Hampir tak ada intelektual muslim dunia yang tidak mengenalnya. Ia digelari sebagai "Pemikir Muslim Cemerlang Abad Modern Asia" dan "Putra Mahkota Intelektual Islam Abad Modern", SYED Muhammad Naquib Al-ATTAS. Naquib al-Attas, lahir di Bogor, Indonesia pada 5 September 1931 dan anak dari leluhur Ba’Alawi, Hadramaut ini mendapat "kiprahnya" di negera seberang, Malaysia. Ia seumpama Syekh Taher Al-Falaki, lahir di Minangkabau, mencapai "maqom" di negeri orang. Nenek al-Attas, Ruqayyah Hanum adalah seorang bangsawan Turki. Kakeknya, Syed Abdullah bin Muhdin al-Attas, adalah seorang kiyai terkenal di Jawa. Sementara itu, ibunya, Sharifah Raguan al-Aydarus berasal dari Bogor, Jawa dan berketurunan raden-raden kerabat Diraja Sunda dari Sukapura. Karya-karya al-Attas sering menjadi rujukan dalam kajian keislaman, khususnya yang berkaitan Asia Tenggara. Beberapa buah bukunya tersebar dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, seperti Arab, Turki, Persia, Urdu, India, Indonesia, Bosnia, dan Albania. Seluruh karya-karyanya ini mengungkapkan diri al-Attas sebagai seorang intelektual muslim dunia tercerahkan. Keberanian meralat orientalis, kegigihannya berkarya, kepandaian memilih perkataan, serta ketajaman fikirannya, semua itu melengkapkan dirinya sebagai seorang yang harus dihargai dalamjejak intelektual muslim duinia abad modern. Tak salah bila Jennifer Webb tak segan-segan mengolongkan al-Attas sebagai satu-satunya pemikir Muslim dalam Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002).
Berikut saya publish beberapa (hanya sebagian) tanggapan para sahabat tentang topik tokoh ini di Facebook saya (Muhammad Ilham Fadli) :
Sheiful Yazan :
Akankah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi akan sebesar itu jika dia tidak meninggalkan Minangkabau? Fenomena "nabi" seringkali menjadi besar (setelah berkiprah) di tanah rantau perlu penjelasan psiko-sosio-antropologis mungkin Pak Muhammad Ilham.
Muhammad Ilham :
Tak sepenuhnya benar pak Sheiful Yazan. Memang bila dibaca catatan sejarah "menggetarkan" dari manusia-manusia cemerlang asal Minangkabau yang besar dan membesarkan diri di rantau - dalam istilah Wallerstein, mereka menciptakan sejarah karena keluar dari "relung suci habitat mereka" - seperti Hatta, Syahrir, Natsir, Tan Malaka, Chairul saleh Datuk Paduko Rajo, Yamin, Agus Salim ataupun Syekh Taher Djalaluddin al-Falaki - bisa menjadi benar bahwa "daerah rantau" membesarkan mereka, sebagaimana halnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Bahkan Hatta, misalnya, lebih berani menyuarakan "Indonesia Merdeka" ditanah Netherland sana ketika ia kuliah di Rotterdam era 1920-an/1930-an, dan tak "bermantagi" untuk meneriakkan hal serupa di kampung halamannya. Rantau nampaknya memiliki nuansa dan tantangan tersendiri. Tapi bukan berarti, orang2 besar harus berkiprah di rantau. Bak kata teman saya - "merantau itu mudah, tinggal di kampung itu yang sulit". Yang sulit itu pula yang dipilih Inyiak Djambek, Inyiak Djaho, Inyiak Parabek, Inyiak Candang, Inyiak Dotor (HAKA), Mochtar Luthfi, Syekh Mohammad Khatib Ali ataupun Rohana Kudus dan Rasuna Said. Persoalannya adalah "skala prioritas". Bagi Syekh Ahmad Khatib yang pergi karena "ngambek" melihat sistem adat waris Minangkabau, menganggap dirinya ta akan berkembang baik bila pulang ke Minangkabau, sesuatu yang ustru dilakukan oleh murid-muridnya.
Efrin Baka :
Filsafat Baniah agaknyo lah manjadi maliek contoh ka na sudah maliek tuah ka nan manang di Minangkabau ko.
Sheiful Yazan :
Menarik, Pak Muhammad Ilham. Kembali ke Syed Naquib, Bogor sepertinya terlalu nyaman, kurang menantang. Walaupun sempat kembali ke Sukabumi untuk mengaji, Syed Naquib tetap memilih tanah semenanjung untuk menabur benih pemikirannya. Saya baca hal2 yang mirip dengan tokoh2 lain dari tatar Sunda, seperti Ayip Rosyidi yang "besar" di Jepang, atau Syafruddin Prawiranegara yang "besar" di Minangkabau. Yang menarik adalah: kebesarannya di tanah rantau bahkan tidak dikenal di kampungnya. Banyak kawan2 di Jawa Barat bahkan tidak pernah tahu siapa Syed Naquib, seperti juga tidak mengenal Syafrddin. Kenapa begitu?
Muhammad Ilham :
Sebagaimana halnya Chairul Saleh (yang tidak dikenal orang Minangkabau), padahal Datuk Paduko Rajo dilekatkan padanya. Atau katakanlah DN. Aidit (Dja'far Nawawi Aidit/Dipa Nusantara Aidit) anak Haji Tuan Tanah Bangka Belitung asal Danau Maninjau, Haji Aidit. Ada "aroma" air danau Maninjau dalam darah Aidit yang DN itu pak Sheiful Yazan. Kembali lagi pada Al-Attas. Mungkin karena tantangan. Bagi Al-Attas, bisa jadi Bogor tak menarik baginya, sebagaimana halnya Taher Djalaluddin.
Sheiful Yazan :
Makin menarik Pak Muhammad Ilham. Perlu pemetaan tokoh2 centrifugal tersebut. Keterpelantingan mereka oleh tanah kelahirankah, atau apa.... ?
Rusydi Ramli :
Rang Minang lebih tumbuh dan berkembang di "tanah Rantau" karena ranah minang "sompik". Maka kalau untuk besar "gadang" tinggalkan kampung.
Muhammad Ilham :
Ada artikel menarik Uwan Suryadi di Padek. Ambo kutip senek: Mungkin tidak berlebihan jika Jeffrey Hadler (2008:180) mengatakan bahwa ”West Sumatra…became an ideological breeder reactor’’ (reaktor pemijahan ideologi) sejak dulu sampai kini. Tuanku Nan Renceh (Islam konservatif), Fakih Saghir (Islam moderat), Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto (kapitalis), Tan Malaka dan Upiak Itam (komunis), Sutan Sjahrir (sosialis),…dan kini Alexander Aan (ateis) diyakini hanyalah representatif (wakil yang tampak) dari anggota masyarakat Minangkabau penggandrung berbagai ideologi yang dibesarkan dalam kebudayaan yang intinya mengandung paradoks, dan oleh karenanya terus-menerus berada dalam situasi ”darurat permanen” itu.
Muhammad Ilham :
Pak Sheiful dan pak Rusydi .... bahkan beberapa "hidden communitiies" ada yang mengklaim sebagai AGNOSTIK (dan saya yakin, itu hanyalah bagian dari dinamika pemikiran). Terlepas suka atau tidak suka dengan Alexander Aan, teringat dengan catatan sejarah. Tidakkah masa lalu Minangkabau (era 1920-an/1930-an), Komunis mendapat tempatnya dalam kerangka ideologis ? Pada dasarnya jangan dilihat sebagai sebuah "kecelakaan" tapi kemampuan menjawab tantangan. Pada era itu, ideologi komunis yang dianggap sebagai "biduk militan" dalam melawan Belanda. Sedangkan kaum aristokrat (baik ulama maupun adat) lebih bersifat "elitis" dan hanya bermain dalam ranah yang "nyaman", ranah edukasi dan perdebatan teologis-normatif. Sehingga tak salah bila ideologi "merah" ini menjadi pilihan Datuak Batuah yang "gregetan" melihat kaum ulama pada masa itu hanya berkutat di Madrasah (edukasi), bukan lapangan. Dalam konteks ini mungkin kita bisa melihat fenomena A. Aan !. .... saya setuju dengan Uwan Suryadi Sunuri, Minangkabau memang "ditakdirkan" dihuni oleh entitas sosial yang tidak ingin seragam. Tuanku Nan Renceh (Islam konservatif), Fakih Saghir (Islam moderat), Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto (kapitalis), Tan Malaka dan Upiak Itam (komunis), Sutan Sjahrir (sosialis) .... ditambah Chalid Salim (komunis) semntara kakaknya Agus Salim (sosialis-religius), Hamka-Abdullah Ahmad, Inyiak Djambek cs. (modernis) vis a vis dengan Inmyiak Canduang, Inyiak Parabek cs PADA KURUN WAKTU YANG SAMA dengan ZEITGEIST yang sama pula ...... merupakan MINIATUR dari tipikal masyarakat Minangkabau (mungkin subjektif). Karena itu pula, amat terheran-heran kita bila "orang Minangkabau" di plot hanya menjadi SATU "jenis" ideologi saja. A-HISTORIS kita nampaknya.
Muhammad Ilham
Hahaha..... betul-betul-betul. Pak ! Sikap a-historis selalu melahirkan situasi yang tidak sehat, tidak nyaman, dalam ke-minangkabau-an, ke-islam-an, atau ke-indonesia-an sekalipun. Entitas Minang dipandang dengan kebenaran satu kacamata. Maka jadi kafirlah semua orang yang tidak menyetujui pandangan kacamata kuda itu.
Sumber : Muhammad Ilham Face Book/Februari
Berikut saya publish beberapa (hanya sebagian) tanggapan para sahabat tentang topik tokoh ini di Facebook saya (Muhammad Ilham Fadli) :
Sheiful Yazan :
Akankah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi akan sebesar itu jika dia tidak meninggalkan Minangkabau? Fenomena "nabi" seringkali menjadi besar (setelah berkiprah) di tanah rantau perlu penjelasan psiko-sosio-antropologis mungkin Pak Muhammad Ilham.
Muhammad Ilham :
Tak sepenuhnya benar pak Sheiful Yazan. Memang bila dibaca catatan sejarah "menggetarkan" dari manusia-manusia cemerlang asal Minangkabau yang besar dan membesarkan diri di rantau - dalam istilah Wallerstein, mereka menciptakan sejarah karena keluar dari "relung suci habitat mereka" - seperti Hatta, Syahrir, Natsir, Tan Malaka, Chairul saleh Datuk Paduko Rajo, Yamin, Agus Salim ataupun Syekh Taher Djalaluddin al-Falaki - bisa menjadi benar bahwa "daerah rantau" membesarkan mereka, sebagaimana halnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Bahkan Hatta, misalnya, lebih berani menyuarakan "Indonesia Merdeka" ditanah Netherland sana ketika ia kuliah di Rotterdam era 1920-an/1930-an, dan tak "bermantagi" untuk meneriakkan hal serupa di kampung halamannya. Rantau nampaknya memiliki nuansa dan tantangan tersendiri. Tapi bukan berarti, orang2 besar harus berkiprah di rantau. Bak kata teman saya - "merantau itu mudah, tinggal di kampung itu yang sulit". Yang sulit itu pula yang dipilih Inyiak Djambek, Inyiak Djaho, Inyiak Parabek, Inyiak Candang, Inyiak Dotor (HAKA), Mochtar Luthfi, Syekh Mohammad Khatib Ali ataupun Rohana Kudus dan Rasuna Said. Persoalannya adalah "skala prioritas". Bagi Syekh Ahmad Khatib yang pergi karena "ngambek" melihat sistem adat waris Minangkabau, menganggap dirinya ta akan berkembang baik bila pulang ke Minangkabau, sesuatu yang ustru dilakukan oleh murid-muridnya.
Efrin Baka :
Filsafat Baniah agaknyo lah manjadi maliek contoh ka na sudah maliek tuah ka nan manang di Minangkabau ko.
Sheiful Yazan :
Menarik, Pak Muhammad Ilham. Kembali ke Syed Naquib, Bogor sepertinya terlalu nyaman, kurang menantang. Walaupun sempat kembali ke Sukabumi untuk mengaji, Syed Naquib tetap memilih tanah semenanjung untuk menabur benih pemikirannya. Saya baca hal2 yang mirip dengan tokoh2 lain dari tatar Sunda, seperti Ayip Rosyidi yang "besar" di Jepang, atau Syafruddin Prawiranegara yang "besar" di Minangkabau. Yang menarik adalah: kebesarannya di tanah rantau bahkan tidak dikenal di kampungnya. Banyak kawan2 di Jawa Barat bahkan tidak pernah tahu siapa Syed Naquib, seperti juga tidak mengenal Syafrddin. Kenapa begitu?
Muhammad Ilham :
Sebagaimana halnya Chairul Saleh (yang tidak dikenal orang Minangkabau), padahal Datuk Paduko Rajo dilekatkan padanya. Atau katakanlah DN. Aidit (Dja'far Nawawi Aidit/Dipa Nusantara Aidit) anak Haji Tuan Tanah Bangka Belitung asal Danau Maninjau, Haji Aidit. Ada "aroma" air danau Maninjau dalam darah Aidit yang DN itu pak Sheiful Yazan. Kembali lagi pada Al-Attas. Mungkin karena tantangan. Bagi Al-Attas, bisa jadi Bogor tak menarik baginya, sebagaimana halnya Taher Djalaluddin.
Sheiful Yazan :
Makin menarik Pak Muhammad Ilham. Perlu pemetaan tokoh2 centrifugal tersebut. Keterpelantingan mereka oleh tanah kelahirankah, atau apa.... ?
Rusydi Ramli :
Rang Minang lebih tumbuh dan berkembang di "tanah Rantau" karena ranah minang "sompik". Maka kalau untuk besar "gadang" tinggalkan kampung.
Muhammad Ilham :
Ada artikel menarik Uwan Suryadi di Padek. Ambo kutip senek: Mungkin tidak berlebihan jika Jeffrey Hadler (2008:180) mengatakan bahwa ”West Sumatra…became an ideological breeder reactor’’ (reaktor pemijahan ideologi) sejak dulu sampai kini. Tuanku Nan Renceh (Islam konservatif), Fakih Saghir (Islam moderat), Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto (kapitalis), Tan Malaka dan Upiak Itam (komunis), Sutan Sjahrir (sosialis),…dan kini Alexander Aan (ateis) diyakini hanyalah representatif (wakil yang tampak) dari anggota masyarakat Minangkabau penggandrung berbagai ideologi yang dibesarkan dalam kebudayaan yang intinya mengandung paradoks, dan oleh karenanya terus-menerus berada dalam situasi ”darurat permanen” itu.
Muhammad Ilham :
Pak Sheiful dan pak Rusydi .... bahkan beberapa "hidden communitiies" ada yang mengklaim sebagai AGNOSTIK (dan saya yakin, itu hanyalah bagian dari dinamika pemikiran). Terlepas suka atau tidak suka dengan Alexander Aan, teringat dengan catatan sejarah. Tidakkah masa lalu Minangkabau (era 1920-an/1930-an), Komunis mendapat tempatnya dalam kerangka ideologis ? Pada dasarnya jangan dilihat sebagai sebuah "kecelakaan" tapi kemampuan menjawab tantangan. Pada era itu, ideologi komunis yang dianggap sebagai "biduk militan" dalam melawan Belanda. Sedangkan kaum aristokrat (baik ulama maupun adat) lebih bersifat "elitis" dan hanya bermain dalam ranah yang "nyaman", ranah edukasi dan perdebatan teologis-normatif. Sehingga tak salah bila ideologi "merah" ini menjadi pilihan Datuak Batuah yang "gregetan" melihat kaum ulama pada masa itu hanya berkutat di Madrasah (edukasi), bukan lapangan. Dalam konteks ini mungkin kita bisa melihat fenomena A. Aan !. .... saya setuju dengan Uwan Suryadi Sunuri, Minangkabau memang "ditakdirkan" dihuni oleh entitas sosial yang tidak ingin seragam. Tuanku Nan Renceh (Islam konservatif), Fakih Saghir (Islam moderat), Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto (kapitalis), Tan Malaka dan Upiak Itam (komunis), Sutan Sjahrir (sosialis) .... ditambah Chalid Salim (komunis) semntara kakaknya Agus Salim (sosialis-religius), Hamka-Abdullah Ahmad, Inyiak Djambek cs. (modernis) vis a vis dengan Inmyiak Canduang, Inyiak Parabek cs PADA KURUN WAKTU YANG SAMA dengan ZEITGEIST yang sama pula ...... merupakan MINIATUR dari tipikal masyarakat Minangkabau (mungkin subjektif). Karena itu pula, amat terheran-heran kita bila "orang Minangkabau" di plot hanya menjadi SATU "jenis" ideologi saja. A-HISTORIS kita nampaknya.
Muhammad Ilham
Hahaha..... betul-betul-betul. Pak ! Sikap a-historis selalu melahirkan situasi yang tidak sehat, tidak nyaman, dalam ke-minangkabau-an, ke-islam-an, atau ke-indonesia-an sekalipun. Entitas Minang dipandang dengan kebenaran satu kacamata. Maka jadi kafirlah semua orang yang tidak menyetujui pandangan kacamata kuda itu.
Sumber : Muhammad Ilham Face Book/Februari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar