30 September 2009, hari itu hari Rabu, sore dengan cuaca yang sungguh sangat bersahabat. Kebetulan, hari itu saya agak cepat pulang dari kampus (sekitar 'ashar : biasanya saya betah hingga senja menjelang, walau tak ada jadwal ngajar sore). Saya sedang menunggu istri di sekolah tempatnya mengajar, sambil ber-SMS ria dengan salah seorang teman "paling gokil" yang saya kenal - Buana Mustika, "nyong Air Bangis" yang bekerja di pabrik bengkel kepunyaan negeri "sakura" di Jakarta. Tak sampai satu menit, Kota Padang, Padang Pariaman dan sekitarnya tanggal 30 September 2009 yang lalu ................ luluh lantak. 7,6 Skala Richter memberikan kontribusi terhadap kematian memiriskan ratusan anak manusia dan ratusan lagi tertimbun tanpa tahu apakah bisa ditemukan. Sungguh banyak yang ingin saya ceritakan tentang "pengalaman empirik" langsung saya seketika gempa berlangsung. Waktu gempa sedang "berdangdut", saya persis berdiri di sebuah gedung Perguruan Tinggi Swasta 4 tingkat ................... dan pada hari ke-lima evakuasi, di gedung ini telah dikeluarkan 32 mayat. Saya merasakan langsung kepanikan seorang suami pada istrinya, kepanikan seorang ayah terhadap anak-anaknya dan air mata seorang dosen-pensyarah melihat kampus tercintanya "hampir tak berfungsi" karena gempa. Saya juga merasakan hilangnya rasionalitas anak manusia sesaat setelah gempa terjadi. Dan.... saya juga merasakan bagaimana "malunya saya sebagai orang Minang" dan "malunya saya pada teman-teman non-Islam". Saya ingin mencurahkan semua ini dalam 30 (tiga puluh tulisan) .................... dan akan saya posting dalam beberapa hari ke depan. Produktifitas saya belakangan ini hampir mennurun, maklum lampu baru 1 hari ini hidup di rumah saya, sementara di kantor-kampus tempat saya mengajar, hingga hari ini, lampu masih "pudua'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar