Pernah ada anekdot feminis
yang bagus. Bunyinya kira-kira begini. Konon, suatu hari para ahli
angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka
menyatakan minat berkunjung dan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan
meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat
film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu,
kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun
ikut menjadi sponsor. Akhirnya tibalah
hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat
peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern
… entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner).
Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi
lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara
perpisahan. Makan malam di istana negara a-la
“keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan
kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih
berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”,
kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan
tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada
wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”,
teriak hadirin berasama. “Yang aneh, “ kata
sang tamu, “setiap kali kami
berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum
laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia
menje-laskan, “itu lumrah. Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat
kota kurang aman. Demi alasan keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal
di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka
kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka,
sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah
penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab,
“Terus terang, kami masih tak paham. Kalau
di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang
dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.
Agak sulit bagi saya untuk membuat
makalah tentang topik Gender dan Teror
Kekuasaan ini. Kesulitan tersebut karena “begitu luasnya” cakupan pembahasan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh filosof-sejarah Milland Kundera bahwa sejarah
teror dan kekuasaan itu “ seumur” homo-sapiens. Ketika
manusia sudah mulai “lebih dari satu”, dalam konteks itu, kuasa dan teror mulai
tumbuh. Apalagi
manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, teror
dan kuasa juga mulai ada. Secara tautologik,
teror dan kuasa sudah menjadi kehendak sejarah. Apalagi bila dihubungkan dengan
relasi gender. Karena itu saya
ingin membatasi pada beberapa sample isu-isu berkembang bebeberapa waktu yang lalu, (yang
kemudian) dikaitkan dengan gender dalam konteks teror dan kekuasaan yang
kemudian dicari “benang merahnya” dengan fakta-fakta sejarah yang telah
berlangsung selama ini. Pertanyaan kritisnya mungkin adalah : “Ketika wanita
muncul dalam ranah publik (baik politik maupun sosial), mengapa public begitu
mudah mencari “titik tembak” terhadap kemunculan wanita tersebut ?. “Titik
tembak” disini saya pahami sebagai karena factor kewanitaannya, sehingga factor
kewanitaan itu menjadi “titik tembak” publik. Publik, disini termasuk kalangan
wanita, dan yang pasti adalah sebagian besar kalangan laki-laki. Selanjutnya,
menterjemahkan konsep teror juga begitu dilematis. Karena konsep teror biasanya
merujuk kepada upaya untuk menciptakan instabilitas sebuah komunitas ataupun konsensus
sosial. Diantara
berbagai macam defenisi (baik defenisi etimologis maupun semantik) dari teror
tersebut, saya hanya ingin mengambil “benang merah” nya dengan topik makalah
kali ini tentang Gender dan Teror Kekuasaan. Saya memahami pengertian teror
disini sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan yang distruktur oleh
pemegang kebijakan. Teror juga dimaknai sebagai bentuk memanfaatkan
infra-struktur negara untuk mendiskreditkan secara tidak fair pihak-pihak tertentu dengan menggunakan nilai atau aspek yang
didisain sedemikian rupa dengan target merugikan pihak yang didiskreditkan
tersebut. Dalam konteks (teoritis) diatas, maka saya
mengambil tiga sample untuk melihat bagaimana kesewenang-wenangan dan ini terus
di-blow up – sebuah teknik teror yang
sistematis – pada publik yang
dilakukan oleh pemegang otoritas politik bangsa ini yang mengesankan kekuasaan
mendiskriminasi laki-laki dan wanita.
B. Kesewenangan Kekuasaan (Laki-Laki) yang Terlihat dari Beberapa Kasus
- Kasus Alya Rohali
Pertengahan
bulan Mei 1997, berbagai media cetak Indonesia memuat foto “cantik” Alya
Rohali, putrid Indonesia ’97. Ia diapit oleh Putri Thailand dan Filiphina. Ketiganya dalam
pakaian renang sebagai peserta kontes Miss
Universe 1997 di Las Vegas Amerika Serikat. Pemuatan foto ini
menimbulkan reaksi keras public. Tak kurang, Menteri Peranan Wanita kala itu,
Ny. Mien Sugandhi, merasa “kebakaran sanggul” (jenggot tidak mungkin). Dalam
siaran persnya, Mien Sugandhi mengatakan foto Arya Rohali itu sebagai
“keseronokkan” (artinya : tidak pantas
dan menjatuhkan martabat, karena bila dibawa kedalam bahasa Malaysia,
keseronokkan justru berarti menyenangkan atawa mengasyikkan).
Keikutsertaannya dalam Kontes Kecantikan Internasional tersebut dinilai merendahkan
harkat martabat wanita Indonesia yang lagi-lagi diperjuangkan Mien Sugandhi via
KeMenterian Peranan Wanita-nya. Menurut
ibu menteri, ia telah ditegur banyak kalangan. Dari kasus ini, timbul
pertanyaan kritis : Bagaimana persisnya derajat wanita dapat dinaikkan atau
diturunkan ? Siapa yang berhak menaikkan dan menurunkannya ?. Rangkaian
pertanyaan ini bisa menjadi panjang. Namun yang pasti, telah terjadi
kesewenangan (teror defenisi oleh pemegang otoritas kekuasaan).
Jikalau-lah Alya merendahkan derajat kaum wanita Indonesia, apakah peserta
lain dari kontes tersebut tidak juga merendahkan derajat kaumnya di negeri
mereka masing-masing. Apakah peserta Kontes Internasional tersebut secara
kolektif juga merendahkan derajat kaum wanita di seluruh permukaan planet bumi
ini, tanpa terkecuali. Bila tidak, betapa malangnya wanita Indonesia yang
mengalami kelainan. Sayangnya, tidak pernah dijelaskan siapa orang-orang yang
menegur Ibu Menteri karena penampilan Alya Rohali. Tak jelas persis bagaimana
alasan mereka. Atau mungkin kalangan-kalangan yang menegur bu Menteri ini
merasa derajatnya direndahkan oleh Arya Rohali. Atau apakah mereka ini
merupakan pejabat tinggi Negara, yang biasanya laki-laki, merasa lebih tahu
tentang derajat wanita ketimbang Ibu Menteri ? Sebelum ramai-ramai mengecamnya (istilah lain lagi dari terror), perlu
diperiksa apakah benar Kontes Miss Internasional ini sekedar melombakan
kemolekan tubuh ? Bagaimanakah seandainya kontes semacam itu memang melulu
memperlombakan kecantikan fisik ? Mungkin banyak orang Indonesia yang akan
menolaknya. Pasti banyak yang berada dibelakang Mien Sugandhi dan menteri
peranan wanita seterusnya. Tapi, Alya Rohali hanya menjalani “bagian kecil”
dari prosesi yang sangat banyak yang harus dilaluinya. Bukan tubuh, tapi juga brain. Padahal bila kita jujur terhadap
realitas sosial (fakta sosial) yang ada, penampilan yang dikecam Mien Sughandi
pada Alya Rohali dan (juga pada Nadine Chandrawinata oleh Khofifah
Indarparawansa), merupakan pemandangan sehari-hari yang lazim di kota-kota
besar negeri ini.
Penampilan perempuan seperti itu telah menjadi gambar baku dalam poster film
di Indonesia, termasuk produksi dalam negeri. Bahkan pada era awal 2000-an,
luar biasa parah. Poster-poster film di Padang Theater, misalnya, membuktikan hal itu, sebagaimana yang saya
alami, setidaknya. Di daerah lain, juga berlaku hal demikian. Bahkan, hingga
hari ini, ada majalah yang sudah bertahun-tahun secara khusus menampilkan
perempuan dalam pakaian “semlehoy”
dengan dibungkus misi : “majalah keluarga”. Tidak hanya
seperti yang dikenakan oleh Arya Rohali, tetapi jauh lebih berani, vulgar dan
”bertensi tinggi”. Tidak ada kaitan langsung atau alamiah antara tubuh wanita dan martabat
kaum wanita. Kaitan itu hanya ada kalau dibuat ada dalam masyarakat.
Kesewenangan terhadap wanita, dalam hal ini pelecehan, terhadap martabat wanita
telah mewarnai sebagian besar sejarah modern, tetapi ada yang membingungkan. Di
satu pihak, pelecehan tersebut secara universal meliputi eksploitasi tubuh
wanita. Dipihak lain, tidak semua penonjolan tubuh wanita yang merupakan
pelecehan martabat mereka. Pelecehan martabat wanita tidak hanya bercorak
eksploitasi jasmaniah. Akhirnya, tubuh
wanita, selalu menjadi “sasaran tembak” kelompok-kelompok kekuasaan karena
mereka merasa bahwa eksistensi mereka akan tercederai oleh hal-hal seperti ini.
Padahal, bila kita ingin jujur, industri “kemolekan tubuh wanita” itu, baik
event maupun majalah, adalah industri yang dikuasai laki-laki.
Saya hanya membayangkan dan teringat dengan dialog imajiner diatas, bila
suatu hari wanita Indonesia – berkaca dari kasus ini – mempertanyakan manakah
yang lebih penting diurus : peranan wanita atau pria ? yang menjadi sumber
masalah tersebut, apakah kaum pria atau wanita ?. Bila wanita tidak boleh
memamerkan semata-mata kehebatan tubuhnya, bagaimanakah dengan pria yang
memamerkan kehebatan tubuhnya? Bukan hanya laki-laki yang bergaya seperti Ade
Rai dengan menggunakan “kain sembat” ,
tapi disini juga bisa dicatat, laki-laki yang juga menampilkan kehebatannya :
“membanting”, “meninju”, “menonjok” dan “menendang”. Kita tidak
mengetahui, mengapa dahulu tak banyak yang “menggugat” Soekarno kala memamerkan
lukisan-lukisan naturalis – wanita semi telanjang. Saya yakin, banyak ulama-ulama
yang masuk kedalam istana. Apalagi ulama-ulama yang “getol” dengan konsep
Nasakom Soekarno. Hampir tak terdengar, kala Soekarno berkuasa, apakah ada
ulama atau tokoh masyarakat yang menggugat Soekarno dengan kalimat :
“merendahkan istana Negara”, “merendahkan simbol Negara”, atau “Soekarno
merendahkan dirinya sendiri”. Ada dua
kemungkinan. Pertama, para ulama dan tokoh masyarakat Indonesia kala itu,
“takut” melawan Soekarno dan meneror lukisan-lukisan seperti itu. Atau bisa
jadi kemungkinan kedua, para ulama dan tokoh masyarakat tersebut “suka” dengan
lukisan-lukisan naturalis tersebut.
Kasus Arya Rohali dan juga kasus-kasus lain sejenis ini, hanya menempatkan
wanita dalam posisi yang “sewenang-wenang” untuk ditafsirkan, diukur dan
diparameterkan. Bukan berarti saya menyetujui pornografi. Itu jelas tidak,
karena saya tidak menyukai pornografi. Namun yang menjadi catatan kritis disini
adalah ketika eksistensi wanita selalu diletakkan dalam ukuran “tubuh”. Tubuh menjadi sasaran tembak. Mereka diteror dengan menjadikan tubuh mereka sebagai “titik
tembak”, bahkan oleh kekuasaan, atas nama martabat wanita itu sendiri, tanpa
melihat, persoalan substansi di seputar kelompok yang mengarahkan sasaran
tembak itu – umumnya laki-laki. Sungguh, kata Cleopatra, wanita
memiliki kelebihan dan kemolekan tubuh yang bisa mengguncang dunia. Mengguncang
bisa jadi membuat orang terpana, bisa juga meruntuhkan mereka.
- Kasus Pasal Zina Bagi
Kepala Daerah
Saya mulai dari
potongan berita di vivanews.com, berikut :
“Saya tidak
menghambat seseorang, katakanlah Julia Peres ataupun Maria Eva melaksanakan
hak-hak konstitusinya. Tapi, saya juga tidak bertentangan dengan konstitusi.
Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina
ini adalah refleksi dari itu. Jadi bukan menghambat hak konstitusi seseorang”
Salah satu
berkah reformasi adalah “meratanya” kesempatan bagi setiap warga negara untuk
menjadi kepala daerah. Asal sesuai dengan kaedah-kaedah dan aturan konstitusi
yang ada. Bila pada masa Orde Baru, mimpi untuk menjadi Kepala Daerah, harus
diawali dengan masuk “biduk” Golongan Karya (bukan partai Golkar). Demikian
juga, bila ingin menjadi Menteri dan Duta Besar serta pejabat BUMN dan
seterusnya. Sehingga, pada masa Orde Baru, sulit kita jumpai – untuk mengatakan
tidak pernah – ada Kepala Daerah dari kalangan artis. Kepala Daerah pada masa
ini sejatinya adalah politisi, politisi Golkar. Kalau-pun ada, biasanya hanya
menjadi anggota Parlemen. Itupun boleh dikatakan tidak ada. Kecuali dari Partai
Demokrasi Indonesia – Sophan Sophian.
Barulah pada tahun 2000-an, bermunculan nama-nama artis yang masuk dalam
bursa Calon Kepala Daerah. Ada yang terpilih, ada yang tidak. Ada yang ingin
coba-coba, ada yang ingin menaikkan “rating” di dunia keartisannya, ada yang
benar-benar serius. Dan sejarah mencatat beberapa nama artis yang bisa menjadi
Kepala daerah “produk” era reformasi seperti Rano Karno, Dede Yusuf dan
lain-lain. Sedangkan di Senayan, berkibar nama-nama seperti Marissa Haque,
Rachel Maryam, H. Qomar “Tiga Sekawan”, Jamal Mirdad, Eko Patrio dan lainnya. Ini
kemudian menginspirasi beberapa artis lainnya untuk bersaing dalam pemilihan
Kepala Daerah. Akhirnya, public disuguhi tontonan menarik, dimana artis-artis
selama tahun 2009-2010, banyak yang mengadu peruntungan untuk (sekedar) menjadi
Calon Kepala Daerah. Saya katakan sekedar, karena ada beberapa diantaranya yang
gugur dalam proses seleksi. Persoalan
financial, saya fikir bukan persoalan bagi artis-artis tersebut. Mereka
memiliki uang yang cukup. Maka., Ayu
Azhari (yang juga dikenal sebagai artis seksi) mencalonkan diri menjadi Calon
Bupati Sukabumi. Majunya Ayu Azhari yang merupakan kakak dari Sarah dan Rahma
Azhari (yang dua ini, tak kalah seksinya pula) menjadi perbincangan public di
beberapa kesempatan, terutama di jejaring sosial facebook dan twitter. Para
fesbukiyah dan twit banyak yang mendukung, banyak yang menolak.
Belum habis
perbincangan hangat tentang Ayu Azhari, muncul pula Julia Peres yang melejit
karena film horror (tapi lebih banyak erotica-sensualitanya) “Hantu Jamu
Gendong” itu. Ini menjadi lebih heboh. “Pacar” Gastano (pemain bola LI asal
Argentina, saya lupa nama lengkapnya) “membusungkan dada” untuk mencalonkan
diri jadi Calon Bupati Pacitan, kampungnya Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung,
Julia Peres menwarakan pada adik sepupu SBY untuk menjadi Wakilnya. Partai
Demokrat diincar jadi “biduk” politik. Julia Peres yang dalam dunia keartisan
lebih dikenal sebagai artis “bodi
semlehoy” ini mulai berpakaian rapi, tapi tetap lekuk-lekuk tubuhnya
terlihat. Ia mulai wara-wiri kesana kemari mencari dukungan. Bahkan, ia minta izin
pada salah seorang kiai sepuh Nahdatul Ulama. Sang kiai ini-pun dengan gembira
mendo’akannya. Sebagaimana halnya Ayu Azhari, publik pun terbelah. Ada yang mendukung
dengan argument bahwa siapapun sama dimata konstitusi, tapi tak sedikit pula
yang menentang dengan alas alasan bintang Film Hantu Jamu Gendong ini tak layak untuk dicontoh, karena memiliki track-life sebagai pengumbar syahwat
dibandingkan ide-ide cemerlang. Bahkan di jejaring facebook dan twitter
terlihat “modifikasi” foto Julia Peres di berbagai baliho membuat “jakun” anak bujang turun naik. Akhirnya Julia
Peres, kandas. Ia kalah dalam proses penjaringan calon. Nampaknya Partai
Demokrat tak mau berjudi.
Cerita Ayu Azhari dan Julia Peres pun lanjut dengan episode yang lebih
menggemparkan. Belum hilang ingatan public mengenai Video Hot anggota senior
Partai Golkar, Yahya Zaini (waktu itu : Ketua Departemen Bidang Agama Partai
Golkar/mantan Ketua HMI dan konon jadi ”nominasi” calon Menteri Agama waktu itu),
“lawan mainnya” dalam video hot itu, Maria Eva, mencalonkan diri pula menjadi
Calon Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat. Hal ini banyak menimbulkan
kontroversi di tengah-tengah public. Maria Eva tetap kukuh mencalonkan diri
jadi Calon Kepala Daerah. Tapi sebagaimana halnya Ayu Azhari dan Julia Peres,
Maria Eva yang juga dikenal sebagai penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal
(lebih dikenal karena affairnya), gagal dalam tahap penjaringan. Tapi, keadaan
ini tak hanya terputus sampai di Maria Eva. Sebelumnya, artis Primus Yustisio,
Penyanyi Dangdut Ayu Soraya dan lain-lain juga kalah dalam pertarungan. Mungkin
hanya Andre “Opera van Java” Taulany yang (pernah) “berkesempatan” bertarung di Tangerang Selatan
hingga injury time.
Saya tak ingin mengomentari fenomena sosiologis munculnya artis-artis dalam
ranah politik Indonesia. Serta kemenangan-kekalahan mereka dan seterusnya. Saya hanya ingin menghubungkan dengan
lontaran/ide Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi diatas. Pertanyaan kritis yang
bisa dimunculkan adalah : “Mengapa tawaran pasal Zina begitu urgen ? Bisakah
Mendagri menjamin, calon-calon yang lain bebas dari perzinaan ? Mengapa tawaran
tersebut terkesan hanya pada calon wanita ? dan pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya yang pada prinsipnya ingi menegaskan bahwa tawaran controversial
tersebut, disamping (menurut sebagian kalangan) diskriminatif, juga hanya
ditujukan pada maraknya calon-calon artis “semlehoy”
dan identik dengan budaya hippies, maju
menjadi calon kepala daerah.
Tawaran Gamawan Fauzi ini keluar, kala perbincangan terhadap majunya Julia
Peres dan Maria Eva. Bukan kala beberapa artis yang lain maju menjadi calon
legislative atau Kepala Daerah, dan menjadi “meredup” kala Andre Taulany masih
“bersaing” sekarang ini. Publik pun dengan mudah menilai, tawaran Gamawan Fauzi
ini hanyalah ingin menjegal atau memberi warning
pada Julia Peres dan Maria Eva. Ia tak memberikan “tawaran” lain, misalnya
pada salah seorang Bupati di Sumatera Barat yang terpilih kembali menjadi
Bupati, padahal baru selesai “membuang dosa” dalam penjara karena kasus
korupsi-nya pada jabatan Bupati periode sebelumnya. Sekali lagi, ini memperkuat anggapan bahwa kesewenangan kekuasaan selalu
merugikan kaum wanita. Padahal, wanita dan laki-laki sama dalam hak konstitusi.
Tubuh dan keseksian, menjadi “sasaran” tembak. Memang pemerintah berkewajiban
mengarahkan masyarakatnya kepada yang lebih baik, tapi pemegang kekuasaan telah
menteror dengan memblow-up dan membentuk opini pada public. Bila ingin
konsisten, seharusnya tawaran ini dalam aplikasi merata dan tetap ditawarkan
hingga sekarang. Sekali lagi, akhirnya telunjuk mengarah kepada pemegang
kekuasaan yang dipegang laki-laki. Akhirnya, “Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka,
pasal zina ini adalah refleksi dari itu”, bagaimana dengan yang nyata-nyata
pernah terlibat kriminalitas, bagaimana yang pernah terindikasi shabu-shabu dan
seterusnya.
- Kasus Anggelina Sondakh
Angelina Sondakh itu cantik. Angelina Sondakh itu manis. Manis dan cantik,
itu dua konsep berbeda. Pada Angelina Sondakh, kedua-duanya dimilikinya. Dengan
muka tirus oriental, kita merasa nyaman memandangnya. Memandangnya bukan dengan
libido, beda dengan memandang Malinda
Dee. Semua kita pasti sepakat, apalagi saya. Ditambah lagi, ia smart. Sekarang ia dianggap sebagai representasi
artis dengan otak cemerlang dalam jagad perpolitikan Indonesia. Muda, pintar,
bekas Putri Indonesia, artis dan suaminya gagah pula – (almarhum) Adjie
Massaid. Ada yang bilang, Partai Democrat beruntung memilikinya. Anggie, demikian biasa ia dipanggil, juga
dikenal santun dan humanis. Ia masuk dalam politikus muda “Negara demokrat”
bersama-sama dengan Anas Urbaningrum, Ibas Yudhoyono dan Adjie Massaid. Mungkin
karena cantik, santun dan pintar itu-lah, maka Pimpinan Pusat Partai Demokrat
mempercayakan padanya posisi Pelaksana Tugas Harian (Plth.) Ketua Partai
Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagaimana yang kita ketahui belakangan ini, isu yang paling hangat dalam
ranah politik Indonesia adalah (perseteruan) SBY versus Sultan Hamengkubuwono
X berkaitan dengan Keistimewaan daerah
Yogyakarta. Keistimewaan yang didalam-nya in-clude
penetapan Gubernur-Wakil Gubernur secara otomatis bagi Ngarso Dalem Sri
Sulthan Hamengku-bowono X sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakilnya.
Karena pemerintah memiliki perspektif lain tentang konsep penetapan
Gubernur/Wakil Gubernur ini, maka konstelasi politik Yogyakarta menjadi panas.
Imbasnya antara lain, mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan
Daerah Partai Demokrat DIY. KGPH. Prabukusomo
merasa Partai Demokrat adalah “aktor utama” penggerogotan dominasi
politik Keraton di DIY. Sebagai Ketua Umum Partai penguasa, apalagi Partai
Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislatif di Yogyakarta (2009)
mengalahkan Golkar, tentunya
posisi Ketua Umum Partai Demokrat tersebut sangat prestisius dan memiliki bargaining position signifikan.
Mundurnya KGPH.
Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hanya
menimbulkan kontroversi yang tidak begitu lama. Walaupun media massa
memblow-upnya, tetap isu ini tidak se-kontroversi, misalnya, isu wikileaks atau
kematian mbah Maridjan kemaren. Justru yang menjadi perbincangan hangat di
beberapa media massa dan jejaring sosial facebook serta twitter adalah siapa pengganti KGPH. Prabukusomo tersebut. Orang akan
biasa-biasa saja, bila pengganti adik Sulthan Hamengkubowono X ini seperti
fungsionaris Pimpinan Pusat Partai Demokrat seperti KGPH. Roy Suryo, yang
daerah pemilihannya di Yogyakarta, ditambah lagi keturunan keraton. Diskusi
menjadi hangat ketika Angelina Sondakh nan cantik asli Kawanua ini yang
menggantikan posisi strategis KGPH. Prabukusomo. Dari berbagai pendapat yang bermunculan dengan naiknya Anggelina Sondakh
sebagai Plth. Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hampir semuanya menjadikan “kewanitaan”
Anggelina Sondakh sebagai “sasaran tembak”. “Kita juga heran, mengapa bung Anas Urbaningrum meletakkan Anggie yang
perempuan itu sebagai Plth di DIY. Ia tidak memiliki pengaruh besar. Walaupun
dari pusat, ia tidak akan sekharisma KGPH. Prabukusomo yang gesit. Anggie yang wanita tersebut tak akan mampu menggantikan
kegesitan KGPH. Prabukusomo”, demikian kata seorang pakar politik dan
diamini oleh funsionaris partai lain yang bukan dari Partai Demokrat. Bagi saya,
analisisnya ngawur, menyamakan menara pisa dengan petronas, menyamakan pengaruh Fauzi
Bahar dengan Eko Patrio di Kota
Padang.
Saya tidak
ingin mencatat dengan kritis argumentasi perdebatan-perdebatan yang
berlangsung. Mungkin benar, mungkin saja tidak, tapi yang pasti, pendapat
tersebut bernuansa politis. Buktinya, ada fungsionaris partai selain demokrat
yang berkata sinis. Saya ingin mengatakan, bahwa beberapa hari ini, seandainya
otak Angie sehebat Hillary Clinton atawa Sri Mulyani dan sekharisma Michele
Obama ataupun Begum Khaleda Zia dari Bangladesh, smart seperti Condoleeza Rize atau Margareth “Iron Woman” Thacer,
Indira Gandhi, Evita Peron dan Nicola Markel, tapi Angie yang Sondakh ini akan
selalu tetap dianggap debatable
memimpin Partai Demokrat Daerah Istimawa Yogyakarta, walaupun hanya Pelaksana
Tugas Harian yang nota bene-nya
tidak permanen. Karena ia tak bisa mengalahkan charisma KGPH. Prabukusomo, karena ia “out-groups” DIY
dan arena ia adalah seorang wanita. Ya, karena ia seorang wanita. Dan, kewanitaannya itu diblow-up oleh media massa
(setidaknya demikian yang terefleksi dari berbagai pendapat di media massa). Yang
memblowupnya adalah para elit politik yang kebetulan memiliki kekuasaan, walau
berseberangan dengan partai penguasa. Ini diopinikan kepada publik yang
kemudian menjadi teror (kesewenang-wenangan) terhadap Anggie yang (kebetulan)
wanita. Untunglah pengganti Mbah Maridjan almarhum laki-laki, kalau wanita,
mungkin ia diperbinangkan dengan kewanitaannya sebagai sasaran tembak. Oleh semua
orang dengan dimoderasi pemegang kekuasaan (baik media massa maupun politik).
C. Refleksi dan
Simpulan
Saya tidak memberikan kesimpulan yang
bersifat teoritis tentang hal-hal diatas. Namun yang pasti adalah,
kesewenang-wenangan penguasa dengan mempengaruhi opini public untuk tidak
menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya, sering
terjadi dalam sejarah. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk”
kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, mudahnya bagian tubuh diperlihatkan pada
orang lain, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh
pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik).
Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan
pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan). Harold Laswell, filosof ilmu politik,
mengatakan who get what how and when.
Tujuan akhir adalah kekuasaan. Bagaimana cara mendapatkannya, maka ada
cara. Cara itu pasti mencari kelemahan lawan. Dan tidak fairnya, bila
menyangkut wanita, sejarah selalu mencatat, kelemahannya pasti karena
kewanitaannya.
Catatan
Pendukung :
1. Megawati Soekarnoputri,
sebelum menjadi Presiden RI, dalam bahasa Tipe Ideal-nya Max Weber, telah
memiliki investasi politik. Ia memiliki
charisma yang turun karena factor genetic (ascribed, dalam bahasa sosiologinya). Tapi, ketika terjadi
persaingan memperoleh kekuasaan, lawan-lawannya, terutama yang berasal dari kalangan
agamawan, mencari celah yang tidak fair dengan ungkapan : “arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Ini selalu diblow-up oleh
lawan-lawan politiknya. Topik itu saja. Topik tersebut membentuk opini bahkan
“menteror” masyarakat. Bahkan ada seorang politisi Partai Politik Islam yang
antusias memblow-up ini. Siapakah ia ….. kala Gus Dur turun, Megawati jadi
Presiden, maka Wakilnya adalah politisi sebelumnya antusias mensosialisasikan arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’.
Harold Lasswell, benar.
2. Nyi Ontosoroh, dalam Tetralogi
Pramoedya Ananta Toer, diceritakan sebagai wanita otodidak, simpanan
tentara Belanda, mandiri dan tegar. Dalam sebuah percakapan Nyi Ontosoroh ini
dengan anak perempuannya yang kebetulan akan menikah dengan Minke (saya ambil
saja substansinya), ia berkata : “kamu
harus pintar seperti mami. Belajar tentang hidup. Papimu yang laki-laki itu,
kerjanya hanya mabuk, tapi karena ia laki-laki, ia dihormati. Mami mu yang
lebih pintar dibandingkan papimu itu, masih dianggap hina oleh orang lain. Karena itu, kamu harus terus belajar untuk pintar karena
orang melihat kita bukan pada otak kita, tapi karena kita wanita, itu takdir
kita. Kamu harus robah, semampu yang kamu bisa”. Sebuah “jiwa
zaman” awal abad ke 20 M., mungkin juga sebelumnya.
3. Sebelum abad ke-15 M., Dennys
Lombard dalam
bukunya Nusa Jawa Silang Budaya
mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah
laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan
kelompok. Bila ditelaah variable ajaran normative agama, maka pola stratifikasi
agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja,
perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari
strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata
Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial
demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini.
Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarkhi” –
para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normatif-teologis,
dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama
dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak
layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause
dan sasaran tembaknya jelas. Walaupun untuk beberapa kasus seperti di Aceh, ada
Sultanah, tapi tetap posisinya seumpama Anggelina Sondakh diatas.
Tulisan ini tidak sistematis.
Hanya lebih bersifat parsial, terpilah-pilah karena hanya berangkat dari kasus
per kasus untuk kemudian, secara kualitatif, bisa digeneralisir terhadap kasus yang lain dalam
perjalanan sejarah gender, khususnya di Indonesia. Semoga
dikritisi.