Rabu, 17 Juni 2009

Syahid, Teror dan Peradaban

Oleh : Muhammad Ilham
(Telah dipublikasikan dan didiskusikan di www.padang-today.com & PadangTV)


Salah seorang wartawan perang CNN legendaris, Peter Arrnet pernah meliput Perang Irak-Iran secara Live pada tahun 1982. Ia pernah melihat salah seorang ibu tua renta berdiri berjam-jam di stasiun kereta api milik tentara Iran. Peter Arrnet menanyakan siapa yang ditunggu oleh ibu tersebut. Si Ibu menjawab, "Saya menantikan anak kedua saya pulang dari front melawan "Yazid" Saddam Hussein, anak pertama saya telah syahid, mati di barisan depan agar pasukan pelapis bisa maju, sekarang saya menunggu dengan bahagia kedatangan anak kedua saya, hidup atau mati. Nanti saya berencana ingin mengirim anak bungsu saya yang sekarang telah berumur 18 tahun, keluarga kami adalah keluarga pejuang dan saya bangga karena rahim saya telah melahirkan para pejuang Iran dan Islam". Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today (1997, 2001 dan 2003) terhadap anak-anak Palestina dijelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada di bawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala.

Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia. Sejak kecil para pemuda Tamil diajarkan sisi-sisi negatif etnis Sinhala dan "kaburnya" masa depan mereka. Militansi dan jiwa altruisme ditanamkan sedari kecil. Keputuasaan, hampir dalam berbagai kasus, selalu diakhiri dengan prinsip altruisme radikal dan dijustifikasi oleh nilai-nilai agama. Kelompok Radikal HAMAS di Palestina selalu mengatakan bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh pemuda Palestina dalam meledakkan diri mereka bukan "kematian mubazir", tapi dalam konteks Islam menurut mereka kematian tersebut adalah syahid. Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar". Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputusasaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya. Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro. Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs, yang satu “melanglang ke Indonesia�, satu lagi ke Thailand dan Malaysia.

Ada sebuah artikel menarik dalam salah satu situs dunia maya� yang melihat perbandingan menarik antara Osama bin Laden dengan para pejuang-pejuang yang merantau dari negeri mereka sendiri. Belasan teroris yang menghantam Amerika pada 11 September, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka pernah bermukim lama di negeri orang. Teroris atau bukan, para perantau cenderung membawa misi politik. Seringkali mereka membuat sejarah ketika mereka berkelana, atau berkelana untuk membuat sejarah. Tan Malaka, misalnya, yang diangkat anak oleh seorang pejabat Belanda dan disekolahkan di Haarlem, terbuai oleh Marxisme pada 1920an, giat di Eropa, lalu keliling Asia. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguak bab sejarah untuk negeri lain: di Filipina dia memperkenalkan Marxisme. Tujuannya satu: eksistensi politis Indonesia. Ada pula yang membawa ide-ide chauvenis, otoriter dan semi-fasis, seperti Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sekembali dari Belanda pada 1920an, atau Sarloth Sar (Pol Pot) dan Khieu Samphan, dua mahasiswa Kamboja yang sepulang dari Perancis menjadi arsitek negara-teror Khmer Merah pada 1970-an. Sementara di belahan dunia lain, Che Guevara mengembara dari tanah airnya, Bolivia, untuk berevolusi di Kuba dan Afrika. Perantauan, meski ragam, punya daya, ilham, tekad, dan dinamika tersendiri. Osamah bermimpi mewujudkan cita-citanya melalui LSM Al-Qaeda, tapi tak pernah memberi batasan apa dan di mana cita-citanya itu ingin diwujudkannya. Orang tak tahu dia berjuang untuk apa, siapa, dan negeri apa. Jangankan dibanding dengan Tan Malaka, bahkan dengan Khomeini-pun, pola Osamah amat berbeda dan terbelakang. Khomein punya target yang spesifik (Iran), Osamah tidak.

Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya. Ingat, Surat-Surat Cinta Dr. Azahari kepada istrinya dan penggalan Surat (wasiat) Imam Samudra dalam bentuk Puisi beberapa hari jelang kematian dan eksekusi? Secara umum terlihat bahwa keputusan yang diambilnya tersebut merupakan bentuk kebenciannya terhadap Amerika Serikat dan sekutunya dan kecintaannya terhadap (menurutnya) eksistensi agama Islam. Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh Ayip Firdaus dan Misno (pengakuan mereka secara lisan yang direkam dan kemudian ditayangkan di media massa Indonesia setelah CD-nya ditemukan oleh Densus 88 Anti Teror). Dalam rekaman "ucapan perpisahan" bagi keluarga mereka, baik Ayip maupun Misno seragam mengatakan bahwa tindakan mereka ini merupakan perwujudan dari kecintaan mereka terhadap agama Islam dan kemudian terselip ungkapan bersifat "investasi" yaitu "kesyahidan (menurut mereka) mereka adalah jalan bagi terbawanya 70 anggota keluarga mereka untuk masuk sorga".

Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca: pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Mishio Torugawa, seorang petinggi militer Jepang pada masa Perang Dunia II, sebelum melakukan harakiri (bunuh diri bercirikan kultural a-la Jepang) mengatakan bahwa kematiannya merupakan "tumbal" untuk kejayaan Jepang pada masa yang akan datang. Demikian juga yang terlihat dalam peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. Di Filiphina, hal ini bisa terlihat dari Jose Rizal. Kemudian juga terlihat dari apa yang diungkapkan oleh "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia.

Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Dari sudut pandang sosiologi, menurut Emille Durkheim, fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?

Kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Di samping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS: Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk ke depan, di samping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia.

Jumat, 12 Juni 2009

Kesadaran Geo-Historis

Oleh : Muhammad Ilham

Hampir 70 %, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia belum diakui. Sehingga batas-batas teritorial yang berkaitan dengan (utmanya) laut, memiliki potensi besar dalam menciptakan konflik (Kompas, 3/3/2008). Ambalat hanya salah satu kasus yang muncul ke permukaan. Dari sejumlah masalah batas laut, penetapan yang paling cepat terwujud baru dengan Filipina. Selebihnya masalah yang dihadapi Indonesia begitu besar. Namun, tampaknya Indonesia tidak serius untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan negara tetangga. Itu terbukti dengan berlarut-larutnya penyelesaian masalah itu. Menurut Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal, itu dikarenakan tidak ada pressure dari pihak terkait di pihak Indonesia.

Seandainya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tahun 1945 memutuskan wilayah negara Indonesia merdeka adalah pendapat Muhammad Yamin, bangsa ini akan lebih sulit menjaga kedaulatan teritorialnya daripada yang ada kini. Terobsesi oleh kejayaan Majapahit, tampaknya Yamin menginginkan wilayah negara Indonesia seluas wilayah kerajaan terbesar di Asia Tenggara, antara abad XIV sampai XV. Memang wilayah itu sampai ke Pattani, Thailand, dan Mindanao, Filipina. Jangankan yang seluas itu, dengan wilayah bekas Pax Nerlandica “saja” sudah begitu besar masalah perbatasan yang harus dihadapi. Ironisnya bangsa ini tidak menunjukkan kemauan kuat untuk mengatasinya. Mengapa demikian? Ditinjau dari aspek sejarah dan budaya, setidaknya ada tiga faktor.

Pertama, karena lemahnya, kalau tidak mau disebut “hilangnya” karakter dan orientasi kebaharian. Bagaimana sejarah bisa menjelaskan? Mungkin benar karena keunggulan VOC/Belanda setelah menghancurkan Gowa ditandai Perjanjian Bungaya (1669) mengakibatkan ketidakberdayaan nenek moyang bangsa ini di laut. Kedua, lemahnya kesadaran lingkungan geografis. Rendahnya kesadaran geografis bisa ditunjukkan minimnya pengetahuan mahasiswa tentang peta Indonesia. Pengetahuan geografi merupakan sarana awal memahami potensi dan daya dukung daerah terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan. Strategi pembangunan yang tepat dengan dukungan anggaran memadai untuk pengembangan provinsi berkarakter bahari (baca: kepulauan), khususnya di wilayah perbatasan, seharusnya menjadi prioritas utama. Ketiga, telah berjalan lama tidak terintegrasinya pembelajaran sejarah dan geografi dalam sistem pendidikan. Pembelajaran sejarah gagal menjelaskan keterkaitan antara dimensi “waktu” dan “ruang”. Suatu “peristiwa” (tidak hanya politik, tetapi juga sosial dan bencana) yang terjadi di suatu “tempat” tentu bukan suatu kebetulan. Di situlah kaitan kedua disiplin itu harus diberikan. Dengan ancaman terhadap kedaulatan teritorial, menjadi renungan bersama akan pentingnya kesadaran geohistoris.

Chairil Anwar : "Di Karet Sampai Juga Deru Angin"

Ditulis Ulang Oleh : Muhammad Ilham

"Si Binatang Jalang" Chairil Anwar adalah legenda sastra dan ilham terbaik bagi sebagian besar pecinta sastra. Namun siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini adalah juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi? Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara. Arief Budiman memulainya dari kenangan Asrul Sani. "Di Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak. Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ," begitu Asrul Sani pernah bercerita. "Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu." Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara buku-buku agama. Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis betul dengan kitab Injil. "Sementara Chairil mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko," kata Asrul. "Hati saya deg-degan setengah mati. Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah ambil aku!' sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali."

Chairil Anwar memang seorang "penggila" buku, yang dengan rakus melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi. Tapi dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah "ciri-ciri" seniman pada dirinya. Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, politikus, atau lainnya, ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi. Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. H.B. Jassin punya cerita. "Suatu hari di tahun 1943," tuturnya. "Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru' (sajak Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat." Sejak itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi. Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).

Bukan secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil memiliki nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus pencarian filosofis. Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian, berfilsafat menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, dan apa saja. Salah Kaprah. Buat kita sekarang, sosok Chairil sudah lekat dengan citra kepenyairan Indonesia. Sejumlah larik puisi dari penyair kita ini telah menjadi semacam pepatah atau kata-kata mutiara yang hidup di kalangan masyarakat: "Aku ini binatang jalang", "Hidup hanya menunda kekalahan", "Aku mau hidup seribu tahun lagi", dan masih banyak lagi. Atau bertanyalah pada siswa SLTP dan SLTA siapa penyair kondang Indonesia, niscaya mereka akan menyebut namanya, lengkap dengan beberapa judul syairnya. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, ada yang salah dalam persepsi kita mengenai tokoh yang satu ini. Ada yang salah kaprah. Sebagai ilustrasi, sajak "Aku" lebih sering dipahami banyak orang sebagai sajak pemberontakan terhadap penjajahan. Padahal tidak. Kata Asrul Sani, sajak itu sebenarnya tidak lebih dari "teriakan putus asa dan rasa getir", termasuk penolakan terhadap sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, yaitu ayahnya.

Sajak "Diponegoro" juga sering dikira sajak perjuangan. Padahal, seperti pernah diulas Arief Budiman, sajak itu adalah cerminan dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas. Ia menulis puisi pertamanya, "Nisan", pada Oktober 1942, ketika ia berusia 20 tahun, ketika teknik persajakan belum dikuasainya benar. Para pengamat sastra menganggap sajak ini sebagai sajak tertuanya. Padahal, menurut H.B. Jassin, sebelum "Nisan" Chairil sudah lebih dulu membuat sajak-sajak corak Pujangga Baru, tapi karena tidak memuaskannya lalu dia buang. /Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridhaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu di atas debu/Dan duka maha tuan tak bertahta.

Sajak "Nisan" ini, yang didedikasikan untuk neneknya yang baru meninggal, merupakan renungan Chairil tentang kematian, yang di matanya teramat misterius, namun tak terhindarkan oleh siapa pun. Renungannya ini lalu menghantarkan ia pada pertanyan eksistensial: "Bila manusia mati, lantas apa gunanya segala usaha yang dilakukan dalam hidup ini?" Pertanyaan filosofis itu terus mengejarnya, sementara kehidupan sendiri tidak pernah memberinya jawaban yang memuaskan. Maka bukan hal yang aneh, di saat batin kemanusiaannya begitu merindukan semangat menghadapi hidup yang absurd dengan gagah berani, tiba-tiba Chairil mendapati sosok legendaris Pangeran Diponegoro sebagai perwujudan yang konkret dari kegairahannya mempertahankan hidup. Inilah agaknya yang lalu mengilhaminya menulis sajak "Diponegoro", pada Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian, sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang akhir hayatnya lebih sublim dan intens. Di samping teknik persajakan telah dikuasainya benar sehingga sajak-sajaknya terasa jernih, penghayatannya terhadap kehidupan (dan kematian) yang menjadi subjek puisi-puisinya juga telah mencapai klimaks kematangan sebagai seorang penyair.

Sajak pertama yang ditulis Chairil pada 1949 (tahun kematiannya) adalah "Chairil Muda, Mirat Muda", dengan tambahan judul kecil "Di Pegunungan 1943". Sajak ini merupakan kenangan Chairil terhadap saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya--sebuah perasaan yang wajar timbul pada orang-orang yang menyongsong kematian. Di akhir sajak tersebut ia sempat menulis kata mati. Namun berbeda dengan sajak-sajaknya yang ditulis pada 1942, di mana kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan perhatian yang penuh, di sajak ini kematian diucapkannya dengan cara yang ringan saja. Agaknya kematian bukan lagi sesuatu yang menjadi objek obsesinya, melainkan sebagai kenyataan yang sederhana, sama sederhananya dengan udara di muka bumi. Dalam sajaknya "Yang Terampas dan yang Putus", juga ditulis pada 1949, Chairil malah secara jelas menulis kesiapannya untuk menghadapi kematian. Ia tiba-tiba menyadari bahwa impuls-impuls kehidupan tidak pernah sepenuhnya diam. Demikian pula dalam sajak "Derai-Derai Cemara", yang ia tulis sesudahnya. Dalam sajak yang ia tulis setelah percakapan yang panjang dengan dua sahabatnya, Rivai Apin dan Asrul Sani, Chairil kembali menegaskan bahwa kehidupan adalah sebingkai misteri yang tidak bisa kita temui artinya, tapi pada saat yang sama kita memiliki impuls untuk mempertahankannya. Kita hidup, menurut Chairil, untuk sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya. Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah karena kita sedang mencari maknanya. Namun misteri tetaplah sebuah misteri, ia tidak pernah akan bisa terpecahkan. Karenanya mencari makna kehidupan adalah sesuatu yang sia-sia, meski harus terus dilakukan. Maka bagi Chairil, "hidup hanya menunda kekalahan/ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah".

Chairil memiliki simpati yang sangat besar terhadap upaya meraih kemerdekaan manusia, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Pada 1948, sebagai bukti perhatiannya pada situasi sosial-politik waktu itu, ia menulis sajak "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish. /Kenang, kenanglah kami/Teruskan, jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Syahrir. Pada tahun yang sama, ia menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Belakangan, sajak Chairil yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak dipahami orang sebagai sajak perjuangan. Padahal, sajak-sajak ini adalah jenis sajak individu, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan karena ditulis pada 1943. Namun dalam sajak "Aku" misalnya, di mana Chairil mengintroduksi dirinya sebagai "Aku binatang jalang", ia bisa menjelmakan kata hati rakyat Indonesia yang ingin bebas. Dalam analisis Agus R. Sardjono, penyair terkemuka Bandung, sajak-sajak seperti "Krawang-Bekasi", "Persetujuan dengan Bung Karno", "Aku", dan "Diponegoro" inilah yang justru di kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.Hal itu dimungkinkan karena sajak-sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk menyebut jenis sajak-sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial), dan biasanya dibaca dengan suara keras atau menyeru-nyeru, serta dengan tangan terkepal.Masih menurut Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu populer seperti sekarang bila dia hanya menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar, sajak-sajak yang kontemplatif dan personal. Betapapun tingginya mutu sajak "Derai-Derai Cemara", "Senja di Pelabuhan Kecil", atau "Yang terampas dan yang Putus" secara kesusastraan, namun sajak-sajak demikian sama sekali tidak memiliki peluang untuk diapresiasi secara massal. Namun, dengan segala ketidaksempurnaannya, keberhasilan terbesar Chairil bagi dunia persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia pada umumnya, adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari aturan-aturan lama (ejaan van Ophusyen) yang waktu itu cukup mengekang, menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna.Kebebasan bahasa itu teramat penting. Terbukti Malasyia, negara yang menggunakan bahasa Melayu, yang serumpun dengan bahasa Indonesia (tapi tidak pernah memiliki penyair sekaliber Chairil) dalam hal bahasa jauh tertinggal dari bangsa kita. Kebebasan bahasa itu adalah prestasi besar bangsa Indonesia. Dengan itu kita dapat mengutarakan apa saja langsung dari lubuk hati kita. Dan, seperti diamini banyak sastrawan kita, berkah itu adalah warisan Chairil Anwar, penyair terbesar yang pernah kita miliki.

Chairil Anwar tampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi penyair yang disalahpahami. Tapi ia terbilang beruntung karena ia disalahpahami ke arah yang positif. Begitupun dalam hal religiusitas. Tidak sedikit orang yang menjulukinya penyair religius. Ini, antara lain, gara-gara sajak "Doa", yang memang amat religius. Tak jarang, dalam peringatan hari-hari besar agama Islam (juga Kristen), sajak tersebut dibaca dan memperoleh apresiasi yang luas. Benarkah ia penyair religius? Menurut penuturan Ida Rosihan Anwar (istri wartawan kawakan Rosihan Anwar yang sangat dekat dengan Chairil) dalam kesehariannya Chairil tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Ia tidak pernah tampak salat, berpuasa di bulan Ramadan, atau bahkan ikut bergembira pada Idul Fitri. Jadi, ia bukan muslim yang baik. Namun, kalau kita mengacu pada kriteria filosof Paul Tillich tentang siapa yang disebut religius, (yaitu mereka yang secara serius mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari batas-batas yang lahiriah saja), Chairil termasuk kelompok ini.

Konklusi ini semata-mata bersandar pada penyerahan total Chairil untuk menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup saya", dalam sepanjang masa hidupnya. Dan karena agama bagi banyak orang di dunia ini dianggap sebagai jawaban pertanyaan "apa tujuan hidup saya?", Chairil tidak luput membicarakan agama dalam beberapa sajaknya. Sajak "Di Masjid", yang ditulisnya pada 29 Mei 1943, adalah sajak pertama mengenai hal ini. Dalam sajaknya ini ia menegaskan sikapnya yang tidak mau terikat apa pun juga, serta bersedia menerima segala bentuk penderitaan sebagai akibat pilihannya. Dia menolak untuk menyerah kepada agama, meskipun dia mengakui juga, agama mempunyai daya tarik yang sangat kuat sehingga sulit untuk melawannya: "Kuseru saja Dia/sehingga datang juga/Kamipun bermuka-muka/seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkannya/Ini ruang/gelanggang kami berperang/Binasa membinasa/satu menista lain gila". Sajaknya yang kedua tentang agama ditulis lima bulan kemudian, berjudul "Isa". Dalam sajak ini, selain terpesona, Chairil juga tersindir dengan pengorbanan dan penderitaan yang dialami Nabi Isa untuk menyelamatkan umat manusia. Ia merasa "minder" lantaran sikap hidupnya yang hanya memikirkan kemerdekaan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Ia seperti dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah sebuah pengorbanan ada artinya?" Pertanyaan itu terus mengganggu hingga keesokan harinya dia menyerah dan menulis sajak "Doa" sebagai ekspresi penyerahdiriannya kepada Tuhan. Ia berseru: Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh/caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di malam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/ Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintu-Mu mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.

Dalam sajak ini Chairil memang tidak menjelaskan apa alasan ia "menyerah", namun yang pasti ia merasa hilang bentuk dan remuk ketika dia berjalan tanpa Tuhan. Apakah dengan sajak ini Chairil telah "menemukan kembali" Tuhan? Jawaban sementara: "ya". Agaknya bila Chairil tiba pada suatu titik kehidupan di mana dia mengambil suatu sikap secara lebih utuh, maka perasaan tenang datang meneduhinya. Pada Februari 1947, dalam suasana yang sudah berbeda, Chairil kembali menulis sajak tentang agama, yang berjudul "Sorga". Di sini, dengan semangat eksistensialismenya yang kental, ia menggugat surga beserta gambarannya yang dijanjikan agama. Selanjutnya Chairil lebih memilih menolak agama karena agama memintanya untuk mengorbankan apa yang nyata sekarang, untuk digantikan sesuatu pada masa datang yang baginya belum pasti. Maka bisa dipastikan, sesudah sikapnya ini Chairil kembali menemukan dirinya kesepian. Namun, perasaan itu tampaknya sudah dia harapkan dan dia hadapi dengan tenang. Ia kembali memilih menjadi pengembara selama hidupnya.Meskipun, konon menurut kesaksian H.B. Jassin, menjelang mengembuskan nafasnya yang terakhir, Chairil ternyata tetap tidak lupa menyebut nama Tuhan.Di sela-sela panas badannya yang tinggi sebelum kematiannya, ia mengucap, Tuhanku, Tuhanku....

Teman dekat Chairil Anwar semasa kecil, Sjamsulridwan, pernah menulis di majalah Mimbar Indonesia, edisi Maret-April 1966. Katanya, salah satu sikap Chairil yang menonjol sejak kecil adalah sifatnya yang pantang kalah. "Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam." Chairil dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922. Ayahnya, Toeloes, berasal dari Payakumbuh (Sumatera Barat). Dia menjadi Pamongpraja di Medan, dan pada zaman revolusi sempat menjadi bupati Indragiri, Karesidenan Riau. Sedang ibunya, Saleha, berasal dari Koto Gadang (Sumatera Barat) dan masih mempunyai pertalian keluarga dengan ayah Sutan Syahrir (tokoh PSI). Menurut Sjamsulridwan, meski cukup terpandang dan disegani masyarakat sekitarnya, kehidupan kedua orangtua Chairil senantiasa ribut. Mereka sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah. Hanya dalam satu hal mereka sama: dua-duanya sangat memanjakan Chairil. Segala keinginannya: mainan-mainan terbaru dan terbaik. Mereka pun selalu membenarkan sikap Chairil. Kalau ia berkelahi, ayahnya senantiasa membela. Bahkan kalau perlu ikut berkelahi. Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang tajam dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya. Di kalangan gadis-gadis, Chairil juga disukai karena wajahnya yang tampan dan menyerupai orang indo.

Demikianlah, semua orang seolah memanjakannya. Keuangannya tidak pernah kurang. Sepedanya termasuk golongan yang paling baik, di zaman ketika mempunyai sepeda saja merupakan suatu kebanggaan. Dan ada sisi baik yang bisa dicatat dari gaya pergaulan Chairil, yaitu sikapnya tidak pernah sombong. Meskipun dia angkuh dan selalu merasa hebat, dia selalu mudah sekali berkenalan dengan siapa saja, tanpa pernah membedakan status sosial, status ekonomi, dan intelektualitas. Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di Medan. Di HIS (setingkat SD) saja ia sudah menampakkan bakatnya sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP).

Ketika usia Chairil menginjak 19 tahun, dan duduk di kelas dua, ayahnya kawin lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena mulai membenci ayahnya dan menginginkan kehidupan yang lain, ia memilih hijrah ke Batavia (Jakarta), dan meneruskan pendidikannya di sana. Tak lama kemudian ibunya menyusul ke Jakarta. Perang Dunia II dan masuknya Jepang telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun terbelit masalah keuangan setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya. Akhirnya ia putus sekolah. Saat putus sekolah itu Chairil mengisi hidupnya dengan menggelandang ke sana-ke mari, dan membaca buku sebanyak-banyaknya. Sebagai orang yang menguasai tiga bahasa (Inggris, Belanda, dan Jerman), ia tidak mendapat halangan apa pun untuk bisa membaca dan memahami semua karya sastra asing yang ia jumpai. Penguasaan bahasa asing yang baik inilah yang banyak menolong Chairil sehingga banyak buku yang belum dibaca seniman lain, ia sudah tahu isinya. Ia pun banyak menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra dunia itu ke bahasa Indonesia dengan baik. Masih soal membaca, menurut Sjamsulridwan, ketika masih di MULO, Chairil telah bergaul dengan anak-anak HBS (setingkat SMA) tanpa rendah diri. "Semua buku mereka aku baca," kata Chairil suatu hari. Di sini yang dimaksud Chairil adalah buku-buku mengenai pelajaran abstrak, seperti sastra, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Dan ucapan itu semata-mata untuk menunjukkan bahwa ia tidak pernah kurang dari mereka (anak-anak HBS).

Selama di Jakarta, Chairil juga mengembangkan pengetahuannya dengan meminjam buku dari pamannya, Sutan Sjahrir. Menurut H.B. Jassin, kalu sudah membaca buku, maka buku itu akan dibacanya dari malam sampai menjelang pagi. Meskipun menganut pola kehidupan yang bohemian, Chairil akhirnya sempat juga berkeluarga. Ia menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Sayangnya rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Akhir 1948 mereka bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa, dibesarkan Hapsah. Tanggal 28 April 1949, setelah sempat diopname selama lima hari di CBZ (sekarang RSCM) karena penyakit TBC yang dideritanya, Chairil mengembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan warisan karya yang tidak begitu banyak, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Kepada Evawani, putrinya yang masih berumur satu tahun, Chairil bahkan hanya mewariskan sebuah radio kecil, berbentuk kotak warna hitam, bermerek Philips. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu bait puisinya: "di karet, di karet sampai juga/deru angin", Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet pada hari berikutnya.

Kamis, 04 Juni 2009

Akar Sosiologis Radikalisme Islam Asia Tenggara

Oleh : Muhammad Ilham & A.T. Hidayat

Asia Tenggara boleh dikatakan menjadi ladang eksploitasi bagi dunia (baca:Barat), terutama memasuki abad 15 sampai dengan paroh abad 20, bangsa-bangsa Eropha memperkaya diri mereka dengan menjajah Negara-negara di Asia Tenggara ini. Setidaknya ini yang dapat ditangkap dari karya-karya sejarah tentang Asia Tenggara pada abad-abad itu. Dengan kolonialisme, bangsa-bangsa Eropa membagun ekonomi dan peradaban mereka. Untuk sementara, ini dapat sekedar menggambarkan bahwa Asia Tenggara untuk beberapa fase pernah menjadi suku bangsa tertindas. Sedangkan Islam sudah bercokol di kawasan ini semenjak abad VII dan VIII. Khusus Muslim Arab, Persia dan India diperkirakan telah bercokol di Indonesia dan Malaysia, tepatnya di sepanjang Selat Melaka. Dari sini muncul kontak perdagangan dengan masyarakat Asia Tenggara lainnya. Sedangkan dalam skala global, Asia Tenggara ketika itu menjadi trade centre yang mempertemukan kekuatan di wilayah Asia Timur, Tenggara dan Asia Barat. Dari Asia Barat kekhalifahan Daulat Bani Umayyah (660-749), kerajaan Sriwijaya (sekitar abad ke-7 sampai 14) di Asia Tenggara dan Dinasti T’ang (618-907) di Asia Timur.

Ketiga dinasti ini dapat dianggap kekuatan-kekuatan yang memainkan peranan penting bagi terciptanya komunitas apa yang disebut Asia Tenggara belakangan. Jadi sebelum era kolonial, kawasan ini sudah dipengaruhi berbagai agama dan keyakinan. Sebelum akhirnya Islam berhasil mendominasi kawasan selat Malaka dan sebagian kepulauan di wilayah barat nusantara, yang menurut Uka Tjandra sudah mulai berproses semenjak abad ke-7 sampai dengan puncaknya abad ke-13, serta didukung oleh melemahnya kerajaan Sriwijaya abad ke-13, telah terdapat titik konflik antara berbagai keyakinan, disamping berbagai kepentingan, terutama politik dan ekonomi yang menentukan sekali bagi perkembangan kawasan ini untuk masa-masa selanjutnya. Kondisi seperti itu, dimana keberagaman dan keterbukaan sama-sama berpeluang di kawasan ini, adalah karakter yang paling menonjol dari kawasan ini. Tidak satupun dari negara-negara di Asia Tenggara yang memiliki kultur tunggal. Setiap negara dibangun berdasarkan pertukaran budaya secara eksternal maupun internal. Di samping itu, struktur dan kondisi alam yang juga relatif berbeda dari wilayah-wilayah lain di dunia, ikut membentuk karakter masyarakat kawasan ini. Sampai tahun 1700 pergumulan cultural, ideologis di kawasan ini menjadi sebuah dialog yang intens disertai berbagai dorongan dan motivasi yang berkaitan dengan ekonomi dan politik. Akan tetapi kondisi ini dengan sendirinya membuat pemisahan yang jelas antara wilayah Islam di Selatan, konghucu di Vietnam, dan Krsiten di Filiphina dengan ortodoksi politik masing-masing. Kolonialisme, seperti yang kita singgung di muka, memiliki peranan sangat strategsi juga untuk perkembangan wilayah ini. Di samping eksploitasi kekayaan alam dan penjajahan dalam bentuk fisik, kolonialisme juga membawa serta westernisasi, kapitalisme, modernisasi dan khsusnya kristenisasi. Pemisahan yang terjadi diatas, lebih dipertegas oleh kolonialisme dengan atribut-atribut tambahannya ini. Di samping itu rasionalisme dalam pengalaman Barat Eropha, juga memperkaya “keberagaman” Asia Tenggara. Karena pada perkembangannya nanti rasionalisme Eropha Vis-à-vis “tradisionalisme” yang berakar dari kultur dan tradisi setempat akan mewarnai perkembangan wilayah ini hingga hari ini. Untuk beberapa dekade lamanya, cap tradisional juga digambarkan sebagai mencirikan sebagian komunitas muslim, dihadapkan dengan modernisme-rasionalisme yang mengusung konsep pembangunan.

Memasuki era modern ini, yang merupakan kelanjutan dari masa-masa sebelumnya, pada saat dimana Asia Tenggara telah terbentuk menjadi Negara-negara yang berdaulat, banyak dampak yang diakibatkan dari kondisi praktis masyarakat muslim seperti tergambar diatas. Diantara dampak tersebut yang juga merupakan problematika historis yang sangat menentukan perkembangan masyarakat muslim Asia tenggara secara umum, dan kemunculan politik pergerakan masyarakat muslim yang radikal khususnya adalah : Munculnya nasionalisme yang kontraproduktif dengan kondisi praktis masyarakat Muslim, terutama dimana masyarakat Muslim merupakan minoritas seperti di Philipina, Thailand, Singapura dan Vietnam. Kemudian, di dalam sikap Nasionalisme, muncul pula tuntutan atas otonomi yang luas dalam kehidupan beragama, dalam bentuk yang lebih konkret tuntutan tersebut berupa penerapan syari’at Islam. Bagi sebagian kalangan yang berfaham radikal. Selanjutnya, tuntutan merdeka penuh, dimana komunitas Muslim diwilayah tersebut merupakan mayoritas. Ini adalah klimaks dari ketidakpuasan komunitas muslim radikal dari berbagai Negara di Asia Tenggara. Cara yang ditempuh untuk mewujudkan ini adalah dengan melakukan pergerakan yang terorganisir secara militer. Yang mungkin akan difokuskan dalam makalah ini adalah gerakan DII/TII-NII Kartosuwiryo di Indonesia, dan MNLF di Philipina. Muslim di Indonesia dapat dianggap mewakili masyarakat muslim mayoritas di Asia Tenggara, yang memiliki problem dengan benturan ideology dan politik sehingga memunculkan politik pergerakan untuk memperjuangkan berdirinya Negara Islam. Sedangkan MNLF mewakili masyarakat muslim minoritas. Namun tidak menutup kemungkinan bila dalam makalah ini disinggung juga beberapa profil politik pergerakan lain di luar dua pergerakan diatas.

Hal yang paling banyak disebut sebagai penyebab kemunculan politik pergerakan Islam radikal di Indonesia adalah persoalan ideology. Tetapi persoalan ini tidak dapat digeneralisir sebagai factor satu-satunya. Pada level institusi politik, politik pergerakan muslim sudah ada seiring dengan lahirnya republic ini. sedangkan pada level pemahaman keagamaan, sudah ada jauh sebelum itu. Profil Kartosuwiryo adalah penegasan paling jelas tentang masalah ini. Jika ditarik lebih ke belakang, benih pemikirannya sudah lama mengakar. DI (Darul Islam) merupakan bentuk konkret dari ide-ide yang ditelorkannya jauh sebelum gerakan ini didirikan.
Sekalipun ia pendiri DI, namun bukan berarti Kartosuwiryo berbasis pendidikan pesantren, madrasah dan jalur-jalur pendidikan keagamaan formal maupun informal. Sikap militant yang diperolehnya tidak melalui pembelajaran agama yang ketat. Hal ini bertolak belakang dengan dugaan AS (Amerika Serikat) bahwa pembentukan karakter kelompok teroris di Indonesia dihasilkan oleh system pendidikan pesantren tertentu yang menerapkan standar yang ketat dalam memahami ajaran Islam. Kartosuwiryo memperoleh pengetahuan agama di Bojonegoro dengan gurunya Notodihardjo. Hanya dengan beliau ia memperoleh pelajaran agama. Deliar Noer menyebutnya sebagai sosok yang cendrung kepada mistik.

Benturan ideology antara kelompok Nasionalis Islam dengan kelompok Nasionalis yang netral agama pada masa-masa pergerakan kemerdekaan mempertegas garis perjuangan politik pergerakan muslim di bawah bendera partai-partai Islam semacam PSII, Masyumi. Berbeda dengan partai Islam yang memiliki trend kritis, tegas dan banyak bermain di tataran pemikiran, kelompok ekstrim Islam ini cendrung kurang puas dengan kondisi praktis seperti itu. Kartosuwiryo sebagai tokoh yang “terasing” ketika itu mengajak kepada seluruh kelompok Islam, dari barisan PSII, Masyumi dan tokoh-tokoh Islam untuk menerapkan apa yang dia sebut politik hijrah. Ia menyeru agar umat Islam bersatu dan merapatkan barisan. Hanya dengan begitu tercipta dunia baru Islam “Darul Islam”.
Lebih tegas ia menulis: “Kalau kita Hidjrah dari Mekkah-Indonesia ke Medinah-Indonesia, boekanlah sekali-kali kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih dari daerah dan wilajah, melainkan hanjalah di dalam sifat, thabi’at, amal, itiqad, dan lain-lain sebagainja.” Yang ia sindir dengan pernyataan tersebut adalah telah beralihnya tujuan dan cita-cita umat Islam dalam mencapai kemerdekaan. Menurutnya, sebagaimana dialog yang lazim ketika itu antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, bahwa tujuan utama bukanlah mengabdi kepada ibu pertiwi, namun hanya berbakti kepada Allah semata, bukan untuk Indonesia raya, tetapi Darul Islam yang sempurna. Dapat dikatakan, factor ketidakpuasan lebih belakangan muncul dalam gerakan DI dan khususnya Kartosuwiryo sendiri, ketimbang factor pemahaman keagamaan. Di sini kelihatan sekali keteguhan Kartosuwiryo mempertahankan idealisme ke-“islaman”-nya menentang arus trend yang berkembang ketika itu. Perselisihannya dengan tokoh-tokoh besar ketika itu, Agus Salim, Soekarno nampaknya tanpa basa-basi, yang membuat ia terasing. Di luar lapangan ideology dan cita-cita mendirikan Negara Islam tersebut, politik pergerakan Islam DI / Kartosuwiryo menemukan alasan lain untuk bergerilya dalam rangka mencapai cita-citanya. Alasan tersebut adalah karena TNI ternyata tidak berpihak kepada Islam, padahal komponen-komponen pejuang pergerakan kemerdekaan mayoritas adalah kelompok Islam, seperti Hizbullah, Peta (Pembela Tanah Air) yang mayoritasnya berasal dari Muhammadiyyah, termasuk di dalamnya Panglima Besar Soedirman, dan laskar-laskar Islam lainnya. Mengenai ketidak adilan ini semakin terasa semenjak tahun 1947 setelah TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) berubah nama menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), yang dipimpin oleh Panglima Besar Soedirman yang berasal dari PETA. Sedangkan wakilnya adalah Urip Sumoharjo seorang Kristen mantan tentara KNIL (tentara Belanda). Sejak saat itu terjadi ketidak adilan, dimana minoritas menguasai mayoritas. Menyusul Urip yang mantan KNIL, masuk Gatot Soebroto yang beragama Budha, Soeharto (Kejawen) dan A.H. Nasution (nasionalis sekuler). Pejuang-pejuang sejati Hisbullah yang merupakan unsur mayoritas digusur oleh mantan-mantan tentara KNIL tersebut.

Dari sini dapat dipahami mengapa Kartosuwiryo lebih memilih memberontak dengan pasukannya TII ketika disuruh harus mengosongkan Jawa Barat, dan harus hijrah ke Jogjakarta sesuai dengan perjanjian Renville tahun 1948, yang mengharuskan Indonesia mengosongkan daerah inclave. Ketika itu Kartosuwiryo adalah panglima Hisbullah divisi Jawa Barat. Disinilah ironisnya, ia harus menghadapi tentara Belanda, di samping juga tentara KNIL yang telah bergabung dengan TNI. Untuk tujuan ini ia justru dicap pemberontak oleh Soekarno, yang mengakibatkan hukuman mati baginya pada tahun 1962. padahal keberadaaan mereka mempertahankan Jawa Barat ketika itu adalah juga persetujuan Jendral Soedirman. Ini disampaikan langsung oleh Jendral Soedirman kepada wartawan ANTARA ketika menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Jogjakarta. Ketika terjadi reorganisasi di tubuh TRI pada tahun 1950 dan membentuk divisi-divisi (tentara teritorium) cikal bakal kodam sekarang. Pada waktu itu PKI banyak menguasai divisi-divisi tersebut. kekuatan Islam semakin tergusur, sehingga banyak menimbulkan pemberontakan. Di Sulawesi “pemberontakkan” dipimpin oleh Kahar Muzakkar yang tergusur oleh Gatot Subroto. Akan tetapi dari kesemua gerakan Darul Islam yang muncul di pelbagai daerah di Indonesia, gerakan Kartosuwiryolah yang mengancam langsung pemerintahan pusat, karena sejak semula NII yang ia rancang memang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Melihat penjelasan diatas dapat diketengahkan di sini bahwa politik pergerakan muslim DI/TII khsusnya muncul sebagai akibat fanatisme yang kuat sekali terhadap keyakinan. Gelombang ketidakpuasan politik pergerakan muslim di Indonesia agak lebih sukar difahami karena banyaknya permasalahan yang muncul sebagai akibat dari ketidakadilan politik. Respon Islam radikal yang menampilkan sosok seperti Kartosuwiryo terhadap perubahan dan ketidak adilan tersebut hanya dalam bentuk memperjuangkan berdirinya pemerintah Islam.

Pergerakan yang terbuka seperti di Indonesia dalam gambaran di atas tidak begitu tampak di Malaysia. Politik pergerakan radikal dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Agaknya gelombang ketidakpuasan sebagai akibat dari ketidak adilan yang dirasakan komunitas muslim tidak sebesar apa yang dirasakan masyarakat muslim di Indonesia. Ini juga berkaitan dengan kemakmuran suku ras Melayu yang mendapat perhatian dari pemerintah Malaysia dengan politik ekonomi yang berpihak kepada mereka. Hal itu ditunjang dengan pengakuan bahwa Islam adalah agama Negara. Sebuah pengakuan yang jujur, berangkat dari pengalaman sejarah masa lalu Negara ini. Bagi kelompok radikal, pengakuan ini sangat cukup bagi terealisasinya konsepsi perjuangan mereka. Tetapi pengakuan dan kemakmuran ini bukan berarti tanpa rintangan. Ini adalah hasil kompromi politik internal Malaysia, setelah sekian lama menelan pahitnya pengalaman mendirikan sebuah Negara.

Baik pemerintah maupun masyarakat muslim secara keseluruhan telah sejak lama berupaya untuk menjalin kepercayaan antara kedua belah fihak. Penyaluran aspirasi kelompok Islam militant lebih terarah dan fokus kepada politik praktis, sekalipun kebijakan politiknya cendrung militant. PAS misalnya kurang mendapat apresiasi mengingat front nasionalis yang diwakili oleh UMNO ternyata juga menaruh perhatian besar kepada masyarakat muslim yang mereka sebut Melayu. Keberpihakan ini juga tercermin dalam bidang pendidikan keagamaan. pendidikan agama dijamin dan diurus dengan baik dan serius oleh pemerintah Malaysia, sekalipun baru pada tahun 1972 Malaysia memiliki lembaga khusus dalam kementrian Pendidikan yang fokus pada pendidikan agama. Sejak tahun 1956 pelajaran agama wajib diajarkan di sekolah nasional selama 2 jam. Politik yang akomodatif ini setidaknya mampu meredam rasa ketidakpuasan di kalangan muslim Malaysia, sehingga tidak cukup alasan untuk melakukan upaya-upaya radikal lagi. Toh keinginan esensial dari perjuangan itu sudah relative tercover dalam kebijaksanaan pemerintah, sekalipun dibawah penguasa nasionalis. Karena itu, PAS sendiri sebagai perwakilan komunitas politik Islam, bukanlah sarana penyaluran aspirasi radikal mereka, sekalipun kalangan ini memilih partai tersebut dalam berbagai pemilihan umum.

Kemunculan politik pergerakan radikal di dalam Negara yang penduduk muslimnya minoritas lebih mudah dipahami dari pada kemunculannya di Negara yang berpenduduk muslim mayoritas. Penyebab yang dominant sangat jelas, ke-tidakadilan. Di Filiphina, rasa kurang puas terhadap ketidakadilan di kalangan muslim minoritas ini pertama kali muncul pada tahun tanggal 18 Maret 1935, berupa deklarasi yang ditujukan kepada Amerika Serikat. Deklarasi itu berisi tuntutan Ummat Islam untuk berdiri sendiri. Selama ini kalangan Kristen—khususnya Katolitk—selalu memonopoli kepemimpinan dan memajukan kota-kota besar, tanpa memberikan kesempatan kepada Ummat Islam. Tidak ada lowongan terbuka untuk Ummat Islam. Pajak dipungut hanya untuk kepentingan pulau-pulau di wilayah utara, sehingga memperlebar kesenjangan, penguasa Katolik makin maju, sementara Ummat Islam semakin mundur. Namun deklarasi tersebut tidak menghasilkan apa-apa, dan pemerintah Republik Filipina tetap berdiri. Baru tahun 1968, tepatnya tanggal 1 Mei meledak sebuah maklumat politik dari tokoh-tokoh Muslim di Filipina. Maklumat tersebut kira-kira berbunyi: “Dengan nama Allah SWT, umat Islam yang mendiami pulau Mindanao, Sulu dan Palawan menyatakan tekadnya untuk memisahkan diri dari Republik Filipina dan mendirikan sebuah Negara Islam, yang dapat menampung idealisme dan aspirasi umat, yang dapat memelihara dan mengembangkan warisan agama-nya di bawah naungan persaudaraan Islam yang universal, dibawah pemerintahan yang berdasar hukum, keadilan dan demokrasi…negara Islam ini meliputi daerah Filipina bagian Selatan yang penduduknya Ummat Islam yakni: Cotabato, Davao, Zamboanga, Basilan, Lanao Sulu, Palawan dan daerah serta pulau-pulau di sekitarnya yang ditempati atau di bawah pengaruh Umat Islam.”

Ketidak adilan yang dirasakan komunitas Muslim Filipina Selatan juga sebagai akibat dari keinginan penguasa colonial—dari Spanyol sampai Amerika—yang hendak menghapus hukum Islam dan system hukum adat. Keberpihakan colonial ini tentunya tidak terlepas dari misi Kristen yang mereka bawa. Sampai kepada masa-masa pemerintahan republic di bawah penguasa Kristen, diskriminasi terhadap komunitas Muslim terjadi di seluruh lapangan kehidupan. Di samping yang disebut diatas, Dr. M. Kamal Hassan menyebut ketimpangan pendidikan yang serius antara penduduk Muslim dengan penduduk Katolik.
Keadaan ini benar-benar mengusik rasa nasionalisme masyarakat Muslim Philipina Selatan. Pada waktu penjajahan, mereka dikenal pantang menyerah dengan bangsa colonial. Tetapi setelah kemerdekaan mereka justru dianaktirikan dan dianggap pemberontak, sama seperti aggapan bangsa colonial terhadap mereka. Di bawah pemerintahan republic mereka menjadi bulan-bulanan penguasa sepanjang masa Macapagal, Marcos dan Benigno. Sebenarnya sudah lama dirasakan bahwa jalur dialog tidak mungkin ditempuh, sehingga terbentuklah MNLF. Melalui organisasi ini, dikemaslah pergerakan bawah tanah radikal tidak saja untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam, tetapi lebih jauh untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam bentuk tuntutan untuk merdeka dari republic Filipina.

Gelombang ketidakpuasan minoritas Muslim juga terjadi diberbagai Negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Umat Islam Thailand misalnya, mengisi 10 % total penduduk secara keseluruhan, juga mengalami diskriminasi politik dan sosial. Sama dengan Burma, Negara Thailand berpenduduk mayoritas Budha. Sedangkan untuk kawasan Vietnam dan Kamboja relative sangat sedikit, di bawah prosentase ke dua Negara Thailand dan Burma. Untuk Negara-negara ini, isyu yang mereka perjuangkan relative sama, yakni kedudukan mereka yang minoritas menjadi factor keterbelakangan, karena itu harus diperjuangkan. Pada era sekarang, eksistensi mereka, seperti di Thailand misalnya, sangat tergantung dari ketahanan mereka menerima perubahan. Dikarenakan dilema keterbelakangan yang diwariskan oleh pemerintahan mereka, umat Islam di Negara-negara tersebut agak keberatan dengan gelombang pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga diskursus mengenai agama dan perubahan dianggap barang tabu di tengah komunitas tersebut. Artinya, seandainya perubahan melanda mereka, maka tolak ukurnya mesti apakah perubahan itu menganggu tatanan keagamaan atau tidak. Di Thailand hambatan seperti diatas lebih dominant dibanding ancaman militer dan pemerintah Kristen seperti yang terjadi di Filiphina. Sampai tahun 1960-an, pemerintah Thailand berusaha keras untuk memaksa masyarakat minoritas Thailand agar menerima perubahan, termasuk dalam pendidikan modern. Bagi komunitas Muslim Thailand, sikap pemerintah tersebut justru mengancam eksistensi pendidikan tradisional mereka, semacam pesantren di Indonesia, dengan kurikum yang tidak berkembang. Sehingga akhirnya ancaman itu menjadi kenyataan, ketika pemerintah Thailand memprakrarsai untuk merombak system pendidikan pada 500 pesantren di Thailand. Yang menyakitkan bagi masyarakat muslim minoritas Thailand bukanlah sikap “baik” pemrintah tersebut. Ada unsur pemaksaan agama terhadap mereka bila belajar pada sekolah pemerintah. Setiap pelajar muslim diwajibkan mengikuti pelajaran agama Budha. Sikap pemaksaan tersebut dianggap menyalahi hak-hak mereka sehingga muncul perlawanan dikalangan muslim minoritas Thailand terutama masyarakat Pattani yang menuntut kemerdekaan dari Thailand. Diskriminasi pemerintah Thailand terhadap minoritas muslim juga merambah kawasan ibadah. Pemerintah membatasi fungsi masjid hanya sebagai tempat ibadah pada hari Jum’at saja, dan melarang penggunaan mesjid untuk maksud-maksud lain. Keadaan ini tentu saja semakin memperkuat alasan dijalankannya politik pergerakan radikal muslim di kawasan itu.

Rabu, 03 Juni 2009

Penjualan (Baca: Pencurian) Naskah-Naskah Kuno Islam Melayu-Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham

Antropolog Levi Strauss mengatakan bahwa budaya tidak terbatas soal di mana letaknya. Namun, ketika, naskah-naskah kuno Islam (Melayu ataupun Minangkabau) dijual ke negara lain, khususnya ke Malaysia, persoalannya justru menciderai hakikat budaya itu sendiri. Penjualan naskah-naskah kuno Islam beberapa tahu belakangan ini, harus disikapi serius oleh pemerintah dan budayawan Indonesia. Hanya dalam hitungan lima tahun terakhir, sudah 60 naskah Melayu kuno Indonesia berpindah tangan ke Malaysia. Padahal naskah Melayu itu dibuat sekitar tahun 1800-an. Negara tetangga itu masih akan terus memburu dokumen cagar budaya Indonesia. Bagaimanapun naskah Melayu kuno itu menjadi kekeyaan tersendiri buat bangsa Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah harus melindungi naskah-naskah dari jarahan orang luar. Caranya tentulah, pemerintah harus membeli dari masyarakat yang jika memang mereka memperjual belikannya. Terjadinya penjualan naskah ini ke Malaysia, tidak terlepas dari minimnya perhatian pemerintah Indonesia soal kebudayaan itu sendiri. Ini dapat dilihat, ketika pemerintah telah memisahkan kebudayaan dari pendidikan itu sendiri.

Naskah Melayu kuno itu akan menjadi barang berharga yang memiliki nilai sejarah tinggi. Naskah itu nantinya akan menjadi bahan penelitian dari seluruh akademisi dan budayawan dari belahan dunia. Maka, dengan adanya perburuan naskah kono Melayu itu, nantinya Malaysia akan menjadi pusat penelitian sastra Melayu satu-satunya di dunia. Malaysia, begitu ngotot dengan naskah melayu kuno itu karena mereka akan memperkuat identitas melayunya. Seperti slogan mereka Trully Asia, Malaysia bener-bener ingin mewujudkan negeri tersebut sebagai pusat melayu di dunia.

Seperti yang kita ketahui, lagu rasa sayange, reok, batik, kini dipatenkan menjadi karya anak bangsa Malaysia. Sebentar lagi, naskah Melayu kuno yang mereka beli dari Kepri, juga akan menjadi hak paten milik mereka. Lantas bangsa kita ini akan tetap menjadi penonton pada hasil karyanya sendiri yang sudah dimiliki bangsa lain. Naskah yang kini sudah berpindah tangan itu, antara lain, sejumlah syair, hikayat, catatan harian, Al Quran kuno yang semuanya bertuliskan tangan pada abad 19 lalu. Para pemburu naskah Melayu ini dilakukan warga Malaysia baik dari mahasiswa maupun para akedemisi. Mereka membeli dari masyarakat di Pulau Lingga, Bintan, dan Pulau Penyengat di Kepri, dan beberapa kasus yang terjadi di Sumatera Barat. Kini 60 naskah Melayu itu dengan mudah dijumpai di Pustaka Universitas Kebangsaan Malaysia, Universitas Malaka serta museum pemerintah Malaysia. Naskah bertuliskan melayu arab itu, bakal menjadi dokomen sejarah soal akar sastra Melayu di dunia.

Senin, 01 Juni 2009

Antara Gamawan Fauzi dan "Urang Sumando Bakuku Ameh"

Oleh : Muhammad Ilham

Di jalan Sudirman Kota Padang, tepatnya di dekat Perkantoran Bank Indonesia, Posko pemenangan JK-WIN berada. Gedung tua bekas kantor Mahkamah Militer berwarna hijau lusuh (karena sudah tua), disulap menjadi warna kuning (warna Partai Golkar) berbalur kuning tua-pinang khas Partai Hanura. Di depannya, ada baliho besar ……. JK-WIN dengan “Tiga Icon keramatnya …… Lebih Cepat, Lebih Baik, Lebih Tegas” serta kata-kata dalam bahasa Minangkabau yang ingin memperjelas posisi kultural JK … “Urang Sumando Bakuku Ameh” (Suami Orang Minangkabau yang Berkuku Emas). Mufidah Kalla, sang istri JK, adalah Bundo Kanduang asal Minangkabau. Berkuku Emas, jelas memposisikan mantagi JK dalam ranah politik Indonesia saat sekarang ini. Pesan yang ingin disampaikan : “JK adalah orang Minangkabau dan ia hebat, untuk itu, sudah selayaknyalah orang Minangkabau memilih JK (dan tentunya WIN akan terbawa, dengan segala bentuk justifikasi). Lalu bagaimana dengan SBY-Boediono ?. Nampaknya, icon JK lebih cepat, terlihat disini. SBY-Boediono, setidaknya tim sukses pasangan dengan koalisi partai-partai rapuh ini, belum segesit tim sukses JK-WIN (khususnya di Sumatera Barat). Akan tetapi kehadiran Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat) di Sabuga sebagai “wali nikah” SBY-Boediono yang kontroversial itu, telah memperlihatkan SBY-Boediono lebih dulu dibandingkan JK-WIN. Harus diakui bahwa ketiga pasangan Capres/Cawapres ini disadari atau tidak disadari ternyata telah menarik masyarakat Minang yang ada dikampung halaman dan daerah perantauan untuk terlibat ke dalam ranah politik tersebut.

Secara genetis, sejarah telah mencatat bahwa Yusuf Kalla adalah sumandonya orang Minang, karena isteri beliau berasal dari Tanah Datar (Sumatera Barat). Sedangkan Megawati Soekarno Putri yang memiliki suami Taufik Kiemas dimana orang tua perempuannya berasal dari daerah Batipuh, Tanah Datar (Sumatera Barat). Sedangkan SBY-Budiono pernah diberi “gala” atau gelar oleh orang Minang serta mendapat dukungan dari Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi, S.H. Ketiga keterkaitan genetis dan politis yang menjadi pengikat pemilih Minang menghadappi pilres mendatang tentu membuat peta konflik di kalangan urang awak semakin terbuka untuk masa-masa mendatang. Disamping itu, keterikatan genetis dan politis tersebut ternyata memperlihatkan kepada Publik bahwa masyarakat Minang, baik di kampung halaman maupun di perantauan tidak solid menghadapi pilpres mendatang. Jika urang awak nan “boneh” di rantau dan kampung halaman tidak kompak dan hanya menyelamatkan kapal masing-masing untuk berlayar sampai di “seberang politik” saya yakin dan percaya bahwa mereka tidak akan mampu “mambangkik batang tarandam”.

Kondisi ini menggambarkan bahwa urang awak hanya dijadikan elite-elite politik tertentu sebagai “kudo parajang bukik” untuk mendapatkan tahta RI-1 dimasa-masa mendatang. Kalau RI-1 sudah didapat, maka “kacang kembali akan lupa dengan kulitnya”. Secara historis masyarakat Minang memang sangat mandiri dalam konsep berfikir dan menentukan sikap politiknya. Kemadirian “nagari” sebagai sebuah “republik kecil” seperti “city state” di Yunani dulunya dan sistem kelarasan ternyata telah membentuk karakter tersendiri bagi masyarakat Minangkabau. Sejak dulunya sikap politik masyarakat Minangkabau memang tidak pernah mampu diintervensi oleh kekuatan materi dan kekuasaan apapun, termasuk lingkungan keluarga mereka sendiri. Jika “urang awak” sudah tersinggung, maka mereka akan menampilkan identitas dan jati dirinya dengan ungkapan “walaupun kamu pintar, kami tidak bertanya. Walaupun kamu kaya, kami tidak pernah meminta dan walaupun kamu jagoan kami tidak akan berantam”.

Sebagai seorang Gubernur, seharusnya Gamawan Fauzi menginventarisir segala potensi dan keinginan sekaligus aspirasi politik masyarakat Sumatera Barat secara keseluruhan. Selanjutnya semua aspirasi dan dinamika politik yang terjadi “dikunya-kunya”, sehingga menjadi sebuah konsep yang jelas, cerdas dan aspiratif. Strategi seperti ini tentu akan membuat bargaining politik “urang awak” akan lebih diperhitungkan oleh berbagai elite politik dan elite pemerintahan ini ke depan. Jika seorang pemimpin seperti Gubernur sudah jalan sendiri-sendiri, bagaimana masyarakat Sumatera Barat nantinya. Padahal Sejak dulu kala masyarakat etnis lainnya sangat segan dengan paguyuban perantau. Minangkabau di perantauan yang senantiasa solid dan memiliki link yang baik dengan kampung halaman. Jangan hanya karena ambisi pribadi untuk menjadi menteri, maka seorang pemimpin daerah mengorbankan harga diri dan jati diri masyarakat yang dipimpinnya. Secara sosiologis memang masyarakat Minangkabau merupakan etnis yang dinamis dan mandiri, sehingga walaupun karakteristik warganya tergolong homogen dari latar belakang suku dan agamanya, dari sisi politik selalu berubah (Kompas, 23/5). Namun yang dipersoalkan bukan karena dinamika politik masyarakatnya, melainkan karena Gamawan Fauzi adalah seorang pemimpin masyarakat Sumatrera Barat.