Kamis, 04 Juni 2009

Akar Sosiologis Radikalisme Islam Asia Tenggara

Oleh : Muhammad Ilham & A.T. Hidayat

Asia Tenggara boleh dikatakan menjadi ladang eksploitasi bagi dunia (baca:Barat), terutama memasuki abad 15 sampai dengan paroh abad 20, bangsa-bangsa Eropha memperkaya diri mereka dengan menjajah Negara-negara di Asia Tenggara ini. Setidaknya ini yang dapat ditangkap dari karya-karya sejarah tentang Asia Tenggara pada abad-abad itu. Dengan kolonialisme, bangsa-bangsa Eropa membagun ekonomi dan peradaban mereka. Untuk sementara, ini dapat sekedar menggambarkan bahwa Asia Tenggara untuk beberapa fase pernah menjadi suku bangsa tertindas. Sedangkan Islam sudah bercokol di kawasan ini semenjak abad VII dan VIII. Khusus Muslim Arab, Persia dan India diperkirakan telah bercokol di Indonesia dan Malaysia, tepatnya di sepanjang Selat Melaka. Dari sini muncul kontak perdagangan dengan masyarakat Asia Tenggara lainnya. Sedangkan dalam skala global, Asia Tenggara ketika itu menjadi trade centre yang mempertemukan kekuatan di wilayah Asia Timur, Tenggara dan Asia Barat. Dari Asia Barat kekhalifahan Daulat Bani Umayyah (660-749), kerajaan Sriwijaya (sekitar abad ke-7 sampai 14) di Asia Tenggara dan Dinasti T’ang (618-907) di Asia Timur.

Ketiga dinasti ini dapat dianggap kekuatan-kekuatan yang memainkan peranan penting bagi terciptanya komunitas apa yang disebut Asia Tenggara belakangan. Jadi sebelum era kolonial, kawasan ini sudah dipengaruhi berbagai agama dan keyakinan. Sebelum akhirnya Islam berhasil mendominasi kawasan selat Malaka dan sebagian kepulauan di wilayah barat nusantara, yang menurut Uka Tjandra sudah mulai berproses semenjak abad ke-7 sampai dengan puncaknya abad ke-13, serta didukung oleh melemahnya kerajaan Sriwijaya abad ke-13, telah terdapat titik konflik antara berbagai keyakinan, disamping berbagai kepentingan, terutama politik dan ekonomi yang menentukan sekali bagi perkembangan kawasan ini untuk masa-masa selanjutnya. Kondisi seperti itu, dimana keberagaman dan keterbukaan sama-sama berpeluang di kawasan ini, adalah karakter yang paling menonjol dari kawasan ini. Tidak satupun dari negara-negara di Asia Tenggara yang memiliki kultur tunggal. Setiap negara dibangun berdasarkan pertukaran budaya secara eksternal maupun internal. Di samping itu, struktur dan kondisi alam yang juga relatif berbeda dari wilayah-wilayah lain di dunia, ikut membentuk karakter masyarakat kawasan ini. Sampai tahun 1700 pergumulan cultural, ideologis di kawasan ini menjadi sebuah dialog yang intens disertai berbagai dorongan dan motivasi yang berkaitan dengan ekonomi dan politik. Akan tetapi kondisi ini dengan sendirinya membuat pemisahan yang jelas antara wilayah Islam di Selatan, konghucu di Vietnam, dan Krsiten di Filiphina dengan ortodoksi politik masing-masing. Kolonialisme, seperti yang kita singgung di muka, memiliki peranan sangat strategsi juga untuk perkembangan wilayah ini. Di samping eksploitasi kekayaan alam dan penjajahan dalam bentuk fisik, kolonialisme juga membawa serta westernisasi, kapitalisme, modernisasi dan khsusnya kristenisasi. Pemisahan yang terjadi diatas, lebih dipertegas oleh kolonialisme dengan atribut-atribut tambahannya ini. Di samping itu rasionalisme dalam pengalaman Barat Eropha, juga memperkaya “keberagaman” Asia Tenggara. Karena pada perkembangannya nanti rasionalisme Eropha Vis-à-vis “tradisionalisme” yang berakar dari kultur dan tradisi setempat akan mewarnai perkembangan wilayah ini hingga hari ini. Untuk beberapa dekade lamanya, cap tradisional juga digambarkan sebagai mencirikan sebagian komunitas muslim, dihadapkan dengan modernisme-rasionalisme yang mengusung konsep pembangunan.

Memasuki era modern ini, yang merupakan kelanjutan dari masa-masa sebelumnya, pada saat dimana Asia Tenggara telah terbentuk menjadi Negara-negara yang berdaulat, banyak dampak yang diakibatkan dari kondisi praktis masyarakat muslim seperti tergambar diatas. Diantara dampak tersebut yang juga merupakan problematika historis yang sangat menentukan perkembangan masyarakat muslim Asia tenggara secara umum, dan kemunculan politik pergerakan masyarakat muslim yang radikal khususnya adalah : Munculnya nasionalisme yang kontraproduktif dengan kondisi praktis masyarakat Muslim, terutama dimana masyarakat Muslim merupakan minoritas seperti di Philipina, Thailand, Singapura dan Vietnam. Kemudian, di dalam sikap Nasionalisme, muncul pula tuntutan atas otonomi yang luas dalam kehidupan beragama, dalam bentuk yang lebih konkret tuntutan tersebut berupa penerapan syari’at Islam. Bagi sebagian kalangan yang berfaham radikal. Selanjutnya, tuntutan merdeka penuh, dimana komunitas Muslim diwilayah tersebut merupakan mayoritas. Ini adalah klimaks dari ketidakpuasan komunitas muslim radikal dari berbagai Negara di Asia Tenggara. Cara yang ditempuh untuk mewujudkan ini adalah dengan melakukan pergerakan yang terorganisir secara militer. Yang mungkin akan difokuskan dalam makalah ini adalah gerakan DII/TII-NII Kartosuwiryo di Indonesia, dan MNLF di Philipina. Muslim di Indonesia dapat dianggap mewakili masyarakat muslim mayoritas di Asia Tenggara, yang memiliki problem dengan benturan ideology dan politik sehingga memunculkan politik pergerakan untuk memperjuangkan berdirinya Negara Islam. Sedangkan MNLF mewakili masyarakat muslim minoritas. Namun tidak menutup kemungkinan bila dalam makalah ini disinggung juga beberapa profil politik pergerakan lain di luar dua pergerakan diatas.

Hal yang paling banyak disebut sebagai penyebab kemunculan politik pergerakan Islam radikal di Indonesia adalah persoalan ideology. Tetapi persoalan ini tidak dapat digeneralisir sebagai factor satu-satunya. Pada level institusi politik, politik pergerakan muslim sudah ada seiring dengan lahirnya republic ini. sedangkan pada level pemahaman keagamaan, sudah ada jauh sebelum itu. Profil Kartosuwiryo adalah penegasan paling jelas tentang masalah ini. Jika ditarik lebih ke belakang, benih pemikirannya sudah lama mengakar. DI (Darul Islam) merupakan bentuk konkret dari ide-ide yang ditelorkannya jauh sebelum gerakan ini didirikan.
Sekalipun ia pendiri DI, namun bukan berarti Kartosuwiryo berbasis pendidikan pesantren, madrasah dan jalur-jalur pendidikan keagamaan formal maupun informal. Sikap militant yang diperolehnya tidak melalui pembelajaran agama yang ketat. Hal ini bertolak belakang dengan dugaan AS (Amerika Serikat) bahwa pembentukan karakter kelompok teroris di Indonesia dihasilkan oleh system pendidikan pesantren tertentu yang menerapkan standar yang ketat dalam memahami ajaran Islam. Kartosuwiryo memperoleh pengetahuan agama di Bojonegoro dengan gurunya Notodihardjo. Hanya dengan beliau ia memperoleh pelajaran agama. Deliar Noer menyebutnya sebagai sosok yang cendrung kepada mistik.

Benturan ideology antara kelompok Nasionalis Islam dengan kelompok Nasionalis yang netral agama pada masa-masa pergerakan kemerdekaan mempertegas garis perjuangan politik pergerakan muslim di bawah bendera partai-partai Islam semacam PSII, Masyumi. Berbeda dengan partai Islam yang memiliki trend kritis, tegas dan banyak bermain di tataran pemikiran, kelompok ekstrim Islam ini cendrung kurang puas dengan kondisi praktis seperti itu. Kartosuwiryo sebagai tokoh yang “terasing” ketika itu mengajak kepada seluruh kelompok Islam, dari barisan PSII, Masyumi dan tokoh-tokoh Islam untuk menerapkan apa yang dia sebut politik hijrah. Ia menyeru agar umat Islam bersatu dan merapatkan barisan. Hanya dengan begitu tercipta dunia baru Islam “Darul Islam”.
Lebih tegas ia menulis: “Kalau kita Hidjrah dari Mekkah-Indonesia ke Medinah-Indonesia, boekanlah sekali-kali kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih dari daerah dan wilajah, melainkan hanjalah di dalam sifat, thabi’at, amal, itiqad, dan lain-lain sebagainja.” Yang ia sindir dengan pernyataan tersebut adalah telah beralihnya tujuan dan cita-cita umat Islam dalam mencapai kemerdekaan. Menurutnya, sebagaimana dialog yang lazim ketika itu antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, bahwa tujuan utama bukanlah mengabdi kepada ibu pertiwi, namun hanya berbakti kepada Allah semata, bukan untuk Indonesia raya, tetapi Darul Islam yang sempurna. Dapat dikatakan, factor ketidakpuasan lebih belakangan muncul dalam gerakan DI dan khususnya Kartosuwiryo sendiri, ketimbang factor pemahaman keagamaan. Di sini kelihatan sekali keteguhan Kartosuwiryo mempertahankan idealisme ke-“islaman”-nya menentang arus trend yang berkembang ketika itu. Perselisihannya dengan tokoh-tokoh besar ketika itu, Agus Salim, Soekarno nampaknya tanpa basa-basi, yang membuat ia terasing. Di luar lapangan ideology dan cita-cita mendirikan Negara Islam tersebut, politik pergerakan Islam DI / Kartosuwiryo menemukan alasan lain untuk bergerilya dalam rangka mencapai cita-citanya. Alasan tersebut adalah karena TNI ternyata tidak berpihak kepada Islam, padahal komponen-komponen pejuang pergerakan kemerdekaan mayoritas adalah kelompok Islam, seperti Hizbullah, Peta (Pembela Tanah Air) yang mayoritasnya berasal dari Muhammadiyyah, termasuk di dalamnya Panglima Besar Soedirman, dan laskar-laskar Islam lainnya. Mengenai ketidak adilan ini semakin terasa semenjak tahun 1947 setelah TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) berubah nama menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), yang dipimpin oleh Panglima Besar Soedirman yang berasal dari PETA. Sedangkan wakilnya adalah Urip Sumoharjo seorang Kristen mantan tentara KNIL (tentara Belanda). Sejak saat itu terjadi ketidak adilan, dimana minoritas menguasai mayoritas. Menyusul Urip yang mantan KNIL, masuk Gatot Soebroto yang beragama Budha, Soeharto (Kejawen) dan A.H. Nasution (nasionalis sekuler). Pejuang-pejuang sejati Hisbullah yang merupakan unsur mayoritas digusur oleh mantan-mantan tentara KNIL tersebut.

Dari sini dapat dipahami mengapa Kartosuwiryo lebih memilih memberontak dengan pasukannya TII ketika disuruh harus mengosongkan Jawa Barat, dan harus hijrah ke Jogjakarta sesuai dengan perjanjian Renville tahun 1948, yang mengharuskan Indonesia mengosongkan daerah inclave. Ketika itu Kartosuwiryo adalah panglima Hisbullah divisi Jawa Barat. Disinilah ironisnya, ia harus menghadapi tentara Belanda, di samping juga tentara KNIL yang telah bergabung dengan TNI. Untuk tujuan ini ia justru dicap pemberontak oleh Soekarno, yang mengakibatkan hukuman mati baginya pada tahun 1962. padahal keberadaaan mereka mempertahankan Jawa Barat ketika itu adalah juga persetujuan Jendral Soedirman. Ini disampaikan langsung oleh Jendral Soedirman kepada wartawan ANTARA ketika menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Jogjakarta. Ketika terjadi reorganisasi di tubuh TRI pada tahun 1950 dan membentuk divisi-divisi (tentara teritorium) cikal bakal kodam sekarang. Pada waktu itu PKI banyak menguasai divisi-divisi tersebut. kekuatan Islam semakin tergusur, sehingga banyak menimbulkan pemberontakan. Di Sulawesi “pemberontakkan” dipimpin oleh Kahar Muzakkar yang tergusur oleh Gatot Subroto. Akan tetapi dari kesemua gerakan Darul Islam yang muncul di pelbagai daerah di Indonesia, gerakan Kartosuwiryolah yang mengancam langsung pemerintahan pusat, karena sejak semula NII yang ia rancang memang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Melihat penjelasan diatas dapat diketengahkan di sini bahwa politik pergerakan muslim DI/TII khsusnya muncul sebagai akibat fanatisme yang kuat sekali terhadap keyakinan. Gelombang ketidakpuasan politik pergerakan muslim di Indonesia agak lebih sukar difahami karena banyaknya permasalahan yang muncul sebagai akibat dari ketidakadilan politik. Respon Islam radikal yang menampilkan sosok seperti Kartosuwiryo terhadap perubahan dan ketidak adilan tersebut hanya dalam bentuk memperjuangkan berdirinya pemerintah Islam.

Pergerakan yang terbuka seperti di Indonesia dalam gambaran di atas tidak begitu tampak di Malaysia. Politik pergerakan radikal dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Agaknya gelombang ketidakpuasan sebagai akibat dari ketidak adilan yang dirasakan komunitas muslim tidak sebesar apa yang dirasakan masyarakat muslim di Indonesia. Ini juga berkaitan dengan kemakmuran suku ras Melayu yang mendapat perhatian dari pemerintah Malaysia dengan politik ekonomi yang berpihak kepada mereka. Hal itu ditunjang dengan pengakuan bahwa Islam adalah agama Negara. Sebuah pengakuan yang jujur, berangkat dari pengalaman sejarah masa lalu Negara ini. Bagi kelompok radikal, pengakuan ini sangat cukup bagi terealisasinya konsepsi perjuangan mereka. Tetapi pengakuan dan kemakmuran ini bukan berarti tanpa rintangan. Ini adalah hasil kompromi politik internal Malaysia, setelah sekian lama menelan pahitnya pengalaman mendirikan sebuah Negara.

Baik pemerintah maupun masyarakat muslim secara keseluruhan telah sejak lama berupaya untuk menjalin kepercayaan antara kedua belah fihak. Penyaluran aspirasi kelompok Islam militant lebih terarah dan fokus kepada politik praktis, sekalipun kebijakan politiknya cendrung militant. PAS misalnya kurang mendapat apresiasi mengingat front nasionalis yang diwakili oleh UMNO ternyata juga menaruh perhatian besar kepada masyarakat muslim yang mereka sebut Melayu. Keberpihakan ini juga tercermin dalam bidang pendidikan keagamaan. pendidikan agama dijamin dan diurus dengan baik dan serius oleh pemerintah Malaysia, sekalipun baru pada tahun 1972 Malaysia memiliki lembaga khusus dalam kementrian Pendidikan yang fokus pada pendidikan agama. Sejak tahun 1956 pelajaran agama wajib diajarkan di sekolah nasional selama 2 jam. Politik yang akomodatif ini setidaknya mampu meredam rasa ketidakpuasan di kalangan muslim Malaysia, sehingga tidak cukup alasan untuk melakukan upaya-upaya radikal lagi. Toh keinginan esensial dari perjuangan itu sudah relative tercover dalam kebijaksanaan pemerintah, sekalipun dibawah penguasa nasionalis. Karena itu, PAS sendiri sebagai perwakilan komunitas politik Islam, bukanlah sarana penyaluran aspirasi radikal mereka, sekalipun kalangan ini memilih partai tersebut dalam berbagai pemilihan umum.

Kemunculan politik pergerakan radikal di dalam Negara yang penduduk muslimnya minoritas lebih mudah dipahami dari pada kemunculannya di Negara yang berpenduduk muslim mayoritas. Penyebab yang dominant sangat jelas, ke-tidakadilan. Di Filiphina, rasa kurang puas terhadap ketidakadilan di kalangan muslim minoritas ini pertama kali muncul pada tahun tanggal 18 Maret 1935, berupa deklarasi yang ditujukan kepada Amerika Serikat. Deklarasi itu berisi tuntutan Ummat Islam untuk berdiri sendiri. Selama ini kalangan Kristen—khususnya Katolitk—selalu memonopoli kepemimpinan dan memajukan kota-kota besar, tanpa memberikan kesempatan kepada Ummat Islam. Tidak ada lowongan terbuka untuk Ummat Islam. Pajak dipungut hanya untuk kepentingan pulau-pulau di wilayah utara, sehingga memperlebar kesenjangan, penguasa Katolik makin maju, sementara Ummat Islam semakin mundur. Namun deklarasi tersebut tidak menghasilkan apa-apa, dan pemerintah Republik Filipina tetap berdiri. Baru tahun 1968, tepatnya tanggal 1 Mei meledak sebuah maklumat politik dari tokoh-tokoh Muslim di Filipina. Maklumat tersebut kira-kira berbunyi: “Dengan nama Allah SWT, umat Islam yang mendiami pulau Mindanao, Sulu dan Palawan menyatakan tekadnya untuk memisahkan diri dari Republik Filipina dan mendirikan sebuah Negara Islam, yang dapat menampung idealisme dan aspirasi umat, yang dapat memelihara dan mengembangkan warisan agama-nya di bawah naungan persaudaraan Islam yang universal, dibawah pemerintahan yang berdasar hukum, keadilan dan demokrasi…negara Islam ini meliputi daerah Filipina bagian Selatan yang penduduknya Ummat Islam yakni: Cotabato, Davao, Zamboanga, Basilan, Lanao Sulu, Palawan dan daerah serta pulau-pulau di sekitarnya yang ditempati atau di bawah pengaruh Umat Islam.”

Ketidak adilan yang dirasakan komunitas Muslim Filipina Selatan juga sebagai akibat dari keinginan penguasa colonial—dari Spanyol sampai Amerika—yang hendak menghapus hukum Islam dan system hukum adat. Keberpihakan colonial ini tentunya tidak terlepas dari misi Kristen yang mereka bawa. Sampai kepada masa-masa pemerintahan republic di bawah penguasa Kristen, diskriminasi terhadap komunitas Muslim terjadi di seluruh lapangan kehidupan. Di samping yang disebut diatas, Dr. M. Kamal Hassan menyebut ketimpangan pendidikan yang serius antara penduduk Muslim dengan penduduk Katolik.
Keadaan ini benar-benar mengusik rasa nasionalisme masyarakat Muslim Philipina Selatan. Pada waktu penjajahan, mereka dikenal pantang menyerah dengan bangsa colonial. Tetapi setelah kemerdekaan mereka justru dianaktirikan dan dianggap pemberontak, sama seperti aggapan bangsa colonial terhadap mereka. Di bawah pemerintahan republic mereka menjadi bulan-bulanan penguasa sepanjang masa Macapagal, Marcos dan Benigno. Sebenarnya sudah lama dirasakan bahwa jalur dialog tidak mungkin ditempuh, sehingga terbentuklah MNLF. Melalui organisasi ini, dikemaslah pergerakan bawah tanah radikal tidak saja untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam, tetapi lebih jauh untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam bentuk tuntutan untuk merdeka dari republic Filipina.

Gelombang ketidakpuasan minoritas Muslim juga terjadi diberbagai Negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Umat Islam Thailand misalnya, mengisi 10 % total penduduk secara keseluruhan, juga mengalami diskriminasi politik dan sosial. Sama dengan Burma, Negara Thailand berpenduduk mayoritas Budha. Sedangkan untuk kawasan Vietnam dan Kamboja relative sangat sedikit, di bawah prosentase ke dua Negara Thailand dan Burma. Untuk Negara-negara ini, isyu yang mereka perjuangkan relative sama, yakni kedudukan mereka yang minoritas menjadi factor keterbelakangan, karena itu harus diperjuangkan. Pada era sekarang, eksistensi mereka, seperti di Thailand misalnya, sangat tergantung dari ketahanan mereka menerima perubahan. Dikarenakan dilema keterbelakangan yang diwariskan oleh pemerintahan mereka, umat Islam di Negara-negara tersebut agak keberatan dengan gelombang pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga diskursus mengenai agama dan perubahan dianggap barang tabu di tengah komunitas tersebut. Artinya, seandainya perubahan melanda mereka, maka tolak ukurnya mesti apakah perubahan itu menganggu tatanan keagamaan atau tidak. Di Thailand hambatan seperti diatas lebih dominant dibanding ancaman militer dan pemerintah Kristen seperti yang terjadi di Filiphina. Sampai tahun 1960-an, pemerintah Thailand berusaha keras untuk memaksa masyarakat minoritas Thailand agar menerima perubahan, termasuk dalam pendidikan modern. Bagi komunitas Muslim Thailand, sikap pemerintah tersebut justru mengancam eksistensi pendidikan tradisional mereka, semacam pesantren di Indonesia, dengan kurikum yang tidak berkembang. Sehingga akhirnya ancaman itu menjadi kenyataan, ketika pemerintah Thailand memprakrarsai untuk merombak system pendidikan pada 500 pesantren di Thailand. Yang menyakitkan bagi masyarakat muslim minoritas Thailand bukanlah sikap “baik” pemrintah tersebut. Ada unsur pemaksaan agama terhadap mereka bila belajar pada sekolah pemerintah. Setiap pelajar muslim diwajibkan mengikuti pelajaran agama Budha. Sikap pemaksaan tersebut dianggap menyalahi hak-hak mereka sehingga muncul perlawanan dikalangan muslim minoritas Thailand terutama masyarakat Pattani yang menuntut kemerdekaan dari Thailand. Diskriminasi pemerintah Thailand terhadap minoritas muslim juga merambah kawasan ibadah. Pemerintah membatasi fungsi masjid hanya sebagai tempat ibadah pada hari Jum’at saja, dan melarang penggunaan mesjid untuk maksud-maksud lain. Keadaan ini tentu saja semakin memperkuat alasan dijalankannya politik pergerakan radikal muslim di kawasan itu.

Tidak ada komentar: