"Aku bangga punya kampung, namanya Air Bangis"
(Iffa Ilham)
(Iffa Ilham)
Kata-kata diataslah yang pernah diutarakan sulung saya Iffa pada kawan-kawannya beberapa waktu lalu. Karena itu pula, pada Hari Raya Idhul Adha tahun ini, Iffa pulang kampung. Dengan rasa senang, ia pulang bersama tante Mesya-nya (pengasuh Iffa dan Malika). Hanya mereka berdua, karena saya dan suami tidak mungkin bisa pulang, maklum disamping liburan yang tidak begitu lama, banyak pekerjaan yang masih terbengkalai, terutama ayah Iffa. Ia harus ngajar dan ngantor hari Senin, serta mengomandani warga di komplek perumahan kami berkaitan dengan Hari Raya Idhul Adha dan penyembelihan hewan Qurban. Sementara Malika, mungkin karena masih kecil (6 tahun), ia nampaknya tak mau berpisah dengan saya. Memang terdapat perbedaan antara Iffa dan Malika, dua putri mungil dan manis kami ini. Iffa, mungkin karena anak tertua, cenderung mandiri dan enjoy saja bila jauh dengan kami. Sementara Malika, agak takut berpisah dengan saya. Tapi bagaimanapun jua, mereka adalah anak-ana kami yang saling melengkapi, mereka berdua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kembali ke Pulang Kampung-nya Iffa. Iffa dan tante Mesya-nya berangkat pada hari Jum'at malam lalu dengan travel. 5 jam perjalan, lebih kurang. Sejak pulang dari sekolah, Iffa nampaknya tidak sabaran. "Iffa rindu pada nenek dan kakek (biasa dipanggilnya dengan ongku)", katanya. Neneknya pun demikian, teramat sering menelepon, kapan Iffa pulang kampung. Maklum, sebagai cucu tertua, Nenek dan Ongkunya sangat sayang pada Iffa. Apalagi di kampung, Iffa memiliki dua orang mamak (biasanya ia panggil Makning dan Manda) yang juga kasih pada sulung saya ini, disamping keluarga suami (kakak dan adik suami) yang dipanggil Iffa dengan Uci dan Papa (panggilan buat adik suami yang paling kecil). Saya kakak beradik 5 orang, saya paling tua dan satu-satunya perempuan. Berarti, Iffa memiliki 4 orang mamak (adik saya semuanya laki-laki, 2 di Air Bangis dan 2 di Padang). Jadi tidaklah mengherankan apabila mamak-mamak Iffa sangat sayang padanya, maklum, mereka hanya memiliki dua orang kemenakan, Iffa dan Malika. Dalam tradisi Minangkabau, mamak memiliki peran sentral bagi kemenakannya. Dan bagi Iffa (serta Malika), Air Bangis adalah cerita indah tersendiri baginya.
Ayah Iffa dan Malika selalu menekankan untuk "sadar kampung halaman". Pernah suatu ketika ia berkisah tentang cerita kawannya yang kuliah di Michigan University Amerika Serikat. Ketika kawannya ini untuk pertama sekali kuliah di Michigan University ini, dosennya meminta ia untuk memperkenalkan diri ...... dan menceritakan tentang adat istiadat serta kampung halamannya. Pada waktu itu, ia kebingunan. Adat istiadat mana dan kampung halaman siapa yang akan diceritakannya. Ia anak blasteran domestik. Ayah dan ibunya yang kebetulan berlainan etnik ini tidak pernah satu kalipun bercerita tentang adat istiadat mereka. Apalagi, sejak lahir hingga besar, kawan suani saya ini tidak pernah diajak pulang kampung. Bila liburan, ia bersama adik-adiknya diajak orang tua mereka liburan ke Jakarta dan tempat-tempat liburan "modern" di kota-kota besar. Hidup di komplek perumahan yang heterogen serta terbiasa mempergunakan Bahasa Indonesia dalam bahasa tutur di keluarga mereka, membuat kawan suami saya ini merasa tidak memiliki yang namanya adat istadat dan kampung halaman dalam pengertian spesifik. Karena itu-lah suami saya "menginstruksikan", bahasa Air Bangis adalah bahasa "wajib" di rumah pada Iffa dan Malika. Bila di sekolahnya, silahkan ia berbahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia.
"Iffa dan Malika harus memiliki kebanggaan spesifik pada bahasa ibunya, karena dengan itu, nantinya ia akan merasa kaya. Belajar bahasa ibu jauh lebih sulit bila ia besar nantinya, dibandingkan dengan Bahasa Indonesia", kata ayah Iffa dan Malika.
"Bahasa planet Pluto nantipun bisa ia pelajari bila sudah besar, tapi bahasa kampung halaman, ia akan menemukan mendapatkan rasanya", kata suami saya kembali.
Akhirnya, praktis Iffa dan Malika kadang-kadang berbahasa gado-gado bila bercengkerama dengan kawan-kawannya di komplek perumahan kami. Maklum, bahasa kampung sering terbawa. "Biarkan saja !", kata suami saya. Saya menurut saya, karena bagi saya itu memang baik bagi Iffa dan Malika. Sedangkan liburan di kampung halaman bagi Iffa, bagi saya dan suami, merupakan bentuk menyatukan Iffa dan membuat ia bangga memiliki kampung halamannya. Disamping itu, "mengajarkan pada Iffa, ia memiliki handai taulan yang nanti harus selalu ia kunjungi bila sudah besar", ujar Ayahnya ketika melepas Iffa dan tante Mesya-nya malam Jum'at kemaren. Sementara Malika, ia menangis melepaskan kakaknya ini (biasa ia panggil teta).
"Teta jangan lama di kampung yaa ?", katanya dalam tangis. Iffa memeluk Malika. Mata saya sabak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar