17 Agustus 2009, 64 tahun Indonesia merdeka. Dalam rentang historis yang seharusnya membuat Indonesia harus matang, optimisme kita harus tetap ada dan terus dijaga. Bagaimanapun juga, Indonesia sudah mengarah pada kemantapan. Nilai kejujuran dan keterbukaan sudah mulai terlihat., walaupun terkadang ditingkahi oleh "akrobatik politik tingkat semu". Semua kita harus merasakan bahwa keindonesiaan adalah unsur dalam kepribadian yang mendukung dia dalam memecahkan masalah-masalah bangsa. Rasa keindonesiaan juga harus dirasakan sebagai sesuatu yang positif dan dibanggakan. Sehingga setiap orang Indonesia terdorong untuk memberi yang terbaik bagi bangsanya. Disanalah .... konteks optimisme tersebut diletakkan. Termasuk dalam hal ini adalah masyarakat kecil dan miskin. Rakyat kecil dan miskin ini, harus benar-benar merasakan bahwa negara tempat ia tinggal punya kebijakan yang mendukung kemajuannya. Kemiskinan seharusnya ditempatkan dalam kerangka tantangan berbangsa, bukan sebagai "sesuatu yang fungsional" - sebagaimana yang diyakini oleh mazhab fungsionalisme. Jika mereka tidak merasakan kebijakan pemerintah, yang tidak berpihak kepada mereka, tidak menempatkan kebijakan tersebut untuk mendekatkan mereka dengan ke-Indonesiaan-nya, mereka bisa punya masa depan yang tidak pasti dan kehilangan harapan untuk lebih sejahtera, ini justru berpotensi berbahaya. Motivasinya bisa menjadi kabur, dan bisa terbuka bagi ekstrimisme. Persoalan bangsa kini adalah ketegangan sosio-kultural, regionalisme, dan hubungan masyarakat-negara. Namun, mari tetap kita mulai dengan ras optimisme, mulai dari pencapaian yang telah dihasilkan selama ini kemudian perlihatkan sebuah idealisme dan tantangan yang akan dihadapi ke depan.
Idealisme bangsa, telah dirumuskan dengan sangat baik dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan empat hal. Pertama, keyakinan kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan juga karena rahmat Allah. Kedua, ada pandangan kesejarahan: maka, sampailah perjuangan ke pintu gerbang kemerdekaan. Ketiga, penjelasan tujuan Indonesia merdeka, yaitu menjaga tanah dan bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjamin perdamaian dunia. Tahun 1920-an Bung Karno mengatakan dalam pidato ”Indonesia Menggugat”, kemerdekaan adalah jembatan emas. Maksudnya, ketika kita bebas menjalani kehidupan yang kita cita-citakan sesuai landasan ideologis kita sebagai bangsa. Waktu kita umumkan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, jembatan emas itu belum ada. Baru tekad yang kita miliki. Sekutu menyerang. Irian Barat kita kuasai. Dalam delapan tahun berikut, ada tonggak-tonggak jembatan yang jatuh. Demokrasi Terpimpin lewat Dekret Presiden 5 Juli 1959, Indonesia tidak lagi berkedaulatan rakyat. Tak ada pemilu. Bung Karno pegang semua, eksekutif, legislatif, kehakiman. Itu diperbaiki Orde Baru dengan memperjelas pembagian kekuasaan. Namun, ada tonggak yang kurang, yaitu menduduki Timor Timur. Padahal, kemerdekaan hak semua bangsa. Kemudian Reformasi 1998. Kita dapatkan kembali demokrasi. Kedaulatan rakyat kembali. Presiden Habibie berjasa dengan mengadakan Pemilu 1999 sebelum waktunya. Ia juga melakukan dua hal penting: kemerdekaan pers dan otonomi daerah. Jadi, praktis jembatan emas selesai setelah reformasi. Kemudian KH Abdurrahman Wahid menjadi orang pertama yang dipilih sebagai presiden sesuai UUD 1945 oleh MPR. Presiden SBY terpilih oleh pemilu langsung hasil amandemen UUD 1945. Ini terjadi ketika jembatan emas itu sudah dicat, dikasih lampu-lampu.
Menjaga tanah dan bangsa ini, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjamin perdamaian dunia. Tantangannya, apakah semua tujuan itu sudah tercapai? Soal mempertahankan tanah dan bangsa selalu kita lakukan. Dulu kita melawan musuh imperialis, sekarang banyak soal baru, seperti lingkungan, perubahan iklim, narkotika, penyakit seperti flu burung dan flu H1N1. Soal kesejahteraan, tak pernah habis. Itu bagian dinamika kehidupan masyarakat yang terus harus diupayakan tanpa henti. Masalah terberat, mencerdaskan kehidupan bangsa yang belum cerdas juga. Apakah saya cerdas sebagai bangsa ketika saya hidup mewah sementara tetangga mati kelaparan? Kesenjangan sosial itu memancing konflik. DIRGAHAYU INDONESIA ............. I LOVE YOU FULL !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar