Oleh : Muhammad Ilham
Hampir 70 %, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia belum diakui. Sehingga batas-batas teritorial yang berkaitan dengan (utmanya) laut, memiliki potensi besar dalam menciptakan konflik (Kompas, 3/3/2008). Ambalat hanya salah satu kasus yang muncul ke permukaan. Dari sejumlah masalah batas laut, penetapan yang paling cepat terwujud baru dengan Filipina. Selebihnya masalah yang dihadapi Indonesia begitu besar. Namun, tampaknya Indonesia tidak serius untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan negara tetangga. Itu terbukti dengan berlarut-larutnya penyelesaian masalah itu. Menurut Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal, itu dikarenakan tidak ada pressure dari pihak terkait di pihak Indonesia.
Seandainya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tahun 1945 memutuskan wilayah negara Indonesia merdeka adalah pendapat Muhammad Yamin, bangsa ini akan lebih sulit menjaga kedaulatan teritorialnya daripada yang ada kini. Terobsesi oleh kejayaan Majapahit, tampaknya Yamin menginginkan wilayah negara Indonesia seluas wilayah kerajaan terbesar di Asia Tenggara, antara abad XIV sampai XV. Memang wilayah itu sampai ke Pattani, Thailand, dan Mindanao, Filipina. Jangankan yang seluas itu, dengan wilayah bekas Pax Nerlandica “saja” sudah begitu besar masalah perbatasan yang harus dihadapi. Ironisnya bangsa ini tidak menunjukkan kemauan kuat untuk mengatasinya. Mengapa demikian? Ditinjau dari aspek sejarah dan budaya, setidaknya ada tiga faktor.
Pertama, karena lemahnya, kalau tidak mau disebut “hilangnya” karakter dan orientasi kebaharian. Bagaimana sejarah bisa menjelaskan? Mungkin benar karena keunggulan VOC/Belanda setelah menghancurkan Gowa ditandai Perjanjian Bungaya (1669) mengakibatkan ketidakberdayaan nenek moyang bangsa ini di laut. Kedua, lemahnya kesadaran lingkungan geografis. Rendahnya kesadaran geografis bisa ditunjukkan minimnya pengetahuan mahasiswa tentang peta Indonesia. Pengetahuan geografi merupakan sarana awal memahami potensi dan daya dukung daerah terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan. Strategi pembangunan yang tepat dengan dukungan anggaran memadai untuk pengembangan provinsi berkarakter bahari (baca: kepulauan), khususnya di wilayah perbatasan, seharusnya menjadi prioritas utama. Ketiga, telah berjalan lama tidak terintegrasinya pembelajaran sejarah dan geografi dalam sistem pendidikan. Pembelajaran sejarah gagal menjelaskan keterkaitan antara dimensi “waktu” dan “ruang”. Suatu “peristiwa” (tidak hanya politik, tetapi juga sosial dan bencana) yang terjadi di suatu “tempat” tentu bukan suatu kebetulan. Di situlah kaitan kedua disiplin itu harus diberikan. Dengan ancaman terhadap kedaulatan teritorial, menjadi renungan bersama akan pentingnya kesadaran geohistoris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar