Media Televisi sedang "menjaga" kecemburuan publik yang siap meledak, setidaknya demikian kata Cak Nun, suatu waktu.
Sebagai pilar demokrasi, pers memang menjadi harapan terbesar bagi publik untuk terus mengontrol "kurenah" sang penguasa. Dan karena itu pulalah, akhir-akhir ini kita selalu disuguhi tontonan, dialog dan sejenisnya yang terus memupuk kecemburuan itu. Dengan bungkusan jurnalistik yang luar biasa profokatif, beberapa media televisi senantiasa menayangkan kurenah sang penguasa atawa elit politik bangsa loh jinawi ini. Hampir tak ada, gerak-gerik para elit yang tak luput dari pemberitaan. Mulai dari kenaikan gaji anggota DPR, biaya perjalanan dinas Presiden, anggota DPR yang selalu "ngantuk" waktu sidang, affair para menteri hingga kelakuan para bini elit politik negeri ini, dikupas tuntas bak mengupas kehidupan para pesohor (baca : entertain) negeri ini dengan bahasa profokatif. Akhirnya, dalam perbincangan tingkat "lepau"pun, publik memberikan penilaian (dengan tentunya Media Televisi sebagai rujukan) dalam bahasa seperti : "Gaji Presiden Satu Tahun, bila dibelikan beras akan mampu menghidupi sekian keluarga Indonesia", "Biaya perjalanan dinas Presiden satu tahun bisa mendirikan masjid dan musholla sekian buah", dan seterusnya. Publik hanya tahu dengan "rumus matematika" sesederhana itu, karena memang mereka terus "dijaga" oleh media televisi yang menawarkan rumus tersebut. Walau kita terus merasa jengah dengan kelakuan para elit, namun mengajak masyarakat untuk tidak berfikir sesederhana itu, adalah suatu pembelajaran berharga. Media Televisi sebagai media kontrol adalah sebuah keharusan, tapi memupuk pola berfikir masyarakat tidak profokatif dengan dalil-dalil komparatif yang sederhana, adalah juga sebuah kewajiban. Membandingkan biaya perjalanan dinas Menteri dengan berapa roti yang bisa diberikan pada masyarakat, bukan sebuah perbandingan yang mencerdaskan masyarakat itu sendiri.
Orang yang sedang memancing di pinggiran sungai dan senar pancingnya di bawa arus, pasti berfikir bahwa air di tempat itu deras. Sebuah rumus-kalkulasi logis yang sederhana. Karena itu, ia kemudian berpindah tempat,sesuai dengan naluri memancingnya. Tapi ia melupakan, air menjadi deras karena tanahnya terlalu miring. Bahkan ia lupa bahwa air itu mengalir ke bawah, karena tanah dibawah sungai itu menurun. Kala kita menunggu Angkutan Kota di pinggiran jalan, kita hanya melihat bahwa mobil-mobil hilir-mudik terus menerus. Kita melupakan bahwa jalan di depan kita itu berhubungan dengan jalan-jalan lain terus menerus dan membentuk sebuah jaringan. Tanah miring yang menggerakkan air sungai di atasnya dan jaringan Angkutan Kota dan mobil yang hilir mudik adalah hal-hal yang luput dari pandangan karena (terkadang) letaknya tersembunyi atau memang abstrak untuk dibayangkan. Dan ... terkadang, kita hanya melihat di permukaan peristiwa, tapi tidak mengetahui apa yang memungkinkan peristiwa-peritiwa itu terjadi. Mengajak orang untuk selalu menyelami dasar sebuah peristiwa, jauh lebih mencerahkan dibandingkan hanya memaparkan apa yang ada dipermukaan (Semoga saya salah, Wallahu a'lam bish shawab).
:: Mungkin pendapat saya ini tidak sepenuhnya benar. Tulisan ini hanya sebagai "cetusan instan" setelah menonton sebuah dialog di Media Televisi Swasta dimana salah seorang narasumber-nya yang kebetulan masuk dalam ranah intelektual garda depan Indonesia mengatakan, "Coba lihat Presiden, kerjanya hanya mencipta lagu dan mengeluh dan para menterinya hanya sibuk bermain Twitter".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar