Malam Minggu, sekitar bulan Agustus 2005. Saya diajak oleh Bpk. Zainal bin Khaidir (penjual buah di Hulu Langat yang berasal dari Pesisir Selatan) berniaga buah di "pasar malam" dekat Taman Alam Jaya Cheras, Selangor. Sebelumnya, pada pagi hari (tepatnya : dinihari), saya bersama Bpk. Zainal membeli durian ke Jelebu (Jelebu ini pernah disinggung oleh Mochtar Naim dalam karya masterpiece-nya "Merantau" sebagai salah satu perkampongan komunitas perantau Minangkabau di Malaysia. Di Jelebu ini pula, ada ulama terkenal Malaysia kelahiran Padang - Almh. Syekh Ahmad Jelebu). Siangnya, setelah durian dibeli di daerah Jelebu dan sekitarnya, saya dan Bpk. Zainal membersihkan dan mengatur tempat buah-buahan di van selain durian seperti lengkeng, cempedak rimba, rambutan dan lain-lain. Siap 'Ashar, kami mandi. Setelah sholat dan makan, van dihidupkan ........... selanjutnya, saya dan Bpk. Zainal menuju Pasar Malam di dekat Taman Alam Jaya Cheras. Pasar Malam dekat Taman Alam Jaya Cheras cup ramai. Maklum, malam minggu. Taman (kalau di Indonesia : Perumahan atau Komplek Perumahan), merupakan Taman yang cukup bonafid. Di samping Taman ini, ada 5 - 6 buah Flat yang dihuni oleh orang Malaysia keturunan Cina, India dan pekerja dari berbagai negara seperti Indonesia, Banglades dan Myanmar. Karena jumlah Flat yang cukup banyak dan dekat pula dengan Komplek Perumahan, maka "pasar malam"-nya selalu hidup dan ramai. Bpk. Zainal sering berniaga buah-buahan di daerah ini.
Malam itu, setelah barang dagangan digelar, lampu dihidupkan (dengan menggunakan genset), kehidupan dan kompetisi untuk "survival in the fittest" dalam dunia niaga, mulai menggeliat. Bpk. Zainal dan saya kemudian secara bergantian pergi ke surau dekat pasar malam, Sholat Maghrib. Ketika Bpk. Zainal pergi sholat, saya berusaha menyibukkan diri untuk "belajar" menjadi peniaga ulung. Ketika sedang asyik-asyiknya "in-action", datang peniaga buah orang Malaysia keturunan Cina. Ia menggelar dagangan buahnya, persis tepat disamping kami mengelar dagangan. Saya berusaha tersenyum seadanya. Si Cina Malaysia ini, hanya diam ..... "tak ramah tampaknya", guman saya. Lampu neon-nya jauh lebih terang dari kami. Buahnya-pun jauh lebih banyak dari buah-buahan yang kami koleksi. Saya terus melongo melihat gayanya yang terkesan "over-acting" di depan saya. Beberapa saat kemudian, Si Cina Malaysia ini mengeluarkan "alat pengeras" suara dan mulai "tesszzzzzzzzzzzting" : "alo...alo.....alo, bapak, encik, puan, mali kemali, ini ada dulian bagus, dulian ai o ai (maksudnya durian jenis 101 : sering dibaca ai o ai), kena pilih, bagus-bagus". Saya diam dan sedikit menggerutu karena "kalah frekuensi" dari Si Cina Malaysia ini. Melihat saya diam, Si Cina Malaysia ini makin semangat mempromisikan dagangannya : "dulian saya ini jauh lebih bagus dalipada dulian-dulian mana-mana saja". Waaah, ia nampaknya mulai menyindir kami, karena memang waktu itu yang menjual durian di pasar malam itu, selain Si Cina Malaysia ini, yaa kami. Bpk. Zainal datang, selanjutnya menyuruh saya untuk gantian sholat Maghrib. Sebelum saya pergi ke surau, dalam bahasa Minang, saya ceritakan "introduction of provocative" yang dilakukan oleh peniaga Cina Malaysia tadi. Bpk. Zainal hanya berujar, "pergi saja sholat dulu, ini persoalan kecil". Selanjutnya saya pergi ke Surau di samping Taman Alam Jaya. Surau-nya kecil, tapi sangat bersih dan harum. Setelah selesai Sholat Maghrib, saya buru-buru menuju "markas jual beli" kami. Tak sabar rasanya ingin melihat perang kata-kata antara Bpk. Zainal dengan Si Cina Malaysia berlangsung. Ketika saya sampai di tempat dagangan buah-buahan kami digelar, saya melihat sudah banyak "pasien" Bpk. Zainal dan Si Cina Malaysia ini .......... saling menawar duran dan buah-buahan lain. Si Cina Malaysia dengan mikropon dan lampu yang lebih terang, Bpk. Zainal dengan "air ludah" tanpa mikropon. Saling sindir-pun mulai berlangsung.
Si Cina Malaysia : bapak-bapak, encik-encik, puan-puan, lebih baik kita beli dulian olang Malaysia. Duitnya untuk olang Malaysia. Kalau kita beli buah-buahan olang Malaysia, belalti kita memperkaya olang Malaysia.
Bpk. Zainal : (tak menanggapi ...... terus melayani pembeli tanpa bersuara)
Si Cina Malaysia : Jom (maksudnya : Ayo) mali beli buah-buahan saya, olang Malaysia. Jangan beli buah-buahan olang lain. Meleka hanya cali duit di Malaysia, nanti dibawanya pulang ke negala meleka. Jom encik puan, belilah dulian ai o ai, dulian pahang dan dulian thailand. Bagus-bagus lha.
Bpk. Zainal : (tak menanggapi ...... terus melayani pembeli tanpa bersuara)
Si Cina Malaysia agak mulai kesal melihat lebih banyak orang membeli buah-buahan dengan Bpk. Zainal. Kebetulan, para pembeli tersebut mayoritas langganan Bpk. Zainal dan memang style Bpk. Zainal jauh lebih bersahabat dibandingkan si Cina Malaysia ini. Melihat hal ini, si Cina Malaysia tersebut, makin "panas"
Si Cina Malaysia : mengapa kita halus beli pada olang lain. Belilah sama olang Malaysia. Olang lain itu tak punya duit, meleka miskin di negala meleka, kalena itulah meleka datang kengala kita, mau ambil duit kita.
(Bpk. Zainal mulai tak enak hati dan berguman pada saya, "ko ndak bana ilham, alah bakalabihan bana ma ............ caliak dek wang mak tahu bana sia si Zainal ko :Ini tidak benar Ilham, sudah berlebihan betul, lihatlah sama ilham bagaimana kualitas si Zainal ini). Bpk. Zainal kemudian berdiri sambil memegang buah durian, melihat si Cina Malaysia, dan mulai bicara .....
Bpk. Zainal : encik puan, saye ni bukan orang miskin. Saya dah dari kecik merantau. Kemaren saya niaga di Singapura, besok saya mungkin nak balik lagi ke Singapura. Niaga ini bukan untuk cari duit bagi saye. Ini hobby. Duit bagi saya tak kisah. Tanah saya di Indonesia luas. Memang saya suka merantau, tapi bukan untuk cari duit. Makan saya nasi Padang, minum saya teh telo, bukan roti canai dan teh tarik. Saya tak mungkin tipu encik puan dalam niaga ini, karena memang saya tak mau cari untung banyak sangat, saya niaga karena hobby".
Memakan Nasi Padang dan Minum Teh Telur dianggap sebagai refleksi "high-class" karena kualitas dan harganya yang cukup tinggi dan mahal, berbanding terbalik dengan Roti Canai dan Teh Tarik yang dianggap oleh orang Malaysia sebagai "makanan tradisional-popular dan familiar" di tenagh-tengah masyarakat. Disamping mudah dijumpai, harganyapun sangat murah -- setidaknya untuk ukuran orang Malaysia.
(Si Cina Malaysia diam ........... para pembeli mulai banyak transaksi dengan kami. Saya sampai kewalahan melayani mereka, sementara Bpk. Zainal terus dan terus menyerocos. Setiap Cina Malaysia bicara, Bpk. Zainal pasti bisa menangkisnya dengan telak. Akhirnya ........... Si Cina Malaysia ini menutup dagangannya malam itu, sambil menggerutu dalam bahasa yang tidak saya mengerti (mungkin bahasa mandarin), Si Cina Malaysia ini mengemas buah-buahan dagangannya satu persatu, mematikan mikropon dan genset, menghidupkan mesin van, dan selanjutnya ................ pergi dengan wajah yang tidak "bersahabat" ketika saya sapa kembali. Karena kompetitor sudah pergi, maka kemudian mudah ditebak : dagangan kami habis-ludes. Bpk. Zainal ketawa sambil berkata, "Awak lo nan kan di ukuanyo, kalo samo-samo manngaleh, manggaleh sajolah, indak kan digaduah-gaduah ndo, ko ndak, nenek moyang wak pulo nan kan diukuanya". (Saya pula yang ditantangnya - maksudnya ditantang peniaga Cina Malaysia tadi. Kalau sama-sama berniaga, kita sama-sama menjaga etika. Ini tidak, kampung halaman dan harga diri kita pula nan disebut-sebutnya).
Ketika kami mau pulang, timbul kekhawatiran pada diri saya. Ada ketakutan Si Cina Malaysia tadi akan datang kembali dengan membawa teman-temannya, "memberi pelajaran" pada kami. Perasaan ini lumrah, karena saya beranggapan bahwa Si Cina Malaysia pasti merasa bahwa ia adalah pribumi, sementara kami adalah pendatang. Si Cina Malaysia ini pasti merasa terhina karena dikalahkan oleh pendatang. Hal ini kemudian saya utarakan pada Bpk. Zainal. Sambil menaikkan genset ke van yang sudah kosong karena buahan-buahan sudah "abih-tandeh" dibeli konsumen, Bpk. Zainal berkata, "Ilham, ini Malaysia .... tak sama dengan Indonesia. Kalau kasus tadi terjadi di Indonesia, mungkin kita akan dipukul dan diusir, tidak boleh berniaga karena kita pendatang. Di Malaysia tak akan pernah terjadi. Inilah enaknya berniaga di Malaysia". Saya diam .......... dan memang, hari-hari berikutnya Si Cina Malaysia ini tidak datang dengan kawan-kawannya untuk menggertak kami. Justru, ia mencari lokasi lain, menyingkir karena mengakui kelebihan Bpk. Zainal sebagai presenter buah-buahan terbaik, setidaknya dibandingkan dengan dirinya.
Ketika dalam perjalanan pulang, saya bertanya pada Bpk. Zainal, "Pak, betul niaga ini hobby bapak, kenapa tidak manfaatkan saja tanah yang luas dikampung daripada merantau ke Malaysia?". Bapak Zainal terbahak-bahak dan berkata, "terpaksa ilham, kerja nggak ada lagi, jadi terpaksa berniaga. Tanah di kampung lah habis, maka merantau inilah jalan terbaik". Padeeek !!!!!!
Malam itu, setelah barang dagangan digelar, lampu dihidupkan (dengan menggunakan genset), kehidupan dan kompetisi untuk "survival in the fittest" dalam dunia niaga, mulai menggeliat. Bpk. Zainal dan saya kemudian secara bergantian pergi ke surau dekat pasar malam, Sholat Maghrib. Ketika Bpk. Zainal pergi sholat, saya berusaha menyibukkan diri untuk "belajar" menjadi peniaga ulung. Ketika sedang asyik-asyiknya "in-action", datang peniaga buah orang Malaysia keturunan Cina. Ia menggelar dagangan buahnya, persis tepat disamping kami mengelar dagangan. Saya berusaha tersenyum seadanya. Si Cina Malaysia ini, hanya diam ..... "tak ramah tampaknya", guman saya. Lampu neon-nya jauh lebih terang dari kami. Buahnya-pun jauh lebih banyak dari buah-buahan yang kami koleksi. Saya terus melongo melihat gayanya yang terkesan "over-acting" di depan saya. Beberapa saat kemudian, Si Cina Malaysia ini mengeluarkan "alat pengeras" suara dan mulai "tesszzzzzzzzzzzting" : "alo...alo.....alo, bapak, encik, puan, mali kemali, ini ada dulian bagus, dulian ai o ai (maksudnya durian jenis 101 : sering dibaca ai o ai), kena pilih, bagus-bagus". Saya diam dan sedikit menggerutu karena "kalah frekuensi" dari Si Cina Malaysia ini. Melihat saya diam, Si Cina Malaysia ini makin semangat mempromisikan dagangannya : "dulian saya ini jauh lebih bagus dalipada dulian-dulian mana-mana saja". Waaah, ia nampaknya mulai menyindir kami, karena memang waktu itu yang menjual durian di pasar malam itu, selain Si Cina Malaysia ini, yaa kami. Bpk. Zainal datang, selanjutnya menyuruh saya untuk gantian sholat Maghrib. Sebelum saya pergi ke surau, dalam bahasa Minang, saya ceritakan "introduction of provocative" yang dilakukan oleh peniaga Cina Malaysia tadi. Bpk. Zainal hanya berujar, "pergi saja sholat dulu, ini persoalan kecil". Selanjutnya saya pergi ke Surau di samping Taman Alam Jaya. Surau-nya kecil, tapi sangat bersih dan harum. Setelah selesai Sholat Maghrib, saya buru-buru menuju "markas jual beli" kami. Tak sabar rasanya ingin melihat perang kata-kata antara Bpk. Zainal dengan Si Cina Malaysia berlangsung. Ketika saya sampai di tempat dagangan buah-buahan kami digelar, saya melihat sudah banyak "pasien" Bpk. Zainal dan Si Cina Malaysia ini .......... saling menawar duran dan buah-buahan lain. Si Cina Malaysia dengan mikropon dan lampu yang lebih terang, Bpk. Zainal dengan "air ludah" tanpa mikropon. Saling sindir-pun mulai berlangsung.
Si Cina Malaysia : bapak-bapak, encik-encik, puan-puan, lebih baik kita beli dulian olang Malaysia. Duitnya untuk olang Malaysia. Kalau kita beli buah-buahan olang Malaysia, belalti kita memperkaya olang Malaysia.
Bpk. Zainal : (tak menanggapi ...... terus melayani pembeli tanpa bersuara)
Si Cina Malaysia : Jom (maksudnya : Ayo) mali beli buah-buahan saya, olang Malaysia. Jangan beli buah-buahan olang lain. Meleka hanya cali duit di Malaysia, nanti dibawanya pulang ke negala meleka. Jom encik puan, belilah dulian ai o ai, dulian pahang dan dulian thailand. Bagus-bagus lha.
Bpk. Zainal : (tak menanggapi ...... terus melayani pembeli tanpa bersuara)
Si Cina Malaysia agak mulai kesal melihat lebih banyak orang membeli buah-buahan dengan Bpk. Zainal. Kebetulan, para pembeli tersebut mayoritas langganan Bpk. Zainal dan memang style Bpk. Zainal jauh lebih bersahabat dibandingkan si Cina Malaysia ini. Melihat hal ini, si Cina Malaysia tersebut, makin "panas"
Si Cina Malaysia : mengapa kita halus beli pada olang lain. Belilah sama olang Malaysia. Olang lain itu tak punya duit, meleka miskin di negala meleka, kalena itulah meleka datang kengala kita, mau ambil duit kita.
(Bpk. Zainal mulai tak enak hati dan berguman pada saya, "ko ndak bana ilham, alah bakalabihan bana ma ............ caliak dek wang mak tahu bana sia si Zainal ko :Ini tidak benar Ilham, sudah berlebihan betul, lihatlah sama ilham bagaimana kualitas si Zainal ini). Bpk. Zainal kemudian berdiri sambil memegang buah durian, melihat si Cina Malaysia, dan mulai bicara .....
Bpk. Zainal : encik puan, saye ni bukan orang miskin. Saya dah dari kecik merantau. Kemaren saya niaga di Singapura, besok saya mungkin nak balik lagi ke Singapura. Niaga ini bukan untuk cari duit bagi saye. Ini hobby. Duit bagi saya tak kisah. Tanah saya di Indonesia luas. Memang saya suka merantau, tapi bukan untuk cari duit. Makan saya nasi Padang, minum saya teh telo, bukan roti canai dan teh tarik. Saya tak mungkin tipu encik puan dalam niaga ini, karena memang saya tak mau cari untung banyak sangat, saya niaga karena hobby".
Memakan Nasi Padang dan Minum Teh Telur dianggap sebagai refleksi "high-class" karena kualitas dan harganya yang cukup tinggi dan mahal, berbanding terbalik dengan Roti Canai dan Teh Tarik yang dianggap oleh orang Malaysia sebagai "makanan tradisional-popular dan familiar" di tenagh-tengah masyarakat. Disamping mudah dijumpai, harganyapun sangat murah -- setidaknya untuk ukuran orang Malaysia.
(Si Cina Malaysia diam ........... para pembeli mulai banyak transaksi dengan kami. Saya sampai kewalahan melayani mereka, sementara Bpk. Zainal terus dan terus menyerocos. Setiap Cina Malaysia bicara, Bpk. Zainal pasti bisa menangkisnya dengan telak. Akhirnya ........... Si Cina Malaysia ini menutup dagangannya malam itu, sambil menggerutu dalam bahasa yang tidak saya mengerti (mungkin bahasa mandarin), Si Cina Malaysia ini mengemas buah-buahan dagangannya satu persatu, mematikan mikropon dan genset, menghidupkan mesin van, dan selanjutnya ................ pergi dengan wajah yang tidak "bersahabat" ketika saya sapa kembali. Karena kompetitor sudah pergi, maka kemudian mudah ditebak : dagangan kami habis-ludes. Bpk. Zainal ketawa sambil berkata, "Awak lo nan kan di ukuanyo, kalo samo-samo manngaleh, manggaleh sajolah, indak kan digaduah-gaduah ndo, ko ndak, nenek moyang wak pulo nan kan diukuanya". (Saya pula yang ditantangnya - maksudnya ditantang peniaga Cina Malaysia tadi. Kalau sama-sama berniaga, kita sama-sama menjaga etika. Ini tidak, kampung halaman dan harga diri kita pula nan disebut-sebutnya).
Ketika kami mau pulang, timbul kekhawatiran pada diri saya. Ada ketakutan Si Cina Malaysia tadi akan datang kembali dengan membawa teman-temannya, "memberi pelajaran" pada kami. Perasaan ini lumrah, karena saya beranggapan bahwa Si Cina Malaysia pasti merasa bahwa ia adalah pribumi, sementara kami adalah pendatang. Si Cina Malaysia ini pasti merasa terhina karena dikalahkan oleh pendatang. Hal ini kemudian saya utarakan pada Bpk. Zainal. Sambil menaikkan genset ke van yang sudah kosong karena buahan-buahan sudah "abih-tandeh" dibeli konsumen, Bpk. Zainal berkata, "Ilham, ini Malaysia .... tak sama dengan Indonesia. Kalau kasus tadi terjadi di Indonesia, mungkin kita akan dipukul dan diusir, tidak boleh berniaga karena kita pendatang. Di Malaysia tak akan pernah terjadi. Inilah enaknya berniaga di Malaysia". Saya diam .......... dan memang, hari-hari berikutnya Si Cina Malaysia ini tidak datang dengan kawan-kawannya untuk menggertak kami. Justru, ia mencari lokasi lain, menyingkir karena mengakui kelebihan Bpk. Zainal sebagai presenter buah-buahan terbaik, setidaknya dibandingkan dengan dirinya.
Ketika dalam perjalanan pulang, saya bertanya pada Bpk. Zainal, "Pak, betul niaga ini hobby bapak, kenapa tidak manfaatkan saja tanah yang luas dikampung daripada merantau ke Malaysia?". Bapak Zainal terbahak-bahak dan berkata, "terpaksa ilham, kerja nggak ada lagi, jadi terpaksa berniaga. Tanah di kampung lah habis, maka merantau inilah jalan terbaik". Padeeek !!!!!!
1 komentar:
mantap caghitonyo bang
Posting Komentar