Tampaknya mengalahkan ”fasisme” media tidak sesulit menggempur Hitler atau Mussolini. Cukuplah dengan mematikan TV atau memindah ke saluran cerdas. Namun, ”klik” itu membutuhkan disiplin dan intelegensi yang memadai untuk suatu keputusan sadar. Persis itulah yang tidak dimiliki ”warga negara” yang telah berubah menjadi ”konsumen” pasif. Daya sihir reality show berkaitan dengan proses pembodohan dan pendangkalan di luarnya, maka status quo ”fasisme” media sebenarnya dilestarikan oleh ketercabikan politis yang nyata.
Hannah Arendt, korban Nazi Jerman, pernah mengatakan bahwa sikap apatis penduduk terhadap politik telah memberi peluang bagi kebangkitan fasisme. Kehidupan bersama yang tercabik-cabik oleh ekspansi kapitalisme menyisakan onggokan individu-individu apatis dan pasif yang mengalami disorientasi nilai, bahkan kehilangan sense of reality. Celah hampa dalam jiwa para individu yang mencari tambatan kepastian baru itu segera diisi oleh sistem propaganda rezim fasis yang menghadirkan baginya suatu ilusi terencana tempat mereka ”dimanufakturisasi” menjadi kaki tangan loyal rezim. Namun, itu dulu ketika radio masih bersuara parau dengan jangkauan terbatas dan itu juga jauh di seberang benua sana. Saat itu negara perkasa mendikte pasar dan masyarakat. Sekarang, di zaman ponsel di tangan tanpa berisik mengirim jutaan SMS untuk memilih atau mengeliminasi kandidat bintang instan di TV, situasinya tentu berbeda. Kini adalah zaman pasar mendikte negara. Ruang publik bergeser fungsi menjadi ruang iklan, publikasi kepentingan privat. Memang media tidak lagi melayani propaganda, tetapi ia menjadi panggung bagi kepentingan-kepentingan modal. Dan untuk peran barunya ini media membangun watak tiranisnya sendiri: Semua bisa dibuat patuh, dan bila perlu, impian pun bisa diadministrasikan! Reality show, misalnya, menyimpan paradoks. Show adalah show karena dibedakan dari realitas yang bukan keseolahan, melainkan kesungguhan. Namun, jika reality menjadi show, realitas bisa dikomando dalam/oleh show.
”Fasisme” media, bila dominasi media dewasa ini boleh disebut begitu, juga hidup dari populasi yang apatis terhadap politik dan membiarkan diri diseret oleh hasrat untuk mengonsumsi, memiliki dan menikmati lebih lagi dan lagi. Tidak kebetulan bahwa rezim-rezim media meroket pamornya bersamaan dengan kemunculan dari apa yang disebut David Riesman dalam The Lonely Crowd, ”cara hidup yang dikendalikan dari luar” itu, yakni orang-orang kosong yang siap dijerumuskan ke dalam sensasi- sensasi peristiwa media. Entah real atau fiktif, impian atau kenyataan—semua itu sama saja, asal menghasilkan shock, rasa petualangan, pertaruhan atau bahkan teror. Kolaborasi elite media dan investor cepat memakai peluang ini dengan menghadirkan panggung sensasi bagi mereka. Reality show siap mengomando mereka pindah dari keseharian yang menjemukan ke dalam ”impian teradministrasi” yang serba spektakuler. Populasi penonton TV yang didera beban hidup dan kepahitan ingin cepat kaya dan tenar seperti para bintang idola mereka. Media memberi doktrin jalan pintas ke sana: AFI, Indonesian Idol, Mama Mia, Stardut, dan seterusnya. Makin meninggi ke tangga nominasi, makin melambung impian mereka seperti gelembung. Namun, untuk itu kantong dikuras habis untuk menyogok para ”konstituen” mereka dengan pulsa agar memilih mereka. Seperti massa di pertunjukan gladiator Romawi, massa pengirim SMS mengeliminasi para pecundang versi mereka, tentu sesuka hati. Pemenang ciptaan demokrasi SMS yang meniru pola money politics di pemilu dan pilkada itu pun menyentuh langit impiannya, sedangkan gelembung impian si pecundang meletus tanpa bekas seiring dengan kebangkrutannya. Hidup ini nyata dan bukan show, maka kepahitan yang dicecap di luar TV bukan entertainment. Kalah dan menang itu relatif; yang absolut tentu keuntungan yang masuk kas perusahaan penyedia pulsa dan media penayang iklan. Dengan sukses mengontrol massa pemirsa lewat mesin mimpi, media menjadi ”fasistis”: Entertainment menjadi cuci otak untuk patuh pada impian hasil rekayasa rezim media itu.
Namun, bukankah populasi meneladan para pemimpin? Dalam politik yang dikonstruksi media, janji negara untuk kesejahteraan juga dirasa tak perlu menjadi reality karena cukup dipamerkan sebagai show. Parlemen berubah dari institusi perdebatan publik menjadi lembaga show untuk para selebriti partai. Juga forum-forum cepat menyulap keluhan-keluhan warga menjadi entertainment penuh gelak tawa. Lalu ke mana substansi masalah kalau tidak membubung ke puri angan-angan? Untuk politik yang beralih menjadi reality show dan reality show yang beralih menjadi politik itu, ”fasisme” media berutang budi pada penduduk yang dalam keseharian bertubi-tubi dikecewakan oleh politik, mengabaikannya dan lalu menjerumuskan diri ke dalam impian teradministrasi itu.
Sumber : (c) F. Budi Hardiman [Kompas, 6 April 2008]
Hannah Arendt, korban Nazi Jerman, pernah mengatakan bahwa sikap apatis penduduk terhadap politik telah memberi peluang bagi kebangkitan fasisme. Kehidupan bersama yang tercabik-cabik oleh ekspansi kapitalisme menyisakan onggokan individu-individu apatis dan pasif yang mengalami disorientasi nilai, bahkan kehilangan sense of reality. Celah hampa dalam jiwa para individu yang mencari tambatan kepastian baru itu segera diisi oleh sistem propaganda rezim fasis yang menghadirkan baginya suatu ilusi terencana tempat mereka ”dimanufakturisasi” menjadi kaki tangan loyal rezim. Namun, itu dulu ketika radio masih bersuara parau dengan jangkauan terbatas dan itu juga jauh di seberang benua sana. Saat itu negara perkasa mendikte pasar dan masyarakat. Sekarang, di zaman ponsel di tangan tanpa berisik mengirim jutaan SMS untuk memilih atau mengeliminasi kandidat bintang instan di TV, situasinya tentu berbeda. Kini adalah zaman pasar mendikte negara. Ruang publik bergeser fungsi menjadi ruang iklan, publikasi kepentingan privat. Memang media tidak lagi melayani propaganda, tetapi ia menjadi panggung bagi kepentingan-kepentingan modal. Dan untuk peran barunya ini media membangun watak tiranisnya sendiri: Semua bisa dibuat patuh, dan bila perlu, impian pun bisa diadministrasikan! Reality show, misalnya, menyimpan paradoks. Show adalah show karena dibedakan dari realitas yang bukan keseolahan, melainkan kesungguhan. Namun, jika reality menjadi show, realitas bisa dikomando dalam/oleh show.
”Fasisme” media, bila dominasi media dewasa ini boleh disebut begitu, juga hidup dari populasi yang apatis terhadap politik dan membiarkan diri diseret oleh hasrat untuk mengonsumsi, memiliki dan menikmati lebih lagi dan lagi. Tidak kebetulan bahwa rezim-rezim media meroket pamornya bersamaan dengan kemunculan dari apa yang disebut David Riesman dalam The Lonely Crowd, ”cara hidup yang dikendalikan dari luar” itu, yakni orang-orang kosong yang siap dijerumuskan ke dalam sensasi- sensasi peristiwa media. Entah real atau fiktif, impian atau kenyataan—semua itu sama saja, asal menghasilkan shock, rasa petualangan, pertaruhan atau bahkan teror. Kolaborasi elite media dan investor cepat memakai peluang ini dengan menghadirkan panggung sensasi bagi mereka. Reality show siap mengomando mereka pindah dari keseharian yang menjemukan ke dalam ”impian teradministrasi” yang serba spektakuler. Populasi penonton TV yang didera beban hidup dan kepahitan ingin cepat kaya dan tenar seperti para bintang idola mereka. Media memberi doktrin jalan pintas ke sana: AFI, Indonesian Idol, Mama Mia, Stardut, dan seterusnya. Makin meninggi ke tangga nominasi, makin melambung impian mereka seperti gelembung. Namun, untuk itu kantong dikuras habis untuk menyogok para ”konstituen” mereka dengan pulsa agar memilih mereka. Seperti massa di pertunjukan gladiator Romawi, massa pengirim SMS mengeliminasi para pecundang versi mereka, tentu sesuka hati. Pemenang ciptaan demokrasi SMS yang meniru pola money politics di pemilu dan pilkada itu pun menyentuh langit impiannya, sedangkan gelembung impian si pecundang meletus tanpa bekas seiring dengan kebangkrutannya. Hidup ini nyata dan bukan show, maka kepahitan yang dicecap di luar TV bukan entertainment. Kalah dan menang itu relatif; yang absolut tentu keuntungan yang masuk kas perusahaan penyedia pulsa dan media penayang iklan. Dengan sukses mengontrol massa pemirsa lewat mesin mimpi, media menjadi ”fasistis”: Entertainment menjadi cuci otak untuk patuh pada impian hasil rekayasa rezim media itu.
Namun, bukankah populasi meneladan para pemimpin? Dalam politik yang dikonstruksi media, janji negara untuk kesejahteraan juga dirasa tak perlu menjadi reality karena cukup dipamerkan sebagai show. Parlemen berubah dari institusi perdebatan publik menjadi lembaga show untuk para selebriti partai. Juga forum-forum cepat menyulap keluhan-keluhan warga menjadi entertainment penuh gelak tawa. Lalu ke mana substansi masalah kalau tidak membubung ke puri angan-angan? Untuk politik yang beralih menjadi reality show dan reality show yang beralih menjadi politik itu, ”fasisme” media berutang budi pada penduduk yang dalam keseharian bertubi-tubi dikecewakan oleh politik, mengabaikannya dan lalu menjerumuskan diri ke dalam impian teradministrasi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar