(Pernah dipublikasikan dalam Harian Umum HALUAN, 25 Januari 2005). Namanya Zainal bin Khaidir. Kira-kira berusia 50 tahun. Asal Bayang Pesisir Selatan. Mulai masuk secara legal ke Malaysia pada tahun 1983. Dua tahun sebelumnya, pak Zainal berjualan obat dengan ma ota di Singapura. Sekarang menetap secara permanen di Sungai Serai Hulu Langat Kajang. Radius 4 kilometer, mulai dari Suntex Batu 9 hingga Jelebu (Jelebu pernah disinggung oleh Mochtar Naim dalam bukunya Merantau sebagai daerah yang banyak didiami oleh migran Minangkabau tapi sekarang tidak ada lagi bahkan daerah ini identik dengan seorang politisi Malaysia yang memiliki darah Minangkabau, DR. Rais Yatim) yang mayoritas didiami etnis Cina totok Malaysia, pak Zainal cukup dikenal. Beliau bersama dengan anak-anaknya telah menjadi warga negara Malaysia penuh, sementara istrinya belum. Sehari-hari berprofesi sebagai penjual buah sehingga “Zainal si Penjual Buah” lebih dikenal dibandingkan dengan Zainal bin Khaidir. Untuk ukuran masyarakat Indonesia di Malaysia, kehidupan pak Zainal lumayan bagus. Satu buah van dan satu buah truk buah dimiliki serta satu kepastian hukum yang sekarang banyak diidam-idamkan para TKI yaitu pengakuan sebagai “Warga Negara Malaysia”.
Pengakuan sebagai WN Malaysia dengan sendirinya mengangkat strata masyarakat pendatang di Malaysia. Walaupun tidak ada konsensi sosial tersendiri, tetapi dalam realitas sosial masyarakat pendatang Indonesia di Malaysia terdapat empat kelas. Kelas paling tinggi adalah pendatang Indonesia yang telah diakui sebagai WN Malaysia. Umumnya mereka telah “masuk” ke Malaysia sebelum tahun 1980-an. Ketika seseorang telah diakui sebagai WN Malaysia, maka jaminan pendidikan dan jaminan sosial mereka terjamin. Disamping diberi kemudahan dalam berniaga dan memiliki hak-hak politik, anak-anak WN Malaysia asal Indonesia diberi kesempatan sama dengan komunitas Melayu, India dan Cina Malaysia di bidang pendidikan. Mulai dari Tadika (Taman Kanak-Kanak) hingga Perguruan Tinggi, biaya pendidikan mereka dipermudah oleh kerajaan dengan jalan memberikan pinjaman biaya pendidikan. Pinjaman ini dikembalikan dalam prosentase yang rendah dan dalam rentang waktu yang sangat panjang, ketika si anak telah mulai bekerja. Mereka umumnya bangga dengan status kewarganegaraan Malaysia mereka. Pada tingkatan anak-anak, Indonesia bagi mereka hanyalah cerita nenek moyang. Sedangkan bagi orang tua mereka Indonesia adalah “tetap tanah air mereka”. Bahkan menurut beberapa kajian departemen Sosiologi Universitas Kebangsaan Malaysia, latar belakang para pendatang Indonesia menjadi WN Malaysia lebih dikarenakan pertimbangan pragmatisme-ekonomi (walaupun untuk kasus Aceh lebih disebabkan karena faktor keamanan) sehingga tidaklah mengherankan apabila pemerintah Kerajaan Malaysia sekarang ini sangat “luar biasa” sulit memberikan status WN bagi para pendatang yang telah memenuhi syarat administrasi. Tajuk Koran Berita Malaysia bulan Desember 2005 yang lalu mengatakan bahwa persoalan terbesar Malaysia adalah bagaimana memupuk nasionalisme dan sense of belonging diantara tiga puak besar : Melayu, Cina dan India. Pemberian status WN bagi pendatang asing justru menambah problem tersendiri bagi pemupukan nasionalisme itu sendiri. Laporan dari kajian departemen Sosiologi UKM setidaknya menunjukkan kekhawatiran pemerintah kerajaan Malaysia tersebut.
Kelas kedua adalah para pendatang Indonesia yang memperoleh IC (identity card) Merah. IC atau KTP bagi kita di Indonesia, di Malaysia terdapat dua jenis yaitu IC Biru dan IC Merah. IC Biru merupakan kartu identitas khusus bagi mereka yang telah menjadi Warga Negara Malaysia. Pemegang IC Biru ini berhak mendapatkan kemudahan sosial, ekonomi dan politik. Sementara itu, pemegang IC Merah hanya diperbolehkan untuk menikmati kemudahan ekonomi seperti boleh bekerja dan berdagang, sedangkan untuk memiliki rumah melalui developer, meminjam uang di Bank dan memilih dalam Pemilihan Umum (Pilihan Raya dalam bahasa Malaysia) tidak diperbolehkan. Umumnya, pendatang Indonesia yang memiliki IC Merah ini cukup banyak. Mereka datang ke Malaysia selepas tahun-tahun 1980-an. Biasanya pemegang IC Merah masih menganggap diri mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Keinginan untuk memiliki status WN Malaysia umumnya hanya mereka harapkan pada anak-anak mereka yang lahir dan besar di Malaysia. Pemberian IC Merah ini merupakan alternatif bagi pemerintah kerajaan Malaysia bagi mereka yang telah memenuhi syarat untuk menjadi WN Malaysia. Teman-teman saya di Malaysia sering mengistilahkan pemegang IC Merah sebagai “warga negara antara”. Sama halnya dengan pemegang IC Biru, pemegang IC Merah relatif tenang dalam menjalani kehidupan mereka di Malaysia.
Sedangkan kelas ketiga adalah para pendatang yang memegang izin tinggal atau Permit. Umumnya mereka ini adalah para pekerja kontrak dan pembantu rumah tangga. Setiap tahun mereka memperbaharui izin tinggal mereka dengan membayar uang sesuai dengan "level" kerja mereka. Istri pak Zainal bin Khaidir misalnya, setiap tahun harus membayar RM. 3000 (tiga ribu ringgit Malaysia). Kalikan saja dengan Rp. 2.500,-/ringgit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar