Cerita 1 : Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, "siapa yang mengetuk pintu tadi?". Si anak menjawab, "Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !". Spontan si ayah ini menjawab, "Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara".
Cerita 2 : Ketika melalui Gunung Thai bersama-sama dengan murid-muridnya, Kong-hu Chu melihat seorang perempuan sedang menangis dekat sebuah kuburan. Filosof yang ahli hikmah ini kemudian mendekati perempuan ini dan bertanya, mengapa dia menangis. Perempuan itu menjawab, "Dulu ayah suamiku disergap harimau disini hingga mati. Kemudian suamiku-pun diterkam harimau. Malah sekarang anak laki-lakiku juga mengalami hal yang serupa". Kong-hu Chu kemudian bertanya, "Kalau seperti itu, mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini ?". Sambil terus menangis, si perempuan itu kemudian menjawab, "Karena disini tidak ada pemerintah yang menindas". Lalu Kong-hu Chu berkata kepada murid-muridnya, "Ingatlah, pemerintah yang menindas jaub lebih mengerikan dari pada harimau".
Sang ayah di pedalaman hutan belantara Aceh di atas, tidak takut dengan kedatangan Malaikat Maut dibandingkan dengan kedatangan-kunjungan seorang tentara (baca: TNI) kala itu. Demikian juga dengan peringatan Kong-hu Chu. Seekor harimau, paling-paling hanya bisa membunuh dengan satu-dua kali terkaman, tetapi pemerintah dan perangkatnya (baca: penguasa) yang dzolim dan tiranik, dapat membunuh manusia dengan penyiksaan terlebih dahulu yang jauh lebih menyakitkan dan mengerikan dari Malaikat Maut atau harimau sekalipun. Penguasa atawa kekuasaan sungguh menggiurkan. Penguasa atawa kekuasaan juga bisa melahirkan kemashlahatan manusia. Tapi kekuasaan yang tiranik - tanpa ada kontrol dan pembatasan - jauh lebih menakutkan dari Malaikat Maut dan Harimau. Karena itu, kekuasaan harus dibatasi agar tidak menjadi tirani yang "menandingi" kekuasaan Tuhan. Karena itu, untuk membatasi kekuasaan sang penguasa, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan secara serius, diantaranya : Kekuasaan negara harus berorientasi kepada demokratisasi ekonomi. Artinya, sektor-sektor bidang ekonomi (baik skala hulu maupun hilir) harus memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum. Kemudian, pemerintah atau penguasa yang sedang berkuasa tidak boleh memaksakan diri melanggengkan kekuasaannya, dengan dalih dan justifikasi apapun, apalagi melalui intimidasi. Tidak ada hukuman bagi pengkritik, baik yang disampaikan secara resmi atau tidak resmi, asal kritik tersebut argumentatif dan proporsional.
Selanjutnya, demokrasi harus menekankan perlindungan terhadap individu-individu dan minoritas-minoritas dari tirani. Kemudian, penguasa harus "mengajarkan/memperlihatkan" kepada masyarakat bahwa kekuasaan yang dipegangnya tersebut sebagai hal yang biasa, manusiawi dan hanya merupakan titipan dari Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan ini tercermin ketika kekuasaan tersebut lepas dari genggamannya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Lech Walesa, seorang tukang listrik di Pelabuhan Gdanks Polandia. Walesa yang memimpin Partai Kaum Buruh (Partai Solidaritas) menggulung Partai Komunis Polandia, menjatuhkan Jenderal "the untouchable" Jaruzelski, sekitar tahun 1990. Walesa kemudian didaulat jadi Presiden Polandia. Buruh jadi Presiden, dalam demokrasi itu biasa dan bisa. Ketika tahu 1995, Walesa turun dari jabatan Presiden. Partainya kalah dalam Pemilu. Walesa kemudian kembali ke habitatnya, jadi buruh listrik di Gdanks. Tanpa malu dan tanpa beban apa-apa. Ketika ditanya tentang hal ini, Walesa menjawab, "saya masih muda untuk pensiun dan tidak punya cukup uang untuk hidup". Alangkah wajar dan bersahajanya jabatan dan kekuasaan kepresidenan dipandang dan diperlakukan di di Polandia. Presiden yang tadinya "di atas", ketika selesai, bisa (dan mau) alih profesi menjadi buruh yang "dianggap di bawah" (bila dibandingkan dengan Presiden). Walesa melenggang ketika turun dari kursi kekuasaan tanpa "isi dompet" bengkak-memelar, melainkan kembali ke "khittahnya" sebagai buruh listrik, tanpa post power syndrom. Kekuasaan pada prinsipnya adalah sesuatu yang manusiawi, karena itu perlakuan kita terhadap subjek dan objek kekuasaan juga harus manusiawi.
Cerita 2 : Ketika melalui Gunung Thai bersama-sama dengan murid-muridnya, Kong-hu Chu melihat seorang perempuan sedang menangis dekat sebuah kuburan. Filosof yang ahli hikmah ini kemudian mendekati perempuan ini dan bertanya, mengapa dia menangis. Perempuan itu menjawab, "Dulu ayah suamiku disergap harimau disini hingga mati. Kemudian suamiku-pun diterkam harimau. Malah sekarang anak laki-lakiku juga mengalami hal yang serupa". Kong-hu Chu kemudian bertanya, "Kalau seperti itu, mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini ?". Sambil terus menangis, si perempuan itu kemudian menjawab, "Karena disini tidak ada pemerintah yang menindas". Lalu Kong-hu Chu berkata kepada murid-muridnya, "Ingatlah, pemerintah yang menindas jaub lebih mengerikan dari pada harimau".
Sang ayah di pedalaman hutan belantara Aceh di atas, tidak takut dengan kedatangan Malaikat Maut dibandingkan dengan kedatangan-kunjungan seorang tentara (baca: TNI) kala itu. Demikian juga dengan peringatan Kong-hu Chu. Seekor harimau, paling-paling hanya bisa membunuh dengan satu-dua kali terkaman, tetapi pemerintah dan perangkatnya (baca: penguasa) yang dzolim dan tiranik, dapat membunuh manusia dengan penyiksaan terlebih dahulu yang jauh lebih menyakitkan dan mengerikan dari Malaikat Maut atau harimau sekalipun. Penguasa atawa kekuasaan sungguh menggiurkan. Penguasa atawa kekuasaan juga bisa melahirkan kemashlahatan manusia. Tapi kekuasaan yang tiranik - tanpa ada kontrol dan pembatasan - jauh lebih menakutkan dari Malaikat Maut dan Harimau. Karena itu, kekuasaan harus dibatasi agar tidak menjadi tirani yang "menandingi" kekuasaan Tuhan. Karena itu, untuk membatasi kekuasaan sang penguasa, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan secara serius, diantaranya : Kekuasaan negara harus berorientasi kepada demokratisasi ekonomi. Artinya, sektor-sektor bidang ekonomi (baik skala hulu maupun hilir) harus memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum. Kemudian, pemerintah atau penguasa yang sedang berkuasa tidak boleh memaksakan diri melanggengkan kekuasaannya, dengan dalih dan justifikasi apapun, apalagi melalui intimidasi. Tidak ada hukuman bagi pengkritik, baik yang disampaikan secara resmi atau tidak resmi, asal kritik tersebut argumentatif dan proporsional.
Selanjutnya, demokrasi harus menekankan perlindungan terhadap individu-individu dan minoritas-minoritas dari tirani. Kemudian, penguasa harus "mengajarkan/memperlihatkan" kepada masyarakat bahwa kekuasaan yang dipegangnya tersebut sebagai hal yang biasa, manusiawi dan hanya merupakan titipan dari Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan ini tercermin ketika kekuasaan tersebut lepas dari genggamannya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Lech Walesa, seorang tukang listrik di Pelabuhan Gdanks Polandia. Walesa yang memimpin Partai Kaum Buruh (Partai Solidaritas) menggulung Partai Komunis Polandia, menjatuhkan Jenderal "the untouchable" Jaruzelski, sekitar tahun 1990. Walesa kemudian didaulat jadi Presiden Polandia. Buruh jadi Presiden, dalam demokrasi itu biasa dan bisa. Ketika tahu 1995, Walesa turun dari jabatan Presiden. Partainya kalah dalam Pemilu. Walesa kemudian kembali ke habitatnya, jadi buruh listrik di Gdanks. Tanpa malu dan tanpa beban apa-apa. Ketika ditanya tentang hal ini, Walesa menjawab, "saya masih muda untuk pensiun dan tidak punya cukup uang untuk hidup". Alangkah wajar dan bersahajanya jabatan dan kekuasaan kepresidenan dipandang dan diperlakukan di di Polandia. Presiden yang tadinya "di atas", ketika selesai, bisa (dan mau) alih profesi menjadi buruh yang "dianggap di bawah" (bila dibandingkan dengan Presiden). Walesa melenggang ketika turun dari kursi kekuasaan tanpa "isi dompet" bengkak-memelar, melainkan kembali ke "khittahnya" sebagai buruh listrik, tanpa post power syndrom. Kekuasaan pada prinsipnya adalah sesuatu yang manusiawi, karena itu perlakuan kita terhadap subjek dan objek kekuasaan juga harus manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar