Media Televisi sedang "menjaga" kecemburuan publik yang siap meledak, setidaknya demikian kata Cak Nun, suatu waktu.

Orang yang sedang memancing di pinggiran sungai dan senar pancingnya di bawa arus, pasti berfikir bahwa air di tempat itu deras. Sebuah rumus-kalkulasi logis yang sederhana. Karena itu, ia kemudian berpindah tempat,sesuai dengan naluri memancingnya. Tapi ia melupakan, air menjadi deras karena tanahnya terlalu miring. Bahkan ia lupa bahwa air itu mengalir ke bawah, karena tanah dibawah sungai itu menurun. Kala kita menunggu Angkutan Kota di pinggiran jalan, kita hanya melihat bahwa mobil-mobil hilir-mudik terus menerus. Kita melupakan bahwa jalan di depan kita itu berhubungan dengan jalan-jalan lain terus menerus dan membentuk sebuah jaringan. Tanah miring yang menggerakkan air sungai di atasnya dan jaringan Angkutan Kota dan mobil yang hilir mudik adalah hal-hal yang luput dari pandangan karena (terkadang) letaknya tersembunyi atau memang abstrak untuk dibayangkan. Dan ... terkadang, kita hanya melihat di permukaan peristiwa, tapi tidak mengetahui apa yang memungkinkan peristiwa-peritiwa itu terjadi. Mengajak orang untuk selalu menyelami dasar sebuah peristiwa, jauh lebih mencerahkan dibandingkan hanya memaparkan apa yang ada dipermukaan (Semoga saya salah, Wallahu a'lam bish shawab).
:: Mungkin pendapat saya ini tidak sepenuhnya benar. Tulisan ini hanya sebagai "cetusan instan" setelah menonton sebuah dialog di Media Televisi Swasta dimana salah seorang narasumber-nya yang kebetulan masuk dalam ranah intelektual garda depan Indonesia mengatakan, "Coba lihat Presiden, kerjanya hanya mencipta lagu dan mengeluh dan para menterinya hanya sibuk bermain Twitter".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar