Saya masih ingat, ketika itu tahun 2005 pertengahan. Ketika itu, hubungan Indonesia-Malaysia sedang memanas. Dan ketika itu, isu Ambalat menempati rating tertinggi dalam pemberitaan media massa Indonesia. Waktu itu saya sedang “hinggap” dan “singgah” untuk berkontemplasi ilmu (Post Graduate) disebuah Perguruan Tinggi di Malaysia, yang menurut saya merupakan Perguruan Tinggi “ramah” lagi “intelek” – Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Waktu itu, saya masih ingat, jam 09.00 pagi, lebih kurang. Seperti biasa, sebelum saya masuk kelas Bahasa Melayu, saya masih menyempatkan diri untuk masuk ke Makmal Komputer – untuk sekedar browsing atawa chatting. Dari Senen hingga Juma’t, hal ini biasa saya lakukan, bahkan sering. Untuk tahun 2005, memanfaatkan sarana computer + internet dengan gratis (dalam bahasa Malaysia, baca : percuma), adalah sesuatu yang langka bagi saya dan “kami” pelajar Indonesia kala itu. Internet di Indonesia, walaupun itu di kampus, untuk tahun 2005 masih membayar 2.000 – 3.000/jam. Karena itulah, pada jam-jam perkuliahan, Makmal Komputer Universiti Kebangsaan Malaysia tersebut banyak “dihinggapi” oleh pelajar/graduan Indonesia – dan ada beberapa orang graduan Malaysia dan negara lain. Tapi tetap, graduan Indonesia menjadi “pemakai percuma” terbanyak. Logis, graduan Indonesia banyak yang kere-kere, apalagi saya. Karena itu pulalah, saya selalu berangkat pagi-pagi dari tempat tinggal saya di Batu 13,5 Sungai Serai Hulu Langat Selangor – sebuah kampong yang mayoritas dihuni oleh orang Minangkabau, terutama yang berasal dari Pesisir Selatan. Sebuah kampong yang “identik” dengan peniaga buah dan ice cream. Mereka akan menjual buah, terutama durian, ketika sedang musim. Dinihari mereka akan pergi ke Pahang ataupun Jelebu untuk membeli buah durian dari kebun tekong Cina atau Tok Melayu. Sorenya mereka akan menyebar ke Pasar-Pasar Malam di berbagai Flat di sekitar Selangor ataupun Kuala Lumpur. Apabila musim buah sudah mulai berakhir, maka mereka akan beralih menjadi peniaga ice cream.
Naik bus ke Batu 9 Suntex, sambung lagi ke Bandar Kajang, terus naik lagi bus ke Bandar Baru Bangi UKM dengan sopirnya mayoritas orang India. Asyik melihat mereka. Saya masih ingat, nama seorang supir Bus orang ke Bandar Baru Bangi ini ....... orang India Malaysia bernama Thiagaraj A/L Subramaniam. Saya awalnya heran, apa maksud : "A/L". Hampir satu minggu saya menerka-nerka. Akhirnya, saya bisa memecahkan misteri Antonim "A/L" tersebut dari informasi seorang penambal sepatu di sudut Kedai Satay Kajang ..... A/L kataya kependekan dari "Anak Laki-Laki". Ohhhhh ..... berarti Thiagaraj BIN Subramaniam. Thiagaraj selalu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika saya ajak ia bicara dalam perjalanan dari Bandar Kajang ke Bandar Baru Bangi. Setiap ia menggeleng-gelengkan kepalanya, saya teringat Aamir Khan dan Shah Rukh Khan ... itu lho, aktor Bollywood yang selalu menggeleng-gelengkan kepalanya bila bicara. Sayang, Thiagaraj tak senasib dengan Aamir Khan dan Shah Rukh Khan, baik dari ekonomi apatah lagi dari sudut "tampang" muka. Tak ketemu. Biasanya ketika turun di Bandar Baru Bangi, saya akan sedikit berlari-lari menuju kampus UKM yang asri lagi bersih …… dengan tujuan Makmal Komputer + Internet yang bias dipakai secara “percuma” tersebut. Saya takut terlambat.
Kembali lagi ke cerita di atas, jam 09.00 pagi, lebih kurang. Saya masuk ke Makmal dengan sedikit kecewa. Rupanya, dua bilik (baca: ruangan) makmal computer tersebut sudah penuh diisi oleh “pemakai percuma”. Hampir 2/3 graduan Indonesia, selebihnya graduan Malaysia. Suasana saya lihat kala itu agak sedikit lain. Biasanya graduan Indonesia agak terkesan santai, namun kali ini saya menangkap ada “aura”panas pada mereka. Hampir semua graduan Indonesia serius membuka internet. Saya lihat, situs yang mereka buka hamper sama : detik dot com dan liputan enam dot com (hee..he… bertele-tele). Sementara graduan Malaysia …….. santai sambil sesekali bercerita dengan teman-teman di sebelah mereka. Saya hanya berdiri …………….. sambil sesekali berharap kiranya ada satu orang yang keluar dari Makmal tersebut, dan hal ini akan membuat penantian saya untuk menjadi “pemakai percuma” bias diakhiri. Tapi, hamper satu jam saya berdiri, tak satupun dari “pemakai percuma” ini mengakhiri “petualangan dunia maya” mereka. Sambil terus berdiri dan sedikit menggerutu, suasana Makmal kemudian dikejutkan dengan terikan salah seorang dari “pemakai percuma” tersebut, “Bila Malaysia memulai, Indonesia mengakhiri”…………… mari pertahankan Ambalat, mari perangi Malaysia”. Ada aura nasionalisme sedang bertumbuh dalam ruangan tersebut. Saya buru-buru menghampiri salah seorang teman dan berusaha untuk mencari “latar belakang” teriakan teman yang berteriak tadi. Rupanya ………….. detik dot com dan liputan enam dot com mengutip pernyataan dari Panglima TNI Jenderal (TNI) Endriartono Sutarto yang menyatakan siap perang dengan Malaysia demi mempertahankan Ambalat. Seketika saya-pun berujar ….. “haaaaaaaaaa padek, bagak, lanyau”, dengan rona wajah cerah-merah seperti wajah Hitler ketika marah pada Yahudi dalam pidato penuh emosional di Austwitz.
Namun, lambat laun akhirnya saya sadar bahwa saya berada di negara dimana kegeraman itu tertuju, saya dan teman-teman berada di ruangan yang sama dengan teman-teman dari negara dimana kegeraman tersebut dilandakan. Saya tengok ke teman-teman graduan Malaysia yang tidak begitu banyak di ruangan tersebut, saya pandangi wajah mereka …… hanya sekedar untuk melihat reaksi yang mereka berikan. Mereka tersenyum, tetap santai main internet sambil sesekali bercerita lepas dengan teman mereka tentang hal yang “tidak saya ketahui”, tapi bukan tentang “kami” apatah lagi tentang Ambalat. Sementara teman-teman saya, para “pemakai percuma” graduan Indonesia tersebut, terus berciloteh dengan hembusan kata-kata pembangkit nasionalisme. Ada sedikit rasa segan dan silau saya pada graduan Malaysia kala itu. Kami ini seperti Muhammad Hatta, Syahrir, Nazir Sutan Pamuntjak dkk. yang melawan dan menghembuskan nasionalisme-keIndonesiaan dari jantung penjajah – mereka berteriak dari Rotterdam, bukan dari Bandung atau Bengkulu a-la Sukarno.
Dari rasa segan, terus menuju rasa takut. Maklum, saya berada di negera dimana teman-teman saya sedang meluapkan kebencian mereka. Akhirnya saya ambil jalan pintas, saya mendekat dengan teman-teman graduan Malaysia – karena saya tak mampu meredamkan “gejolak” teman-teman graduan Indonesia kal itu. Saya ingin memberikan sebuah diskusi empatik dengan para graduan Malaysia di ruangan tersebut dan ingin meyakinkan kepada mereka bahwa “patologi” yang terjadi dalam ruangan Makmal itu hanyalah sekedar bentuk ekspresi spontan tanpa bermaksud menyakiti Negara Malaysia, apatah lagi menyinggung para graduan Malaysia yang ada bersama-sama dengan kami. Tanpa mereka minta, saya mulai memberikan argumentasi pada mereka. Mereka tersenyum, dan menjawab : “kami tak kisah dengan kes Ambalat, kami hanya yakin bahwa kes itu boleh diatasi dengan baik oleh pemimpin-pemimpin kami, sudah ada job dan kami tak mau masuk ke dalam kes itu, biarlah pihak kerajaan Malaysia dan kerajaan Indonesia yang menyelesaikannya”. Saya diam, tak bicara lagi. Saya berdiri, tak nak mencari posisi untuk duduk sebagai “pemakai percuma”, tapi saya berdiri untuk keluar dari Makmal dan terus keluar menuju kafetaria jelang Perpusatakaan Tun Sri Lanang.
Sambil duduk menikmati Teh Tarik dan sedikit nasi dengan sambal yang saya lupa namanya, saya berusaha kembali mencerna kata-kata teman-teman para graduan Malaysia di ruangan Makmal tadi. Ada sebuah kedewasaan tapi juga ada sebuah kepasrahan. Dewasa melihat persoalan bahwa masalah Ambalat tersebut merupakan “persoalan High Politic” – dan mereka ingin sampaikan pesan : sudah ada yang mengurusnya, kita doakan dan dukung saja. Dan nampaknya mereka sangat menghargai teman-teman saya “para pemakai percuma” yang terus menerus mengobarkan rasa sentiment Malaysia di rungan kepunyaan orang Malaysia di tempat yang benama Malaysia. Namun disisi lain, terlihat oleh saya bahwa para graduan Malaysia ini terlampau “mudah” memberikan urusan negara mereka hanya kepada para elit politik negara. Jawaban mereka bahkan terkesan terjadi dekonstruksi-nasionalisme (secara teoritik lebih lanjut lihat teori post-modernisme). Ada kesan apatis, acuh tak acuh, tidak mau tahu dan sedikit takut walaupun hanya untuk “sekedar berbicara tentang kasus yang sensitive" (BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar