Dalam antropologi budaya, nama menunjukkan sistematisnya sebuah budaya. Kata antropolog Bronislaw Malinowski, dari nama akan diketahui sistem dan interaksi sosial sang ego (baca: nama) tersebut berproses secara sosial kultural. Di beberapa daerah, Bali misalnya, dari nama akan menunjukkan posisi sosialnya. I Gusti, I Nyoman, Idayu dan seterusnya bukan tanpa makna, tapi bisa menjawab pertanyaan : "Bagaimana status sosialnya ?". Di daerah-daerah lain, juga ditemukan hal-hal seperti ini. "Andi dan devian-nya di Makassar, Tengku dan sejenisnya di pesisir timur Sumatera, Syah-Sidi-Marah di pesisir barat Sumatera Barat dan sebagainya. Ungkapan William Shakespeare, "what is name" ...... nampaknya tak "matching". Dalam tradisi Islam "garis keras" (saya menggunakan konsep debatable), terutama di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, terdapat beberapa tokoh/elit ideologi-institusi yang menghilangkan nama asli mereka dan lebih "familiar" menggunakan nama yang menunjukkan posisi genetik-nya terhadap anak kandungnya. Jadi, tidaklah mengherankan kemudian kita mengenal nama Abu Djibril (Ayah Muhammad Djibril) yang merupkana tokoh Majelis mujahiddin Indonesia, Abu Ghiffari (Ayah Ghiffari) yang bernama asli Ir. Hadi Wijaya yang merupakan salah satu mantan elit Jama'ah Islamiyah, Abu Dujana, Abu Hadi, Abu Lathief dan sebagainya. Uniknya, mayoritas "labelling" pada anak laki-laki.
Di komplek perumahan saya, hal seperti ini juga terjadi. Kalau istri saya biasa dipanggil Ibu Ifa dan saya Ayah Ifa (Ifa anak saya yang tertua). Tetangga saya sering dipanggil mama Bilqis, papa Fauzi, mama Daffa dan sterusnya. Terkadang, saya pribadi tidak tahu secara persis nama lengkap warga yang saya pimpin di komplek perumahan tempat saya tinggal, namun akan cepat mengetahui posisi rumah mereka ketika label nama anak mereka dipakai ........ Ayah Ihsan di Blok A/3, papa Rudi Blok E/7, mama Fani Blok G/12 dan sterusnya. Bedanya dengan labelling nama sebelumnya, labelling nama yang saya jumpai - termasuk di komplek saya tersebut - selalu untuk anak tertua, tidak tergantung anak tersebut laki-laki. Di ujung Blok komplek perumahan saya, ada satu keluarga yang hingga hari ini saya hanya mengenal nama lengkap suami - Joni Anwar @ Jon, "bos" payung di Pasar Raya Padang. Sementara nama istrinya, yang saya tahu hanya ............. "Mak Gampo". Gampo, lengkapnya Hendra Gampo adalah nama anaknya yang tertua, kira-kira berumur 5 tahunan. Sebuah nama yang sangat historis. Kebetulan, si anak ini lahir waktu Gempa 2007 yang lalu terjadi. Untuk mengabadikan moment historis ini, maka si Jon yang bos payung ini memberikan kata Gampo dibelakang nama anaknya. Jadilah si kecil lincah ini lebih sering dipanggil warga dengan ..... Gampooooooooo, dibandingkan hendra, dan ibunya dengan panggilan Mak Gampo.
Pasca gempa 30 September 2009, kata-kata gempa menjadi kata yang memiliki potensi "destructive psychologis" bagi warga di komplek saya. Mendengar kata-kata gampo (bahasa Minangkabau dari gempa), warga agak traumatik. Hari Minggu, 3 hari setelah gampo terjadi, hari cukup cerah, warga banyak yang duduk-duduk dan tidur-tiduran di tenda-tenda (maklum, di komplek saya terdapat 20 rumah yang ambruk akibat gempa) terdengar teriakan keras dari ujung blok saya : ...... "Gampoooooooooooooo, Gampooooooooooo, Gampooooooooo !!!!!!". Warga yang lagi tidur-tiduran dan bercengkrama di tenda-tenda ini berhamburan keluar, lari dan mencari posisi "aman". Maklum, trauma. Beberapa saat kemudian, warga merasa heran, tak terasa sedikitpun "hoyak" gampo. Rupanya, setelah mencari sumber suara yang meneriakkan "gampo" tadi, akhirnya, warga yang ketakutan tadi ketawa terbahak-bahak. Mak Gampo yang istri si Joni Anwar ini sedang berteriak-teriak memanggil anaknya - si Gampo - yang bermain di dekat sungai kecil. Mak Gampo rupanya takut anaknya tercebur ke dalam sungai. Beberapa hari belakangan ini, Mak Gampo jarang memanggil anak dengan "kata-kata keramat" ini lagi. Kata tetangga saya, Mak Gampo lebih sering memanggil anaknya dengan "Hendra". Cukup kereen dan tidak berpotensi menciptakan "kegaduhan".
Di komplek perumahan saya, hal seperti ini juga terjadi. Kalau istri saya biasa dipanggil Ibu Ifa dan saya Ayah Ifa (Ifa anak saya yang tertua). Tetangga saya sering dipanggil mama Bilqis, papa Fauzi, mama Daffa dan sterusnya. Terkadang, saya pribadi tidak tahu secara persis nama lengkap warga yang saya pimpin di komplek perumahan tempat saya tinggal, namun akan cepat mengetahui posisi rumah mereka ketika label nama anak mereka dipakai ........ Ayah Ihsan di Blok A/3, papa Rudi Blok E/7, mama Fani Blok G/12 dan sterusnya. Bedanya dengan labelling nama sebelumnya, labelling nama yang saya jumpai - termasuk di komplek saya tersebut - selalu untuk anak tertua, tidak tergantung anak tersebut laki-laki. Di ujung Blok komplek perumahan saya, ada satu keluarga yang hingga hari ini saya hanya mengenal nama lengkap suami - Joni Anwar @ Jon, "bos" payung di Pasar Raya Padang. Sementara nama istrinya, yang saya tahu hanya ............. "Mak Gampo". Gampo, lengkapnya Hendra Gampo adalah nama anaknya yang tertua, kira-kira berumur 5 tahunan. Sebuah nama yang sangat historis. Kebetulan, si anak ini lahir waktu Gempa 2007 yang lalu terjadi. Untuk mengabadikan moment historis ini, maka si Jon yang bos payung ini memberikan kata Gampo dibelakang nama anaknya. Jadilah si kecil lincah ini lebih sering dipanggil warga dengan ..... Gampooooooooo, dibandingkan hendra, dan ibunya dengan panggilan Mak Gampo.
Pasca gempa 30 September 2009, kata-kata gempa menjadi kata yang memiliki potensi "destructive psychologis" bagi warga di komplek saya. Mendengar kata-kata gampo (bahasa Minangkabau dari gempa), warga agak traumatik. Hari Minggu, 3 hari setelah gampo terjadi, hari cukup cerah, warga banyak yang duduk-duduk dan tidur-tiduran di tenda-tenda (maklum, di komplek saya terdapat 20 rumah yang ambruk akibat gempa) terdengar teriakan keras dari ujung blok saya : ...... "Gampoooooooooooooo, Gampooooooooooo, Gampooooooooo !!!!!!". Warga yang lagi tidur-tiduran dan bercengkrama di tenda-tenda ini berhamburan keluar, lari dan mencari posisi "aman". Maklum, trauma. Beberapa saat kemudian, warga merasa heran, tak terasa sedikitpun "hoyak" gampo. Rupanya, setelah mencari sumber suara yang meneriakkan "gampo" tadi, akhirnya, warga yang ketakutan tadi ketawa terbahak-bahak. Mak Gampo yang istri si Joni Anwar ini sedang berteriak-teriak memanggil anaknya - si Gampo - yang bermain di dekat sungai kecil. Mak Gampo rupanya takut anaknya tercebur ke dalam sungai. Beberapa hari belakangan ini, Mak Gampo jarang memanggil anak dengan "kata-kata keramat" ini lagi. Kata tetangga saya, Mak Gampo lebih sering memanggil anaknya dengan "Hendra". Cukup kereen dan tidak berpotensi menciptakan "kegaduhan".
1 komentar:
Hehehehe...sebuah nama yg bernilai historis ternyata bisa menjadi sumber kegaduhan...
Posting Komentar