Beberapa minggu yang lalu, tepatnya siap Pemilihan Presiden, saya bersama dengan beberapa orang teman-teman melakukan survey-semi kualitatif tentang “Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap Pemilihan Presiden 8 Juli 2009”. Daerah yang saya ambil sample-nya adalah daerah di sepanjang pantai barat Pasaman Barat. Sebab daerah tersebut adalah daerah dengan rata-rat tingkat pendidikan masyarakat cukup rendah, namun tipikal masyarakat terbuka. Saya tak akan kemukakan analisis mendalam tentang hasil survey tersebut, yang pasti lebih dari 77 % masyarakat mengatakan Pemilihan Presiden barusan “jujur” dan “adil” dan menganggap persoalan DPT adalah sesuatu persoalan yang “tidak mereka pahami dan bukan sesuatu yang penting”. Dalam survey-semi kualitatif itu, “sambil lalu” saya juga menyelipkan satu pertanyaan di luar konteks yaitu pertanyaan dengan nada provokatif : “Negara mana yang saudara anggap sebagai lawan” – dengan metode pertanyaan stimulus tanpa memberikan pengetahuan tentang pertanyaan tersebut pada responden.
Dari 673 responden, didapatkan 3 negara yang dianggap mereka sebagai lawan, 2 negara pertama mudah saya cerna, namun negara yang ketiga cukup menyentakkan ranah rasionalitas saya. Negara Israel mayoritas (51 %) dianggap sebagai lawan. Ditempatkannya Negara Israel sebagai peringkat 1 negara yang dianggap sebagai lawan tersebut memiliki justifikasi metodologis dimana 100 % responden adalah muslim dan media massa (dalam hal TV) bukan lagi menjadi sesuatu yang langka. Pada umumnya, mereka kenal dengan negara Israel (baca: yahudi) sejak kecil .......... artinya, potensi ketidaksukaan tersebut sudah ada sejak mereka belum memiliki suatu alasan argumentatif mengapa mereka harus benci dengan negara "Dinding Ratapan" ini. Negara kedua yang dianggap sebagai lawan adalah Amerika Serikat (37 %) dengan mayoritas respondennya adalah kalangan yang respek dengan gerakan radikal Islam belakangan ini. Bagi mereka, Amerika Serikat adalah negara yang memiliki kontribusi besar terhadap degradasi moral dan kemunduran ummat Islam. Bahkan, ketidaksukaan dengan Amerika Serikat ini juga ada korelasi simetris dengan ketidaksukaan dengan Israel. Sementara itu, selebihnya (12 %) menganggap Malaysia sebagai negara yang harus diposisikan sebagai lawan Indonesia. Simpulan terakhir inilah yang cukup mengejutkan saya. Mayoritas yang menjawab Malaysia sebagai negara yang harus dianggap sebagai lawan tersebut adalah kalangan muda. Ketika stimulus pertanyaan dikembangkan lagi, penyebab kebencian mereka terhadap Malaysia terakumulasi pada 3 kata kunci : “TKI dengan devian Penyiksaan”, “Plagiat” dan “Ambalat”.
Saya belum sempat melakukan analisis lebih mendalam dan mensintesakannya dengan beberapa teori atau hasil penelitian terdahulu. Namun ini menjadi catatan penting bagi dua negara “serumpun” ini. Responden dari kalangan muda yang melihat bahwa Malaysia menjadi negara yang pantas dianggap sebagai “lawan”, cukup menyentakkan kita tentang potensi harapan terciptanya “hubungan ramah mesra” pada masa yang akan datang. Kalangan tua nampaknya tidak lagi ambil pusing dengan romantisisme “Ganyang” a-la Sukarno. Mereka justru lebih melihat Israel dan Amerika Serikat sebagai “lawan”, maklum usia yang tua justru secara psikologis-sosiologis, lebih memiliki kecenderungan untuk memberikan justifikasi yang bernuasakan teologis, "seakan-akan ketidaksukaan terhadap Israel-Yahudi tersebut telah memiliki legalitas-justifikasi teologi keagamaan". Beda dengan kalangan muda yang dekat dengan idiom nasionalisme. Ekspos media tentang plagiat-nya Malaysia seperti kasus “Rasa Sayange”, “Reog Ponorogo” maupun "Batik" dan seterusnya serta drama-melankolik Manohara maupun “penyiksaan TKI” membuat banyak kalangan muda – setidaknya berdasarkan survey tersebut – mengganggap Malaysia lebih berbahaya dibandingkan dengan Negara Yahudi sekalipun.
Saya pribadi justru mendapat kesan positif, dari proses interaksi saya dengan masyarakat Malaysia (terutama Melayu) ketika untuk beberapa waktu “berkontemplasi”, studi Post Graduate di UKM Malaysia. Secara sepintas saya memahami bahwa masyarakat Melayu Malaysia menganggap bahwa masyarakat Indonesia adalah saudara mereka. Tapi entah mengapa, para pemimpin negara Malaysia seakan-akan tidak menyadari atau setidaknya “sejalan” dengan masyarakat mereka (baca: Melayu) – berdasarkan pemahaman subjektif saya selama ini. Buktinya, setelah kasus Ambalat, Rasa Sayange-Reog Ponorogo-Batik dan drama melankolik Manohara serta penyiksaan TKI mulai mereda dan masyarakat Indonesia mulai secara “setapak demi setapak” menganggap Malaysia adalah “(memang) saudara serumpun”, klaim Tari Pendet oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Malaysia dalam brand-icon pariwisata Malaysia baru-baru (walaupun belakangan Embassy Malaysia di Jakarta mengatakan bahwa semua itu bukan kebijakan kerajaan, tapi lebih kepada improvisasi sebuah "Production House"), kembali mempertegas bahwa Malaysia seakan-akan tidak pernah berhenti “memprofokasi”. Apalagi, pembelian (tepatnya : pencurian) naskah-naskah klasik Islam Melayu Indonesia oleh praktisi-ilmuan ataupun "pedagang" Malaysia terus diekspos dalam media massa Indonesia. Keinginan untuk menjadikan Malaysia sebagai "Trully Asia" justru berpotensi mengorbankan "Trully Genetic". Beberapa malam yang lalu, saya menelepon salah seorang responden saya dan menanyakan sikap mereka terhadap kasus "Tari Pendet" yang diekspos besar-besaran oleh akhbar/media massa Indonesia belakangan ini ......... ia mengatakan, "negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut yang tidak mau serumpun dengan kita, negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut yang tidak pernah mau tahu dengan "gondoknya" kita ....... negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut dan seterusnya .... bla....bla. Reaksi saya ......... ketawa dan saya sudah bisa memprediksi jawaban apa yang akan saya dapatkan. Tapi ada satu yang membuat saya heran ..... sang responden tersebut jarang sekali menggunakan istilah negara/rakyat Malaysia (sebagaimana beberapa waktu lalu ketika saya wawancarai). Dalam percakapan telepon tersebut, ia nampaknya lebih suka menggunakan istilah "negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut". Semoga Allah SWT. memberikan yang terbaik bagi persaudaraan "Trully Genetic" ini.
Saya belum sempat melakukan analisis lebih mendalam dan mensintesakannya dengan beberapa teori atau hasil penelitian terdahulu. Namun ini menjadi catatan penting bagi dua negara “serumpun” ini. Responden dari kalangan muda yang melihat bahwa Malaysia menjadi negara yang pantas dianggap sebagai “lawan”, cukup menyentakkan kita tentang potensi harapan terciptanya “hubungan ramah mesra” pada masa yang akan datang. Kalangan tua nampaknya tidak lagi ambil pusing dengan romantisisme “Ganyang” a-la Sukarno. Mereka justru lebih melihat Israel dan Amerika Serikat sebagai “lawan”, maklum usia yang tua justru secara psikologis-sosiologis, lebih memiliki kecenderungan untuk memberikan justifikasi yang bernuasakan teologis, "seakan-akan ketidaksukaan terhadap Israel-Yahudi tersebut telah memiliki legalitas-justifikasi teologi keagamaan". Beda dengan kalangan muda yang dekat dengan idiom nasionalisme. Ekspos media tentang plagiat-nya Malaysia seperti kasus “Rasa Sayange”, “Reog Ponorogo” maupun "Batik" dan seterusnya serta drama-melankolik Manohara maupun “penyiksaan TKI” membuat banyak kalangan muda – setidaknya berdasarkan survey tersebut – mengganggap Malaysia lebih berbahaya dibandingkan dengan Negara Yahudi sekalipun.
Saya pribadi justru mendapat kesan positif, dari proses interaksi saya dengan masyarakat Malaysia (terutama Melayu) ketika untuk beberapa waktu “berkontemplasi”, studi Post Graduate di UKM Malaysia. Secara sepintas saya memahami bahwa masyarakat Melayu Malaysia menganggap bahwa masyarakat Indonesia adalah saudara mereka. Tapi entah mengapa, para pemimpin negara Malaysia seakan-akan tidak menyadari atau setidaknya “sejalan” dengan masyarakat mereka (baca: Melayu) – berdasarkan pemahaman subjektif saya selama ini. Buktinya, setelah kasus Ambalat, Rasa Sayange-Reog Ponorogo-Batik dan drama melankolik Manohara serta penyiksaan TKI mulai mereda dan masyarakat Indonesia mulai secara “setapak demi setapak” menganggap Malaysia adalah “(memang) saudara serumpun”, klaim Tari Pendet oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Malaysia dalam brand-icon pariwisata Malaysia baru-baru (walaupun belakangan Embassy Malaysia di Jakarta mengatakan bahwa semua itu bukan kebijakan kerajaan, tapi lebih kepada improvisasi sebuah "Production House"), kembali mempertegas bahwa Malaysia seakan-akan tidak pernah berhenti “memprofokasi”. Apalagi, pembelian (tepatnya : pencurian) naskah-naskah klasik Islam Melayu Indonesia oleh praktisi-ilmuan ataupun "pedagang" Malaysia terus diekspos dalam media massa Indonesia. Keinginan untuk menjadikan Malaysia sebagai "Trully Asia" justru berpotensi mengorbankan "Trully Genetic". Beberapa malam yang lalu, saya menelepon salah seorang responden saya dan menanyakan sikap mereka terhadap kasus "Tari Pendet" yang diekspos besar-besaran oleh akhbar/media massa Indonesia belakangan ini ......... ia mengatakan, "negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut yang tidak mau serumpun dengan kita, negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut yang tidak pernah mau tahu dengan "gondoknya" kita ....... negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut dan seterusnya .... bla....bla. Reaksi saya ......... ketawa dan saya sudah bisa memprediksi jawaban apa yang akan saya dapatkan. Tapi ada satu yang membuat saya heran ..... sang responden tersebut jarang sekali menggunakan istilah negara/rakyat Malaysia (sebagaimana beberapa waktu lalu ketika saya wawancarai). Dalam percakapan telepon tersebut, ia nampaknya lebih suka menggunakan istilah "negara Nordin M. Thop dan Dr. Azahari tersebut". Semoga Allah SWT. memberikan yang terbaik bagi persaudaraan "Trully Genetic" ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar