata-kata kunci yang "bersilewaran" dalam khazanah publik adalah "anti-korupsi" dan "anti-kelaliman", maka wacana sejak Mei 1998 adalah "anti-korupsi", "anti-KKN". Dahulu yang dihujat dalam setiap demonstrasi mahasiswa dan media cetak adalah Presiden Sukarno, mak selama Juni 1998-April 199, hampir setiap media cetak dan elektronika cenderung menyebut krisis yang (sedang) kita alami sebagai sesuatu yang bersumber semata-mata dari kesalahan-kesalahan Presiden Suharto. Rezim Orde Lama disalahkan untuk segala jenis krisis yang menimpa Indonesia selama 1966-1969, dan Rezim Orde Baru juga disalahkan sebagai penyebab krisis yang kita rasa sekarang.

Dalam setiap seminar dan sarasehan antara tahun 1998-1999 bahkan hingga sekarang, hampir setiap pembicara menolak segala sesuatu yang bertalian dengan Orde Baru, tak ada yang patut dipertahankan, diperbaharui apalagi dijunjung tinggi dari Rezim Suharto tersebut. Hal yang sama juga dirasakan pada tahun 1966-1969, hampir dalam setiap seminar dan sarasehan serta diskusi, selalu mengungkapkan bahwa Sukarno dan Rezim Orde Lama-nya tak ada yang patut untuk ditiru apalagi dihormati. Sebelum 11 Maret 1966, tak ada mahasiswa, tokoh politik dan intelektual yang berani menentang hegemoni Sukarno, namun setelah ini, mereka menjadi orang yang paling lantang bahkan paling galak menghujat Presiden Sukarno. Pada tahun 1998-1999, hampir setiap hari kita menyaksikan orang-orang yang sebelum 21 Mei 1998 tidak berani mengecam Presiden Suharto, ramai-ramai membuat pernyataan yang lebih menggelegar-meledak-membahana dari pembicara lainnya.

Pada tahun 1966-1969, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat-Sementara (MPR-S) menyatakan SETUJU terhadap keinginan Presiden Sukarno menjadi "Pemimpin Besar Revolusi" serta "Presiden se-Umur Hidup" ........ dan kemudian, mereka juga yang mencabutnya karena tidak sesuai dengan "semangat Orde Baru", katanya (meminjam istilah Nazaruddin). Hal ini juga terlihat pada Sidang MPR 1998 yang mencabut gelar "Bapak Pembangunan" kepada Suharto karena tidak sesuai dengan "semangat Orde Reformasi". Pada Sidang Umum MPRS 1967 dan 1968, tak ada satupun anggota MPRS yang menolak pengangkatan Jenderal Suharto sebagai pejabat Presiden dan Presiden penuh. Pada Sidang Umum MPR setiap Maret (1983, 1988, 1993 dan 1998), tak ada satupun anggota MPR yang berani bicara secara terbuka menyatakan bahwa Suharto lebih baik berhenti. Kemudian yang terjadi adalah, banyak anggota MPR yang menganggap diri mereka reformis pasca 1998 adalah "mereka" yang tidak berani bicara sebelumnya. Apa makna dari semua ini ? Historia Repette ..... sejarah berulang, berulang dan berulang kembali, bahkan bisa dalam bentuk yang lebih konyol dari sebelumnya. Dan kemudian ..... sejarah menempatkan mereka sebagai "insan" yang paling berani, padahal pengecut - insan yang bersih, padahal kotor dan insan yang menganggap dirinya murni, padahal masyarakat tidak kena penyakit "Parkinson". Realitas politik Indonesia belakangan ini sudah kembali menampakkan tanda-tanda seperti ini. Yang anti korupsi berteriak sebagai garda terdepan "Avand Garde", padahal publik tahu bahwa yang berteriak tak lebih dari insan yang hipokrit. Dan lucunya, mereka tidak menyadari atau berusaha untuk "melupakan" track mereka.

Foto : www.health.com